BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang
Masalah.
Hukum
merupakan suatu gejala sosial budaya
yang berfungsi untuk menerapkan
kaidah-kaidah dan pola-pola perikelakuan tertentu terhadap individuindividu
dalam masyarakat. Apabila hukum yang berlaku di dalam masyarakat tidak sesuai dengan kebutuhan- kebutuhan serta
kepentingan-kepentingannya, maka ia akan
mencari jalan keluar serta mencoba untuk menyimpang dari aturanaturan yang ada.
Segala bentuk tingkah laku yang menyimpang yang mengganggu serta merugikan dalam kehidupan bermasyarakat
tersebut diartikan oleh masyarakat
sebagai sikap dan perilaku jahat.
Hukum menetapkan
apa yang harus dilakukan dan atau apa yang boleh dilakukan serta dilarang. Sasaran hukum yang
hendak dituju bukan saja orang yang
nyata-nyata berbuat melawan hukum. Melainkan juga perbuatan hukum yang mungkin akan terjadi, dan kepada alat
perlengkapan negara untuk bertindak menurut
hukum. Sistem bekerjanya hukum yang demikian itu merupakan salah satu bentuk penegakan hukum.
Sejak Orde Baru masalah stabilitas nasional
termasuk tentunya di bidang penegakan
hukum telah menjadi komponen utama dalam pembangunan.
Kejahatan yang
terjadi tentu saja menimbulkan kerugian-kerugian baik kerugian yang bersifat ekonomi materil maupun yang
bersifat immaterial yang menyangkut rasa
aman dan tentram dalam kehidupan bermasyarakat. Beberapa kejahatan yang Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi,
Penerbit: Sinar Grafika, Jakarta. 2006. Hal.1 sulit dijangkau oleh aturan hukum pidana
diantaranya adalah kejahatan korupsi dan
kejahatan money laundering yang telah diatur didalam aturan hukum pidana yang bersifat khusus yaitu dalam UU No.20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi dan UU No.25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Korupsi merupakan
salah satu penyakit masyarakat yang sama dengan jenis kejahatan lain seperti pencurian, sudah
ada sejak manusia bermasyarakat di atas
bumi ini. Yang menjadi masalah adalah meningkatnya korupsi itu seiring dengan kemajuan kemakmuran dan teknologi. Bahkan
ada gejala dalam pengalaman yang
memperlihatkan, semakin maju pembangunan suatu bangsa, semakin meningkat pula kebutuhan dan mendorong
orang untuk melakukan korupsi.
Masalah korupsi sebenarnya bukanlah masalah
baru di Indonesia, karena telah ada sejak
era tahun 1950-an. Bahkan berbagai kalangan menilai bahwa korupsi telah menjadi bagian dari kehidupan,
menjadi suatu sistem dan menyatu dengan
penyelenggaraan pemerintahan negara. Penanggulangan korupsi di era tersebut banyak menemui kegagalan.
Mengingat korupsi di Indonesia terjadi secara
sistematik dan meluas sehingga tidak
hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara
luas, maka pemberantasan korupsi perlu
dilakukan dengan cara luar biasa. Dengan demikian, pemberantasan tindak Andi Hamzah, Perbandingan Pemberantasan
Korupsi di Berbagai Negara, Sinar Grafika,
Jakarta. 2005. Hal.1 (buku 1) Chaerudin,
dkk, Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, P.T Refika Aditama, Bandung. 2008. Hal.
pidana korupsi harus dilakukan dengan cara
yang khusus, antara lain penerapan sistem
pembuktian terbalik yakni pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa.
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan
menggunakan ketentuanketentuan yang ada dalam KUHP dinilai kurang memadai,
karena itu diterapkan dalam keadaan
darurat perang melalui Peraturan Penguasa Perang Pusat AD (P4AD)
Prt/ PERPU/031/1958 tentang Peraturan Pemberantasan Korupsi.
Kemudian pada tahun
1960 dibuatlah UU No. 24 Prp Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak
Pidana Korupsi. Namun hal tersebut tetap
menemui kegagalan disebabkan berbagai institusi yang dibentuk untuk pemberantasan korupsi tidak menjalankan
fungsinya dengan efektif, Namun di dalam
KUHP kewajiban pembuktian dibebankan sepenuhnya kepada Jaksa Penuntut Umum, hal ini sesuai
dengan ketentuan pembuktian yang diatur
dalam KUHP Bab XVI bagian ke empat (Pasal 183 – Pasal 232 KUHAP), sehingga asas pembuktian terbalik di dalam
sistem hukum acara pidana di Indonesia
tidak di atur.
Pada hakikatnya,,
asas Pembalikan Beban Pembuktian dalam Sistem Hukum pidana Indonesia dikenal dalam Tindak
Pidana Korupsi ( UU No. 31 Tahun 1999 jo
UU No. 20 Tahun 2001), Tindak Pidana Pencucian Uang (UU No.
15 Tahun 2002 jo UU
No. 25 Tahun 2003) dan Perlindungan Konsumen (UU No.
8 Tahun 1999) Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 Jo Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
perangkat hukum yang lemah, ditambah dengan
aparat penegak hukum yang tidak sungguh-sungguh
menyadari akibat serius dati tindakan korupsi.
Pada
tahun 1971 dibentuk UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan kemudian pada tahun
1999 diundangkan UU No. 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, yang menganut sistem pembuktian
terbalik terbatas. ini dijamin dalam Pasal 37 yang memungkinkan diterapkannya pembuktian terbalik
yang terbatas terhadap harta benda tertentu dan mengenai perampasan harta
hasil korupsi. UU No. 3 Tahun 1971 dan
UU No. 31 Tahun 1999 pada asasnya tetap mempergunakan teori pembuktian negatif.
Perkembangan teknologi semakin maju pesat,
membawa pengaruh terhadap perkembangan
diberbagai sektor baik di bidang politik, ekonomi, sosial budaya, salah satu yang turut berkembang
dengan pesat adalah masalah kriminalitas,
namun perangkat hukum untuk mencegah dan memberantas kriminalitas itu sendiri belum memadai dan
masih tertinggal jauh, sehingga berbagai
jenis kejahatan baik yang dilakukan oleh perorangan, kelompok ataupun korporasi dengan mudah terjadi, dan
menghasilkan harta kekayaan dalam jumlah besar, kejahatan-kejahatan tersebut tidak
hanya dilakukan dalam batas wilayah satu
negara, namun meluas melintasi batas wilayah negara lain sehingga sering Dan
kemudian di undangannya UU No. 21 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
yakni berupa Sistem Pembalikan Beban
Pembuktian dan Berimbang. Yang mengatur pembuktian terbalik secara lebih jelas yaitu pada Pasal 12 B, 12 C, 37,
37A, 38 A, dan 38 B.
Chaerudin, dkk, op.cit. hal.
Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian
Tindak Pidana Korupsi, P.T Alumni, Bandung.
2007. Hal. 198 (buku 1) disebut sebagai
transnasional crime, dalam kejahatan transnasional harta kekayaan hasil dari kejahatan biasanya oleh pelaku
disembunyikan, kemudian dikeluarkan lagi
seolah-olah dari hasil legal.
Perbuatan Pencucian Uang di samping sangat
merugikan masyarakat, juga sangat
merugikan Negara karena dapat mempengaruhi atau merusak stabilitas perekonoian nasional atau keuangan negara
dalam meningkatnya berbagai kejahatan.
Hal tersebut lebih
dikenal dalam dunia internasional dengan
istilah pencucian uang atau money laundering.
Sebelumnya pada 2001 Indonesia bersama 17
negara lainnya diancam sanksi
internasional. Pada 23 Oktober 2003, FATF, di Stockholm, Swedia, menyatakan Indonesia sebagai negara yang tidak
kooperatif dalam pemberantasan pencucian
uang. Beberapa tahun sebelum itu,
tepatnya 1997 Indonesia telah meratifikasi United Nation Convention Against
Illucit Traffic in Narcitic Drugs and
Psychotropic Substances 1998 ( Konvensi 1998 ). Konsekuensi ratifikasi tersebut, Indonesia harus segera membuat
aturan untuk pelaksanaanya.
Kenyataannya
meskipun sudah ada UU No 15 Tahun 2002, namun penerapannya kurang, sehingga akhirnya masuk daftar hitam
negara yang tidak kooperatif.
Keberadaan
Indonesia berada pada daftar Non Cooperative Countries and Hal yang mendorong pencucian uang di Indonesia
adalah lemahnya penegakan hukum dan
kurangnya profesionalitas aparat penegak hukum, pengaruh globalisasi dan kemajuan internet
yang memungkinkan kejahatan terorganisir
lintas batas.
Bismar Nasution, Rejim Anti-Money Laundering
di Indonesia, Penerbit:Books Terrace &
Library. Bandung. 2005. Hal.
Penjelasan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Territories ( NCCT’s) sesuai dengan
rekomendasi dari Financial Actions Task Force
on Money Laundering. Berbagai upaya selama beberapa tahun, antara Iain dengan membuat UU tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang, mendirikan Pusat Pelaporan
dan Analis Transaksi Keuangan (PPATK), mengeluarkan ketentuan pelaksanaan dan mengadakan kerja sama
internasional, akhirnya membuahkan hasil.
Februari 2006 Indonesia dikeluarkan dari daftar NCCT’s setelah dilakukan, formal monitoring selama satu tahun.
Istilah money
laundering atau pencucian uang memang
relatif mudah untuk diucapkan, akan
tetapi sulit untuk dilakukan investigasi dan penuntutan.
Download lengkap Versi Word
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi