BAB I.
PENDAHULUAN.
I. Latar Belakang Masalah.
Perlindungan hukum
terhadap pekerja merupakan pemenuhan hak dasar yang melekat dan dilindungi oleh konstitusi
sebagaimana yang diatur di dalam Pasal
27 ayat (2) UUD 1945 “Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, dan
Pasal 33 ayat (1) yang menyatakan bahwa“ Perekonomian disusun sebagai
usaha bersama atas kekeluargaan”.
Pelanggaran terhadap hak dasar yang dilindungi konstitusi merupakan pelanggaran hak asasi manusia.
Perlindungan
terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja dan menjamin kesamaan serta
perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar
apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan
dunia usaha dan kepentingan pengusaha.
Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perlindungan bagi pekerja Undang-Undang No. 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan dan Peraturan
Pelaksana dari perundang-undangan di bidang Ketenagakerjaan.
Permasalahan
ketenagakerjaan di Indonesia terkait mengenai hubungan kerja tidak seimbang antara pengusaha dengan
buruh dalam pembuatan perjanjian kerja.
Bukan hanya tidak seimbang dalam membuat perjanjian, akan tetapi iklim persaingan usaha yang makin ketat yang
menyebabkan perusahaan melakukan efisiensi
biaya produksi (cost of production).
Salah satu solusinya adalah dengan system
outsourcing, dimana dengan sistem ini
perusahaan dapat menghemat pengeluaran dalam menbiayai sumber daya manusia (SDM) yang bekerja diperusahaan
bersangkutan.
Outsourcing (Alih
Daya) dirtikan sebagai pemindahan atau pendelegasian beberapa proses bisnis kepada suatu badan penyedia
jasa, diman badan penyedia jasa tersebut
melakukan proses administrasi dan manajemen berdasarkan definisi serta criteria yang telah disepakati oleh para
pihak.
Outsourcing (Alih Daya) dalam hukum ketenagakerjaan di
Indonesia diartikan sebagai pemborongan
pekerja dan penyedia jasa tenaga kerja pengaturan hukum outsourching (Alih Daya) di Indonesia diatur dalam
Undang-Undang ketenagakerjaan Nomor 13
tahun 2003 (pasal 64, 65 dan 66) dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik
Indonesia No.Kep.101/Men/VI/2004 Tahu
2004 tentang Tata Cara Perizinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh (Kepmen 101/2004).
Pengaturan tetang Outsourcing (Alih Daya) ini sendiri dianggap pemerintah
kurang lengkap.
Dalam Inpres No. 3
Tahun 2006 tentang paket Kebijakan Iklim Investasi disebutkan bahwa Outsourcing (Alih Daya)
sebgai salah satu faktor yang harus diperhatikan
dengan serius dalam menarik iklim investasi ke Indonesia. Bentuk keseriusan pemerintah tersebut dengan menugaskan
menteri tenaga kerja untuk membuat
draft revisi terhadap Undang-Undang No.
13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
Hubungan kerja
dengan sistem outsourcing menyebabkan kedudukan para pihak tidak seimbang. Hubungan kerja adalah
suatu hubungan antara seorang buruh
dengan seorang majikan, hubungan kerja hendak menunjukkann kedudukan kedua belah pihak itu yang pada dasarnya
menggambarkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban
buruh terhadap majikan serta hak-hak dan kewajibankewajiban terhadap buruh.
Sebagai konsekuensi sistem terbuka dari hukum
perjanjian yang mengandung asas
kebebasan memebuat perjanjian tersebut, maka berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata, semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai Dalam
suatu perjanjian, dikenal adanya asas kebebasan berkontrak dan menganut system terbuka. Maksud asas tersebut
adalah bahwa setiap orang pada dasarnya
boleh membuat perjanjian mengenai apa saja, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan
dan ketertiban umum. Peraturan perundang-undangan
mengenai hukum perjanjian pada umumnya juga bersifat menambah atau pelengkap yang artinya
pihak-pihak dalam membuat perjanjian, bebas
untuk menyimpang dari pada ketentuan-ketentuan tersebut, tentunya sepanjang tidak bertentangan dengan
undang-undang, kesusilaan dan ketentuan umum.
Para pihak
diperbolehkan membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari ketentuan hukum perjanjian.
Kalau tidak mengatur sendiri mengenai
sesuatu hal, berarti mengenai hal tersebut para pihak akan tunduk kepada ketentuan undang-undang. Biasanya dalam
suatu perjanjian tidak mengatur secara
terperinci semua yang bersangkutan dengan perjanjian hanya menyetujui hal-hal yang pokok saja, yang
lainnya tunduk pada undang-undang.
Kosidin. Koko, Perjanjian Kerja Perjanjian
Perburuhan dan Perjanjian Perusahaan, Mandar Maju, Bandung, 1999, hlm 1.
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Dengan menekan pada perkataan semua,
maka Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menyatakan kepada masyarakat, bahwa diperbolehkan membuat perjanjian yang
berupa dan berisi apa saja atau tentang
apa saja dan perjanjian itu akan mengikat mereka yang membuatnya sebagai suatu undang-undang.
Akan tetapi
perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3)
KUHPerdata. Dari ketentuan Pasal 1338
dapat dimaknai bahwa para pihak bebas menentukan isi dan bentuk dari suatu perjanjian akan tetapi perjanjian
tersebut tidak dapat bertentangan dengan asas itikat baik yakni tidak bertentangan
dengan undang-undang, berlawanan dengan
kesusilaan baik atau ketertiban umum.
Sehingga hak dan
kewajiban dari pihak yang menentukan perjanjian tersebut yaitu pengusaha membatasi kewajibannya
untuk memenuhi hak dari pekerja. Hal ini
terkait dalam menentukan hak-hak pekerja seperti pemberian upah di bawah upah minimum, tidak memberikan
keselamatan kerja maupun kesehatan kerja,
tidak ada cuti, jenis dan sifat pekerjaan yang seharusnya merupakan pekerjaan tetap, atau perjanjian kerja yang
bertentangan dengan ketentuan Ketenagakerjaan
di Indonesia.
Posisi pekerja yang lemah kerena pengusaha menggunakan
landasan hukum berupa perjanjian sebagai
alasan untuk menghindari beberapa kewajiban (meminta izin, permohonan penetapan PHK,
pemberian uang pesangon, penghargaan
atas masa kerja dan ganti rugi) yang menjadi tanggungan pengusaha.
Kecenderungan ini akan merugikan pekerja dalam
upaya memperoleh hak-hak mereka.
Dalam praktek dan
perkembangannya Perjanjian kerja dengan sistem outsourcing
yang dibuat menggunakan perjanjian standar, sehingga dapat menciptkan ketidak seimbangan bagi para pihak
dalam menentukan isi perjanjian.
Salah satu pihak
hanya menandatangani saja tanpa adanya kebebasan berkontrak.
Perjanjian standar
mensyaratkan bagi pihak yang membutuhkan dengan kesepakatan take it or leave it. Tanpa
menjunjung prinsip konsensualisme yang berdasarkan
kehendak bebas dari para pihak dan asas itikad baik.
Problematika
mengenai outsourcing (Alih Daya) memang cukup bervariasi. Hal ini dikarenakan penggunaan
outsourching (Alih Daya) dalam dunia
usaha di Indonesia kini semakin marak dan telah menjadi kebutuhan yang tidak dapat ditunda-tunda oleh pelaku usaha,
sementara regulasi yang ada belum terlalu
memadai untuk mengatur tentang outsourcing yang telah berjalan tersebut.
Berdasarkan
pengamatan sementara penulis, bahwa kedudukan para pihak dalam pembuatan perjanjian kerja dengan sistem
outsourcing sangat lemah. Hal ini
disebabkan karena tidak adanya keseimbangan hak dan kewajiban antara pekerja dengan pihak perusahaan outsourcing
dan pihak ketiga yang menggunakan
jasa dari perusahaanoutsourcing.
Selain tidak adanya
keseimbangan hak dan kewajiban bagi para pekerja, dalam pembuatan perjanjian kerja tidak
berdasarkan pada Undang-Undang No. 13 Tahun
2003 tentang ketenagakerjaan dan ketentuan ketenagakerjaan yang belum memadai. Perusahaan outsourcing menggunakan
perjanjian kerja waktu tertentu, sehingga
hak pekerja dibatasi.
Bahwa dalam
pembuatan perjanjian kerja waktu tidak tertentu syarat kerja yang diperjanjikan dalam sistem outsourcing biasanya
menggunakan perjanjian kerja waktu tidak
tertentu lebih rendah dari pada ketentuan dalam peraturan Ketenagakerjaan, Peraturan Perusahaan,
Perjanjian Kerja Bersama.
Sistem outsourcing
pada perakteknya menggunakan perjanjian kerja waktu tertentu melakukan pelanggaran atas ketentuan
syarat dalam pembuatan Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu karena jenis dan sifat pekerjaan yang diberikan merupakan pekerjaan tetap yang terus menerus dan
merupakan alur produksi, atau dalam praktek
perjanjian kerja waktu tertentu dilaksanakan di sektor industri.
J. Perumusan Masalah Berdasarkan penjelasa di
atas maka, penulis membuat perumusan masalah sebagai berikut: 1. Apakah pejanjian kerja dengan sistem
outsourcing terdapat keseimbangan hak dan
kewajiban bagi pekerja? 2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap pekerja dalam
perjanjian kerja dengan sistem
outsourcing? 3. Apakah tenaga kerja
dengan sistem outsourcing dapat diikutsertakan sebagai peserta jamsostek? K. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan
masalah yang telah ditetapkan oleh penulis, maka penelitian ini bertujuan sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui perjanjian dengan
sistem outsourcing terdapat keseimbangan hak dan kewajiban bagi pekerja.
Download lengkap Versi Word
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi