Senin, 21 April 2014

Skripsi Hukum: TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DALAM PERSIDANGAN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KEKUATAN ALAT BUKTI

BAB I.
PENDAHULUAN.
A.  Latar Belakang.
Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum  (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia  menerima hukum sebagai ideologi untuk menciptakan ketertiban, keamanan,  keadilan serta kesejahteraan bagi warga negaranya. Konsekuensinya adalah bahwa  hukum mengikat setiap tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia.

 Hukum bisa dilihat sebagai perlengkapan masyarakat untuk menciptakan  ketertiban dan keteraturan dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu hukum  bekerja dengan cara memberikan petunjuk tentang tingkah laku (act ,behaviour) dan karena itu pula hukum berupa norma.
 Indonesia memiliki beberapa macam hukum untuk mengatur tindakan  warga negaranya, antara lain adalah Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana.
Kedua hukum ini memiliki hubungan yang sangat erat, karena pada hakekatnya  hukum acara pidana termasuk dalam pengertian hukum pidana. Hanya saja hukum  acara pidana atau yang dikenal dengan istilah hukum pidana formal lebih tertuju  pada ketentuan yang mengatur bagaimana negara melalui alat-alatnya  Hukum yang berupa norma dikenal  dengan sebutan norma hukum, dimana hukum mengikatkan diri pada masyarakat  sebagai tempat bekerjanya hukum tersebut (ibi ius ibi societas).
 Penjelasan atas Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik  Indonesia Tahun 19  Satjipto Rahardjo. (1982). Ilmu Hukum, Bandung : Alumni, hal.
 melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana sedangkan  hukum pidana (materiil) lebih tertuju pada peraturan hukum yang menunjukan  perbuatan mana yang seharusnya dikenakan pidana dan pidana apa yang dapat  dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana tersebut.
Umumnya hukum dibuat untuk suatu tujuan yang mulia, yaitu  memberikan pelayanan bagi masyarakat guna terciptanya suatu ketertiban,  keamanan, keadilan dan kesejahteraaan, namun pada kenyataannya masih tetap  terjadi penyimpangan-penyimpangan atas hukum, baik yang dilakukan secara  sengaja maupun tidak sengaja atau lalai. Terhadap penyimpangan-penyimpangan  hukum ini tentunya harus ditindaklanjuti dengan tindakan hukum yang tegas dan  melalui prosedur hukum yang benar sesuai dengan Undang-undang Nomor 8  Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana sehingga ideologi Indonesia sebagai  negara hukum benar-benar terwujud.
 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menguraikan  bahwa tujuan hukum acara pidana adalah: “untuk mencari dan mendapatkan atau  setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang selengkaplengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara  pidana secara jujur dan tepat yang bertujuan untuk mencari siapakah pelaku yang  dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta  pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti  bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu  dapat dipersalahkan”.
 M. Yahya Harahap. (2006). Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP:  Penyidikan dan Penuntutan: Edisi kedua, Jakarta : Sinar Grafika, hal.
 Melalui Hukum Acara Pidana ini, maka setiap individu yang melakukan  penyimpangan atau pelanggaran hukum, khususnya hukum pidana, selanjutnya  dapat diproses dalam suatu acara pemeriksaan di pengadilan, karena menurut  hukum acara pidana untuk membuktikan bersalah tidaknya seorang terdakwa  haruslah melalui pemeriksaan di depan sidang pengadilan.
 Pembuktian memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan sidang  pengadilan, karena dengan pembuktian inilah nasib terdakwa ditentukan, dengan  pembuktian suatu perbuatan pidana dapat dijatuhi hukuman pidana.
Dalam pembuktian,  hakim perlu memperhatikan kepentingan korban, terdakwa dan masyarakat.
Kepentingan korban berarti bahwa seseorang yang mendapat derita karena suatu  perbuatan jahat orang lain berhak mendapatkan keadilan dan kepedulian dari  negara, kepentingan masyarakat berarti bahwa demi ketentraman masyarakat  maka bagi setiap pelaku tindak pidana harus mendapat hukuman yang setimpal  dengan kesalahannya sedangkan kepentingan terdakwa berarti bahwa terdakwa  harus diperlakukan secara adil sedemikian rupa, sehingga tiap individu yang  terbukti bersalah harus dihukum.
  Darwan Prinst. (1998). Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, Jakarta : Djambatan,  hal.13   M. Yahya Harahap. (2006). Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP:  Pemeriksaan  Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: Edisi kedua, Jakarta : Sinar Grafika, hal. 2  Sehingga  apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang  tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, maka  terdakwa dibebaskan dari hukuman, dan sebaliknya jika kesalahan terdakwa dapat  dibuktikan, maka terdakwa harus dinyatakan bersalah dan kepadanya akan  dijatuhkan pidana.
 Pembuktian merupakan titik sentral hukum acara pidana. Hal ini dapat  dibuktikan sejak awal dimulainya tindakan penyelidikan, penyidikan,  prapenuntutan, pemeriksaan tambahan, penuntutan, pemeriksaan di sidang  pengadilan, putusan hakim bahkan sampai upaya hukum, masalah pembuktian  merupakan pokok bahasan dan tinjauan semua pihak dan pejabat yang  bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan, terutama  bagi hakim. Oleh karena itu hakim harus hati-hati, cermat, dan matang dalam  menilai dan mempertimbangkan nilai pembuktian serta dapat meneliti sampai  dimana batas minimum kekuatan pembuktian atau bewijskracht dari setiap alat  bukti yang sah menurut undang-undang.
  Ibid.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak  memberikan penafsiran atau pengertian mengenai pembuktian baik pada Pasal 1  yang terdiri dari 32 butir pengertian, maupun pada penjelasan umum dan  penjelasan Pasal demi Pasal. KUHAP hanya memuat macam-macam alat bukti  yang sah menurut hukum acara pidana di Indonesia. Pembuktian adalah  ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang  dibenarkan undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan  kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat  bukti yang dibenarkan undang-undang dan boleh dipergunakan hakim  membuktikan kesalahan yang didakwakan.
 Menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP, jenis alat bukti yang sah dan dapat  digunakan sebagai alat bukti adalah : 1. Keterangan saksi 2. Keterangan ahli 3. Surat 4. Petunjuk 5. Keterangan terdakwa.
Maksud penyebutan alat-alat bukti dengan urutan pertama pada keterangan saksi,  selanjutnya keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa pada urutan  terakhir, menunjukkan bahwa pembuktian (bewijsvoering) dalam hukum acara pidana  diutamakan pada kesaksian. Berbagai nilai alat bukti yang disebut oleh pasal 184  KUHAP tetap mempunyai kekuatan bukti (bewijskracht) yang sama penting dalam  menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa.
 Melihat urutan jenis alat bukti pada Pasal 184 ayat (1) KUHAP, maka keterangan  terdakwa merupakan alat bukti yang terakhir setelah petunjuk. Akan tetapi karena suatu  petunjuk dapat diperoleh dari keterangan terdakwa, dalam hal ini petunjuk hanya bisa  diperoleh setelah lebih dahulu memeriksa terdakwa, sehingga petunjuklah yang  seharusnya menduduki posisi terakhir sebagai alat bukti. Terlepas dari permasalahan di  Pembuktian dalam hukum acara pidana  mengutamakan pada kesaksian, namun hakim tetap harus hati-hati, dan cermat dalam  menilai alat-alat bukti lainnya, sebab pada prinsipnya semua alat bukti penting dan  berguna dalam membuktikan kesalahan terdakwa.
 M. Yahya Harahap. (2006). Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP:  Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: Edisi Kedua,  Jakarta:  Sinar Grafika , hal. 3  atas, kenyataannya keterangan terdakwa masih belum memiliki peraturan yang jelas dalam penerapannya, yang dikhawatirkan dapat mempengaruhi nilai kekuatannya sebagai  alat bukti yang sah, sehingga akan berpengaruh juga terhadap putusan pengadilan.
Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang  perbuatan yang dilakukan atau yang ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri.
 Terdakwa sering mencabut keterangannya di persidangan yang diberikannya  kepada penyidik dalam pemeriksaan penyidikan yang dimuat dalam Berita Acara  Penyidikan (BAP). Keterangan tersebut pada umumnya berisi pengakuan terdakwa atas  tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Keterangan di muka penyidik dan keterangan  dalam persidangan harus dibedakan, keterangan yang diberikan di muka penyidik disebut  keterangan tersangka sedangkan keterangan yang diberikan dalam persidangan disebut  keterangan terdakwa.
Mengingat  bahwa keterangan terdakwa yang memuat informasi tentang kejadian peristiwa pidana  bersumber dari terdakwa, maka hakim dalam melakukan penilaian terhadap isi  keterangan terdakwa haruslah cermat dan sadar bahwa ada kemungkinan terjadinya  kebohongan atau keterangan palsu yang dibuat oleh terdakwa mengenai hal ikhwal  kejadian atau peristiwa pidana yang terjadi.

 Melihat uraian di atas, bahwa dalam persidangan terdakwa kerap mencabut  kembali keterangan pengakuan yang diberikan dalam pemeriksaan penyidikan di sidang  pengadilan. Suatu hal yang menyedihkan memang bila melihat setiap tersangka pasti  memberikan keterangan pengakuan di depan penyidik sedemikian rupa jelasnya  mengutarakan dan menggambarkan jalannya perbuatan tindak pidana yang disangkakan.
Download lengkap Versi Word

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi