Senin, 21 April 2014

Skripsi Hukum: PERAN DAN PELAKSANAAN MEDIASI DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA PERDATA DI PENGADILAN NEGERI

BAB I.
PENDAHULUAN.
A.   Latar Belakang.
Ditinjau dari segi kodratnya, manusia pada dasarnya memiliki sifat yang  kurang puas. Dimana sifat yang kurang puas tersebut manusia selalu berusaha  untuk memenuhinya, apabila telah terpenuhi kemudian timbul kebutuhan lain  yang ingin dipenuhi sehingga menimbulkan ketidakpuasan atas dirinya sendiri dan  bahkan menimbulkan kerugian pada pihak lain.

Dalam perkembangaan selanjutnya, masyarakat yang sangat kompleks itu  selalu berusaha agar kebutuhannya cepat selesai, termasuk juga dalam proses  berperkara di pengadilan. Bersamaan dengan itu dalam Hukum Acara Perdata  yang terdapat suatu asas yang terdapat dan tercantum dalam penjelasan UndangUndang No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Bagian umum, butir 8  yang berbunyi : “Peradilan dilakukan sederhana, cepat dan biaya ringan tetap  harus dipegang teguh yang tercermin dalam dalam undang-undang tentang huku m  acara pidana dan hukum acara perdata yang termuatp peraturan-peraturan tentang  pemeriksaan dan pembuktian yang jauh lebih sederhana“  Seandainya banyak perkara yang tertumpuk di Pengadilan, maka akan  memakan waktu yang lama dan akhirnya dari lamanya waktu tersebut  . Asas tersebut penting  bagi mereka yang berperkara, hakim dan aparat penegak hukum lainnya  mengingat untuk menjaga agar supaya perkara yang telah masuk ke Pengadilan  Negeri tidak banyak yang tertumpuk serta tidak berlarut-larut penyelesaiannya.
 Undang-Undang No.4 Tahun 2004 “ Tentang Kekuasaan Kehakiman”   mengakibatkan biaya tidak sedikit. Di samping itu juga tidak tercapainya putusan  yang obyektif karena dengan berlarutnya putusan itu para pihak yang dinyatakan  menang dalam perkara tidak dapat menikmati kemenangannya karena telah  meninggal lebih dahulu sebelum putusan turun.
Manusia memiliki berbagai kebutuhan di dalam hidupnya. Untuk dapat  memenuhi kebutuhan tersebut, di dalam berhubungan manusia lain diperlukan  keteraturan. Keadilan dan kepastian hukum merupakan salah satu kebutuhan yang  penting dalam masyarakat. Untuk itu, masyarakat membuat aturan hukum untuk  dipatuhi dan akan ditegakkan bila terjadi pelanggaran. Namun, seiring dengan  berjalannya waktu, konflik-konflik hukum yang terjadi di masyarakat menjadi  semakin meningkat sehingga menghambat jalannya proses penegakan.
Salah satu cara yang dilakukan untuk mengatasi penumpukan perkara  adalah melalui mediasi. Mediasi pada prinsipnya merupakan salah satu bentuk  dari alternatif penyelesaian sengketa (Alternative Dispute Resolution). Dikatakan  sebagai alternatif penyelesaian sengketa karena mediasi merupakan satu alternatif  penyelesaian sengketa di samping pengadilan. Panjangnya proses peradilan, mulai  dari tingkat pengadilan pertama, banding, kasasi dan peninjauan kembali (PK)  membuat penyelesaian membutuhkan waktu yang lama. Padahal, mayarakat  mencari proses penyelesaian yang mudah dan cepat. Dalam kenyataannya, sampai  saat ini belum ada yang mampu mendesain sistem peradilan yang efektif dan  efisien.
Banyak aspek yang harus dipertimbangan agar tidak saling berbenturan.
Adanya kewalahan dalam menangani perkara-perkara kasasi dan PK yang setiap   tahunnya semakin menumpuk, membuat Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan  Peraturan MA (PERMA) yakni PERMA No.01 Tahun 2008 tentang Prosedur  Mediasi Perkara di Pengadilan. Dengan keluarnya PERMA No.01 Tahun 20 mengenai Mediasi ini diharapkan mampu mengurangi penumpukan perkara di  pengadilan dengan cara mengintegrasikan mediasi ke dalam proses beracara di  pengadilan. Jadi, perkara-perkara yang sederhana, tidak perlu diselesaikan  berlarut-larut.
Dan juga Orang yang (merasa) dirugikan oleh orang lain dan ingin  mendapatkan kembali haknya, dapat mengupayakan melalui prosedur yang  berlaku, baik melalui litigasi (pengadilan) maupun alternatif penyelesaian  sengketa (Alternative Dispute Resolution/ADR) dan tidak boleh main hakim  sendiri (eigenrichting).
Di pengadilan, penyelesaian perkara dimulai dengan mengajukan gugatan  ke pengadilan yang berwenang. Penyelesaian sengketa hukum melalui pengadilan  ini dilakukan dengan tiga tahap. Tahap permulaan dengan mengajukan gugatan  sampai dengan jawaban. Tahap penentuan dimulai dari pembuktian sampai  dengan putusan, dan tahap pelaksanaan adalah pelaksanaan putusan. Setiap tahap  tersebut memerlukan waktu relatif lama, mahal dan prosedur yang cukup rumit.
Dalam perkembangannya, tuntutan akan kecepatan, kerahasiaan, efisiensi  dan efektifitas serta demi menjaga kelangsungan hubungan antara pihak yang  bersengketa, selama ini belum dapat direspon secara optimal oleh  lembaga  litigasi (pengadilan), sehingga mendapat banyak kritikan. Dalam operasionalnya,  pengadilan dinilai lamban, mahal, memboroskan energi, waktu, uang serta tidak   didapatnya win-winsolution yang diharapkan oleh  kedua belah pihak. Karena itu,  penyelesaian sengketa alternatif mendapat sambutan positif. Alternatif dimaksud  adalah mediasi sebelum perkara diajukan ke pengadilan dimulai.
Indonesia , dalam hal lembaga mediasi, dulunya lebih maju dari negara  lain. Hukum Acara Perdata yaitu HIR (Het Herziene Reglement) pasal 130 dan  R.Bg. (Rechtsreglement Buitengewesten) pasal 154, misalnya, telah mengatur  lembaga perdamaian, dimana hakim yang mengadili wajib mendamaikan lebih  dahulu pihak yang berperkara, sebelum perkaranya diperiksa secara ajudikasi.
Selain itu, dikeluarkan pula SEMA No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberdayaan  Lembaga Perdamaian sebagai peraturan pendukung pelaksanaan mediasi itu  sendiri.
Sementara tentang mediasi atau alternatif penyelesaian sengketa (APS) di  luar pengadilan, diatur dalam pasal 6 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999  Tentang Arbitrase Penyelesaian Sengketa. Lembaga-lembaga APS bisa dijumpai  secara luas dalam berbagai bidang seperti undang- undang bidang Lingkungan  Hidup, Pertumbuhan, Perlindungan Konsumen dan lain sebagainya. Mahkamah  Agung (MA) RI juga telah mengeluarkan PERMA No. 2 Tahun 2003 Yo PERMA  No.01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang mewajibkan  pihak yang bersengketa perdata, lebih dulu menempuh proses mediasi. Yaitu  melalui perundingan antara pihak yang bersengketa dengan bantuan pihak ketiga  yang netral dan tidak memiliki kewenangan memutus (mediator). Berkaitan  dengan hal itu, MA mewajibkan penggunaan jasa mediasi sebagai upaya  memaksimalkan perdamaian sebagaimana diatur dalam pasal 130 HIR dan pasal   154 Rbg.  Lembaga sejenis mediasi untuk menyelesaikan perkara di luar  pengadilan sudah diatur dalam Pasal 130 HIR/154 RBg. Pasal ini menyatakan  bahwa, “Jika pada hari yang ditentukan itu, kedua belah pihak datang menghadiri,  maka Pengadilan Negeri dengan pertolongan Hakim Ketua mencoba untuk  mendamaikan mereka.”  Padahal jika proses mediasi atau  perdamaian tercapai, maka secara  langsung dapat dibuatkan akta perdamaian yang harus dipatuhi, berkekuatan dan  dijalankan sebagai keputusan biasa. Menurut M. Yahya Harahap, upaya  mendamaikan bersifat imperatif. Hal ini dapat ditarik dari kesimpulan Pasal 131  Pada ayat diatas sangat jelas keharusan Hakim Ketua Pengadilan Negeri  untuk mengupayakan perdamaian terhadap perkara perdata yang diperiksanya.
Dalam kaitannya ini hakim harus dapat memberikan pengertian, menanamkan  kesadaran dan keyakinan kepada para pihak yang berperkara, bahwa penyelesaian  perkara dengan perdamaian merupakan suatu cara penyelesaian yang lebih baik  dan lebih bijaksana  daripada diselesaikan dengan putusan Pengadilan, baik  dipandang dari segi waktu, biaya dan tenaga yang digunakan.
Namun terkadang dalam kenyataannya penerapan mediasi dalam beracara  perdata tersebut tidak terlaksana sesuai dengan apa yang diharapkan para pencari  keadilan dalam menyelesaikan perkara mereka, sehingga banyak anggapan yang  timbul dari masyarakat bahwa proses mediasi bukan lagi menjadi suatu cara tepat  dalam menyelesaikan sengketa.
 Ropaun Rambe, Hukum Acara Perdata Lengkap, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), h. 245.
 ayat (1) HIR bahwa bila hakim tidak dapat mendamaikan para pihak, maka hal itu  harus dicantumkan dalam berita acara sidang. Kelalaian tidak mencantumkan hal  tersebut mengakibatkan pemeriksaan perkara menjadi cacat formil dan  pemeriksaannya batal demi hukum. Dari sini, dapat disimpulkan bahwa proses  perdamaian sangat penting dan wajib dilakukan.
Mediasi itu sendiri pada dasarnya merupakan salah satu upaya untuk  membantu lembaga pengadilan dalam rangka mengurangi beban penumpukan  perkara serta agar adanya keasadaran akan pentingnya sistem hukum di Indonesia  untuk menyediakan akses seluas mungkin kepada para pihak yang berpekara atau  bersengketa untuk mendapatkan rasa keadilan. Mediasi itu sendiri prosesnya lebih  singkat dan lebih cepat penyelesaiannya serta tidak memerlukan biaya yang besar.
Salah satu asas dalam Hukum Acara Perdata, Peradilan Dilaksanakan Dengan  sederhana, Cepat dan Biaya Ringan.
Berdasarkan uraian di atas, maka di dalam perkara perdata upaya  perdamaian yang dikenal dengan mediasi secara langsung merupakan suatu  kewajiban yang memang harus dilakukan dalam proses persidangan. Hal ini  dimaksudkan bahwa mediasi mampu untuk dijadikan konsep dalam  mempermudah bagi para pihak yang berperkara demi memperoleh kesepakatan  bersama dan memberikan suatu keadilan yang bersumber dari perilaku aktif para  pihak itu sendiri beserta hal-hal yang dikehendaki dalam proses mediasi tersebut.
Pemakaian lembaga mediasi pengadilan lebih menguntungkan karena cepat, oleh  karenanya, mekanisme mediasi dalam proses penyelesaian sengketa di Pengadilan   juga mendorong upaya damai sebagai solusi yang utama oleh para pihak yang  bertikai.

Masyarakat yang berkepentingan akan menyelesaikan sengketa yang  sederhana dan efisien, baik dari segi waktu maupun biaya. Pemantapan dan  pengetahuan akan pentingnya mediasi menganjurkan bagi para pencari keadilan untuk dapat bertindak dalam memperoleh kebenaran sejati tanpa mengalami  kerugian baik materiil maupun non materiil.
Download lengkap Versi Word

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi