Selasa, 22 April 2014

Skripsi Hukum: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA DALAM PERJANJIAN KERJA DENGAN SISTEM OUTSOURCING DI INDONESIA

BAB I.
PENDAHULUAN.
I.  Latar Belakang Masalah.
Perlindungan hukum terhadap pekerja merupakan pemenuhan hak dasar  yang melekat dan dilindungi oleh konstitusi sebagaimana yang diatur di dalam  Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 “Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan  penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, dan Pasal 33  ayat (1) yang  menyatakan bahwa“ Perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas  kekeluargaan”. Pelanggaran terhadap hak dasar yang dilindungi konstitusi  merupakan pelanggaran hak asasi manusia.

Perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak  dasar pekerja dan menjamin kesamaan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas  dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya dengan  tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha dan kepentingan  pengusaha. Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perlindungan bagi  pekerja Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan  Peraturan Pelaksana dari perundang-undangan di bidang Ketenagakerjaan.
Permasalahan ketenagakerjaan di Indonesia terkait mengenai hubungan  kerja tidak seimbang antara pengusaha dengan buruh dalam pembuatan perjanjian  kerja. Bukan hanya tidak seimbang dalam membuat perjanjian, akan tetapi iklim  persaingan usaha yang makin ketat yang menyebabkan perusahaan melakukan  efisiensi biaya produksi (cost of production).
 Salah satu solusinya adalah dengan system outsourcing, dimana dengan  sistem ini perusahaan dapat menghemat pengeluaran dalam menbiayai sumber  daya manusia (SDM) yang bekerja diperusahaan bersangkutan.
Outsourcing (Alih Daya) dirtikan sebagai pemindahan atau pendelegasian  beberapa proses bisnis kepada suatu badan penyedia jasa, diman badan penyedia  jasa tersebut melakukan proses administrasi dan manajemen berdasarkan definisi  serta criteria yang telah disepakati oleh para pihak.
Outsourcing  (Alih Daya) dalam hukum ketenagakerjaan di Indonesia  diartikan sebagai pemborongan pekerja dan penyedia jasa tenaga kerja pengaturan  hukum outsourching  (Alih Daya) di Indonesia diatur dalam Undang-Undang  ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 (pasal 64, 65 dan 66) dan Keputusan  Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia  No.Kep.101/Men/VI/2004 Tahu 2004 tentang Tata Cara Perizinan Perusahaan  Penyedia Jasa Pekerja/Buruh (Kepmen 101/2004). Pengaturan tetang Outsourcing (Alih Daya) ini sendiri dianggap pemerintah kurang lengkap.
Dalam Inpres No. 3 Tahun 2006 tentang paket Kebijakan Iklim Investasi  disebutkan bahwa Outsourcing (Alih Daya) sebgai salah satu faktor yang harus  diperhatikan dengan serius dalam menarik iklim investasi ke Indonesia. Bentuk  keseriusan pemerintah tersebut dengan menugaskan menteri tenaga kerja untuk  membuat draft  revisi terhadap Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang  Ketenagakerjaan.
Hubungan kerja dengan sistem outsourcing menyebabkan kedudukan para  pihak tidak seimbang. Hubungan kerja adalah suatu hubungan antara seorang   buruh dengan seorang majikan, hubungan kerja hendak menunjukkann kedudukan  kedua belah pihak itu yang pada dasarnya menggambarkan hak-hak dan  kewajiban-kewajiban buruh terhadap majikan serta hak-hak dan kewajibankewajiban terhadap buruh.
 Sebagai konsekuensi sistem terbuka dari hukum perjanjian yang  mengandung asas kebebasan memebuat perjanjian tersebut, maka berdasarkan  Pasal 1338 KUHPerdata, semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai  Dalam suatu perjanjian, dikenal adanya asas kebebasan berkontrak dan  menganut system terbuka. Maksud asas tersebut adalah bahwa setiap orang pada  dasarnya boleh membuat perjanjian mengenai apa saja, sepanjang tidak  bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Peraturan  perundang-undangan mengenai hukum perjanjian pada umumnya juga bersifat  menambah atau pelengkap yang artinya pihak-pihak dalam membuat perjanjian,  bebas untuk menyimpang dari pada ketentuan-ketentuan tersebut, tentunya  sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketentuan  umum.
Para pihak diperbolehkan membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang  menyimpang dari ketentuan hukum perjanjian. Kalau tidak mengatur sendiri  mengenai sesuatu hal, berarti mengenai hal tersebut para pihak akan tunduk  kepada ketentuan undang-undang. Biasanya dalam suatu perjanjian tidak  mengatur secara terperinci semua yang bersangkutan dengan perjanjian hanya  menyetujui hal-hal yang pokok saja, yang lainnya tunduk pada undang-undang.
 Kosidin. Koko, Perjanjian Kerja Perjanjian Perburuhan dan Perjanjian Perusahaan, Mandar  Maju, Bandung, 1999, hlm 1.
 undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dengan menekan pada perkataan  semua, maka Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menyatakan kepada masyarakat,  bahwa diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja atau  tentang apa saja dan perjanjian itu akan mengikat mereka yang membuatnya  sebagai suatu undang-undang.
Akan tetapi perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik sebagaimana  yang tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata. Dari ketentuan Pasal  1338 dapat dimaknai bahwa para pihak bebas menentukan isi dan bentuk dari  suatu perjanjian akan tetapi perjanjian tersebut tidak dapat bertentangan dengan  asas itikat baik yakni tidak bertentangan dengan undang-undang, berlawanan  dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.
Sehingga hak dan kewajiban dari pihak yang menentukan perjanjian  tersebut yaitu pengusaha membatasi kewajibannya untuk memenuhi hak dari  pekerja. Hal ini terkait dalam menentukan hak-hak pekerja seperti pemberian upah  di bawah upah minimum, tidak memberikan keselamatan kerja maupun kesehatan  kerja, tidak ada cuti, jenis dan sifat pekerjaan yang seharusnya merupakan  pekerjaan tetap, atau perjanjian kerja yang bertentangan dengan ketentuan  Ketenagakerjaan di Indonesia.
Posisi pekerja  yang lemah kerena pengusaha menggunakan landasan  hukum berupa perjanjian sebagai alasan untuk menghindari beberapa kewajiban  (meminta izin, permohonan penetapan PHK, pemberian uang pesangon,  penghargaan atas masa kerja dan ganti rugi) yang menjadi tanggungan pengusaha.
 Kecenderungan ini akan merugikan pekerja dalam upaya memperoleh hak-hak  mereka.
Dalam praktek dan perkembangannya Perjanjian kerja dengan sistem  outsourcing  yang dibuat menggunakan perjanjian standar, sehingga dapat  menciptkan ketidak seimbangan bagi para pihak dalam menentukan isi perjanjian.
Salah satu pihak hanya menandatangani saja tanpa adanya kebebasan berkontrak.
Perjanjian standar mensyaratkan bagi pihak yang membutuhkan dengan  kesepakatan take it or leave it. Tanpa menjunjung prinsip konsensualisme yang  berdasarkan kehendak bebas dari para pihak dan asas itikad baik.
Problematika mengenai outsourcing (Alih Daya) memang cukup  bervariasi. Hal ini dikarenakan penggunaan outsourching (Alih Daya) dalam  dunia usaha di Indonesia kini semakin marak dan telah menjadi kebutuhan yang  tidak dapat ditunda-tunda oleh pelaku usaha, sementara regulasi yang ada belum  terlalu memadai untuk mengatur tentang outsourcing yang telah berjalan tersebut.
Berdasarkan pengamatan sementara penulis, bahwa kedudukan para pihak  dalam pembuatan perjanjian kerja dengan sistem outsourcing sangat lemah. Hal  ini disebabkan karena tidak adanya keseimbangan hak dan kewajiban antara  pekerja dengan pihak perusahaan  outsourcing  dan pihak ketiga yang  menggunakan jasa dari perusahaanoutsourcing.
Selain tidak adanya keseimbangan hak dan kewajiban bagi para pekerja,  dalam pembuatan perjanjian kerja tidak berdasarkan pada Undang-Undang No. 13  Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dan ketentuan ketenagakerjaan yang belum   memadai. Perusahaan outsourcing menggunakan perjanjian kerja waktu tertentu,  sehingga hak pekerja dibatasi.
Bahwa dalam pembuatan perjanjian kerja waktu tidak tertentu syarat kerja  yang diperjanjikan dalam sistem outsourcing biasanya menggunakan perjanjian  kerja waktu tidak tertentu lebih rendah dari pada ketentuan dalam peraturan  Ketenagakerjaan, Peraturan Perusahaan, Perjanjian Kerja Bersama.
Sistem outsourcing pada perakteknya menggunakan perjanjian kerja waktu  tertentu melakukan pelanggaran atas ketentuan syarat dalam pembuatan Perjanjian  Kerja Waktu Tertentu karena jenis dan sifat pekerjaan yang diberikan merupakan  pekerjaan tetap yang terus menerus dan merupakan alur produksi, atau dalam  praktek perjanjian kerja waktu tertentu dilaksanakan di sektor industri.

J.  Perumusan Masalah Berdasarkan penjelasa di atas maka, penulis membuat perumusan masalah  sebagai berikut:  1. Apakah pejanjian kerja dengan sistem outsourcing terdapat keseimbangan hak  dan kewajiban bagi pekerja? 2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap pekerja dalam perjanjian kerja  dengan sistem outsourcing?  3. Apakah tenaga kerja dengan sistem outsourcing dapat diikutsertakan sebagai  peserta jamsostek?  K. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah yang telah ditetapkan oleh penulis, maka  penelitian ini bertujuan sebagai berikut:  1. Untuk mengetahui perjanjian dengan sistem  outsourcing  terdapat  keseimbangan hak dan kewajiban bagi pekerja.
Download lengkap Versi Word

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi