BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tindak Pidana adalah suatu perbuatan yang bila dilanggar
akan mendapatkan sanksi yang jelas dan
sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (yang selanjutnya disebut KUHP). Dari jenis tindak pidana dalam
KUHP terdapat jenis tindak pidana yang
hanya dapat dilakukan penuntutan apabila ada
pengaduan dari pihak yang dirugikan, hal ini diatur dalam Bab VII KUHP
tentang mengajukan dan menarik kembali
pengaduan dalam hal kejahatan-kejahatan yang
hanya dituntut atas pengaduan.
Pengaduan merupakan
hak dari korban untuk diadakan penuntutan atau
tidak dilakukan penuntutan karena menyangkut kepentingan korban, untuk
itu dalam perkara delik aduan diberikan
jangka waktu pencabutan perkara yang diatur
dalam Pasal 75 KUHP.
Hal ini dilakukan
agar korban dapat mempertimbangankan dengan melihat dampak yang akan ditimbulkan bagi korban
apabila perkara tersebut tetap
dilanjutkan atau tidak, diadakanya delik aduan adalah untuk melindungi
pihak yang dirugikan dan memberikan
kesempatan kepada pihak yang berkepentingan
untuk menyelesaikan perkara yang berlaku dalam masyarakat.
Delik aduan
kekerasan dalam rumah tangga diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (yang
selanjutnya disebut UUPKDRT), dimana dalam Pasal 51 dan 52 secara
tegas disebutkan bahwa : “Tindak Pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat
(4) dan Pasal 45 ayat (2) adalah Delik Aduan”. Akan tetapi menarik untuk
dibahas lebih lanjut, apabila pengadu
delik aduan kekerasan dalam rumah tangga setelah adanya perdamaian lalu mencabut pengaduan
dengan tenggang waktu masih dalam batas
Pasal 75 KUHP pada proses penyidikan ditingkat penyidik (kepolisian yaitu POLRES Deli Serdang), namun
perkara tetap dilimpahkan oleh penyidik
kepada penuntut umum.
Demikian juga pada
saat perkara tersebut sampai pada tingkat penuntut umum, pengadu juga telah mengajukan kembali
pencabutan pengaduan kepada penuntut
umum (KEJARI Lubuk Pakam). Namun perkaranya juga dilimpahkan ke pengadilan.
Bahwa walaupun
pengadu telah mencabut pengaduannya sebagaimana
dimaksud diatas namun Pengadilan Negeri Lubuk Pakam tetap menghukum terdakwa (suami dari pengadu).
Mencermati putusan
Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No. Reg.:
1276/Pid.B/2007/PN.LP, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pencabutan
delik aduan (pencabutan pengaduan yang
dilakukan oleh seorang istri terhadap
suaminya) setelah didahului dengan perdamaian tidak menjadi
pertimbangan institusi penegak hukum
yang mengakibatkan terdakwa dihukum dengan
hukuman pidana penjara 3 (tiga) bulan dan manetapkan hukuman tersebut
tidak perlu dijalani sebelum adanya
perintah hakim karena terdakwa bersalah telah
melakukan suatu kesalahan dalam suatu syarat yang telah ditentukan dalam
waktu 6 (enam) bulan.
Persoalan diatas
menjadi sangat bertentangan sekali dengan hukum dan merupakan suatu tantangan untuk menguji
antara teori dan praktek, serta apakah
teori tersebut sejalan dengan prakteknya.
B.
Permasalahan Permasalahan yang
akan dibahas dalam penulisan skripsi ini, yaitu : 1. Bagaimana hubungan antara KUHP dan KUHAP
dengan UU No. 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga? 2.
Bagaimanakah akibat hukum yang ditimbulkan dari pencabutan
pengaduan delik aduan kekerasan dalam
rumah tangga? 3. Mengapa institusi
penegak hukum melanjutkan proses penyidikan, penuntutan bahkan sampai menjatuhkan hukuman dalam
sidang antara suami istri dalam putusan
pengadilan No. Reg. : 1276/Pid.B/2007/PN.LP, padahal telah terjadi perdamaian dan diikuti dengan pencabutan
pengaduan oleh pengadu? C. Keaslian Penulisan Penulisan tentang permasalahan
dalam hal pencabutan delik aduan dalam
kasus kekerasan dalam rumah tangga
dan akibatnya dalam peradilan pidana
dianggap asli karena sepengetahuan penulis, judul yang penulis angkat
pada skripsi ini belum pernah diteliti
oleh penulis lain.
Bila dikemudian
hari ternyata ada judul dan permasalahan yang sama sebelum Skripsi ini dibuat saya bertanggung
jawab sepenuhnya.
D. Tujuan Penulisan
dan Manfaat Penulisan Tujuan Penulisan : a)
Untuk mengetahui bagaimana hubungan antara KUHP dengan UU No.
23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga b)
Untuk mengetahui bagaimana pencabutan atau mencabut suatu delik aduan kekerasan dalam rumah tangga dan apa
akibatnya apabila suatu delik aduan
tersebut dicabut c) Untuk mengetahui
apakah hal-hal tersebut yang telah ditentukan
didalam KUHP dan UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga telah sesuai
dengan prakteknya.
Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan skripsi ini adalah : a)
Menambah ilmu pengetahuan tentang delik aduan pada umumnya dan khususnya dalam delik aduan kekerasan dalam
rumah tangga b) Memberikan masukan
kepada masyarakat agar lebih mengerti dan
memahami masalah dan hambatan apa yang dihadapi bila terjadi peristiwa delik aduan kekerasan dalam rumah
tangga dalam kehidupan sehari-hari
c) Untuk mencegah terjadinya peristiwa
kekerasan dalam rumah tangga didalam
kehidupan masyarakat.
E. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Delik Aduan Untuk memahami apa itu
delik aduan, sebaiknya memahami pengertian
dari kata atau peristilahan “delik” itu sendiri, karena untuk pengertian
tentang delik aduan berpijak pada
defenisi dan pendapat ahli tentang itu, tetapi haruslah lebih dahulu kita arahkan titik pandang dan
titik perhatian kita pada satu
pertanyaan yaitu apa itu delik?
Delik adalah terjemahan dari kata Strafbaar feit. Terjemahan lain
untuk kata strafbaar feit adalah
peristiwa pidana, perbuatan pidana, tindak pidana, perbuatan yang dapat dihukum dan pelanggaran
pidana. Masih belum didapat satu sinonim
dan/atau terjemahan kata yang terpola dan diakui secara umum untuk peristilahan Strafbaar feit ini.
Masing-masing sarjana menyampaikan pengertian
dan pernyataan yang berbeda pula.
Moeljatno
berpendapat bahwa untuk perkataan Strafbaarfeit, peristilahan yang paling tepat adalah perbuatan pidana.
Pemakaian istilah perbuatan dirasakan
sepadan oleh karena dari sana dapat diambil suatu penafsiran, yakni
adalah kelakuan dan akibat yang dilarang
oleh suatu hukum. Alasan lain adalah bahwa
dipakailah perkataan perbuatan, yaitu suatu pengertian abstrak yang
menunjukkan kepada dua keadaan konkrit.
Pertama, adanya kejadian yang tertentu, dan kedua adanya orang yang berbuat yang menimbulkan
kejadian itu 1. bahwa feit dalam strafbaarfeit berarti
handeling, kelakuan atau tingkah laku, . Tegasnya menurut Moeljatno, untuk dapat dikatakan adanya suatu
perbuatan pidana, maka yang paling
penting harus berunsurkan adanya kelakuan dan akibat, adanya kejadian tertentu yang menyertai perbuatan dan adanya
si pembuat.
Dengan berpedoman
pada pendapat Simons dan Van Hamel, Moeljatno
akhirnya menegaskan : 2. bahwa
pengertian strafbaarfeit itu dihubungkan dengan kesalahan orang yang mengadakan kelakuan tadi Bahwa feit diartikan tidak hanya perbuatan
atau kelakuan saja tetapi termasuk juga
didalamnya adalah akibat. Perbuatan pidana hanya menunjuk .
Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, Cetakan
Ketujuh, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2002,
hal 54.
Ibid.,hal 56.
kepada sifat perbuatan saja, yaitu sifat
dilarang dengan ancaman dengan pidana
kalau dilanggar. Perbuatan pidana dipisahkan dari pertanggungjawaban
pidana Pendapat lain sejalan dengan
pengertian istilah strafbaarfeit ini adalah
sebagaimana yang dikemukakan oleh Lamintang yang menyamakan artinya dengan peristiwa pidana sebagai berikut :
“secara harafiah perkataan strafbaarfeit
itu dapat diterjemahkan sebagai sebagian dari suatu kenyataan yang
dapat dihukum, yang sudah barang tentu
tidak tepat, oleh karena kelak akan kita ketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya
adalah manusia sebagai pribadi dan bukan
kenyataan, perbuatan ataupun tindakan” .
Pendapat diatas
terdapat kelemahan pemakaian istilah perbuatan pidana sebagai padanan kata strafbaarfeit yang
diketengahkan. Pemakaian istilah ini,
dinilai kurang tepat karena telah menghilangkan salah satu unsur dari
strafbaarfeit itu sendiri, yakni adanya
pertangungjawaban pidana dari si pembuat atau pelaku.
Dengan pemisahan
ini maka terlepaslah salah satu eleman dari strafbaarfeit dan bila demikian halnya, padanan kata ini
dikesampingkan.
Dengan pemakaian kata peristiwa pidana, maka
hal itu tegas menunjukkan adanya unsur
kelakuan dan atau tindakan, berbuat atau lalai berbuat .
Peristiwa pidana juga mencakup unsur
pertanggungjawaban pidana, seperti yang
dikemukakan oleh Utrecht, yaitu : apakah seseorang mendapat hukuman bergantung pada dua unsur, yaitu
harus ada suatu kelakuan yang . Tidak
hanya perbuatan yang dapat terlihat
secara langsung, tetapi juga perbuatan yang tidak secara langsung (seperti : menyuruh,
menggerakkan dan membantu) adalah juga
dapat dimasukkan sebagai suatu kelakuan.
Ibid., hal 56-57.
P. A. F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana
Indonesia, PT Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1997, hal 181.
Van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya
Paramita, Jakarta, 1983, hal 338.
bertentangan dengan hukum (unsur obyektif)
dan seorang pembuat (dader) yang
bertanggung jawab atas kelakuan yang bertentangan dengan hukum itu
(unsur subjektif) Peristilahan strafbaarfeit juga dapat
disepadankan dengan perkataan delik,
sebagaimana yang dikemukakan oleh Samidjo, yaitu delik adalah suatu
perbuatan atau rangkaian perbuatan
manusia yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan hukum lainnya, yang dilakukan
dengan sengaja atau dengan salah
(schuld), oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan .
Semua perbuatan
yang bertentangan dengan azas-azas hukum menjadi pelanggaran hukum. Dalam hukum pidana, suatu
pelanggaran hukum disebut perbuatan
melawan hukum (wederrechtelijkehandeling). Dengan kata lain, pelanggaran hukum itu, untuk hukum pidana,
memuat unsur melawan hukum. Di antara
pelanggaran hukum itu ada beberapa yang diancam dengan hukuman (pidana), yaitu diancam dengan suatu sanksi
istimewa. Pelanggaran hukum semacam
inilah yang oleh KUHP dikualifikasi peristiwa pidana (strafbaar feit).
Peristilahan
peristiwa pidana sebagai padanan kata strafbaarfeit adalah cukup tepat. Ini didasarkan pada kenyataan bahwa
dari pemahaman istilah peristiwa pidana
itu, yang dapat dirumuskan adalah terhadap peristiwa pidana yang diancam dengan pidana bukan saja yang
berbuat, tetapi juga menyangkut mereka
yang tidak berbuat. Pemahaman itu juga sejalan dengan unsur pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana.
Dari perumusan delik ini, tampaklah bahwa
suatu delik itu menurut Samidjo harus
berunsurkan : adanya perbuatan manusia, parbuatan itu bertentangan ataupun melanggar hukum, adanya
unsur kesengajaan dan atau .
E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia,
Cetakan ke 11, Balai Buku Ichtiar,
Jakarta, 1989, hal 390.
Samidjo, Pengantar Hukum Indonesia, Armico,
Bandung, 1985, hal 154-155.
kelalaian serta pada akhirnya orang yang
berbuat itu dapat dipertanggungjawabkan.
Dengan gambaran ini, apa yang dituju oleh suatu delik adalah menghendaki adanya perbuatan atau
kelakuan yang dilakukan oleh manusia
yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan gambaran ini, apa yang dituju oleh suatu delik adalah menghendaki
adanya perbuatan atau kelakuan yang
dilakukan oleh manusia yang dapat dipertanggungjawabkan.
Jadi, secara tidak
langsung, perumusan ini telah mengesampingkan
penerjemahan istilah strafbaarfeit oleh Lamintang dengan mengutip
pendapat Van der Hoeven berikut ini : “Van
der Hoeven tidak setuju apabila perkataan
strafbaarfeit itu harus diterjemahkan dengan perkataan perbuatan yang
dapat dihukum, oleh karena yang dapat
dihukum itu hanyalah manusia dan bukan
perbuatan” Delik aduan (klacht
delict) pada hakekatnya juga mengandung elemenelemen yang lazim dimiliki oleh
setiap delik. Delik aduan punya cirri khusus dan kekhususan itu terletak pada “penuntutannya”.
Lazimnya, setiap delik timbul,
menghendaki adanya penuntutan dari penuntut umum, tanpa ada permintaan
yang .
Dari beberapa
pendapat pakar dan istilah strafbaarfeit itu, umumnya masing-masing pengertian itu mengandung
elemen yang jelas tentang suatu kelakuan
atau perbuatan yang pada prinsipnya adalah suatu strafbaarfeit dan dengan sendirinya dapat dihukum. Karenanya,
terhadap setiap kelakuan atau perbuatan
itu dapat dikenai sanksi pidana (atas pelakunya); hanya pelaku yang melakukan (termasuk juga mereka yang
menyuruh, menggerakkan dan membantu),
kelakuan atau perbuatan tertentu (terkualifisir) yang pada akhirnya dapat dihukum
P. A. F Lamintang, op. cit., hal 192.
tegas dari orang yang menjadi korban atau
mereka yang dirugikan. Dalam delik
aduan, pengaduan dari si korban atau pihak yang dirugikan adalah syarat
utama untuk dilakukannya hak menuntut
oleh Penuntut Umum.
Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP), secara tegas tidak ada memberikan pengertian tentang apa
yang dimaksud dengan delik aduan.
Pengertian dan
defenisi yang jelas dapat ditemui melalui argumentasi dari pakarpakar dibidang
ilmu pengetahuan hukum pidana, seperti yang diuraikan berikut ini: 1.
Menurut Samidjo, delik aduan (Klacht Delict) adalah suatu delik yang
diadili apabila yang berkepentingan atau
yang dirugikan mengadukannya. Bila tidak
ada pengaduan, maka Jaksa tidak akan melakukan penuntutan.
2. Menurut R. Soesilo dari banyak peristiwa
pidana itu hampir semuanya kejahatan
yang hanya dapat dituntut atas pengaduan (permintaan) dari orang yang kena peristiwa pidana. Peristiwa pidana
semacam ini disebut delik aduan 3.
Menurut P. A. F Lamintang, tindak pidana tidak hanya dapat dituntut
apabila ada pengaduan dari orang yang
dirugikan. Tindak pidana seperti ini disebut
Klacht Delicten .
Menurut pendapat para sarjana diatas,
kesimpulan yang dapat dikemukakan adalah
bahwa untuk dikatakan adanya suatu delik aduan, maka disamping delik tersebut memiliki anasir yang
lazim dimiliki oleh tiap delik, delik
ini haruslah juga mensyaratkan adanya pengaduan dari si korban atau
pihak yang dirugikan untuk dapat
dituntutnya si pelaku.
.
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) Serta KomentarKomentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor,
1993, hal 87.
P. A. F. Lamintang, op. cit., hal 217.
Dari beberapa pendapat diatas walaupun dirasa
sudah menggambarkan secara jelas bagaimana
karakter serta sifat hakekat dari delik aduan itu, namun demikian masih dirasakan sedikit kekurangan.
Kekurangan itu adalah dalam hal
“penuntutan”. Tegasnya para pakar tidak memperhitungkan adanya
kemungkinan penggunaan asas opportunitas
dalam defenisi yang mereka kemukakan.
Jadi walaupun hak pengaduan untuk
penuntutan perkara ada pada si korban. Pada
akhirnya, untuk dituntut atau tidak adalah semata-mata digantungkan
kepada Penuntut Umum. Untuk itu, akan
lebih sempurna apabila defenisi tentang delik
aduan itu diberi tambahan dalam penggunaan asas opportunitas karena
dalam hal penuntutan perkara penggunaan
asas ini selalu dipertimbangkan
pemberlakuannya.
Delik aduan (Klacht
Delicten) ini adalah merupakan suatu delik, umumnya kejahatan, dimana untuk penuntutan perkara
diharuskan adanya pengaduan dari si
korban atau pihak yang dirugikan sepanjang Penuntut Umum
berpendapat kepentingan umum tidak
terganggu dengan dilakukannya penuntutan atas perkara tersebut.
Alasan persyaratan
adanya pengaduan tersebut menurut Simons yang
dikutip oleh Satochid adalah : “adalah karena pertimbangan, bahwa
dalam beberapa macam kejahatan, akan
lebih mudah merugikan kepentingankepentingan khusus (bizjondere belang) karena
penuntutan itu, daripada kepentingan umum
dengan tidak menuntutnya” Dengan latar
belakang alasan yang demikian, maka tujuan pembentuk undang-undang adalah memberikan keleluasaan
kepada pihak korban atau pihak yang
dirugikan untuk berpikir dan bertindak, apakah dengan mengadukan .
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan
Kuliah Bagian II, Balai Lektur
Mahasiswa, Bandung, Tanpa Tahun, hal 165.
perkaranya akan lebih melindungi
kepentingannya. Apakah itu menguntungkan
ataukah dengan mengadukan perkaranya justru akan merugikan kepentingan pihaknya (contoh : tercemarnya nama baik
keluarga, terbukanya rahasia pribadi
atau kerugian lainnya). Pada akhirnya inisiatif untuk mengadukan dan
menuntut perkara sepenuhnya (dengan
tidak mengindahkan asas opportunitas) berada pada si korban atau pihak yang dirugikan.
Bila keberadaan
asas opportunitas tidak diindahkan, maka keleluasaan untuk mengadu atau tidak mengadu yang ada
pada si korban atau pihak yang
dirugikan, dan tepatlah praduga sebagai yang dikemukakan diatas.
Tetapi nyatanya, hal seperti ini ada
kalanya tidak sepenuhnya berlaku. Dalam hal dan
keadaan tertentu, penghargaan dan kesempatan (keleluasaan) yang
diberikan itu tidak mempunyai arti
apapun bilamana persoalannya diadakan pengusutan untuk kemudian dideponer oleh Penuntut Umum dengan
hak opportunitasnya. Maka pada keadaan
ini prinsip umum yang biasa berlaku dalam suatu delik yakni hak untuk melakukan penuntutan diletakkan pada
Penuntut Umum kembali diberlakukan.
Perkataan delik
aduan terdiri atas dua kata, yakni “delik” dan “aduan”.
Kata delik
sebenarnya berasal dari bahasa Belanda, yaitu “delict” atau juga disebut dengan istilah “strafbaarfeit” yang
dalam bahasa Indonesia dikatakan tindak
pidana atau peristiwa pidana.
Menurut Moeljatno,
bahwa delik adalah suatu perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan
pidana, barang siapa yang melanggar
larangan tersebut Wantjik Saleh,
Tindak Pidana Korupsi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1997, hal 10.
. Ia juga
mengemukakan bahwa menurut wujud atau sifatnya
perbuatan-perbuatan pidana ini
juga merugikan masyarakat, dalam arti
bertentangan dengan atau menghambat terlaksananya pergaulan yang
dianggap baik dan adil.
Pompe mengemukakan
2 (dua) gambaran, yaitu suatu gambaran teoritis
tentang peristiwa pidana dan suatu gambaran menurut hukum positif, yakni
suatu ”wettelijke defenitie” (defenisi
menurut undang-undang) tentang peristiwa pidana
itu 1) Suatu kelakuan manusia .
Dalam gambaran
teoritis, suatu peristiwa pidana adalah suatu pelanggaran kaidah (pelanggaran tata hukum) yang diadakan
karena kesalahan pelanggar, dan yang
harus diberi hukuman untuk dapat mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum.
Dalam gambaran
menurut hukum positif, maka peristiwa pidana itu adalah suatu peristiwa yang oleh undang-undang
ditentukan sebagai suatu peristiwa yang
menyebabkan dijatuhkan hukuman.
Selanjutnya VOS
mengemukakan bahwa delik itu adalah suatu kelakuan manusia (menselijke gedraging) yang oleh
peraturan perundang-undangan diberi
hukuman. Jadi suatu kelakuan manusia yang pada umumnya dilarang dan
diancam dengan hukuman.
Menurut VOS
unsur-unsur delik itu adalah : 2) Suatu
kelakuan manusia yang oleh peraturan perundang-undangan dilarang umum dan diancam dengan hukuman Soesilo Yuwono, memberikan rumusan bahwa
pengaduan adalah pemberitahuan yang
disertai permintaan agar orang yang telah melakukan tindak pidana aduan diambil tindakan menurut hukum .
E. Utrecht, Hukum Pidana I, Pustaka Tinta
Mas, Surabaya, 2000, hal 252.
Ibid,.
.
Satochid Kartanegara, memberikan rumusan
delik aduan sebagai berikut, delik aduan
adalah delik yang hanya dapat dituntut jika ada pengaduan (klacht) 2.
Jenis-Jenis Delik Aduan .
Gerson W. Bawengan
membedakan delik aduan atas dua bagian yaitu
delik aduan mutlak dan delik aduan relatif. Sementara Satochid
membedakannya atas delik pengaduaun
absolut (absolute klachtdelicten) dan delik aduan relatif (relative klachtdelicten). Dari kedua ahli tersebut
dapat disimpulkan bahwa delik aduan
dibedakan atas dua jenis, yaitu : a)
Delik aduan absolut atau mutlak (absolute klachtdelicten) b)
Delik aduan relatif (relative klachtdelicten) Ad. a) Delik Aduan Absolut atau Mutlak
(Absolute Klachtdelicten) Delik aduan
absolut atau mutlak adalah beberapa kejahatan-kejahatan tertentu yang untuk penuntutanya pada umumnya
dibutuhkan pengaduan. Sifat pengaduan
dalam delik aduan absolut (absolute klachtdelicten) ialah, bahwa pengaduan tidak boleh dibatasi pada beberapa
orang tertentu, melainkan dianggap
ditujukan kepada siapa saja yang melakukan kejahatan yang bersangkutan.
Dalam hal ini dikatakan, bahwa pengaduan
ini tidak dapat dipecah-pecah (onsplitsbaar).
Delik aduan absolut
ini merupakan pengaduan untuk menuntut
peristiwanya, sehingga pengaduan berbunyi : “saya minta agar peristiwa
ini dituntut”. Jika pengaduan itu sudah
diterima, maka pegawai Kejaksaan berhak
akan menuntut segala orang yang turut campur dalam kejahatan itu.
Pengaduan Soesilo Yuwono, Penyelesaian
Perkara Pidana Berdasarkan KUHAP, Sistem dan
Prosedur, Alumni, Bandung, 1982, hal 50.
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian I, Balai
Lektur Mahasiswa, Bandung, Tanpa Tahun, hal 154.
tentang kejahatan-kejahatan aduan absolut
mengenai perbuatan, bukan pembuat atau
orang lain yang turut campur didalamnya. Karena itu pengadu tidak berhak membatasi hak menuntut, yakni supaya yang
satu dituntut dan yang lain tidak.
Larangan ini
dinyatakan dengan perkataan : “Pengaduan tentang kejahatankejahatan aduan
absolut tak dapat dibelah”. Contoh : A, istrinya B, mengaku pada suaminya, bahwa ia pernah terlena terhadap
godaan C, sehingga ia berzina dengan C.
Karena istrinya sangat menyesal tentang peristiwa itu, maka B mengampuni akan tetapi ia mengirim suatu permohonan
kepada jaksa supaya C dituntut lantaran
perkara itu. Secara formil permohonan ini harus ditolak karena menurut Pasal 284 ayat (2) “perzinahan” adalah
kejahatan aduan absolut, jadi A hanya
boleh mengadu tentang peristiwa itu, tidak kepada seorang khusus yang
turut campur didalamnya. Kepada B harus
diberitahukan, bahwa permohonannya baru
dianggap sebagai pengaduan yang sah, jika ia menyatakan kehendaknya
akan menyerahkan kepada jaksa keputusan
apakah istrinya dituntut.
Kejahatan-kejahatan
yang termasuk didalam delik aduan absolut yang
diatur dalam KUHP, yaitu : 1.
Kejahatan Kesusilaan (zedenmisdrijven), yang diatur dalam Pasal 284
tentang “zina” (overspel), Pasal 287
tentang “perkosaan” (verkrachting), Pasal 2 tentang “perbuatan cabul”
(ontucht), didalam salah satu ayat dari pasal itu ditentukan bahwa penuntutan harus dilakukan
pengaduan.
2. Kejahatan Penghinaan, yang diatur dalam Pasal
310 tentang “menista” (menghina), Pasal
311 tentang “memfitnah” (laster), Pasal 315 tentang “penghinaan sederhana” ( oenvoudige
belediging), Pasal 316 (penghinaan itu
terhadap seorang pejabat pemerintah atau pegawai negeri yang sedang melakukan tugas secara sah, untuk menuntutnya
berdasarkan Pasal 319, tidak
diperlukan pengaduan), Pasal 319 (disini ditentukan syaratnya bahwa kejahatan penghinaan dapat dituntut setelah
oleh pihak penderita dilakukan pengaduan
kecuali dalam hal Pasal 316, hal ini merupakan penyimpangan dari ketentuan delik aduan itu sendiri).
3. Kejahatan membuka rahasia (schending van
geheimen), yang diatur dalam Pasal 322
dan Pasal 323, yaitu bahwa guna melakukan penuntutan terhadap kejahatan ini harus dilakukan pengaduan,
ditentukan dalam ayat terakhir dari
kedua pasal itu.
4. Kejahatan mengancam (afdreiging), yang diatur
dalam Pasal 369 bahwa dalam ayat (2)
ditentukan bahwa diperlukan pengaduan untuk mengadakan penuntutan.
Selain
kejahatan-kejahatan aduan absolut yang diatur didalam KUHP, diluar KUHP terdapat juga pengaturan mengenai
kejahatan aduan tersebut, seperti:
kekerasan dalam rumah tangga yang diatur didalam UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (UUPKDRT). Pasal 51-53
menentukan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang termasuk kedalam delik aduan. Tindak pidana kekerasan
dalam rumah tangga tersebut, yaitu :
1. Tindak pidana kekerasan fisik yang
dilakukan oleh suami terhadap istri atau
sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata
pencaharian atau kegiatan seharihari. Hal tersebut diatur didalam Pasal 51 jo
Pasal 44 ayat (4) UUPKDRT.
Menurut Pasal 6
UUPKDRT, yang dimaksud dengan kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit,
jatuh sakit, atau luka berat.
2.
Tindak pidana kekerasan psikis yang dilakukan oleh suami terhadap istri
atau sebaliknya yang tidak menimbulkan
penyakit atau halangan untuk menjalankan
pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan seharihari. Hal tersebut
diatur didalam Pasal 52 jo Pasal 45 ayat (2) UUPKDRT.
Menurut Pasal 7
UUPKDRT, yang dimaksud dengan kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan,
hilangnya rasa percaya diri, hilangnya
kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis, berat pada seseorang.
3. Tindak pidana kekerasan seksual yang meliputi
pemaksaan hubungan seksual yang
dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya.
Dengan
ditentukannya beberapa jenis kekerasan dalam rumah tangga tersebut sebagai delik aduan, pembentuk
undang-undang (Undang-Undang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga) telah mengakui adanya unsur privat/pribadi dalam kasus kekerasan dalam
rumah tangga.
Ad. b) Delik Aduan
Relatif (Relative Klachtdelicten) Delik
aduan relatif adalah beberapa jenis kejahatan tertentu yang guna penuntutannya pada umumnya tidak dibutuhkan
pengaduan, tetapi dalam hal ini hanya
ditentukan bahwa pengaduan itu merupakan syarat, apabila diantara si pembuat dan si pengadu terdapat hubungan
tertentu. Hubungan tertentu antara si
pembuat dan si pengadu ialah hubungan keluarga-keluarga sedarah dalam garis lurus (bapak, nenek, anak, cucu) atau dalam
derajat kedua dari garis menyimpang
(saudara) dan keluarga-keluarga perkawinan dalam garis lurus (mertua,
menantu) atau dalam derajat kedua dari
garis menyimpang (ipar). Contoh-contoh delik
aduan relatif yang diatur secara tersendiri dalam KUHP, yaitu : 1.
Pasal 362 tentang kejahatan pencurian (diefstal), 2. Pasal 367 tentang kejahatan pencurian yang
biasa disebut “pencurian di dalam
lingkungan keluarga”, 3. Pasal
369 jo Pasal 370 jo Pasal 367 tentang pemerasan dengan menista (afdreigging atau chantage), misalnya A
mengetahui rahasia B, kemudian datang
pada B dan minta suaya B memberi uang kepada A dengan ancaman, jika tidak mau memberikan uang itu,
rahasianya akan dibuka. OLeh karena B
takut akan dimalukan, maka ia terpaksa memberi uang itu, 4. Pasal 372 jo Pasal 376 jo Pasal 367 tentang
penggelapan yang dilakukan dalam
kalangan kekeluargaan, 5. Pasal 378 jo
Pasal 394 jo Pasal 367 tentang penipuan yang dilakukan dalam kalangan kekeluargaan.
Hubungan
kekeluargaan harus dinyatakan pada waktu mengajukan pengaduan. Penuntutan hanya terbatas pada
orang yang disebutkan dalam
pengaduannya. Apabila, misalnya, yang disebutkan ini hanya si pelaku
kejahatan, maka terhadap si pembantu
kejahatan, yang mungkin juga berkeluarga dekat,
tidak dapat dilakukan penuntutan. Dengan demikian pengaduan ini adalah
dapat dipecah-pecah (splitsbaar).
Dari pasal-pasal
yang tercantum mengenai delik aduan itu, penggunaan istilah “hanya dapat dilakukan penuntutan
kalau ada pengaduan”. Maka kalimat itu
menimbulkan pemikiran atau pendapat bahwa dengan demikian pengusutan dapat dilakukan oleh pihak petugas hukum demi
untuk kepentingan preventif.
Walaupun pendapat
demikian itu adalah benar, namun untuk kepentingan tertib hukum, adalah lebih beritikad baik
bilamana pengusutan itu diajukan secara
lisan dari pihak yang dirugikan bahwa ia akan mengajukan pengaduan.
Menurut Modderman, ada alasan khusus
dijadikannya kejahatan-kejahatan aduan
relatif bilamana dilakukan dalam kalangan keluarga 1.
Alasan susila, yaitu untuk mencegah pemerintah menghadapkan
orang-orang satu terhadap yang lain yang
masih ada hubungan yang sangat erat dan dalam
sidang pengadilan, , yaitu : 2.
Alasan materiil (stoffelijk), yaitu pada kenyataannya di dalam suatu
keluarga antara pasangan suami istri dan
istri ada semacam condominium.
Download lengkap Versi Word
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi