Senin, 21 April 2014

Skripsi Hukum: PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM UNDANG-UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DAN UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang Masalah.
Hukum merupakan  suatu gejala sosial budaya yang berfungsi untuk  menerapkan kaidah-kaidah dan pola-pola perikelakuan tertentu terhadap individuindividu dalam masyarakat. Apabila hukum yang berlaku di dalam masyarakat  tidak sesuai dengan kebutuhan- kebutuhan serta kepentingan-kepentingannya,  maka ia akan mencari jalan keluar serta mencoba untuk menyimpang dari aturanaturan yang ada. Segala bentuk tingkah laku yang menyimpang yang mengganggu  serta merugikan dalam kehidupan bermasyarakat tersebut diartikan oleh  masyarakat sebagai sikap dan perilaku jahat.

Hukum menetapkan apa yang harus dilakukan dan atau apa yang boleh  dilakukan serta dilarang. Sasaran hukum yang hendak dituju bukan saja orang  yang nyata-nyata berbuat melawan hukum. Melainkan juga perbuatan hukum  yang mungkin akan terjadi, dan kepada alat perlengkapan negara untuk bertindak  menurut hukum. Sistem bekerjanya hukum yang demikian itu merupakan salah  satu bentuk penegakan hukum.
 Sejak Orde Baru masalah stabilitas nasional termasuk tentunya di bidang  penegakan hukum telah menjadi komponen utama dalam pembangunan.
Kejahatan yang terjadi tentu saja menimbulkan kerugian-kerugian baik kerugian  yang bersifat ekonomi materil maupun yang bersifat immaterial yang menyangkut  rasa aman dan tentram dalam kehidupan bermasyarakat. Beberapa kejahatan yang   Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Penerbit: Sinar Grafika, Jakarta. 2006. Hal.1   sulit dijangkau oleh aturan hukum pidana diantaranya adalah kejahatan korupsi  dan kejahatan money laundering yang telah diatur didalam aturan hukum pidana  yang bersifat khusus yaitu dalam UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan  Tindak Pidana Korupsi dan UU No.25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana  Pencucian Uang.
Korupsi merupakan salah satu penyakit masyarakat yang sama dengan  jenis kejahatan lain seperti pencurian, sudah ada sejak manusia bermasyarakat di  atas bumi ini. Yang menjadi masalah adalah meningkatnya korupsi itu seiring  dengan kemajuan kemakmuran dan teknologi. Bahkan ada gejala dalam  pengalaman yang memperlihatkan, semakin maju pembangunan suatu bangsa,  semakin meningkat pula kebutuhan dan mendorong orang untuk melakukan  korupsi.
 Masalah korupsi sebenarnya bukanlah masalah baru di Indonesia, karena  telah ada sejak era tahun 1950-an. Bahkan berbagai kalangan menilai bahwa  korupsi telah menjadi bagian dari kehidupan, menjadi suatu sistem dan menyatu  dengan penyelenggaraan pemerintahan negara. Penanggulangan korupsi di era  tersebut banyak menemui kegagalan.
 Mengingat korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik dan meluas  sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah melanggar  hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, maka pemberantasan korupsi  perlu dilakukan dengan cara luar biasa. Dengan demikian, pemberantasan tindak   Andi Hamzah, Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara, Sinar  Grafika, Jakarta. 2005. Hal.1 (buku 1)  Chaerudin, dkk, Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi,  P.T Refika Aditama, Bandung. 2008. Hal.
 pidana korupsi harus dilakukan dengan cara yang khusus, antara lain penerapan  sistem pembuktian terbalik yakni pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa.
 Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan menggunakan ketentuanketentuan yang ada dalam KUHP dinilai kurang memadai, karena itu diterapkan  dalam keadaan darurat perang melalui Peraturan Penguasa Perang Pusat AD  (P4AD)  Prt/ PERPU/031/1958 tentang Peraturan Pemberantasan Korupsi.
Kemudian pada tahun 1960 dibuatlah UU No. 24 Prp Tahun 1960 tentang  Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Namun hal  tersebut tetap menemui kegagalan disebabkan berbagai institusi yang dibentuk  untuk pemberantasan korupsi tidak menjalankan fungsinya dengan efektif,  Namun di dalam KUHP kewajiban pembuktian dibebankan sepenuhnya  kepada Jaksa Penuntut Umum, hal ini sesuai dengan ketentuan pembuktian yang  diatur dalam KUHP Bab XVI bagian ke empat (Pasal 183 – Pasal 232 KUHAP),  sehingga asas pembuktian terbalik di dalam sistem hukum acara pidana di  Indonesia tidak di atur.
Pada hakikatnya,, asas Pembalikan Beban Pembuktian dalam Sistem  Hukum pidana Indonesia dikenal dalam Tindak Pidana Korupsi ( UU No. 31  Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001), Tindak Pidana Pencucian Uang (UU No.
15 Tahun 2002 jo UU No. 25 Tahun 2003) dan Perlindungan Konsumen (UU No.
8 Tahun 1999)  Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo Undang-undang Nomor  31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
 perangkat hukum yang lemah, ditambah dengan aparat penegak hukum yang tidak  sungguh-sungguh menyadari akibat serius dati tindakan korupsi.
  Pada tahun 1971 dibentuk UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan  Tindak Pidana Korupsi dan kemudian pada tahun 1999 diundangkan UU No. 31  Tahun 1999 tentang Pemberantasan  Tindak Pidana Korupsi, yang menganut  sistem pembuktian terbalik terbatas. ini dijamin dalam Pasal 37 yang  memungkinkan diterapkannya pembuktian terbalik yang terbatas terhadap  harta  benda tertentu dan mengenai perampasan harta hasil korupsi. UU No. 3 Tahun  1971 dan UU No. 31 Tahun 1999 pada asasnya tetap mempergunakan teori  pembuktian negatif.
 Perkembangan teknologi semakin maju pesat, membawa pengaruh  terhadap perkembangan diberbagai sektor baik di bidang politik, ekonomi, sosial  budaya, salah satu yang turut berkembang dengan pesat adalah masalah  kriminalitas, namun perangkat hukum untuk mencegah dan memberantas  kriminalitas itu sendiri belum memadai dan masih tertinggal jauh, sehingga  berbagai jenis kejahatan baik yang dilakukan oleh perorangan, kelompok ataupun  korporasi dengan mudah terjadi, dan menghasilkan harta kekayaan dalam jumlah  besar, kejahatan-kejahatan tersebut tidak hanya dilakukan dalam batas wilayah  satu negara, namun meluas melintasi batas wilayah negara lain sehingga sering   Dan kemudian di undangannya UU No. 21 Tahun 2001  tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yakni berupa Sistem Pembalikan  Beban Pembuktian dan Berimbang. Yang mengatur pembuktian terbalik secara  lebih jelas yaitu pada Pasal 12 B, 12 C, 37, 37A, 38 A, dan 38 B.
 Chaerudin, dkk, op.cit. hal.
 Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, P.T Alumni,  Bandung. 2007. Hal. 198 (buku 1)  disebut sebagai transnasional crime, dalam kejahatan transnasional harta kekayaan  hasil dari kejahatan biasanya oleh pelaku disembunyikan, kemudian dikeluarkan  lagi seolah-olah dari hasil legal.
 Perbuatan Pencucian Uang di samping sangat merugikan masyarakat, juga  sangat merugikan Negara karena dapat mempengaruhi atau merusak stabilitas  perekonoian nasional atau keuangan negara dalam meningkatnya berbagai kejahatan.
Hal tersebut lebih dikenal dalam dunia  internasional dengan istilah pencucian uang atau money laundering.
 Sebelumnya pada 2001 Indonesia bersama 17 negara lainnya diancam  sanksi internasional. Pada 23 Oktober 2003, FATF, di Stockholm, Swedia,  menyatakan Indonesia sebagai negara yang tidak kooperatif dalam pemberantasan  pencucian uang.  Beberapa tahun sebelum itu, tepatnya  1997 Indonesia telah  meratifikasi United Nation Convention Against Illucit Traffic in Narcitic Drugs  and Psychotropic Substances 1998 ( Konvensi 1998 ). Konsekuensi ratifikasi  tersebut, Indonesia harus segera membuat aturan untuk pelaksanaanya.
Kenyataannya meskipun sudah ada UU No 15 Tahun 2002, namun penerapannya  kurang, sehingga akhirnya masuk daftar hitam negara yang tidak kooperatif.
Keberadaan Indonesia berada pada daftar Non Cooperative Countries and  Hal yang mendorong pencucian uang di Indonesia adalah lemahnya  penegakan hukum dan kurangnya profesionalitas aparat penegak hukum,  pengaruh globalisasi dan kemajuan internet yang memungkinkan kejahatan  terorganisir lintas batas.
 Bismar Nasution, Rejim Anti-Money Laundering di Indonesia, Penerbit:Books Terrace  & Library. Bandung. 2005. Hal.
 Penjelasan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian  Uang  Territories ( NCCT’s) sesuai dengan rekomendasi dari Financial Actions Task  Force on Money Laundering. Berbagai upaya selama beberapa tahun, antara Iain  dengan membuat UU tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, mendirikan Pusat  Pelaporan dan Analis Transaksi Keuangan (PPATK), mengeluarkan ketentuan  pelaksanaan dan mengadakan kerja sama internasional, akhirnya membuahkan  hasil. Februari 2006 Indonesia dikeluarkan dari daftar NCCT’s setelah dilakukan,  formal monitoring selama satu tahun.
 Istilah money laundering  atau pencucian uang memang relatif mudah  untuk diucapkan, akan tetapi sulit untuk dilakukan investigasi dan penuntutan.
Download lengkap Versi Word

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi