BAB I .
PENDAHULUAN .
A. Latar Belakang.
Masa peralihan
Indonesia menuju suatu cita demokrasi merupakan salah satu proses yang menjadi tahapan penting
perkembangan Indonesia. Salah satu aspek
yang menjadi bagian dari proses peralihan Indonesia menuju cita demokrasi adalah terjadinya perubahan di bidang
ketatanegaraan yang diantaranya mencakup proses perubahan konstitusi Indonesia Tahun
1945 (UUD 1945). Undang-Undang Dasar
1945 telah mengalami perubahan-perubahan mendasar sejak dari Perubahan Pertama pada tahun 1999 sampai ke Perubahan
Keempat pada tahun 2002.
Setelah terjadinya empat kali perubahan
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945
mengakibatkan beberapa perubahan antara lain adanya ketentuan yang secara eksplisit mengatur pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa
jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Alasan pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden
disebutkan secara limitatif dalam konstitusi, yaitu pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak
pidana berat lain, perbuatan tercela, atau
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Ketentuan tersebut
diatur dalam Pasal 7A dan 7B Perubahan Ketiga UUD 1945.
Jimly Asshiddiqie, “Struktur Ketatanegaraan
Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun
1945”, Makalah Disampaikan Pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII Denpasar, 14-18 Juli 2003,
http://legal.daily-thought.info, akses pada Februari 2010. hal. 1.
Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia,
Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Sesuai denagan Urutan Bab, Pasal, dan
Ayat,Sekretariat Jenderal MPR RI,
Jakarta, 2002, hal. 42-43.
Pendapat DPR bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pengkhianatan terhadap negara,
korupsi,penyuapan, tindak pidana berat lain, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden selanjutnya akan diperiksa, diadili, dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi (MK) apakah pendapat DPR tersebut mempunyai landasan konstitusional atau tidak. Amar putusan MK
atas pendapat DPR tersebut sekurang-kurangnya
terdiri dari tiga kemungkinan.
Kemungkinan dari
amar putusan MK itu adalah; Pertama, amar putusan MK menyatakan bahwa permohonan tidak dapat
diterima apabila permohonan tidak
memenuhi syarat. Kedua, amar putusan MK menyatakan membenarkan pendapat DPR apabila Presiden dan/ atau Wakil
Presiden terbukti melakukan tindakan
yang dituduhkan. Ketiga, amar putusan MK
menyatakan bahwa permohonan ditolak
apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak terbukti melakukan tindakan yang dituduhkan.
Munculnya ketentuan ini sebenarnyamerupakan
konsekuensi logis dari adanya keinginan
untuk lebih mempertegas sistem pemerintahan presidensial yang merupakan salah satu kesepakatan dasar
Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR.
Penegasan sistem pemerintahan presidensial
tersebut mengandaikan adanya lembaga
kepresidenan yang mempunyai legitimasi kuat yang dicirikan Lihat ketentuan Pasal 83 ayat (1), (2), dan
(3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Republik Indonesia,
Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, UU No. 24 Tahun 2003, LN No. 98 Tahun 2003,TLN
No. 4316.
Selengkapnya kesepakatan dasar yang disusun
Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR adalah (1) tidak mengubah Pembukaan UUD 1945; (2) tetap
mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
(3) mempertegas sistem pemerintahanpresidensial; (4) penjelasan UUD NRI Tahun 1945 yang memuat hal-hal normatif akan
dimasukkan kedalam pasal-pasal; dan (5) melakukan perubahan dengan cara adendum Majelis
Permusyawaratan Republik Indonesia, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Sesuai denagan Urutan Bab, Pasal, dan Ayat,(Jakarta: Sekretariat Jenderal
MPR RI, 2002), hal. 13.
dengan (1) adanya
masa jabatan Presiden yang bersifat tetap (fixed term); (2) Presiden selain sebagai kepala negara juga
kepala pemerintahan; (3) adanya mekanisme
saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances); dan (4) adanya mekanisme impeachment.
UUD 1945 sebelum perubahan tidak mengatur
bagaimana mekanisme impeachmentdapat dilakukan
dan alasan apa yang dapat membenarkan impeachmentboleh dilakukan. UUD 1945
tidak mengatur secara eksplisit dan detail
mengenai hal tersebut. UUD 1945 hanya mengatur mengenai penggantian kekuasaan dari presiden kepada wakil presiden
jika presidenmangkat, berhenti atau
tidak dapat melakukan kewajibannyadalam masa jabatannya sebagaimana tertera dalam Pasal 8 UUD 1945. Tidak adanya
pengaturan mengenai alasan dan mekanisme
impeachmenttersebut menyebabkan terjadinya kekosongan konstitusi (constitutionale
vacuum)mengenai hal tersebut dalam UUD 1945.
Kekosongan konstitusi yang mengatur
mengenaiimpeachmenttersebut dapat
dimengerti jika dikaitkan dengan status UUD 1945 yang masih bersifat sementara sebagaimana pernah dikemukakan oleh
Soekarno dalam sidang Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesai (PPKI). Status sementara itu disebabkan para anggota PPKI tidak memiliki cukup waktu lagi
untuk menyusun sebuah konstitusi yang
lengkap karena kondisi politik saat itu muncul keinginan untuk segera memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Setelah kemerdekaan diproklamasikan pada
tanggal 17 Agustus 1945, pada tanggal 18 Agustus 1945 Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia,
Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Sesuai denagan Urutan Bab, Pasal, dan Ayat,(Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2002), hal. 56.
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan
Konstitusionalisme Indonesia, http://id.wikisource.org, akses pada Februari 2010.
PPKI mengadakan
sidang untuk mengesahkan UUD 1945 hasil Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI) sebagai konstitusi Indonesia.
Impeachmenttersebut dilakukan dengan cara yang
relatif mudah. Bila DPR berpendapat
bahwa presiden telah melanggar Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) atau mengambil sikap politik
yang berlawanan dengan sikap politik
DPR, DPR dapat mengundang MPR untuk melakukan Sidang Istimewa (SI) untuk membicarakan impeachmentpresiden.
Bila MPR setuju,presiden harus berhenti.
Mudahnyaimpeachmentpresiden di bawah UUD 1945
sebelum amandemen mengakibatkan
timbulnya pendapat bahwa sistem presidensial tersebut tidak murni karena telah bercampur
dengan sistem parlementer. Dalam sistem
parlementer, perdana menteri yangmerupakan kepala pemerintahan dapat diberhentikan setiap saat (yang juga berarti
bubarnya kabinet) bila tidak lagi mendapat
dukungan DPR. Hilangnya dukungan DPR berarti DPR memberikan “mosi tidak percaya” kepada perdana menteri
dan kabinetnya yang menyebabkan bubarnya
pemerintah. Oleh karena itu sistem parlementer cenderung menghasilkan ketidakstabilan politik
karenakabinet bisa jatuh setiap waktu yang menyebabkan sulitnya pemerintah melaksanakan
program-program pembangunan. Sistem
presidensial yang digunakan di bawah UUD 1945 setelah amandemen telah semakin mendekati sistem
presidensial murni karena presiden Ibid.
Maswadi Rauf, Impeachment dalam Sistem
Presidensial, aipi.wordpress.com. Akses pada Februari 2010 dipilih langsung oleh rakyat dan presiden
tetap dapat diberhentikan bila terjadi pelanggaran
hukum sebagai mekanisme kontrol terhadap presiden.
Sebelum terjadinya perubahan terhadap UUD
1945, Presiden dan/atau Wakil Presiden
dapat diberhentikan dengan alasan-alasan yang bersifat politik, bukan yuridis. Hal ini tidak lazim diterapkan
di negara dengan sistem pemerintahan
presidensial. Oleh karenaitu, Perubahan Ketiga UUD 1945 memuat ketentuan pemberhentian Presiden dan/atau
Wakil Presiden dalam masa jabatannya
yang semata-mata didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat yuridis dan hanya mengacu pada ketentuan
normatif-limitatif yang disebutkan di dalam konstitusi.
Proses pemberhentian tersebut hanya dapat
dilakukan setelah didahului adanya
proses konstitusional melalui Mahkamah Konstitusi (MK) yang akan memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR
bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden
telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana
berat lain, perbuatan tercela, atau
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Adanya kemungkinan
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR inilah
yang secara teknis ketatanegaraan
disebut dengan istilah impeachment.
Akan tetapi, yang
menjadi persoalan selanjutnya, ketentuan-ketentuan mengenai impeachmentyang terdapat di dalam
konstitusi tidak mengatur lebih Ibid.
Winarno Yudho, Mekanisme Impeachment dan Hukum
Acara Mahkamah Konstitusi, Pusat penelitian
dan pengkajian sekretariat jenderal dan kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia, Jakarta, 2005. Hal.
5.
jauh
persoalan-persoalan teknis, sehingga pada saat ini masih diupayakan formulasi yang tepat terhadapnya. Ada banyak
persoalan yang tidak atau belum sepenuhnya
bisa terjawab dengan sebaik-baiknya.
Download lengkap Versi Word
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi