BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang.
Mediasi dalam
hubungan industrial adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan
pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antarserikat pekerja/ serikat buruh hanya
dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih
mediator yang netral. Terjadinya perselisihan di antara manusia, terkhusus dalam bidang
ketenagakerjaan merupakan masalah lumrah
yang akan dialami oleh para pengusaha dengan para buruh. Umumnya hal tersebut timbul dikarenakan adanya
perasaan-perasaan kurang puas dari masingmasing pihak. Pengusaha mengeluarkan
kebijakan-kebijakan yang menurut pertimbangannya
sudah baik dan pasti akan diterima oleh para pekerja/ buruh, namun karena
para pekerja/ buruh juga memiliki
pertimbangan yang berbeda-beda, maka buruh
yang merasa puas dengan kebijakan para pengusaha akan menunjukkan semangat kerjanya dengan baik sedangkan buruh
yang merasa tidak puas akan menunjukkan
semangat kerja yang menurun dan buruk. Akibatnya, sudah dapat diterka akan timbul konflik atau perselisihan
yang dalam Undang-Undang No. 13 Tahun
2003 Tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial, disebut dengan perselisihan hubungan
industrial.
a.
Pengupahan; Pokok pangkal
perselisahan antara pekerja/ buruh dengan pengusaha pada umumnya berkisar pada masalah-masalah : b. Jaminan sosial; c. Perilaku penugasan yang kadang-kadang
dirasakan kurang sesuai kepribadian; d.
Daya kerja dan kemampuan kerja yang dirasakan kurang sesuai dengan pekerjaan yang harus diemban; Zaeni Asyhadie I, Peradilan Hubungan
Industrial, (Jakarta, PT Raja Grafindo, 2009), hal. 2.
e.
Adanya masalah pribadi.
Pemerintah berkewajiban untuk melindungi
negara dan warga negara agar roda-roda
pembangunan nasional dapat berjalan dengan baik dan tertib. Oleh karena itu, Pemerintah bahkan para pekerja/ buruh
serta pengusaha, tidak menghendaki adanya
konflik atau perselisihan di antara mereka karena hanya akan menimbulkan kerugian baik kerugian bagi pengusaha maupun
bagi para pekerja itu sendiri yang pada
akhirnya juga dapat menimbulkan kerugian bagi masyarakat luas.
Mencermati konflik
antara para pekerja/ buruh dengan pengusaha tidak dapat dilihat secara hitam putih semata, sebab
berbicara mengenai masalah ketenagakerjaan memang cukup kompleks. Oleh karena itu,
Pemerintah menerbitkan Undang-Undang No.
2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial sebagai rangkaian pendukung diterbitkannya
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
yang terlebih dahulu dikeluarkan.
Hal ini tentu saja
membuat pekerja/ buruh mempunyai kesempatan untuk menyelesaikan perselisihan yang mereka hadapi
dan penyelesaian perselisihan yang demikian
dapat memberikan perlindungan hukum yang kuat terhadap para pihak yang sedang
dilanda konflik. Mulai dari penyelesaian oleh para pihak secara kooperatif, dengan bantuan orang lain atau pihak ketiga
yang bersifat netral dan sebagainya.
Penyelesaian
semacam ini lazim disebut penyelesaian perselisihan di luar pengadilan atau
alternative dispute resolution
(ADR) yang dalam masyarakat Indonesia Gunawi Kartasapoetra, dkk seperti dikutip Zaeni
Asyhadie dalam bukunya, Dasar-Dasar Hukum
Perburuhan, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 202.
penyelesaian perselisihan semacam ini sudah
lama dikenal, yakni musyawarah baik dengan
melibatkan pihak lain maupun tidak.
a.
Sebagai katup penekan (pressure valve )atas segala pelanggaran hukum dan
ketertiban masyarakat; Namun, apabila
para pihak yang berkonflik tidak
mencapai titik temu dalam penyelesaian sengketa yang dihadapi, baru kemudian dapat menempuh jalur pengadilan.
Secara teori
mungkin masih benar pandangan, bahwa dalam negara hukum yang tunduk kepada the rule of law, kedudukan
peradilan dianggap sebagai pelaksana kekuasaan
kehakiman (judical power) yang memiliki peranan : b. Oleh karena itu, pengadilan masih tetap
relevan sebagai the last resort atau tempat
terakhir mencari kebenaran dan keadilan, sehingga secara teoretis masih diandalkan sebagai badan yang berfungsi dan
berperan menegakkan kebenaran dan
keadilan (to enforce the truth and justice).
Akan tetapi, pengalaman yang pahit yang
menimpa masyarakat, memperlihatkan
sistem peradilan yang tidak efektif dan tidak efisien.
Penyelesaian
melalui pengadilan selain mahal, menyita cukup banyak waktu, serta dapat membangkitkan pertikaian yang
mendalam karena putusan Pengadilan ada dua
alternatif kalah dan menang.
Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial melalui Pengadilan dan di luar Pengadilan, (Jakarta, PT Raja Grafindo
Persada, 2004), hal. 7.
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang
Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian
dan Putusan Pengadilan,(Jakarta, Sinar Grafika, 2004), hal. 229.
Ibid Sedangkan penyelesaian sengketa melalui
ADR menjadi alternatif pilihan yang
ditempuh oleh para pihak, khususnya di kalangan usahawan karena penyelesaian yang demikian
masih dianggap relatif murah dan cepat,
putusannya dapat melanggengkan hubungan karena sifatnya win-win solution.
Ada beberapa alasan
mengapa penyelesaian sengketa melalui ADR mulai mendapat perhatian yang lebih di Indonesia,
misalnya seperti faktor-faktor sebagai berikut
: a. Faktor ekonomis, dimana alternative
penyelesaian sengketa memiliki potensi sebagai
sarana untuk menyelesaikan sengketa yang lebih ekonomis, baik dari sudut pandang biaya maupun waktu.
b. Faktor ruang lingkup yang dibahas, alternatif
penyelesaian sengketa memiliki kemampuan
untuk membahas agenda permasalahan secara lebih luas, komprehensif dan fleksibel.
c. Faktor pembinaan hubungan baik, di mana
alternatif penyelesaian sengketa yang mengandalkan
cara-cara penyelesaian yang kooperatif sangat cocok bagi mereka yang menekankan pentingnya hubungan baik antar
manusia (relationship), yang telah
berlangsung maupun yang akan datang.
Menyadari tentang berbagai keuntungan
penyelesaian perselisihan di luar pengadilan/
nonlitigasi maupun melalui pengadilan/ litigasi, maka peraturan perundang-undangan di Indonesia sudah mulai
mengatur penyelesaian perselisihan tersebut
termasuk dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang mengakomodir kedua cara penyelesaian
perselisihan tersebut. Terlebih dalam era H. Soeharto yang dikutip dari buku yang
berjudul Mediasi dan Perdamaian, (Jakarta, Mahkamah Agung Republik Indonesia,
2005), hal. 16.
industrialisasi seperti saat ini, masalah
perselisihan hubungan industrial menjadi semakin meningkat dan rumit sehingga
diperlukan institusi dan mekanisme penyelesaian
perselisihan hubungan industrial yang cepat, tepat, adil dan murah.
Mediasi termasuk
salah satu penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar pengadilan/ nonlitigasi yang dilakukan
melalui seorang penengah yang disebut mediator.
Pada dasarnya penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi adalah wajib, manakala para pihak
tidak memilih penyelesaian melalui konsiliasi
atau arbiter setelah instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan menawarkan kepada pihak-pihak
yang berselisih. Berbeda dengan hakim
atau arbiter, mediator tidak berwenang untuk memutuskan sengketa, mediator hanya membantu para pihak untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan yang dikuasakan
kepadanya. Di mana pada umumnya dalam suatu perselisihan ada salah satu pihak yang lebih kuat dan cenderung
menunjukkan kekuasaannya, maka pihak ketiga
memegang peranan penting untuk menyetarakannya. Kesepakatan dapat tercapai dengan mediasi karena pihak yang
bersengketa berhasil mencapai saling pengertian
dan bersama-sama merumuskan penyelesaian sengketa dengan arahan konkrit dari pihak ketiga. Hal inilah yang
akhirnya membuat atau menimbulkan keingintahuan
bagaimana sebenarnya peranan mediator sebagai pihak ketiga di antara para pihak yang bersengketa sehingga berhasil
menyelesaikan perselisihan tanpa harus
melalui pengadilan di dalam prakteknya/ di lapangan.
Download lengkap Versi Word
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi