BAB I.
PENDAHULUAN.
B. Latar Belakang.
Globalisasi
ditandai dengan berakhirnya perang dingin, peningkatan perdagangan internasional, revolusi teknologi
komunikasi, kemajuan bidang transportasi,
dan meningkatnya kreativitas perekonomian dengan menggunakan komputer dan internet. Lebih dari itu sistem
yang berlaku akan berubah lebih efisien
dan produktif. Peradilan juga akan terkena dampak globalisasi. Hal ini diungkapkan Hilario G, yaitu: “Globalisasi adalah pergerakan ekonomi dari
masa depan. Dunia Global menyodorkan
banyak kesempatan untuk mencapai peradilan yang independen.
Dalam kalimat yang
senapas, hal itu juga mengandung jebakan riil yang akan mengikis independensi peradilan itu sendiri.” Gejolak moneter pada pertengahan tahun 1997
menimbulkan kesulitan besar bagi
perekonomian nasional, terlebih lagi muncul kondisi sebagian pelaku usaha/debitor tidak mampu memenuhi kewajiban
pembayaran utang kepada para lembaga
pembiayaan/kreditor. Hal ini merupakan akibat ekspansi usaha yang mereka lakukan. Untuk mengatasi persoalan
tersebut, pada 22 April 1998 pemerintah
menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 1 tahun 1998 tentang Perubahan
Atas Undang-undang Banyak negara,
khususnya negara berkembang, harus menyesuaikan diri dan memperbaharui sistem peradilan mereka,
karena desakan kebutuhan internasional,
yakni masuknya perusahaan-perusahaan asing (multinasional).
Kondisi ini
ditenggarai sebagai salah satu faktor pendorong perbaikan instrumen badan peradilan di negara
berkembang, termasuk di Indonesia.
Diani, Eksistensi Pengadilan Niaga Dan
Perkembangannya Dalam Era Globalisasi, Direktorat Hukum Dan Hak Asasi Manusia,
http\\www.google.com.dessendingopinion, Diakses tanggal 23 Juni 2010.
Kepailitan yang kemudian disahkan menjadi
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang
Kepailitan (selanjutnya disingkat UUK) pada 24 Juli 1998, UUK merupakan penyempurnaan dari Failissement Verordening
Staatsblad tahun 1905 Nomor 217 jo.
Staatsblad tahun 1906 No. 348. Tetapi undang-undang tersebut hanya berlaku beberapa tahun saja
karena dengan keluarnya UndangUndang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,
maka Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tersebut dicabut.
UUK diharapkan
menjadi sarana yang selanjutnya dicabut
dengan efektif yang dapat digunakan
secara cepat sebagai landasan penyelesaian utangpiutang. Salah satu soal
penting setelah penyempurnaan peraturan kepailitan adalah pembentukan Pengadilan Niaga sebagai
pengadilan khusus dalam lingkungan
Peradilan Umum. Pengadilan Niaga yang pertama dibentuk adalah Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
Selanjutnya
berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 97 tahun 1999, 18 Agustus 1998, didirikan Pengadilan Niaga di
Makassar, Surabaya, Medan, dan Semarang.
Pengadilan Niaga sangat diperlukan untuk menyelesaikan sengketasengketa niaga
secara cepat; juga menyelesaikan aneka masalah kepailitan, seperti masalah pembuktian, verifikasi
utang, actio pauliana, dan lain sebagainya.
Sistem pemeriksaan
di tingkat Pengadilan, termasuk Pengadilan Niaga mengkondisikan adanya tiga hakim yang
memeriksa suatu perkara kepailitan.
Perubahan kondisi
peradilan Indonesia khususnya dengan keluarnya UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman pada Pasal ayat
(3) dan (4) memberikan konstribusi terjadinya perbedaan pendapat para hakim yang memeriksa suatu perkara termasuk
perkara kepailitan dalam hal menjatuhkan
putusan. Perbedaan pendapat dalam memutuskan suatu perkara inilah yang disebut dengan istilah “dissenting
opinion ”.
Majelis hakim yang
menangani suatu perkara menurut kebiasaan dalam hukum acara adalah berjumlah 3 (tiga) orang,
dari ketiga orang anggota majelis hakim
ini apabila dalam musyawarah menjelang pengambilan putusan terdapat perbedaan pendapat diantara satu sama lain
maka putusan akan diambil dengan jalan
voting atau kalau hal ini tidak memungkinkan, pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa yang akan
dipakai dalam putusan.
Sedangkan bagi
hakim anggota yang kalah suara dalam menentukan putusan, dirinya harus menerima pendapat mayoritas
majelis hakim dan dapat menuliskan
pendapatnya yang berbeda dengan putusan dalam buku khusus yang dikelola oleh Ketua Pengadilan Negeri dan
bersifat rahasia.
Kerahasiaan
pendapat hakim yang kalah suara dalam
menentukan putusan, sebagaimana yang
tertuang dalam Buku II MA tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan
telah membuat peradilan menjadi tidak
terbuka dan masyarakat yang menaruh harapan tinggi terhadap para hakim untuk mencari keadilan semakin
tidak percaya lagi pada dunia peradilan,
timbul kecurigaan dari masyarakat tentang adanya praktek KKN dan mafia peradilan.
Permasalahan inilah
yang hendak Penulis kaji secara mendalam, kaitannya dengan pencantuman perbedaan majelis
hakim dalam putusan (Dissenting Opinion)
dikaitkan dalam perkara kepailitan. Berangkat dari hal tersebut, Penulis berharap bahwa dengan
penulisan Tugas Akhir (skripsi) ini, kita
akan mengetahui dan memahami penerapan praktis Dissenting Opinion dalam lingkup Hukum Acara Pengadilan Niaga
dalam perkara kepailitan serta mengetahui
arti pentingnya Dissenting Opinion dalam rangka penegakkan supremasi hukum di Indonesia khususnya dalam
menciptakan peradilan yang terbuka dan
transparan.
Secara umum dapat
dijabarkan, bahwa di negara yang menganut Sistem Hukum Anglo Saxon meskipun seorang hakim yang
memiliki pendapat yang berbeda dengan
putusan hakim mayoritas, dirinya harus mengalah dan mengakui putusan hakim mayoritas tetapi
pendapat dari hakim yang berbeda dengan
putusan akan ikut dilampirkan dalam putusan dan menjadi Dissenting Opinion. Belajar dari sini, hakim tidak selalu
terpaku pada sistem hukum yang ada,
untuk mewujudkan keadilan para hakim berkewajiban menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang
ada dalam masyarakat atau dengan kata
lain melakukan terobosan hukum agar tidak terjadi kekosongan hukum.
Pelaksanaan
Dissenting Opinion sebagai salah satu terobosan hukum yang tidak memungkinkan untuk dilakukan pada
Sistem Hukum Eropa Kontinental seperti
Indonesia, karena selain Peraturan Perundang-undangannya yang sudah ada, juga ketentuan yang ada dalam
Buku II MA melarang untuk dilakukan
Dissenting Opinion tetapi ternyata hakim ad hoc yang menangani perkara kepailitan dapat melakukan Dissenting
Opinion dengan dasar penguat PERMA
Nomor. 2 tahun 2000 tentang Perubahan dan Penyempurnaan PERMA Nomor 3 tahun 1999 tentang Hakim Ad Hoc yang
dibuat MA untuk mengisi kekosongan hukum
dalam hal mengatur Dissenting Opinion.
Nilai-nilai positif
yang bisa diambil dari pelaksanaan Dissenting Opinion selain dapat digunakan masyarakat
untuk mengontrol hakim adalah : 1) Akan diketahui pendapat hakim yang berbobot,
dalam upaya hukum banding atau kasasi
akan menjadi pertimbangan pendapat hakim mana dalam majelis tingkat pertama yang sejalan
dengan putusan banding atau kasasi
tersebut.
2) Untuk indikator menentukan jenjang karir
hakim, karena dari sinilah bisa dijadikan
pijakan bersama dalam standar penentuan pangkat dan jabatan, sehingga untuk mengukur prestasi hakim tidak
hanya dilihat dari segi usia dan etos
kerja semata. Akan tetapi juga mulai dipikirkan penilaian prestasi hakim berdasarkan kualitas putusan hakim.
3) Sebagai upaya untuk menghindari kecurigaan
dari masyarakat terhadap praktek KKN dan
mafia peradilan.
4) Bahwa dengan Dissenting Opinion, bisa
diketahui apakah putusan hakim tersebut
sesuai dengan aspirasi hukum yang berkembang dalam masyarakat.
5) Dissenting Opinion juga dapat dipakai
mengukur apakah suatu Peraturan Perundang-undangan
cukup responsif.
Kebijakkan untuk memberlakukan Dissenting
Opinion, harus didukung juga kemudahan
bagi masyarakat untuk mendapatkan salinan putusan pengadilan, karena kalau saja masyarakat tetap
kesulitan untuk mendapatkan salinan
putusan pengadilan seperti saat ini, kebijakkan untuk memberlakukan Dissenting Opinion takkan berarti karena
masyarakat tetap saja kesulitan untuk mengetahui
pendapat hakim yang berbeda dengan putusan.
Tentunya banyak
kondisi dari perubahan dan perkembangan hukum di Indonesia yang memberikan pengaruh terhadap
terjadinya dissenting opinion.
Dalam hukum
kepailitan khususnya dengan dibentuknya Pengadilan Niaga sebagai pengadilan yang berwenang memeriksa perkara
kepailitan maka keadaan ini juga sangat
memberikan andil yang besar terjadinya dessending opinion. Belum lagi dicampurnya antara Hakim
Ad-Hoc dengan Hakim Karir dalam
memeriksa suatu perkara kepailitan tentunya sangat sensitif dalam melahirkan perbedaan pendapat para hakim dalam
memutuskan suatu perkara kepailitan.
Kondisi apapun yang diciptakan dari keadaan di atas
tentunya suatu hal yang perlu diamati
dalam proses hukum kepailitan yaitu tercapai dan terpenuhinya kepentingan hukum pihak-pihak
yang berperkara dalam suatu proses
pemeriksaan perkara di tingkat Pengadilan Niaga.
Download lengkap Versi Word
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi