Rabu, 23 April 2014

Skripsi Hukum: PERANAN HAKIM ANAK DALAM PENJATUHAN PUTUSAN ATAS PERKARA PIDANA YANG DILAKUKAN ANAK

BAB I .
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang .
Negara yang maju adalah negara yang memberikan perhatian serius  terhadap anak,  sebagai wujud kepedulian akan generasi bangsa. Anak adalah  karunia Tuhan yang harus dihargai dengan melindungi dan membimbing mereka  menjadi pribadi yang mengagumkan. Namun dalam kenyataannya, perhatian  terhadap anak seringkali terabaikan oleh orang dewasa, dianggap sepele atau  sebelah mata karena yang dihadapi hanya seorang anak kecil. Padahal sebenarnya,  perhatian terhadap anak sejak dini sangat mempengaruhi masa depannya kelak.

Dalam proses pertumbuhan dan pencarian jati dirinya, tidak jarang kita  jumpai adanya penyimpangan sikap perilaku di kalangan anak yang sangat  dipengaruhi oleh nilai-nilai dalam masyarakat dan pola pikir mereka yang masih  labil. Bahkan lebih jauh lagi, terdapat anak yang melanggar hukum yang  melakukan tindak pidana yang merugikan orang lain bahkan dirinya sendiri.
Perilaku buruk anak juga bisa jadi merupakan cerminan kelalaian serta  ketidakmampuan orang dewasa dalam mendidik anak. Hal tersebut tentunya harus  mendorong kita untuk lebih banyak memberikan perhatian akan penanggulangan  serta penanganan atas masalah perilaku buruk anak. Anak-anak nakal perlu  ditangani melalui suatu Lembaga Peradilan khusus karena mereka tidak mungkin  diperlakukan sebagaimana orang dewasa. Perhatian terhadap anakpun dari hari ke  hari semakin serius dimana untuk menjamin perlindungan terhadap hak anak yang  berkonflik dengan hukum, maka dikeluarkanalah Undang-Undang Nomor 3    Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Meskipun dalam implementasinya masih  memiliki banyak kelemahan, namun kehadiran UU ini merupakan suatu langkah  maju bagi perlindungan hak-hak anak dalam Peradilan Anak di Indonesia.
Ide tentang lahirnya Peradilan Anak di Indonesia sendiri sudah ada sejak  tahun 1970, seperti dimaksud dalam Penjelasan Pasal 10 Undang-Undang Nomor  14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Kemudian  dilanjutkan dengan Peraturan Menteri Kehakiman RI. No.: M.06-UM.01 Tahun  1983 dan Surat Edaran Mahkamah Agung RI tanggal 17 November 1987 No.:  MA/KUMDIL/10348/XI/87. Untuk merealisir lahirnya Undang-Undang Peradilan  Anak, maka pada tanggal 10 November 1995 pemerintah dengan Amanat  Presiden No.:  R.12/PU/XII/1995 mengajukan Rancangan Undang-Undang  Peradilan Anak kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapat pembahasan  dan persetujuannya. Malahan dalam RUU Peradilan Anak ini tadinya ada rencana  untuk mengatur Hukum Anak pada umumnya, mulai dari : Sidang Anak Nakal,  Sidang Anak Terlantar, Sidang Perkara Perwalian dan Perkara Anak Sipil. Akan  tetapi, hal ini kemudian berubah menjadi UU Pengadilan Anak yang hanya  mengatur tentang sidang Anak Nakal saja. Ini sangat disayangkan, sebab masalahmasalah tersebut masih hidup dalam praktek hukum negara kita.
 “Pemerintah dan Lembaga Negara lainnya berkewajiban dan bertanggung  jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat,  Perlindungan terhadap hak anak yang berkonflik dengan hukum ini juga  ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan  Anak, sebagaimana disebutkan pada Pasal 65 :   Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm.11.
  anak yang  berhadapan dengan hukum Berbicara mengenai Hakim Anak, maka tidak dapat dilepaskan dari  peranan hakim pada umumnya. Hakim mempunyai peranan yang sangat penting  dalam menciptakan keadilan dan ketertiban dalam dan bagi masyarakat, terlebih  lagi menyangkut putusan yang dijatuhkannya yang akan mempunyai akibat begitu  besar terhadap kepentingan publik khususnya terhadap pihak yang berperkara atau  terkena perkara. Begitu banyak hal yang menjadi dasar pertimbangan bagi hakim  dalam menjatuhkan putusan. Putusan tersebut harus memperhatikan tujuan  pemidanaan, dimana agar orang yang telah dipidana menjadi seorang yang baik  dan dapat kembali serta diterima di tengah-tengah masyarakat. Apabila seorang  hakim keliru dalam menentukan suatu putusan maka keadilan hukum yang  diharapkan oleh masyarakat justu berbalik menjadi ketidakadilan. Yang lebih  memprihatinkan, ternyata hal ini terjadi pada praktik peradilan di negara kita.
Menurut Bagir Manan, usaha menghadapi sulitnya akses publik atas putusan  hakim dapat terjadi karena hakim menyadari putusannya dibuat asal-asalan, tidak  bermutu, sehingga ada rasa takut atau rendah diri kalau menjadi wacana publik.
, anak dari kelompok minoritas dan  terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang  diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkoba, alkohol,  psikotropika, zat adiktif lainnya (NAPZA), anak korban penculikan, penjualan  dan perdagangan, anak yang menyandang cacat dan anak korban perlakuan salah  dan penelantaran.” Pada proses Persidangan Anak terdapat ketentuan-ketentuan khusus yang  berbeda dengan layaknya persidangan biasa bagi orang dewasa, dalam rangka  menjamin pertumbuhan fisik serta mental anak. Hakim, Jaksa Penuntut Umum,  Penasihat Hukum, serta petugas lainnya dalam Sidang Anak tidak memakai toga  atau pakaian dinas (Pasal 6 UU No.3 Tahun 1997).
  Putusan hakim itu bisa asal-asalan karena tidak mengetahui, meskipun mestinya  hal itu seharusnya tidak terjadi karena Majelis Hakim berjumlah tiga orang. Akan  tetapi, yang lebih berbahaya adalah putusan itu asal-asalan karena hakim  kehilangan independensinya.
 Demikian halnya dengan hakim anak, ternyata mempunyai tanggung  jawab yang lebih besar karena disamping tugasnya sebagai hakim biasa juga dibebani tugas khusus memeriksa perkara-perkara pidana dimana terdakwanya  adalah anak-anak. Putusan hakim anak, disamping tindakan dan sikap perilaku  hakim anak tersebut dalam menghadapi  anak selama proses persidangan  mempunyai pengaruh baik terhadap psikologi anak maupun masa depan anak  yang bersangkutan. Oleh karena itu, dengan kebebasannya seorang hakim harus  berani menjatuhkan putusan secara cermat, adil, penuh kearifan dan bermanfaat  bagi anak. Oleh karena itu pula, persyaratan menjadi Hakim Anak haruslah  khusus dan ketat.
Apakah dalam realitas pelaksanaan persidangan anak seorang Hakim Anak  menjatuhkan putusan telah benar-benar mengacu pada ketentuan peraturan  perundang-undangan yang berlaku tanpa mengabaikan jaminan perlindungan  terhadap anak?  Dari uraian diatas tersebut, maka penulis tertarik untuk  membahasnya lebih lanjut pada bab-bab selanjutnya dalam skripsi ini.
 Soelidarmi, Kumpulan Putusan Kontroversial Dari Hakim/Majelis Hakim Kontroversial  Beserta Polemik Yang Diberitakan Atau Ditulis Media Cetak, UII Press, Yogyakarta, 2002, hlm.xxi.
  B. Permasalahan  Berdasarkan uraian singkat latar belakang diatas, maka yang menjadi inti  permasalahan yang akan dibahas lebih lanjut pada bab berikutnya yaitu: 1. Bagaimana perlindungan terhadap anak dalam proses Peradilan Anak? 2. Bagaimana peranan Hakim Anak dalam penjatuhan putusan atas perkara  pidana yang dilakukan anak?  C. Keaslian Penulisan  Skripsi ini dengan judul “Peranan Hakim Anak Dalam Penjatuhan Putusan Atas Perkara Pidana Yang Dilakukan Anak” adalah hasil karya penulis sendiri dan  belum pernah diangkat sebelumnya. Bila ternyata ada skripsi yang sama dengan  skripsi ini sebelum skripsi ini dibuat, maka penulis akan bertanggung jawab  sepenuhnya.
D. Tujuan dan Manfaat Penulisan Adapun yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:  1. Untuk mengetahui apa yang menjadi hak-hak anak pelaku kejahatan dalam  proses Peradilan Anak; 2. Untuk mengetahui bagaimana peranan Hakim Anak dalam penjatuhan putusan  atas perkara pidana yang dilakukan anak; Dari penulisan skripsi ini, manfaat yang dapat diambil antara lain: 1. Secara teoritis : sebagai bahan kajian lebih mendalam terhadap ilmu  pengetahuan serta menambah wawasan khususnya mengenai keberadaan    Hakim Anak yang terbilang masih muda dalam kehidupan peradilan di  Indonesia;  2. Secara praktis : sebagai bahan masukan bagi pemerintah, aparat penegak  hukum, masyarakat dan juga para orangtua dalam menghadapi anak yang  melakukan suatu tindak pidana namun dengan tetap memperhatikan  perlindungan terhadap anak.
E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Anak dan Kejahatan Anak  a. Pengertian Anak Dalam Aspek Hukum  Di Indonesia terdapat pengertian yang beraneka ragam tentang anak,  dimana dalam berbagai perangkat hukum yang berlaku menentukan batasan usia  anak yang berbeda-beda. Hal ini sering membingungkan masyarakat awam  mengenai pengertian anak itu sendiri secara hukum. Untuk itu digunakan asas “lex  specialis  derogat lex generalis”, artinya bahwa hukum yang bersifat khusus  mengesampingkan hukum yang bersifat umum.
Batas usia anak merupakan pengelompokan usia maksimum sebagai  wujud kemampuan anak dalam status hukum, sehuingga anak tersebut beralih  status menjadi usia dewasa atau menjadi seorang subjek hukum yang dapat  bertanggung jawab secara mandiri terhadap perbuatan-perbuatan dan tindakantindakan hukum yang dilakukannya.
Berikut ini dapat dilihat beberapa pengertian anak dari berbagai peraturan  perundang-undangan yang berlaku di Indonesia:   1. Pengertian Anak Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata  (KUHPerdata) Diatur pada Pasal 330 KUHPerdata yang menentukan:  “Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21  tahun dan tidak lebih dahulu telah  kawin.  Apabila perkawinan itu  dibubarkan sebelum umur mereka genap 21 tahun, maka mereka tidak  kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa.”  2. Pengertian Anak Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang  Kesejahteraan Anak Diatur pada Pasal 1 angka 2yang menentukan:  “Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum  pernah kawin.”  3. Pengertian Anak Menurut Undang-Undang No.3 Tahun 1997 Tentang  Pengadilan Anak Diatur pada Pasal 1 yang menentukan:  “Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur  8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur delapan belas tahun dan  belum pernah kawin.”  4. Pengertian Anak Menurut Undang-Undang No.39 Tahun 1999 Tentang  Hak Asasi Manusia Diatur pada Pasal 1 huruf 5 yang menentukan:  “Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah delapan belas tahun  dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila  hal tersebut adalah demi kepentingannya.”    5. Pengertian Anak Menurut Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Tentang  Perlindungan Anak Diatur pada Pasal 1 yang menentukan:  “Anak adalah seseorang yang belum berusia delapan belas tahun, termasuk  anak yang masih dalam kandungan.”  6. Pengertian Anak Menurut Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights  of the Child) yang telah diratifikasi berdasarkan Keputusan Presiden No.

36 Tahun 1990  Diatur pada Pasal 1bagian 1 yang menentukan:  “Seorang anak adalah setiap manusia yang  berusia 18 tahun kecuali  berdasarkan Undang-Undang yang berlaku bagi anak-anak kedewasaan  dicapai lebih cepat.” 8. Pengertian Anak Menurut Hukum Adat  Menurut Hukum Adat tidak ada ketentuan yang pasti kapan seseorang  dapat dianggap dewasa atau mempunyai wewenang untuk bertindak. Hasil  penelitian Mr. Soepomo tentang Hukum Perdata Jawa Barat menjelaskan  bahwa ukuran kedewasaan seseorang diukur dari segi:  1.  dapat bekerja sendiri;  2.  cakap untuk melakukan apa yang disyaratkan dalam kehidupan  bermasyarakat dan bertanggung jawab;  3.  dapat mengurus harta kekayaan sendiri;  4.  telah menikah.
Download lengkap Versi Word

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi