BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang.
Negara Indonesia
adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas
kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia menerima hukum sebagai ideologi untuk
menciptakan ketertiban, keamanan, keadilan
serta kesejahteraan bagi warga negaranya. Konsekuensinya adalah bahwa hukum mengikat setiap tindakan yang dilakukan
oleh warga negara Indonesia.
Hukum bisa dilihat sebagai perlengkapan
masyarakat untuk menciptakan ketertiban
dan keteraturan dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu hukum bekerja dengan cara memberikan petunjuk
tentang tingkah laku (act ,behaviour) dan karena itu pula hukum berupa norma.
Indonesia memiliki beberapa macam hukum untuk
mengatur tindakan warga negaranya,
antara lain adalah Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana.
Kedua hukum ini
memiliki hubungan yang sangat erat, karena pada hakekatnya hukum acara pidana termasuk dalam pengertian
hukum pidana. Hanya saja hukum acara
pidana atau yang dikenal dengan istilah hukum pidana formal lebih tertuju pada ketentuan yang mengatur bagaimana negara
melalui alat-alatnya Hukum yang berupa
norma dikenal dengan sebutan norma
hukum, dimana hukum mengikatkan diri pada masyarakat sebagai tempat bekerjanya hukum tersebut (ibi
ius ibi societas).
Penjelasan atas Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang
Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia
Tahun 19 Satjipto Rahardjo. (1982). Ilmu
Hukum, Bandung : Alumni, hal.
melaksanakan haknya untuk memidana dan
menjatuhkan pidana sedangkan hukum
pidana (materiil) lebih tertuju pada peraturan hukum yang menunjukan perbuatan mana yang seharusnya dikenakan
pidana dan pidana apa yang dapat dijatuhkan
kepada pelaku tindak pidana tersebut.
Umumnya hukum
dibuat untuk suatu tujuan yang mulia, yaitu memberikan pelayanan bagi masyarakat guna
terciptanya suatu ketertiban, keamanan,
keadilan dan kesejahteraaan, namun pada kenyataannya masih tetap terjadi penyimpangan-penyimpangan atas hukum,
baik yang dilakukan secara sengaja
maupun tidak sengaja atau lalai. Terhadap penyimpangan-penyimpangan hukum ini tentunya harus ditindaklanjuti
dengan tindakan hukum yang tegas dan melalui
prosedur hukum yang benar sesuai dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana sehingga
ideologi Indonesia sebagai negara hukum
benar-benar terwujud.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
menguraikan bahwa tujuan hukum acara
pidana adalah: “untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil,
yaitu kebenaran yang selengkaplengkapnya dari suatu perkara pidana dengan
menerapkan ketentuan hukum acara pidana
secara jujur dan tepat yang bertujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran
hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan
dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan
apakah orang yang didakwa itu dapat
dipersalahkan”.
M. Yahya Harahap. (2006). Pembahasan
Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan
dan Penuntutan: Edisi kedua, Jakarta : Sinar Grafika, hal.
Melalui Hukum Acara Pidana ini, maka setiap
individu yang melakukan penyimpangan
atau pelanggaran hukum, khususnya hukum pidana, selanjutnya dapat diproses dalam suatu acara pemeriksaan
di pengadilan, karena menurut hukum
acara pidana untuk membuktikan bersalah tidaknya seorang terdakwa haruslah melalui pemeriksaan di depan sidang
pengadilan.
Pembuktian memegang peranan penting dalam
proses pemeriksaan sidang pengadilan,
karena dengan pembuktian inilah nasib terdakwa ditentukan, dengan pembuktian suatu perbuatan pidana dapat
dijatuhi hukuman pidana.
Dalam pembuktian, hakim perlu memperhatikan kepentingan korban,
terdakwa dan masyarakat.
Kepentingan korban
berarti bahwa seseorang yang mendapat derita karena suatu perbuatan jahat orang lain berhak mendapatkan
keadilan dan kepedulian dari negara,
kepentingan masyarakat berarti bahwa demi ketentraman masyarakat maka bagi setiap pelaku tindak pidana harus
mendapat hukuman yang setimpal dengan
kesalahannya sedangkan kepentingan terdakwa berarti bahwa terdakwa harus diperlakukan secara adil sedemikian
rupa, sehingga tiap individu yang terbukti
bersalah harus dihukum.
Darwan Prinst. (1998). Hukum Acara Pidana
Dalam Praktik, Jakarta : Djambatan, hal.13
M. Yahya Harahap. (2006). Pembahasan
Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan
Peninjauan Kembali: Edisi kedua, Jakarta : Sinar Grafika, hal. 2 Sehingga apabila hasil pembuktian dengan alat-alat
bukti yang ditentukan undang-undang tidak
cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, maka terdakwa dibebaskan dari hukuman, dan
sebaliknya jika kesalahan terdakwa dapat dibuktikan, maka terdakwa harus dinyatakan
bersalah dan kepadanya akan dijatuhkan
pidana.
Pembuktian merupakan titik sentral hukum acara
pidana. Hal ini dapat dibuktikan sejak
awal dimulainya tindakan penyelidikan, penyidikan, prapenuntutan, pemeriksaan tambahan,
penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan,
putusan hakim bahkan sampai upaya hukum, masalah pembuktian merupakan pokok bahasan dan tinjauan semua
pihak dan pejabat yang bersangkutan pada
semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan, terutama bagi hakim. Oleh karena itu hakim harus
hati-hati, cermat, dan matang dalam menilai
dan mempertimbangkan nilai pembuktian serta dapat meneliti sampai dimana batas minimum kekuatan pembuktian atau
bewijskracht dari setiap alat bukti yang
sah menurut undang-undang.
Ibid.
Undang-undang Nomor
8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak memberikan penafsiran atau pengertian mengenai
pembuktian baik pada Pasal 1 yang
terdiri dari 32 butir pengertian, maupun pada penjelasan umum dan penjelasan Pasal demi Pasal. KUHAP hanya
memuat macam-macam alat bukti yang sah
menurut hukum acara pidana di Indonesia. Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan
dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan
undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan
ketentuan yang mengatur alat-alat bukti
yang dibenarkan undang-undang dan boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.
Menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP, jenis alat
bukti yang sah dan dapat digunakan
sebagai alat bukti adalah : 1. Keterangan saksi 2. Keterangan ahli 3. Surat 4.
Petunjuk 5. Keterangan terdakwa.
Maksud penyebutan
alat-alat bukti dengan urutan pertama pada keterangan saksi, selanjutnya keterangan ahli, surat, petunjuk
dan keterangan terdakwa pada urutan terakhir,
menunjukkan bahwa pembuktian (bewijsvoering) dalam hukum acara pidana diutamakan pada kesaksian. Berbagai nilai alat
bukti yang disebut oleh pasal 184 KUHAP
tetap mempunyai kekuatan bukti (bewijskracht) yang sama penting dalam menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa.
Melihat urutan jenis alat bukti pada Pasal 184
ayat (1) KUHAP, maka keterangan terdakwa
merupakan alat bukti yang terakhir setelah petunjuk. Akan tetapi karena suatu petunjuk dapat diperoleh dari keterangan
terdakwa, dalam hal ini petunjuk hanya bisa diperoleh setelah lebih dahulu memeriksa
terdakwa, sehingga petunjuklah yang seharusnya
menduduki posisi terakhir sebagai alat bukti. Terlepas dari permasalahan di Pembuktian dalam hukum acara pidana mengutamakan pada kesaksian, namun hakim tetap
harus hati-hati, dan cermat dalam menilai
alat-alat bukti lainnya, sebab pada prinsipnya semua alat bukti penting dan berguna dalam membuktikan kesalahan terdakwa.
M. Yahya Harahap. (2006). Pembahasan
Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: Edisi Kedua, Jakarta:
Sinar Grafika , hal. 3 atas,
kenyataannya keterangan terdakwa masih belum memiliki peraturan yang jelas dalam
penerapannya, yang dikhawatirkan dapat mempengaruhi nilai kekuatannya sebagai alat bukti yang sah, sehingga akan berpengaruh
juga terhadap putusan pengadilan.
Keterangan terdakwa
adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang dilakukan atau yang ia ketahui
sendiri atau ia alami sendiri.
Terdakwa sering mencabut keterangannya di
persidangan yang diberikannya kepada
penyidik dalam pemeriksaan penyidikan yang dimuat dalam Berita Acara Penyidikan (BAP). Keterangan tersebut pada
umumnya berisi pengakuan terdakwa atas tindak
pidana yang didakwakan kepadanya. Keterangan di muka penyidik dan keterangan dalam persidangan harus dibedakan, keterangan
yang diberikan di muka penyidik disebut keterangan
tersangka sedangkan keterangan yang diberikan dalam persidangan disebut keterangan terdakwa.
Mengingat bahwa keterangan terdakwa yang memuat
informasi tentang kejadian peristiwa pidana bersumber dari terdakwa, maka hakim dalam
melakukan penilaian terhadap isi keterangan
terdakwa haruslah cermat dan sadar bahwa ada kemungkinan terjadinya kebohongan atau keterangan palsu yang dibuat
oleh terdakwa mengenai hal ikhwal kejadian
atau peristiwa pidana yang terjadi.
Melihat uraian di atas, bahwa dalam
persidangan terdakwa kerap mencabut kembali
keterangan pengakuan yang diberikan dalam pemeriksaan penyidikan di sidang pengadilan. Suatu hal yang menyedihkan memang
bila melihat setiap tersangka pasti memberikan
keterangan pengakuan di depan penyidik sedemikian rupa jelasnya mengutarakan dan menggambarkan jalannya
perbuatan tindak pidana yang disangkakan.
Download lengkap Versi Word
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi