BAB I.
PENDAHULUAN.
A . Latar Belakang.
Negara Republik
Indonesia adalah negara berdasarkan hukum yang demokratis, berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 bukan berdasarkan
atas kekuasaan semata-mata. Muhammad Kusnardi dan Bintan Saragih berpendapat bahwa: “ negara hukum
menentukan alat-alat perlengkapan yang
bertindak menurut dan terikat kepada peraturan-peraturan yang ditentukan terlebih dahulu oleh alat-alat perlengkapan
yang dikuasakan untuk mengadakan peraturan-peraturan
itu, adapun ciri-ciri khas bagi suatu negara hukum adalah: 1. pengakuan dan perlindungan atas hak-hak asasi
manusia; 2. peradilan yang bebas dari
pengaruh sesuatu kekuasaan atau kekuatan lain dan tidak memihak; 3. legalitas dalam arti hukum dalam segala
bentuknya.” Sebagai bentuk dari
perwujudan Indonesia merupakan negara hukum maka di buatlah peraturan perundang-undangan
yang salah satu dari perundangundangan tersebut adalah kitab undang-undang
hukum acara pidana yang mengatur
bagaimana cara beracara dalam hukum pidana.
Yang mana menurut
buku pedoman pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa “tujuan
hukum acara pidana adalah untuk Andi
Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hal 13.
mencari dan
mendapatkan kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari
suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk
mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan
suatu pelanggaran hukum dan selanjutnya minta pemeriksaan dan putusan pengadilan guna menentukan apakah
terbukti bahwa suatu tindak pidana telah
dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan”.
Jadi meskipun kegiatan upaya pembuktian yang
paling penting dan menentukan itu adalah
pada tingkat pemeriksaan perkara di muka sidang pengadilan, namun upaya pengumpulan sarana
pembuktian itu sudah berperan dan Hal
tersebut berdasarkan pemikiran bahwa dalam praktek hukum /praktek penegakan hukum ternyata bahwa pejabat
penyidik pada saat mulai mengayunkan langkah
pertamanya dalam melakukan penyidikan maka secara otomatis dan secara langsung sudah terikat dengan
ketentuan-ketentuan pembuktian yang diatur dalam KUHAP. Bahkan yang menjadi target
penting dalam kegiatan penyidikan adalah
upaya mengumpulkan alat-alat pembuktian untuk membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi.
Demikian pula dalam
hal penyidik menentukan seseorang berstatus tersangka, setidak-tidaknya penyidik harus
sudah menguasai alat pembuktian yang disebut
sebagai bukti permulaan, selanjutnya apabila penyidik sudah melakukan upaya paksa, misalnya penahanan terhadap orang
yang dianggap sebagai pelaku tindak
pidana maka tindakan penyidik tersebut paling kurang harus didasarkan pada bukti yang cukup.
Waluyadi, Pengetahuan Dasar Hukum Acara
Pidana, (Bandung: Mandar Maju, 1999), hal
15.
berfungsi pada saat
penyidik mulai melakukan tindakan penyidikan. Sehingga apabila pejabat penyidik dalam melakukan
penyidikan kurang memahami atau tidak
memperhatikan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan sarana pembuktian maka tindakan penyidik yang
dilakukan akan mengalami kegagalan.
Namun dengan perkembangan kemajuan jaman yang
semakin terus berkembang begitu juga
dengan tindakan kejahatan yang dilakukan oleh pelaku kejahatan, guna menghilangkan perbuatannya.
Tentulah semakin canggih pula tindakan
pelaku kejahatan untuk mengaburkan atau menghilangkan benda-benda Jika dilihat dari tujuan hukum acara pidana
tersebut diatas, maka yang dicari adalah
kebenaran yang materiil. yakni kebenaran yang hakiki atau yang sebenar-benarnya dan terbukti bersalah yang
didapat berdasarkan bukti-bukti yang ada
dan selengkap-lengkapnya dan bukan dari sekedar kebenaran formil apalagi hanya dengan pengakuan dari tersangka/terdakwa
yang tidak didasarkan buktibukti yang lain karena bisa saja yang mengaku
tersebut bukan merupakan pelaku yang
sebenarnya dan jika dikaitkan dengan skripsi yang disusun oleh penulis tentang peranan polisi sebagai penyidik dalam
mencari bukti pada proses penanganan
tempat kejadian perkara untuk mencari kebenaran materiil itu harus didapat dari bukti-bukti yang ada pada tempat
kejadian perkara yang merupakan tempat
terjadinya suatu tindak pidana yang mana dalam hal ini polisi sebagai penyidiklah yang berkewajiban untuk mencari
dan menemukan bukti-bukti sehingga
menjadi terang tentang suatu peristiwa yang diduga merupakan suatu tindak pidana.
HMA Kuffal, Penerapan KUHAP dalam Praktik
Hukum, (Malang: UMM Pres, 2008), hal 13-14.
atau bukti yang
digunakan oleh pelaku kejahatan dalam melakukan suatu tindak pidana sehingga pelaku kejahatan dapat
terbebas dari jeratan hukum, dari hal demikian
maka bagi penyidik untuk mencari dan menemukan apakah telah terjadi suatu tindak pidana pada suatu peristiwa yang
diduga merupakan suatu tindak pidana
tersebut diperlukan ketelitian dan kecermatan.
Adapun hal yang
menarik penulis untuk menulis skripsi tentang peranan penyidik dalam mencari bukti pada proses
penanganan tempat kejadian perkara adalah
banyaknya selama ini tindakan kejahatan yang sulit untuk diungkapkan sehingga dibutuhkan suatu upaya untuk
mengungkapkan tindakan kejahatan tersebut,
sehingga bagaimana upaya penyidik untuk mengetahui serta menemukan bukti tersebut dan salah satu upaya dari
penyidik adalah dengan cara pengolahan tempat
kejadian perkara yang merupakan bagian dari suatu proses penanganan tempat kejadian perkara.
Sebagai contoh:
telah terjadi suatu peristiwa yang diduga merupakan suatu pembunuhan, yang mana pada saat kejadian
pembunuhan tersebut tidak ada saksi yang
melihat, ataupun mendengar kejadian tersebut, dan kejadian tersebut baru diketahui setelah beberapa saat oleh
masyarakat dan kemudian masyarakat melaporkan
kejadian tersebut kepolisi, sesampainya ditempat kejadian perkara penyidik hanya menemukan korban yang telah
menjadi mayat dengan tubuh penuh dengan
luka tikaman dan lembam-lembam dengan jejak-jejak kaki yang diduga merupakan jejak kaki dari pelaku.
Dengan ketiadaan
saksi yang melihat kejadian tersebut tentulah menyulitkan bagi pihak kepolisian untuk segera
mencari dan menangkap pelakunya,
sehingga untuk memecahkan peristiwa tersebut,
dibutuhkan suatu proses
pengolahan tempat kejadian perkara guna mencari dan menemukan buktibukti yang
ada kaitannya dengan kejadian tersebut dan merupakan langkah awal dari penyidikan, sehingga dengan adanya bukti
tersebut dapat mengarahkan penyidik
untuk menyidik kejadian pembunuhan agar menjadi terang sehingga dapat menemukan pelakunya beserta cara dan
maksud dari pelaku melakukan pembunuhan
tersebut. guna kepentingan penyidikan, yang mana dari hasil buktibukti yang
didapat lihat dilapangan, dapat diketahui apakah pembunuhan tersebut merupakan pembunuhan biasa ataupun merupakan
pembunuhan yang telah direncanakan
sehingga akan menentukan pasal apakah yang nantinya akan dipergunakan oleh penuntut umum dalam menuntut
terdakwa.
Sehingga dengan
dilakukannya penanganan tempat kejadian perkara oleh penyidik diharapkan dapat menentukan suatu
peristiwa yang diduga suatu tindak pidana
menjadi terang yakni apakah memang benar peristiwa tersebut merupakan suatu tindak pidana atau pun bukan merupakan
suatu tindak pidana yang mana dapat
dibuktikan dari hasil penyidikan yang ditemukan pada waktu proses penanganan tempat kejadian perkara .
Dimana sewaktu
perkara tersebut telah dilimpahkan kepada pihak kejaksaan, perkara tersebut telah memenuhi
bukti yang cukup dan menjadikan bukti
yang didapat dari hasil pengolahan tempat kejadian perkara tersebut yang akan menguatkan keyakinan hakim dipersidangan
untuk menjatuhkan vonis bersalah kepada
terdakwa.sebagai mana yang terdapat didalam pasal 183 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut: “hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada
seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya
dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan
bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Dan apabila dari
hasil penyidikan tersebut tidak memperoleh cukup bukti untuk menuntut tersangka atau bukti yang diperoleh
penyidik tidak memadai untuk membuktikan
kesalahan tersangka jika diajukan kedepan pengadilan. Atas dasar kesimpulan ketidak cukupan bukti inilah
penyidik berwenang untuk menghentikan
penyidikan. Ataupun apabila dari hasil penyidikan dan pemeriksaan, penyidik berpendapat apa yang
disangkakan terhadap tersangka bukan
merupakan perbuatan melanggar dan kejahatan, dalam hal ini berwenang untuk menghentikan penyidikan Dengan melihat begitu pentingnya suatu alat
bukti yang nantinya akan menentukan
apakah seseorang bersalah atau tidak dihadapan persidangan maka penanganan tempat kejadian perkara sangat
dibutuhkan pada suatu tindak pidana agar
tidak terjadi kekeliruan atau pun kesalahan dari mulai penyelidikan, penyidikan, penuntutan sampai putusan.
. sebagaimana
berdasarkan pasal 109 ayat (2) KUHAP
tentang alasan penghentian penyidikan yakni: “Dalam hal penyidik menghentikan
penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak
pidana atau penyidikan dihentikan demi
hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum,tersangka atau keluarganya”.
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan
Penerapan KUHAP Penyidikan dan
Penuntutan edisi kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal 151.
Download lengkap Versi Word
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi