Selasa, 22 April 2014

Skripsi Hukum: PEMBERIAN KOMPENSASI DAN RESTITUSI DALAM PELANGGARAN HAM BERAT DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANGUNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang.
Perlindungan korban kejahatan dalam sistem hukum nasional nampaknya belum  memperoleh perhatian serius. Hal ini terlihat dari masih sedikitnya hak-hak korban  kejahatan memperoleh pengaturan dalam perundang-undangan nasional. Adanya ketidak  seimbangan antara perlindungan korban kejahatan dengan pelaku kejahatan pada  dasarnya merupakan salah satu pengingkaran dari asas setiap warga negara bersamaan  kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan, sebagaimana diamanatkan oleh Undangundang Dasar 1945, sebagai landasan konstitusional. Selama ini muncul pandangan yang  menyebutkan pada saat pelaku kejahatan telah diperiksa, diadili dan dijatuhi hukuman  pidana, maka pada saat itulah perlindungan terhadap korban telah diberikan, padahal  pendapat demikian tidak sepenuhnya benar.

Melalui penelusuran berbagai literatur, baik nasional maupun internasional,  penulis mencoba untuk melihat bagaimana seharusnya korban kejahatan memperoleh  perlindungan hukum serta bagaimana sistem hukum nasional selama ini mengatur perihal  perlindungan kepada korban kejahatan. Dalam beberapa perundang-undang nasional  permasalahan perlindungan korban kejahatan memang sudah diatur namun sifatnya  masih parsial dan tidak berlaku secara umum untuk semua korban kejahatan.
Dengan adanya berbagai permasalahan mengenai jenis korban dalam kehidupan  masyarakat, maka ini pulalah yang melatarbelakangi lahirnya cabang ilmu baru yang  disebut dengan “viktimologi.” Viktimologi atau victimology (istilah dalam bahasa   Inggris) berasal dari istilah Latin, yaitu victima yang berarti korban, sedangkan logos  yang berarti ilmu pengetahuan. Maka secara singkat, viktimologi adalah ilmu yang  mempelajari korban dari berbagai aspek.
Walaupun disadari, bahwa korban-korban kejahatan itu, disatu pihak dapat terjadi  karena perbuatan/tindakan seseorang (orang lain), seperti korban pencurian, pembunuhan  dan sebagainya (yang lazimnya disebut sebagai korban kejahatan), dan dilain pihak,  korban dapat pula terjadi oleh karena peristiwa alam yang berada di luar “jangkauan”  manusia (yang lazimnya disebut sebagai korban bencana alam), yaitu seperti korban  letusan gunung berapi, korban banjir, korban gempa bumi dan lain-lain.
Walaupun kategori korban di atas sungguh-sungguh terjadi berdasarkan realita,  akan tetapi menurut Andi Mattalatta, pengertian korban yang mendasari lahirnya kajian  viktimologi, pada awalnya hanya terbatas pada korban kejahatan. Maka atas dasar ini  pulalah, tanpa mengecilkan arti dari upaya pengkajian jenis korban selain dari korban  kejahatan yang ada dalam masyarakat tersebut, pengkajian masalah korban dalam tulisan  ini hanya difokuskan pada jenis korban yang timbul sebagai akibat dari pelanggaran  terhadap ketentuan hukum pidana materil, yang lazimnya, seperti yang disebutkan di atas  disebut sebagai korban kejahatan. Korban dalam konteks ini merupakan korban dalam  pengertian yang konvensional dan sekaligus sebagai cikal bakal yang menjadi objek  kajian pada awal lahirnya viktimologi (klasik).
Setiap terjadi kejahatan maka dapat dipastikan akan menimbulkan kerugian pada  korbannya. Korban kejahatan harus menanggung kerugian karena kejahatan, baik materiil  maupun imateriil. Korban kejahatan yang pada dasarnya merupakan pihak yang paling menderita dalam suatu tindak pidana, tidak memperoleh perlindungan sebanyak yang   diberikan oleh undang-undang kepada pelaku kejahatan. Akibatnya, pada saat pelaku  kejahatan telah dijatuhi sanksi pidana oleh pengadilan, kondisi korban kejahatan tidak  dipedulikan  Dalam penyelesaian perkara pidana, sering kali hukum terlalu mengedepankan  hak-hak tersangka/terdakwa, sementara hak-hak korban diabaikan, sebagaimana  dikemukakan oleh Andi Hamzah: “Dalam membahas hukum acara pidana khususnya  yang berkaitan dengan hak-hak asasi manusia, ada kecenderungan untuk mengupas halhal yang berkaitan dengan hak-hak tersangka tanpa memperhatikan pula hak-hak para  korban.” .
 Dalam penyelesaian perkara pidana, banyak ditemukan korban kejahatan kurang  memperoleh perlindungan hukum yang memadai, baik perlindungan yang sifatnya  imaterial maupun materiil. Korban kejahatan ditempatkan sebagai alat bukti yang  memberikan keterangan yaitu sebagai saksi sehingga kemungkinan bagi korban untuk  memperoleh keleluasaan dalam memperjuangkan haknya adalah kecil.
 Korban tidak  diberikan kewenangan dan tidak terlibat secara aktif dalam proses penyidikan dan  persidangan sehingga ia kehilangan kesempatan untuk memperjuangkan hak-hak dan  memulihkan keadaannya akibat suatu kejahatan.
 Tidak jarang juga ditemukan koban yang mengalami penderitaan (fisik, mental,  atau materiil) akibat dari suatu tindak pidana yang menimpa dirinya, tidak  mempergunakan hak-hak yang seharusnya dia terima karena berbagai alasan, misalnya   Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara  Norma dan Realita, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm.
 Andi Hamzah, Perlindungan Hak-hak Asasi Manusia dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara  Pidana, Bina Cipta, Bandung, 1986, hlm. 33.
 Chaerudin, Syarif Fadillah, Korban Kejahatan dalam Perspektif Viktimologi dan Hukum Pidana  Islam, Ghalia Pers, Jakarta, 2004, hlm. 47.
 Ibid, hlm. 49.
 korban menolak untuk mengajukan ganti kerugian karena dikhawatirkan prosesnya akan  menjadi semakin panjang dan berlarut-larut yang dapat berakibat pada timbulnya  penderitaan yang berkepanjangan.
Salah satu bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan dan merupakan hak  dari seseorang yang  menjadi korban tindak pidana adalah untuk mendapatkan  kompensasi dan restitusi. Kompensasi diberikan oleh negara kepada korban pelanggaran  HAM yang berat, sedangkan restitusi merupakan ganti rugi pada korban tindak pidana  yang diberikan oleh pelaku sebagai bentuk pertanggungjawabannya.
 Terkait dengan hal di atas, salah satu contoh bahwa penyelesaian secara hukum  maupun politik terhadap pelanggaran HAM seringkali tidak berpihak kepada korban,  namun justru dilakukan untuk melindungi para pelaku dapat dikemukakan dalam konteks  berikut ini: Ada beberapa peraturan di Indonesia yang mengatur pemberian kompensasi dan  restitusi. Namun dalam kenyataannya aturan tersebut tidak implementatif. Pengaturan  pemberian ganti rugi itu misalnya bisa dilihat pada KUHP (Kitab Undang-undang  Hukum Pidana), KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana), dan juga  Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang  kemudian melahirkan Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi,  Restitusi dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran HAM Yang Berat. Namun  berdasarkan pengamatan, sangat jarang ada korban tindak pidana yang mendapatkan  ganti rugi. Kasus-kasus HAM yang terjadi di Indonesia sampai saat ini belum pernah ada  korban pelanggaran HAM yang mendapat kompensasi dan restitusi walaupun dalam amar  putusan pengadilan korban berhak untuk mendapatkan kompensasi dan restitusi.
 Ibid, hlm. 55.
 Berdasarkan catatan pengadilan HAM ad hod Timor-Timur, hak-hak korban  pelanggaran HAM yang berat tidak pernah disinggung. Baik jaksa maupun hakim  tidak pernah menyinggung sedikitpun upaya-upaya pemulihan bagi korban,  padahal pelanggaran HAM yang berat di Timor-Timur telah diakui terjadi oleh  pengadilan. Proses peradilan hanya difungsikan untuk mencari siapa pelaku dan  menghukumnya, tetapi keadilan bagi korban secara nyata tidak menjadi bagian  penting. Hak atas kompensasi, restitusi dan rehabilitasi yang secara jelas  dinyatakan oleh Undang-undang bahkan tidak dapat dijalankan sama sekali.
  Supriady Widodo Eddyono, Wahyu Wagiman, Zainal Abidin, Perlindungan Saksi dan Korban  Pelanggaran HAM Berat, Elsam , Jakarta, 2005, hlm. 3.

Tidak diberikannya hak-hak korban yang secara tegas telah dinyatakan dalam  ketentuan perundang-undangan dapat menimbulkan ketidakpercayaan korban bahwa hakhak mereka akan dilindungi bahkan diberikan ketika mereka berpartisipasi dalam proses  peradilan untuk mendukung penegakan hukum. Hal ini menunjukkan, bukan saja dapat  dikatakan bahwa negara gagal mewujudkan sistem peradilan yang kompeten dan adil,  negara gagal menjamin sistem kesejahteraan dari warga negaranya yang menjadi korban  pelanggaran HAM, karena hak korban akan ganti rugi pada dasarnya merupakan bagian  integral dari hak asasi bidang kesejahteraan/jaminan sosial (social security). Lebih jauh  lagi bahwa negara juga telah mengurangi hak-hak dari saksi dan korban yang telah diakui  oleh dunia internasional.
Download lengkap Versi Word

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi