BAB I .
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang .
Negara yang maju
adalah negara yang memberikan perhatian serius terhadap anak,
sebagai wujud kepedulian akan generasi bangsa. Anak adalah karunia Tuhan yang harus dihargai dengan
melindungi dan membimbing mereka menjadi
pribadi yang mengagumkan. Namun dalam kenyataannya, perhatian terhadap anak seringkali terabaikan oleh orang
dewasa, dianggap sepele atau sebelah
mata karena yang dihadapi hanya seorang anak kecil. Padahal sebenarnya, perhatian terhadap anak sejak dini sangat
mempengaruhi masa depannya kelak.
Dalam proses
pertumbuhan dan pencarian jati dirinya, tidak jarang kita jumpai adanya penyimpangan sikap perilaku di
kalangan anak yang sangat dipengaruhi
oleh nilai-nilai dalam masyarakat dan pola pikir mereka yang masih labil. Bahkan lebih jauh lagi, terdapat anak
yang melanggar hukum yang melakukan
tindak pidana yang merugikan orang lain bahkan dirinya sendiri.
Perilaku buruk anak
juga bisa jadi merupakan cerminan kelalaian serta ketidakmampuan orang dewasa dalam mendidik
anak. Hal tersebut tentunya harus mendorong
kita untuk lebih banyak memberikan perhatian akan penanggulangan serta penanganan atas masalah perilaku buruk
anak. Anak-anak nakal perlu ditangani
melalui suatu Lembaga Peradilan khusus karena mereka tidak mungkin diperlakukan sebagaimana orang dewasa.
Perhatian terhadap anakpun dari hari ke hari
semakin serius dimana untuk menjamin perlindungan terhadap hak anak yang berkonflik dengan hukum, maka dikeluarkanalah
Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak. Meskipun dalam implementasinya masih memiliki banyak kelemahan, namun kehadiran UU
ini merupakan suatu langkah maju bagi
perlindungan hak-hak anak dalam Peradilan Anak di Indonesia.
Ide tentang
lahirnya Peradilan Anak di Indonesia sendiri sudah ada sejak tahun 1970, seperti dimaksud dalam Penjelasan
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Kemudian dilanjutkan dengan Peraturan Menteri Kehakiman
RI. No.: M.06-UM.01 Tahun 1983 dan Surat
Edaran Mahkamah Agung RI tanggal 17 November 1987 No.: MA/KUMDIL/10348/XI/87. Untuk merealisir
lahirnya Undang-Undang Peradilan Anak,
maka pada tanggal 10 November 1995 pemerintah dengan Amanat Presiden No.:
R.12/PU/XII/1995 mengajukan Rancangan Undang-Undang Peradilan Anak kepada Dewan Perwakilan Rakyat
untuk mendapat pembahasan dan
persetujuannya. Malahan dalam RUU Peradilan Anak ini tadinya ada rencana untuk mengatur Hukum Anak pada umumnya, mulai
dari : Sidang Anak Nakal, Sidang Anak
Terlantar, Sidang Perkara Perwalian dan Perkara Anak Sipil. Akan tetapi, hal ini kemudian berubah menjadi UU
Pengadilan Anak yang hanya mengatur
tentang sidang Anak Nakal saja. Ini sangat disayangkan, sebab masalahmasalah
tersebut masih hidup dalam praktek hukum negara kita.
“Pemerintah dan Lembaga Negara lainnya
berkewajiban dan bertanggung jawab untuk
memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, Perlindungan terhadap hak anak yang berkonflik
dengan hukum ini juga ditegaskan dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, sebagaimana disebutkan pada Pasal 65 : Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, P.T.
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm.11.
anak
yang berhadapan dengan hukum Berbicara
mengenai Hakim Anak, maka tidak dapat dilepaskan dari peranan hakim pada umumnya. Hakim mempunyai
peranan yang sangat penting dalam
menciptakan keadilan dan ketertiban dalam dan bagi masyarakat, terlebih lagi menyangkut putusan yang dijatuhkannya
yang akan mempunyai akibat begitu besar
terhadap kepentingan publik khususnya terhadap pihak yang berperkara atau terkena perkara. Begitu banyak hal yang
menjadi dasar pertimbangan bagi hakim dalam
menjatuhkan putusan. Putusan tersebut harus memperhatikan tujuan pemidanaan, dimana agar orang yang telah
dipidana menjadi seorang yang baik dan
dapat kembali serta diterima di tengah-tengah masyarakat. Apabila seorang hakim keliru dalam menentukan suatu putusan
maka keadilan hukum yang diharapkan oleh
masyarakat justu berbalik menjadi ketidakadilan. Yang lebih memprihatinkan, ternyata hal ini terjadi pada
praktik peradilan di negara kita.
Menurut Bagir
Manan, usaha menghadapi sulitnya akses publik atas putusan hakim dapat terjadi karena hakim menyadari
putusannya dibuat asal-asalan, tidak bermutu,
sehingga ada rasa takut atau rendah diri kalau menjadi wacana publik.
, anak dari
kelompok minoritas dan terisolasi, anak
tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban
penyalahgunaan narkoba, alkohol, psikotropika,
zat adiktif lainnya (NAPZA), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak yang menyandang cacat
dan anak korban perlakuan salah dan
penelantaran.” Pada proses Persidangan Anak terdapat ketentuan-ketentuan khusus
yang berbeda dengan layaknya persidangan
biasa bagi orang dewasa, dalam rangka menjamin
pertumbuhan fisik serta mental anak. Hakim, Jaksa Penuntut Umum, Penasihat Hukum, serta petugas lainnya dalam
Sidang Anak tidak memakai toga atau
pakaian dinas (Pasal 6 UU No.3 Tahun 1997).
Putusan
hakim itu bisa asal-asalan karena tidak mengetahui, meskipun mestinya hal itu seharusnya tidak terjadi karena
Majelis Hakim berjumlah tiga orang. Akan tetapi, yang lebih berbahaya adalah putusan
itu asal-asalan karena hakim kehilangan
independensinya.
Demikian halnya dengan hakim anak, ternyata
mempunyai tanggung jawab yang lebih
besar karena disamping tugasnya sebagai hakim biasa juga dibebani tugas khusus
memeriksa perkara-perkara pidana dimana terdakwanya adalah anak-anak. Putusan hakim anak,
disamping tindakan dan sikap perilaku hakim
anak tersebut dalam menghadapi anak
selama proses persidangan mempunyai
pengaruh baik terhadap psikologi anak maupun masa depan anak yang bersangkutan. Oleh karena itu, dengan
kebebasannya seorang hakim harus berani
menjatuhkan putusan secara cermat, adil, penuh kearifan dan bermanfaat bagi anak. Oleh karena itu pula, persyaratan
menjadi Hakim Anak haruslah khusus dan
ketat.
Apakah dalam
realitas pelaksanaan persidangan anak seorang Hakim Anak menjatuhkan putusan telah benar-benar mengacu
pada ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku tanpa mengabaikan jaminan perlindungan terhadap anak?
Dari uraian diatas tersebut, maka penulis tertarik untuk membahasnya lebih lanjut pada bab-bab
selanjutnya dalam skripsi ini.
Soelidarmi, Kumpulan Putusan Kontroversial
Dari Hakim/Majelis Hakim Kontroversial Beserta
Polemik Yang Diberitakan Atau Ditulis Media Cetak, UII Press, Yogyakarta, 2002,
hlm.xxi.
B.
Permasalahan Berdasarkan uraian singkat
latar belakang diatas, maka yang menjadi inti permasalahan yang akan dibahas lebih lanjut
pada bab berikutnya yaitu: 1. Bagaimana perlindungan terhadap anak dalam proses
Peradilan Anak? 2. Bagaimana peranan Hakim Anak dalam penjatuhan putusan atas
perkara pidana yang dilakukan anak? C. Keaslian Penulisan Skripsi ini dengan judul “Peranan Hakim Anak
Dalam Penjatuhan Putusan Atas Perkara Pidana Yang Dilakukan Anak” adalah hasil
karya penulis sendiri dan belum pernah
diangkat sebelumnya. Bila ternyata ada skripsi yang sama dengan skripsi ini sebelum skripsi ini dibuat, maka
penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya.
D. Tujuan dan
Manfaat Penulisan Adapun yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini adalah
sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui apa
yang menjadi hak-hak anak pelaku kejahatan dalam proses Peradilan Anak; 2. Untuk mengetahui
bagaimana peranan Hakim Anak dalam penjatuhan putusan atas perkara pidana yang dilakukan anak; Dari
penulisan skripsi ini, manfaat yang dapat diambil antara lain: 1. Secara
teoritis : sebagai bahan kajian lebih mendalam terhadap ilmu pengetahuan serta menambah wawasan khususnya
mengenai keberadaan Hakim
Anak yang terbilang masih muda dalam kehidupan peradilan di Indonesia; 2. Secara praktis : sebagai bahan masukan bagi
pemerintah, aparat penegak hukum,
masyarakat dan juga para orangtua dalam menghadapi anak yang melakukan suatu tindak pidana namun dengan
tetap memperhatikan perlindungan
terhadap anak.
E. Tinjauan
Kepustakaan 1. Pengertian Anak dan Kejahatan Anak a. Pengertian Anak Dalam Aspek Hukum Di Indonesia terdapat pengertian yang beraneka
ragam tentang anak, dimana dalam
berbagai perangkat hukum yang berlaku menentukan batasan usia anak yang berbeda-beda. Hal ini sering
membingungkan masyarakat awam mengenai
pengertian anak itu sendiri secara hukum. Untuk itu digunakan asas “lex specialis
derogat lex generalis”, artinya bahwa hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum.
Batas usia anak
merupakan pengelompokan usia maksimum sebagai wujud kemampuan anak dalam status hukum,
sehuingga anak tersebut beralih status
menjadi usia dewasa atau menjadi seorang subjek hukum yang dapat bertanggung jawab secara mandiri terhadap
perbuatan-perbuatan dan tindakantindakan hukum yang dilakukannya.
Berikut ini dapat
dilihat beberapa pengertian anak dari berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia: 1.
Pengertian Anak Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Diatur pada Pasal 330 KUHPerdata
yang menentukan: “Belum dewasa adalah
mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin.
Apabila perkawinan itu dibubarkan
sebelum umur mereka genap 21 tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa.” 2. Pengertian Anak Menurut Undang-Undang Nomor
4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak Diatur
pada Pasal 1 angka 2yang menentukan: “Anak
adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin.” 3. Pengertian Anak Menurut Undang-Undang No.3
Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak Diatur
pada Pasal 1 yang menentukan: “Anak
adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur
delapan belas tahun dan belum pernah
kawin.” 4. Pengertian Anak Menurut
Undang-Undang No.39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia Diatur pada Pasal 1 huruf 5 yang menentukan: “Anak adalah setiap manusia yang berusia di
bawah delapan belas tahun dan belum
menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.” 5. Pengertian Anak Menurut Undang-Undang No.23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Diatur
pada Pasal 1 yang menentukan: “Anak
adalah seseorang yang belum berusia delapan belas tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.” 6. Pengertian Anak Menurut Konvensi Hak Anak
(Convention on the Rights of the Child)
yang telah diratifikasi berdasarkan Keputusan Presiden No.
36 Tahun 1990 Diatur pada Pasal 1bagian 1 yang menentukan: “Seorang anak adalah setiap manusia yang berusia 18 tahun kecuali berdasarkan Undang-Undang yang berlaku bagi
anak-anak kedewasaan dicapai lebih
cepat.” 8. Pengertian Anak Menurut Hukum Adat Menurut Hukum Adat tidak ada ketentuan yang
pasti kapan seseorang dapat dianggap
dewasa atau mempunyai wewenang untuk bertindak. Hasil penelitian Mr. Soepomo tentang Hukum Perdata
Jawa Barat menjelaskan bahwa ukuran
kedewasaan seseorang diukur dari segi: 1. dapat bekerja sendiri; 2.
cakap untuk melakukan apa yang disyaratkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bertanggung jawab; 3.
dapat mengurus harta kekayaan sendiri; 4.
telah menikah.
Download lengkap Versi Word
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi