Selasa, 22 April 2014

Skripsi Hukum: SUATU TINJAUAN TERHADAP DISENTING OPINION DALAM PENYELESAIAN PERKARA KEPAILITAN

BAB I.
PENDAHULUAN.
B. Latar Belakang.
Globalisasi ditandai dengan berakhirnya perang dingin, peningkatan  perdagangan internasional, revolusi teknologi komunikasi, kemajuan bidang  transportasi, dan meningkatnya kreativitas perekonomian dengan menggunakan  komputer dan internet. Lebih dari itu sistem yang berlaku akan berubah lebih  efisien dan produktif. Peradilan juga akan terkena dampak globalisasi. Hal ini  diungkapkan Hilario G, yaitu:  “Globalisasi adalah pergerakan ekonomi dari masa depan. Dunia Global  menyodorkan banyak kesempatan untuk mencapai peradilan yang independen.

Dalam kalimat yang senapas, hal itu juga mengandung jebakan riil yang akan  mengikis independensi peradilan itu sendiri.”  Gejolak moneter pada pertengahan tahun 1997 menimbulkan kesulitan  besar bagi perekonomian nasional, terlebih lagi muncul kondisi sebagian pelaku  usaha/debitor tidak mampu memenuhi kewajiban pembayaran utang kepada  para lembaga pembiayaan/kreditor. Hal ini merupakan akibat ekspansi usaha  yang mereka lakukan. Untuk mengatasi persoalan tersebut, pada 22 April 1998  pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang  (Perpu) Nomor 1 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang  Banyak negara, khususnya negara berkembang, harus menyesuaikan diri  dan memperbaharui sistem peradilan mereka, karena desakan kebutuhan  internasional, yakni masuknya perusahaan-perusahaan asing (multinasional).
Kondisi ini ditenggarai sebagai salah satu faktor pendorong perbaikan  instrumen badan peradilan di negara berkembang, termasuk di Indonesia.
 Diani, Eksistensi Pengadilan Niaga Dan Perkembangannya Dalam Era Globalisasi, Direktorat  Hukum Dan Hak Asasi Manusia, http\\www.google.com.dessendingopinion, Diakses tanggal 23  Juni 2010.
  Kepailitan yang kemudian disahkan menjadi Undang-undang Nomor 4 Tahun  1998 tentang Kepailitan (selanjutnya disingkat UUK) pada 24 Juli 1998, UUK  merupakan penyempurnaan dari Failissement Verordening Staatsblad tahun  1905 Nomor 217 jo. Staatsblad tahun 1906 No. 348. Tetapi undang-undang  tersebut hanya berlaku beberapa tahun saja karena dengan keluarnya UndangUndang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban  Pembayaran Utang, maka Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tersebut  dicabut.
UUK diharapkan menjadi sarana  yang selanjutnya dicabut dengan  efektif yang dapat digunakan secara cepat sebagai landasan penyelesaian utangpiutang. Salah satu soal penting setelah penyempurnaan peraturan kepailitan  adalah pembentukan Pengadilan Niaga sebagai pengadilan khusus dalam  lingkungan Peradilan Umum. Pengadilan Niaga yang pertama dibentuk adalah  Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
Selanjutnya berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 97 tahun 1999, 18  Agustus 1998, didirikan Pengadilan Niaga di Makassar, Surabaya, Medan, dan  Semarang. Pengadilan Niaga sangat diperlukan untuk menyelesaikan sengketasengketa niaga secara cepat; juga menyelesaikan aneka masalah kepailitan,  seperti masalah pembuktian, verifikasi utang,  actio pauliana, dan lain  sebagainya.
Sistem pemeriksaan di tingkat Pengadilan, termasuk Pengadilan Niaga  mengkondisikan adanya tiga hakim yang memeriksa suatu perkara kepailitan.
Perubahan kondisi peradilan Indonesia khususnya dengan keluarnya UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman pada Pasal  ayat (3) dan (4) memberikan konstribusi terjadinya perbedaan pendapat para  hakim yang memeriksa suatu perkara termasuk perkara kepailitan dalam hal  menjatuhkan putusan. Perbedaan pendapat dalam memutuskan suatu perkara  inilah yang disebut dengan istilah “dissenting opinion ”.
Majelis hakim yang menangani suatu perkara menurut kebiasaan dalam  hukum acara adalah berjumlah 3 (tiga) orang, dari ketiga orang anggota majelis   hakim ini apabila dalam musyawarah menjelang pengambilan putusan terdapat  perbedaan pendapat diantara satu sama lain maka putusan akan diambil dengan  jalan voting atau kalau hal ini tidak memungkinkan, pendapat hakim yang  paling menguntungkan bagi terdakwa yang akan dipakai dalam putusan.
Sedangkan bagi hakim anggota yang kalah suara dalam menentukan putusan,  dirinya harus menerima pendapat mayoritas majelis hakim dan dapat  menuliskan pendapatnya yang berbeda dengan putusan dalam buku khusus  yang dikelola oleh Ketua Pengadilan Negeri dan bersifat rahasia.
Kerahasiaan pendapat hakim yang kalah  suara dalam menentukan  putusan, sebagaimana yang tertuang dalam Buku II MA tentang Pedoman  Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan telah membuat peradilan  menjadi tidak terbuka dan masyarakat yang menaruh harapan tinggi terhadap  para hakim untuk mencari keadilan semakin tidak percaya lagi pada dunia  peradilan, timbul kecurigaan dari masyarakat tentang adanya praktek KKN dan  mafia peradilan.
Permasalahan inilah yang hendak Penulis kaji secara mendalam,  kaitannya dengan pencantuman perbedaan majelis hakim dalam putusan  (Dissenting Opinion) dikaitkan dalam perkara kepailitan. Berangkat dari hal  tersebut, Penulis berharap bahwa dengan penulisan Tugas Akhir (skripsi) ini,  kita akan mengetahui dan memahami penerapan praktis Dissenting Opinion  dalam lingkup Hukum Acara Pengadilan Niaga dalam perkara kepailitan serta  mengetahui arti pentingnya Dissenting Opinion dalam rangka penegakkan  supremasi hukum di Indonesia khususnya dalam menciptakan peradilan yang  terbuka dan transparan.
Secara umum dapat dijabarkan, bahwa di negara yang menganut Sistem  Hukum Anglo Saxon meskipun seorang hakim yang memiliki pendapat yang  berbeda dengan putusan hakim mayoritas, dirinya harus mengalah dan  mengakui putusan hakim mayoritas tetapi pendapat dari hakim yang berbeda  dengan putusan akan ikut dilampirkan dalam putusan dan menjadi Dissenting  Opinion. Belajar dari sini, hakim tidak selalu terpaku pada sistem hukum yang   ada, untuk mewujudkan keadilan para hakim berkewajiban menggali,  mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang ada dalam masyarakat atau  dengan kata lain melakukan terobosan hukum agar tidak terjadi kekosongan  hukum.
Pelaksanaan Dissenting Opinion sebagai salah satu terobosan hukum  yang tidak memungkinkan untuk dilakukan pada Sistem Hukum Eropa  Kontinental seperti Indonesia, karena selain Peraturan Perundang-undangannya  yang sudah ada, juga ketentuan yang ada dalam Buku II MA melarang untuk  dilakukan Dissenting Opinion tetapi ternyata hakim ad hoc yang menangani  perkara kepailitan dapat melakukan Dissenting Opinion dengan dasar penguat  PERMA Nomor. 2 tahun 2000 tentang Perubahan dan Penyempurnaan PERMA  Nomor 3 tahun 1999 tentang Hakim Ad Hoc yang dibuat MA untuk mengisi  kekosongan hukum dalam hal mengatur Dissenting Opinion.
Nilai-nilai positif yang bisa diambil dari pelaksanaan Dissenting  Opinion selain dapat digunakan masyarakat untuk mengontrol hakim adalah :  1)  Akan diketahui pendapat hakim yang berbobot, dalam upaya hukum  banding atau kasasi akan menjadi pertimbangan pendapat hakim mana  dalam majelis tingkat pertama yang sejalan dengan putusan banding atau  kasasi tersebut.
2)  Untuk indikator menentukan jenjang karir hakim, karena dari sinilah bisa  dijadikan pijakan bersama dalam standar penentuan pangkat dan jabatan,  sehingga untuk mengukur prestasi hakim tidak hanya dilihat dari segi usia  dan etos kerja semata. Akan tetapi juga mulai dipikirkan penilaian prestasi  hakim berdasarkan kualitas putusan hakim.
3)  Sebagai upaya untuk menghindari kecurigaan dari masyarakat terhadap  praktek KKN dan mafia peradilan.
4)  Bahwa dengan Dissenting Opinion, bisa diketahui apakah putusan hakim  tersebut sesuai dengan aspirasi hukum yang berkembang dalam masyarakat.
5)  Dissenting Opinion juga dapat dipakai mengukur apakah suatu Peraturan  Perundang-undangan cukup responsif.
 Kebijakkan untuk memberlakukan Dissenting Opinion, harus didukung  juga kemudahan bagi masyarakat untuk mendapatkan salinan putusan  pengadilan, karena kalau saja masyarakat tetap kesulitan untuk mendapatkan  salinan putusan pengadilan seperti saat ini, kebijakkan untuk memberlakukan  Dissenting Opinion takkan berarti karena masyarakat tetap saja kesulitan untuk  mengetahui pendapat hakim yang berbeda dengan putusan.
Tentunya banyak kondisi dari perubahan dan perkembangan hukum di  Indonesia yang memberikan pengaruh terhadap terjadinya dissenting opinion.
Dalam hukum kepailitan khususnya dengan dibentuknya Pengadilan Niaga  sebagai pengadilan yang berwenang memeriksa perkara kepailitan maka  keadaan ini juga sangat memberikan andil yang besar terjadinya dessending  opinion. Belum lagi dicampurnya antara Hakim Ad-Hoc dengan Hakim Karir  dalam memeriksa suatu perkara kepailitan tentunya sangat sensitif dalam  melahirkan perbedaan pendapat para hakim dalam memutuskan suatu perkara  kepailitan.
Kondisi apapun yang diciptakan dari keadaan di atas tentunya suatu hal  yang perlu diamati dalam proses hukum kepailitan yaitu tercapai dan  terpenuhinya kepentingan hukum pihak-pihak yang berperkara dalam suatu  proses pemeriksaan perkara di tingkat Pengadilan Niaga.
Download lengkap Versi Word

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi