Senin, 07 April 2014

Skripsi Hukum: PENCABUTAN DELIK ADUAN DALAM KASUS KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DAN AKIBATNYA DALAM PERADILAN PIDANA



BAB I PENDAHULUAN
 A. Latar Belakang
 Tindak Pidana adalah suatu perbuatan yang bila dilanggar akan  mendapatkan sanksi yang jelas dan sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum  Pidana (yang selanjutnya disebut KUHP). Dari jenis tindak pidana dalam KUHP  terdapat jenis tindak pidana yang hanya dapat dilakukan penuntutan apabila ada  pengaduan dari pihak yang dirugikan, hal ini diatur dalam Bab VII KUHP tentang  mengajukan dan menarik kembali pengaduan dalam hal kejahatan-kejahatan yang  hanya dituntut atas pengaduan.

Pengaduan merupakan hak dari korban untuk diadakan penuntutan atau  tidak dilakukan penuntutan karena menyangkut kepentingan korban, untuk itu  dalam perkara delik aduan diberikan jangka waktu pencabutan perkara yang diatur  dalam Pasal 75 KUHP.
Hal ini dilakukan agar korban dapat mempertimbangankan dengan melihat  dampak yang akan ditimbulkan bagi korban apabila perkara tersebut tetap  dilanjutkan atau tidak, diadakanya delik aduan adalah untuk melindungi pihak  yang dirugikan dan memberikan kesempatan kepada pihak yang berkepentingan  untuk menyelesaikan perkara yang berlaku dalam masyarakat.
Delik aduan kekerasan dalam rumah tangga diatur dalam Undang-Undang  No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (yang  selanjutnya disebut UUPKDRT), dimana dalam Pasal 51 dan 52 secara tegas  disebutkan bahwa : “Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat  (4) dan Pasal 45 ayat (2) adalah Delik Aduan”. Akan tetapi menarik untuk dibahas    lebih lanjut, apabila pengadu delik aduan kekerasan dalam rumah tangga setelah  adanya perdamaian lalu mencabut pengaduan dengan tenggang waktu masih  dalam batas Pasal 75 KUHP pada proses penyidikan ditingkat penyidik  (kepolisian yaitu POLRES Deli Serdang), namun perkara tetap dilimpahkan oleh  penyidik kepada penuntut umum.
Demikian juga pada saat perkara tersebut sampai pada tingkat penuntut  umum, pengadu juga telah mengajukan kembali pencabutan pengaduan kepada  penuntut umum (KEJARI Lubuk Pakam). Namun perkaranya juga dilimpahkan ke  pengadilan.
Bahwa walaupun pengadu telah mencabut pengaduannya sebagaimana  dimaksud diatas namun Pengadilan Negeri Lubuk Pakam tetap menghukum  terdakwa (suami dari pengadu).
Mencermati putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No. Reg.:  1276/Pid.B/2007/PN.LP, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pencabutan delik  aduan (pencabutan pengaduan yang dilakukan oleh seorang istri terhadap  suaminya) setelah didahului dengan perdamaian tidak menjadi pertimbangan  institusi penegak hukum yang mengakibatkan terdakwa dihukum dengan  hukuman pidana penjara 3 (tiga) bulan dan manetapkan hukuman tersebut tidak  perlu dijalani sebelum adanya perintah hakim karena terdakwa bersalah telah  melakukan suatu kesalahan dalam suatu syarat yang telah ditentukan dalam waktu  6 (enam) bulan.
Persoalan diatas menjadi sangat bertentangan sekali dengan hukum dan  merupakan suatu tantangan untuk menguji antara teori dan praktek, serta apakah  teori tersebut sejalan dengan prakteknya.
  B.  Permasalahan  Permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini, yaitu : 1.  Bagaimana hubungan antara KUHP dan KUHAP dengan UU No. 23 Tahun  2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga? 2.  Bagaimanakah akibat hukum yang ditimbulkan dari pencabutan pengaduan  delik aduan kekerasan dalam rumah tangga? 3.  Mengapa institusi penegak hukum melanjutkan proses penyidikan, penuntutan  bahkan sampai menjatuhkan hukuman dalam sidang antara suami istri dalam  putusan pengadilan No. Reg. : 1276/Pid.B/2007/PN.LP, padahal telah terjadi  perdamaian dan diikuti dengan pencabutan pengaduan oleh pengadu? C. Keaslian Penulisan Penulisan tentang permasalahan dalam hal pencabutan delik aduan dalam  kasus kekerasan dalam  rumah tangga dan akibatnya dalam peradilan pidana  dianggap asli karena sepengetahuan penulis, judul yang penulis angkat pada  skripsi ini belum pernah diteliti oleh penulis lain.
Bila dikemudian hari ternyata ada judul dan permasalahan yang sama  sebelum Skripsi ini dibuat saya bertanggung jawab sepenuhnya.
D. Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan Tujuan Penulisan : a)  Untuk mengetahui bagaimana hubungan antara KUHP dengan UU No.
23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga   b)  Untuk mengetahui bagaimana pencabutan atau mencabut suatu delik  aduan kekerasan dalam rumah tangga dan apa akibatnya apabila suatu  delik aduan tersebut dicabut c)  Untuk mengetahui apakah hal-hal tersebut yang telah ditentukan  didalam KUHP dan UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan  Kekerasan Dalam Rumah Tangga telah sesuai dengan prakteknya.
Manfaat Penulisan Manfaat dari penulisan skripsi ini adalah : a)  Menambah ilmu pengetahuan tentang delik aduan pada umumnya dan  khususnya dalam delik aduan kekerasan dalam rumah tangga b)  Memberikan masukan kepada masyarakat agar lebih mengerti dan  memahami masalah dan hambatan apa yang dihadapi bila terjadi  peristiwa delik aduan kekerasan dalam rumah tangga dalam kehidupan  sehari-hari c)  Untuk mencegah terjadinya peristiwa kekerasan dalam rumah tangga  didalam kehidupan masyarakat.
E.  Tinjauan Pustaka 1.  Pengertian Delik Aduan Untuk memahami apa itu delik aduan, sebaiknya memahami pengertian  dari kata atau peristilahan “delik” itu sendiri, karena untuk pengertian tentang  delik aduan berpijak pada defenisi dan pendapat ahli tentang itu, tetapi haruslah  lebih dahulu kita arahkan titik pandang dan titik perhatian kita pada satu  pertanyaan yaitu apa itu delik?   Delik adalah terjemahan dari kata Strafbaar feit. Terjemahan lain untuk  kata strafbaar feit adalah peristiwa pidana, perbuatan pidana, tindak pidana,  perbuatan yang dapat dihukum dan pelanggaran pidana. Masih belum didapat  satu sinonim dan/atau terjemahan kata yang terpola dan diakui secara umum untuk  peristilahan Strafbaar feit ini. Masing-masing sarjana menyampaikan pengertian  dan pernyataan yang berbeda pula.
Moeljatno berpendapat bahwa untuk perkataan Strafbaarfeit, peristilahan  yang paling tepat adalah perbuatan pidana. Pemakaian istilah perbuatan dirasakan  sepadan oleh karena dari sana dapat diambil suatu penafsiran, yakni adalah  kelakuan dan akibat yang dilarang oleh suatu hukum. Alasan lain adalah bahwa  dipakailah perkataan perbuatan, yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjukkan  kepada dua keadaan konkrit. Pertama, adanya kejadian yang tertentu, dan kedua  adanya orang yang berbuat yang menimbulkan kejadian itu  1.  bahwa feit dalam strafbaarfeit berarti handeling, kelakuan atau tingkah laku, . Tegasnya menurut  Moeljatno, untuk dapat dikatakan adanya suatu perbuatan pidana, maka yang  paling penting harus berunsurkan adanya kelakuan dan akibat, adanya kejadian  tertentu yang menyertai perbuatan dan adanya si pembuat.
Dengan berpedoman pada pendapat Simons dan Van Hamel, Moeljatno  akhirnya menegaskan : 2.  bahwa pengertian strafbaarfeit itu dihubungkan dengan kesalahan orang yang  mengadakan kelakuan tadi  Bahwa feit diartikan tidak hanya perbuatan atau kelakuan saja tetapi  termasuk juga didalamnya adalah akibat. Perbuatan pidana hanya menunjuk  .
 Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, Cetakan Ketujuh, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2002,  hal 54.
 Ibid.,hal 56.
  kepada sifat perbuatan saja, yaitu sifat dilarang dengan ancaman dengan pidana  kalau dilanggar. Perbuatan pidana dipisahkan dari pertanggungjawaban pidana  Pendapat lain sejalan dengan pengertian istilah strafbaarfeit ini adalah  sebagaimana yang dikemukakan oleh Lamintang yang menyamakan artinya  dengan peristiwa pidana sebagai berikut : “secara harafiah perkataan strafbaarfeit  itu dapat diterjemahkan sebagai sebagian dari suatu kenyataan yang dapat  dihukum, yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan kita ketahui  bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan  bukan kenyataan, perbuatan ataupun tindakan” .
Pendapat diatas terdapat kelemahan pemakaian istilah perbuatan pidana  sebagai padanan kata strafbaarfeit yang diketengahkan. Pemakaian istilah ini,  dinilai kurang tepat karena telah menghilangkan salah satu unsur dari strafbaarfeit  itu sendiri, yakni adanya pertangungjawaban pidana dari si pembuat atau pelaku.
Dengan pemisahan ini maka terlepaslah salah satu eleman dari strafbaarfeit dan  bila demikian halnya, padanan kata ini dikesampingkan.
 Dengan pemakaian kata peristiwa pidana, maka hal itu tegas menunjukkan  adanya unsur kelakuan dan atau tindakan, berbuat atau lalai berbuat .
 Peristiwa pidana juga mencakup unsur pertanggungjawaban pidana,  seperti yang dikemukakan oleh Utrecht, yaitu : apakah seseorang mendapat  hukuman bergantung pada dua unsur, yaitu harus ada suatu kelakuan yang  . Tidak hanya  perbuatan yang dapat terlihat secara langsung, tetapi juga perbuatan yang tidak  secara langsung (seperti : menyuruh, menggerakkan dan membantu) adalah juga  dapat dimasukkan sebagai suatu kelakuan.
 Ibid., hal 56-57.
 P. A. F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT Citra Aditya Bakti,  Bandung, 1997, hal 181.
 Van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1983, hal 338.
  bertentangan dengan hukum (unsur obyektif) dan seorang pembuat (dader) yang  bertanggung jawab atas kelakuan yang bertentangan dengan hukum itu (unsur  subjektif)  Peristilahan strafbaarfeit juga dapat disepadankan dengan perkataan delik,  sebagaimana yang dikemukakan oleh Samidjo, yaitu delik adalah suatu perbuatan  atau rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-undang atau  peraturan hukum lainnya, yang dilakukan dengan sengaja atau dengan salah  (schuld), oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan .
Semua perbuatan yang bertentangan dengan azas-azas hukum menjadi  pelanggaran hukum. Dalam hukum pidana, suatu pelanggaran hukum disebut  perbuatan melawan hukum (wederrechtelijkehandeling). Dengan kata lain,  pelanggaran hukum itu, untuk hukum pidana, memuat unsur melawan hukum. Di  antara pelanggaran hukum itu ada beberapa yang diancam dengan hukuman  (pidana), yaitu diancam dengan suatu sanksi istimewa. Pelanggaran hukum  semacam inilah yang oleh KUHP dikualifikasi peristiwa pidana (strafbaar feit).
Peristilahan peristiwa pidana sebagai padanan kata strafbaarfeit adalah  cukup tepat. Ini didasarkan pada kenyataan bahwa dari pemahaman istilah  peristiwa pidana itu, yang dapat dirumuskan adalah terhadap peristiwa pidana  yang diancam dengan pidana bukan saja yang berbuat, tetapi juga menyangkut  mereka yang tidak berbuat. Pemahaman itu juga sejalan dengan unsur  pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana.
 Dari perumusan delik ini, tampaklah bahwa suatu delik itu menurut  Samidjo harus berunsurkan : adanya perbuatan manusia, parbuatan itu  bertentangan ataupun melanggar hukum, adanya unsur kesengajaan dan atau  .
 E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Cetakan ke 11, Balai Buku Ichtiar,  Jakarta, 1989, hal 390.
 Samidjo, Pengantar Hukum Indonesia, Armico, Bandung, 1985, hal 154-155.
  kelalaian serta pada akhirnya orang yang berbuat itu dapat  dipertanggungjawabkan. Dengan gambaran ini, apa yang dituju oleh suatu delik  adalah menghendaki adanya perbuatan atau kelakuan yang dilakukan oleh  manusia yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan gambaran ini, apa yang  dituju oleh suatu delik adalah menghendaki adanya perbuatan atau kelakuan yang  dilakukan oleh manusia yang dapat dipertanggungjawabkan.
Jadi, secara tidak langsung, perumusan ini telah mengesampingkan  penerjemahan istilah strafbaarfeit oleh Lamintang dengan mengutip pendapat Van  der Hoeven berikut ini : “Van der Hoeven tidak setuju apabila perkataan  strafbaarfeit itu harus diterjemahkan dengan perkataan perbuatan yang dapat  dihukum, oleh karena yang dapat dihukum itu hanyalah manusia dan bukan  perbuatan”  Delik aduan (klacht delict) pada hakekatnya juga mengandung elemenelemen yang lazim dimiliki oleh setiap delik. Delik aduan punya cirri khusus dan  kekhususan itu terletak pada “penuntutannya”. Lazimnya, setiap delik timbul,  menghendaki adanya penuntutan dari penuntut umum, tanpa ada permintaan yang  .
Dari beberapa pendapat pakar dan istilah strafbaarfeit itu, umumnya  masing-masing pengertian itu mengandung elemen yang jelas tentang suatu  kelakuan atau perbuatan yang pada prinsipnya adalah suatu strafbaarfeit dan  dengan sendirinya dapat dihukum. Karenanya, terhadap setiap kelakuan atau  perbuatan itu dapat dikenai sanksi pidana (atas pelakunya); hanya pelaku yang  melakukan (termasuk juga mereka yang menyuruh, menggerakkan dan  membantu), kelakuan atau perbuatan tertentu (terkualifisir) yang pada akhirnya  dapat dihukum  P. A. F Lamintang, op. cit., hal 192.
  tegas dari orang yang menjadi korban atau mereka yang dirugikan. Dalam delik  aduan, pengaduan dari si korban atau pihak yang dirugikan adalah syarat utama  untuk dilakukannya hak menuntut oleh Penuntut Umum.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), secara tegas tidak ada memberikan pengertian tentang apa yang dimaksud dengan delik aduan.
Pengertian dan defenisi yang jelas dapat ditemui melalui argumentasi dari pakarpakar dibidang ilmu pengetahuan hukum pidana, seperti yang diuraikan berikut  ini: 1.  Menurut Samidjo, delik aduan (Klacht Delict) adalah suatu delik yang diadili  apabila yang berkepentingan atau yang dirugikan mengadukannya. Bila tidak  ada pengaduan, maka Jaksa tidak akan melakukan penuntutan.
2.  Menurut R. Soesilo dari banyak peristiwa pidana itu hampir semuanya  kejahatan yang hanya dapat dituntut atas pengaduan (permintaan) dari orang  yang kena peristiwa pidana. Peristiwa pidana semacam ini disebut delik  aduan  3.  Menurut P. A. F Lamintang, tindak pidana tidak hanya dapat dituntut apabila  ada pengaduan dari orang yang dirugikan. Tindak pidana seperti ini disebut  Klacht Delicten .
 Menurut pendapat para sarjana diatas, kesimpulan yang dapat  dikemukakan adalah bahwa untuk dikatakan adanya suatu delik aduan, maka  disamping delik tersebut memiliki anasir yang lazim dimiliki oleh tiap delik, delik  ini haruslah juga mensyaratkan adanya pengaduan dari si korban atau pihak yang  dirugikan untuk dapat dituntutnya si pelaku.
.
 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta KomentarKomentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, 1993, hal 87.
 P. A. F. Lamintang, op. cit., hal 217.
  Dari beberapa pendapat diatas walaupun dirasa sudah menggambarkan  secara jelas bagaimana karakter serta sifat hakekat dari delik aduan itu, namun  demikian masih dirasakan sedikit kekurangan. Kekurangan itu adalah dalam hal  “penuntutan”. Tegasnya para pakar tidak memperhitungkan adanya kemungkinan  penggunaan asas opportunitas dalam defenisi yang mereka kemukakan.  Jadi  walaupun hak pengaduan untuk penuntutan perkara ada pada si korban. Pada  akhirnya, untuk dituntut atau tidak adalah semata-mata digantungkan kepada  Penuntut Umum. Untuk itu, akan lebih sempurna apabila defenisi tentang delik  aduan itu diberi tambahan dalam penggunaan asas opportunitas karena dalam hal  penuntutan perkara penggunaan asas ini selalu dipertimbangkan  pemberlakuannya.
Delik aduan (Klacht Delicten) ini adalah merupakan suatu delik, umumnya  kejahatan, dimana untuk penuntutan perkara diharuskan adanya pengaduan dari si  korban atau pihak yang dirugikan sepanjang Penuntut Umum berpendapat  kepentingan umum tidak terganggu dengan dilakukannya penuntutan atas perkara  tersebut.
Alasan persyaratan adanya pengaduan tersebut menurut Simons yang  dikutip oleh Satochid adalah : “adalah karena pertimbangan, bahwa dalam  beberapa macam kejahatan, akan lebih mudah merugikan kepentingankepentingan khusus (bizjondere belang) karena penuntutan itu, daripada  kepentingan umum dengan tidak menuntutnya”  Dengan latar belakang alasan yang demikian, maka tujuan pembentuk  undang-undang adalah memberikan keleluasaan kepada pihak korban atau pihak  yang dirugikan untuk berpikir dan bertindak, apakah dengan mengadukan  .
 Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian II, Balai Lektur  Mahasiswa, Bandung, Tanpa Tahun, hal 165.
  perkaranya akan lebih melindungi kepentingannya. Apakah itu menguntungkan  ataukah dengan mengadukan perkaranya justru akan merugikan kepentingan  pihaknya (contoh : tercemarnya nama baik keluarga, terbukanya rahasia pribadi  atau kerugian lainnya). Pada akhirnya inisiatif untuk mengadukan dan menuntut  perkara sepenuhnya (dengan tidak mengindahkan asas opportunitas) berada pada  si korban atau pihak yang dirugikan.
Bila keberadaan asas opportunitas tidak diindahkan, maka keleluasaan  untuk mengadu atau tidak mengadu yang ada pada si korban atau pihak yang  dirugikan, dan tepatlah praduga sebagai yang dikemukakan diatas. Tetapi  nyatanya, hal seperti ini ada kalanya tidak sepenuhnya berlaku. Dalam hal dan  keadaan tertentu, penghargaan dan kesempatan (keleluasaan) yang diberikan itu  tidak mempunyai arti apapun bilamana persoalannya diadakan pengusutan untuk  kemudian dideponer oleh Penuntut Umum dengan hak opportunitasnya. Maka  pada keadaan ini prinsip umum yang biasa berlaku dalam suatu delik yakni hak  untuk melakukan penuntutan diletakkan pada Penuntut Umum kembali  diberlakukan.
Perkataan delik aduan terdiri atas dua kata, yakni “delik” dan “aduan”.
Kata delik sebenarnya berasal dari bahasa Belanda, yaitu “delict” atau juga  disebut dengan istilah “strafbaarfeit” yang dalam bahasa Indonesia dikatakan  tindak pidana atau peristiwa pidana.
Menurut Moeljatno, bahwa delik adalah suatu perbuatan yang oleh aturan  hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana, barang siapa yang melanggar  larangan tersebut   Wantjik Saleh, Tindak Pidana Korupsi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1997, hal 10.
. Ia juga mengemukakan bahwa menurut wujud atau sifatnya  perbuatan-perbuatan  pidana ini juga merugikan masyarakat, dalam arti    bertentangan dengan atau menghambat terlaksananya pergaulan yang dianggap  baik dan adil.
Pompe mengemukakan 2 (dua) gambaran, yaitu suatu gambaran teoritis  tentang peristiwa pidana dan suatu gambaran menurut hukum positif, yakni suatu  ”wettelijke defenitie” (defenisi menurut undang-undang) tentang peristiwa pidana  itu  1)  Suatu kelakuan manusia .
Dalam gambaran teoritis, suatu peristiwa pidana adalah suatu pelanggaran  kaidah (pelanggaran tata hukum) yang diadakan karena kesalahan pelanggar, dan  yang harus diberi hukuman untuk dapat mempertahankan tata hukum dan  menyelamatkan kesejahteraan umum.
Dalam gambaran menurut hukum positif, maka peristiwa pidana itu adalah  suatu peristiwa yang oleh undang-undang ditentukan sebagai suatu peristiwa yang  menyebabkan dijatuhkan hukuman.
Selanjutnya VOS mengemukakan bahwa delik itu adalah suatu kelakuan  manusia (menselijke gedraging) yang oleh peraturan perundang-undangan diberi  hukuman. Jadi suatu kelakuan manusia yang pada umumnya dilarang dan diancam  dengan hukuman.
Menurut VOS unsur-unsur delik itu adalah : 2)  Suatu kelakuan manusia yang oleh peraturan perundang-undangan dilarang  umum dan diancam dengan hukuman  Soesilo Yuwono, memberikan rumusan bahwa pengaduan adalah  pemberitahuan yang disertai permintaan agar orang yang telah melakukan tindak  pidana aduan diambil tindakan menurut hukum .
  E. Utrecht, Hukum Pidana I, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 2000, hal 252.
 Ibid,.
.
  Satochid Kartanegara, memberikan rumusan delik aduan sebagai berikut,  delik aduan adalah delik yang hanya dapat dituntut jika ada pengaduan (klacht)  2.  Jenis-Jenis Delik Aduan .
Gerson W. Bawengan membedakan delik aduan atas dua bagian yaitu  delik aduan mutlak dan delik aduan relatif. Sementara Satochid membedakannya  atas delik pengaduaun absolut (absolute klachtdelicten) dan delik aduan relatif  (relative klachtdelicten). Dari kedua ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa delik  aduan dibedakan atas dua jenis, yaitu : a)  Delik aduan absolut atau mutlak (absolute klachtdelicten)  b)  Delik aduan relatif (relative klachtdelicten)  Ad. a) Delik Aduan Absolut atau Mutlak (Absolute Klachtdelicten)  Delik aduan absolut atau mutlak adalah beberapa kejahatan-kejahatan  tertentu yang untuk penuntutanya pada umumnya dibutuhkan pengaduan. Sifat  pengaduan dalam delik aduan absolut (absolute klachtdelicten) ialah, bahwa  pengaduan tidak boleh dibatasi pada beberapa orang tertentu, melainkan dianggap  ditujukan kepada siapa saja yang melakukan kejahatan yang bersangkutan. Dalam  hal ini dikatakan, bahwa pengaduan ini tidak dapat dipecah-pecah (onsplitsbaar).
Delik aduan absolut ini merupakan pengaduan untuk menuntut  peristiwanya, sehingga pengaduan berbunyi : “saya minta agar peristiwa ini  dituntut”. Jika pengaduan itu sudah diterima, maka pegawai Kejaksaan berhak  akan menuntut segala orang yang turut campur dalam kejahatan itu. Pengaduan   Soesilo Yuwono, Penyelesaian Perkara Pidana Berdasarkan KUHAP, Sistem dan  Prosedur, Alumni, Bandung, 1982, hal 50.
 Satochid Kartanegara,  Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian I, Balai Lektur Mahasiswa, Bandung, Tanpa Tahun, hal 154.
  tentang kejahatan-kejahatan aduan absolut mengenai perbuatan, bukan pembuat  atau orang lain yang turut campur didalamnya. Karena itu pengadu tidak berhak  membatasi hak menuntut, yakni supaya yang satu dituntut dan yang lain tidak.
Larangan ini dinyatakan dengan perkataan : “Pengaduan tentang kejahatankejahatan aduan absolut tak dapat dibelah”. Contoh : A, istrinya B, mengaku pada  suaminya, bahwa ia pernah terlena terhadap godaan C, sehingga ia berzina dengan  C. Karena istrinya sangat menyesal tentang peristiwa itu, maka B mengampuni  akan tetapi ia mengirim suatu permohonan kepada jaksa supaya C dituntut  lantaran perkara itu. Secara formil permohonan ini harus ditolak karena menurut  Pasal 284 ayat (2) “perzinahan” adalah kejahatan aduan absolut, jadi A hanya  boleh mengadu tentang peristiwa itu, tidak kepada seorang khusus yang turut  campur didalamnya. Kepada B harus diberitahukan, bahwa permohonannya baru  dianggap sebagai pengaduan yang sah, jika ia menyatakan kehendaknya akan  menyerahkan kepada jaksa keputusan apakah istrinya dituntut.
Kejahatan-kejahatan yang termasuk didalam delik aduan absolut yang  diatur dalam KUHP, yaitu : 1.  Kejahatan Kesusilaan (zedenmisdrijven), yang diatur dalam Pasal 284 tentang  “zina” (overspel), Pasal 287 tentang “perkosaan” (verkrachting), Pasal 2 tentang “perbuatan cabul” (ontucht), didalam salah satu ayat dari pasal itu  ditentukan bahwa penuntutan harus dilakukan pengaduan.
2.  Kejahatan Penghinaan, yang diatur dalam Pasal 310 tentang “menista”  (menghina), Pasal 311 tentang “memfitnah” (laster), Pasal 315 tentang  “penghinaan sederhana” ( oenvoudige belediging), Pasal 316 (penghinaan itu  terhadap seorang pejabat pemerintah atau pegawai negeri yang sedang  melakukan tugas secara sah, untuk menuntutnya berdasarkan Pasal 319, tidak    diperlukan pengaduan), Pasal 319 (disini ditentukan syaratnya bahwa  kejahatan penghinaan dapat dituntut setelah oleh pihak penderita dilakukan  pengaduan kecuali dalam hal Pasal 316, hal ini merupakan penyimpangan dari  ketentuan delik aduan itu sendiri).
3.  Kejahatan membuka rahasia (schending van geheimen), yang diatur dalam  Pasal 322 dan Pasal 323, yaitu bahwa guna melakukan penuntutan terhadap  kejahatan ini harus dilakukan pengaduan, ditentukan dalam ayat terakhir dari  kedua pasal itu.
4.  Kejahatan mengancam (afdreiging), yang diatur dalam Pasal 369 bahwa  dalam ayat (2) ditentukan bahwa diperlukan pengaduan untuk mengadakan  penuntutan.
Selain kejahatan-kejahatan aduan absolut yang diatur didalam KUHP,  diluar KUHP terdapat juga pengaturan mengenai kejahatan aduan tersebut,  seperti: kekerasan dalam rumah tangga yang diatur didalam UU No. 23 Tahun  2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UUPKDRT). Pasal  51-53 menentukan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang termasuk  kedalam delik aduan. Tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga tersebut,  yaitu : 1.  Tindak pidana kekerasan fisik yang dilakukan oleh suami terhadap istri atau  sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk  menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan seharihari. Hal tersebut diatur didalam Pasal 51 jo Pasal 44 ayat (4) UUPKDRT.
Menurut Pasal 6 UUPKDRT, yang dimaksud dengan kekerasan fisik adalah  perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.
  2.  Tindak pidana kekerasan psikis yang dilakukan oleh suami terhadap istri atau  sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk  menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan seharihari. Hal tersebut diatur didalam Pasal 52 jo Pasal 45 ayat (2) UUPKDRT.
Menurut Pasal 7 UUPKDRT, yang dimaksud dengan kekerasan psikis adalah  perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri,  hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau  penderitaan psikis, berat pada seseorang.
3.  Tindak pidana kekerasan seksual yang meliputi pemaksaan hubungan seksual  yang dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya.
Dengan ditentukannya beberapa jenis kekerasan dalam rumah tangga  tersebut sebagai delik aduan, pembentuk undang-undang (Undang-Undang  Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga) telah mengakui adanya unsur  privat/pribadi dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga.
Ad. b) Delik Aduan Relatif (Relative Klachtdelicten)  Delik aduan relatif adalah beberapa jenis kejahatan tertentu yang guna  penuntutannya pada umumnya tidak dibutuhkan pengaduan, tetapi dalam hal ini  hanya ditentukan bahwa pengaduan itu merupakan syarat, apabila diantara si  pembuat dan si pengadu terdapat hubungan tertentu. Hubungan tertentu antara si  pembuat dan si pengadu ialah hubungan keluarga-keluarga sedarah dalam garis  lurus (bapak, nenek, anak, cucu) atau dalam derajat kedua dari garis menyimpang  (saudara) dan keluarga-keluarga perkawinan dalam garis lurus (mertua, menantu)  atau dalam derajat kedua dari garis menyimpang (ipar). Contoh-contoh delik  aduan relatif yang diatur secara tersendiri dalam KUHP, yaitu :   1.  Pasal 362 tentang kejahatan pencurian (diefstal), 2.  Pasal 367 tentang kejahatan pencurian yang biasa disebut “pencurian di dalam  lingkungan keluarga”, 3.  Pasal 369 jo Pasal 370 jo Pasal 367 tentang pemerasan dengan menista  (afdreigging atau chantage), misalnya A mengetahui rahasia B, kemudian  datang pada B dan minta suaya B memberi uang kepada A dengan ancaman,  jika tidak mau memberikan uang itu, rahasianya akan dibuka. OLeh karena B  takut akan dimalukan, maka ia terpaksa memberi uang itu, 4.  Pasal 372 jo Pasal 376 jo Pasal 367 tentang penggelapan yang dilakukan  dalam kalangan kekeluargaan, 5.  Pasal 378 jo Pasal 394 jo Pasal 367 tentang penipuan yang dilakukan dalam  kalangan kekeluargaan.
Hubungan kekeluargaan harus dinyatakan pada waktu mengajukan  pengaduan. Penuntutan hanya terbatas pada orang yang disebutkan dalam  pengaduannya. Apabila, misalnya, yang disebutkan ini hanya si pelaku kejahatan,  maka terhadap si pembantu kejahatan, yang mungkin juga berkeluarga dekat,  tidak dapat dilakukan penuntutan. Dengan demikian pengaduan ini adalah dapat  dipecah-pecah (splitsbaar).
Dari pasal-pasal yang tercantum mengenai delik aduan itu, penggunaan  istilah “hanya dapat dilakukan penuntutan kalau ada pengaduan”. Maka kalimat  itu menimbulkan pemikiran atau pendapat bahwa dengan demikian pengusutan  dapat dilakukan oleh pihak petugas hukum demi untuk kepentingan preventif.
Walaupun pendapat demikian itu adalah benar, namun untuk kepentingan  tertib hukum, adalah lebih beritikad baik bilamana pengusutan itu diajukan secara  lisan dari pihak yang dirugikan bahwa ia akan mengajukan pengaduan.
  Menurut Modderman, ada alasan khusus dijadikannya kejahatan-kejahatan  aduan relatif bilamana dilakukan dalam kalangan keluarga  1.  Alasan susila, yaitu untuk mencegah pemerintah menghadapkan orang-orang  satu terhadap yang lain yang masih ada hubungan yang sangat erat dan dalam  sidang pengadilan, , yaitu : 2.  Alasan materiil (stoffelijk), yaitu pada kenyataannya di dalam suatu keluarga  antara pasangan suami istri dan istri ada semacam condominium.


Download lengkap Versi Word

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi