Rabu, 23 April 2014

Skripsi Hukum: PROSES IMPEACHMENTPRESIDEN MENURUT UUD NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

BAB I .
PENDAHULUAN .
A. Latar Belakang.
Masa peralihan Indonesia menuju suatu cita demokrasi merupakan salah  satu proses yang menjadi tahapan penting perkembangan Indonesia. Salah satu  aspek yang menjadi bagian dari proses peralihan Indonesia menuju cita demokrasi  adalah terjadinya perubahan di bidang ketatanegaraan yang diantaranya mencakup  proses perubahan konstitusi Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Undang-Undang  Dasar 1945 telah mengalami perubahan-perubahan mendasar sejak dari Perubahan  Pertama pada tahun 1999 sampai ke Perubahan Keempat pada tahun 2002.

 Setelah terjadinya empat kali perubahan Undang-Undang Dasar (UUD)  1945 mengakibatkan beberapa perubahan antara lain adanya ketentuan yang  secara eksplisit mengatur pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam  masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul Dewan  Perwakilan Rakyat (DPR). Alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil  Presiden disebutkan secara limitatif dalam konstitusi, yaitu pengkhianatan  terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, perbuatan tercela,  atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 7A dan 7B Perubahan Ketiga UUD 1945.
  Jimly Asshiddiqie, “Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD  Tahun 1945”, Makalah Disampaikan Pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII  Denpasar, 14-18 Juli 2003, http://legal.daily-thought.info, akses pada Februari 2010. hal. 1.
 Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang  Dasar Negara Republik Indonesia Sesuai denagan Urutan Bab, Pasal, dan Ayat,Sekretariat  Jenderal MPR RI, Jakarta, 2002, hal. 42-43.
Pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan  pengkhianatan terhadap negara, korupsi,penyuapan, tindak pidana berat lain,  perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau  Wakil Presiden selanjutnya akan diperiksa, diadili, dan diputus oleh Mahkamah  Konstitusi (MK) apakah pendapat  DPR tersebut mempunyai landasan  konstitusional atau tidak. Amar putusan MK atas pendapat DPR tersebut  sekurang-kurangnya terdiri dari tiga kemungkinan.
Kemungkinan dari amar putusan MK itu adalah; Pertama, amar putusan  MK menyatakan bahwa permohonan tidak dapat diterima apabila permohonan  tidak memenuhi syarat. Kedua, amar putusan MK menyatakan membenarkan  pendapat DPR apabila Presiden dan/ atau Wakil Presiden terbukti melakukan  tindakan yang dituduhkan.  Ketiga, amar putusan MK menyatakan bahwa  permohonan ditolak apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak terbukti  melakukan tindakan yang dituduhkan.
 Munculnya ketentuan ini sebenarnyamerupakan konsekuensi logis dari  adanya keinginan untuk lebih mempertegas sistem pemerintahan presidensial  yang merupakan salah satu kesepakatan dasar Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja  MPR.
 Penegasan sistem pemerintahan presidensial tersebut mengandaikan  adanya lembaga kepresidenan yang mempunyai legitimasi kuat yang dicirikan   Lihat ketentuan Pasal 83 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang  Mahkamah Konstitusi. Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, UU  No. 24 Tahun 2003, LN No. 98 Tahun 2003,TLN No. 4316.
 Selengkapnya kesepakatan dasar yang disusun Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR adalah (1)  tidak mengubah Pembukaan UUD 1945; (2) tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik  Indonesia; (3) mempertegas sistem pemerintahanpresidensial; (4) penjelasan UUD NRI Tahun  1945 yang memuat hal-hal normatif akan dimasukkan kedalam pasal-pasal; dan (5) melakukan  perubahan dengan cara adendum Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia, Panduan  Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Sesuai denagan Urutan Bab,  Pasal, dan Ayat,(Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2002), hal. 13.
dengan (1) adanya masa jabatan Presiden yang bersifat tetap (fixed term); (2)  Presiden selain sebagai kepala negara juga kepala pemerintahan; (3) adanya  mekanisme saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances); dan (4)  adanya mekanisme impeachment.
 UUD 1945 sebelum perubahan tidak mengatur bagaimana mekanisme  impeachmentdapat dilakukan dan alasan apa yang dapat membenarkan impeachmentboleh dilakukan. UUD 1945 tidak mengatur secara eksplisit dan  detail mengenai hal tersebut. UUD 1945 hanya mengatur mengenai penggantian  kekuasaan dari presiden kepada wakil presiden jika presidenmangkat, berhenti  atau tidak dapat melakukan kewajibannyadalam masa jabatannya sebagaimana  tertera dalam Pasal 8 UUD 1945. Tidak adanya pengaturan mengenai alasan dan  mekanisme impeachmenttersebut menyebabkan terjadinya kekosongan konstitusi (constitutionale vacuum)mengenai hal tersebut dalam UUD 1945.
 Kekosongan konstitusi yang mengatur mengenaiimpeachmenttersebut  dapat dimengerti jika dikaitkan dengan status UUD 1945 yang masih bersifat  sementara sebagaimana pernah dikemukakan oleh Soekarno dalam sidang Panitia  Persiapan Kemerdekaan Indonesai (PPKI). Status sementara itu disebabkan para  anggota PPKI tidak memiliki cukup waktu lagi untuk menyusun sebuah konstitusi  yang lengkap karena kondisi politik saat itu muncul keinginan untuk segera  memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia. Setelah kemerdekaan  diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, pada tanggal 18 Agustus 1945   Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang  Dasar Negara Republik Indonesia Sesuai denagan Urutan Bab, Pasal, dan Ayat,(Jakarta:  Sekretariat Jenderal MPR RI, 2002), hal. 56.
 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, http://id.wikisource.org, akses  pada Februari 2010.
PPKI mengadakan sidang untuk mengesahkan UUD 1945 hasil Badan Penyelidik  Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) sebagai konstitusi  Indonesia.
 Impeachmenttersebut dilakukan dengan cara yang relatif mudah. Bila  DPR berpendapat bahwa presiden telah melanggar Garis-garis Besar Haluan  Negara (GBHN) atau mengambil sikap politik yang berlawanan dengan sikap  politik DPR, DPR dapat mengundang MPR untuk melakukan Sidang Istimewa  (SI) untuk membicarakan impeachmentpresiden. Bila MPR setuju,presiden harus  berhenti.
 Mudahnyaimpeachmentpresiden di bawah UUD 1945 sebelum  amandemen mengakibatkan timbulnya pendapat bahwa sistem presidensial  tersebut tidak murni karena telah bercampur dengan sistem parlementer. Dalam  sistem parlementer, perdana menteri yangmerupakan kepala pemerintahan dapat  diberhentikan setiap saat (yang juga berarti bubarnya kabinet) bila tidak lagi  mendapat dukungan DPR. Hilangnya dukungan DPR berarti DPR memberikan  “mosi tidak percaya” kepada perdana menteri dan kabinetnya yang menyebabkan  bubarnya pemerintah. Oleh karena itu sistem parlementer cenderung  menghasilkan ketidakstabilan politik karenakabinet bisa jatuh setiap waktu yang  menyebabkan sulitnya pemerintah melaksanakan program-program  pembangunan. Sistem presidensial yang digunakan di bawah UUD 1945 setelah  amandemen telah semakin mendekati sistem presidensial murni karena presiden   Ibid.
 Maswadi Rauf, Impeachment dalam Sistem Presidensial, aipi.wordpress.com. Akses pada  Februari 2010  dipilih langsung oleh rakyat dan presiden tetap dapat diberhentikan bila terjadi  pelanggaran hukum sebagai mekanisme kontrol terhadap presiden.
 Sebelum terjadinya perubahan terhadap UUD 1945, Presiden dan/atau  Wakil Presiden dapat diberhentikan dengan alasan-alasan yang bersifat politik,  bukan yuridis. Hal ini tidak lazim diterapkan di negara dengan sistem  pemerintahan presidensial. Oleh karenaitu, Perubahan Ketiga UUD 1945 memuat  ketentuan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa  jabatannya yang semata-mata didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat yuridis  dan hanya mengacu pada ketentuan normatif-limitatif yang disebutkan di dalam  konstitusi.
 Proses pemberhentian tersebut hanya dapat dilakukan setelah didahului  adanya proses konstitusional melalui Mahkamah Konstitusi (MK) yang akan  memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau  Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan  terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, perbuatan tercela,  atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Adanya kemungkinan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam  masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR inilah yang secara teknis  ketatanegaraan disebut dengan istilah impeachment.
Akan tetapi, yang menjadi persoalan selanjutnya, ketentuan-ketentuan  mengenai impeachmentyang terdapat di dalam konstitusi tidak mengatur lebih   Ibid.
 Winarno Yudho, Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Pusat  penelitian dan pengkajian sekretariat jenderal dan kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik  Indonesia, Jakarta, 2005. Hal. 5.

jauh persoalan-persoalan teknis, sehingga pada saat ini masih diupayakan  formulasi yang tepat terhadapnya. Ada banyak persoalan yang tidak atau belum  sepenuhnya bisa terjawab dengan sebaik-baiknya.
Download lengkap Versi Word

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi