BAB I .
PENDAHULUAN .
A. Latar Belakang.
Bisnis waralaba
merupakan kegiatan usaha penjualan barang secara retail kepada masyarakat luas, begitu
populernyakegiatan usaha ini, sehingga cepat sekali berkembang dan meliputi berbagai jenis
bidang usaha. Bisnis waralaba diperkenalkan
pertama kali oleh Isaac Singerseorang pencipta mesin jahit merek Singer pada tahun 1851 di Amerika Serikat.
Pelopor bisnis waralaba terkenal di Amerika
Serikat antara lain adalah : The Coca-Cola Corporationdi bidang minuman Mc Donald's Corporationdi
bidang makanan General
Motor Corporationdi bidang otomotif Hilton Hoteldi bidang perhotelan Computer Centre Inc. di
bidang komputer Jony
Kingdi bidang pelayanan kebersihan Di
Indonesia, bisnis penjualan secara retail semacam waralaba mulai dikembangkan, banyak sekali bermunculan
pebisnis-pebisnis lokal yang melirik penjualan
barang atau jasanya secara waralaba, misalnya : Pertamina yang mempelopori
penjualan retail bensin melalui lisensi pompa bensin.
Ayam Goreng Wong Solo dan Tahu Tek-Tek, yang
mempelopori bisnis 1Abdulkadir
Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung hal. 335.
1 waralaba di bidang makanan Es Teler 77 yang mempelopori dalam bidang
minuman
Primagama yang mempelopori waralabadalam bidang jasa pendidikan Di Indonesia, sistem bisnis penjualan secara
waralaba sangat diminati oleh pebisnis
waralaba asing dimana mereka memberikan izin kepada pengusaha lokal untuk mengelola waralaba asing tersebut dan
tentunya akan berakibat menimbulkan
saingan yang berat bagi pengusaha kecil lokal yang bergerak di bidang usaha sejenis.
Begitu menarik dan menguntungkannyabisnis
waralaba ini, maka pemerintah
berkepentingan pula untuk mengembangkan bisnis di Indonesia guna terciptanya iklim kemitraan usaha melalui
pemanfaatan lisensi sistem bisnis waralaba.
Dengan bantuan International Labour Organization (ILO) da Departemen Perindustrian dan Perdagangan RI,
kemudian didirikan Asosiasi Franchise
Indonesia pada tanggal 22 Nopember 1991. Pada tahun 1995 berdiri pula Asosiasi Restoran Waralaba Indonesia
(ARWI) yang mengkhususkan diri di bidang
usaha restoran. Asosiasi ini bertujuan untuk mengembangkn sumber daya manusia bekualitas di bidang usaha restoran
waralaba, mengembangkan informasi dan
inovasi teknologi di bidang usaha restoran terutama mengenai teknologi makanan, peralatan masak, kemasan, kesehatan
dan gizi, pengawetan dan manajemen
pelayanan.
Melalui sistem bisnis waralaba ini, kegiatan
usaha para pengusaha kecil di Indonesia
dapat berkembang secara wajar dengan menggunakan resep, teknologi, Ibid., hal. 336 kemasan, manajemen pelayanan, merek dagang /
jasa pihak lain dengan membayar sejumlah
royalti berdasarkan lisensi waralaba. Di samping itu pengembangan sumber daya manusia berkualitas
menjadi penting melalui pelatihan
keterampilan menjalankan usaha waralaba yang diselenggarakan oleh pihak pemberi lisensi waralaba. Para pengusaha
kecil tidak perlu bersusah payah menciptakan
sendiri sistem bisnis, sudah cukup dengan menyediakan modal kemitraan usaha, membayar royalti, dengan
memanfaatkan sistem bisnis waralaba asing
melalui lisensi bisnis.
Menurut Douglas J
Queen, konsep bisnis waralaba yang sudah teruji kemungkinan besar mengimbangi biaya awal dan
royalti selanjutnya dari waralaba
tersebut. Besarnya biaya tersebut memberikan hak pada pemilik waralaba berupa penyediaan pelayanan utama
berikut ini : Pemilihan dan pengkajian lokasi Spesifikasi peralatan dan
tempat
Pelatihan manajemen dan staf Dukungan promosi dan
iklan Manfaat pembelian dan volume Merek dagang yang terkenal Berdasarkan penyediaan pelayanan tersebut oleh
pemilik waralaba, maka pembeli waralaba
mempertimbangkan kemungkinan memperoleh keuntungan bila membeli / meneriman izin perolehan waralaba.
Dengan kata lain, pemberi waralaba
melisensikan waralaba disertai penyediaan utama yang dapat Ibid., hal. 337.
menguntungkan penerima waralaba.
Semakin menjamurnya bisnis waralaba saat ini,
pemerintah memandang perlu untuk
mengetahui legalitas dan bonafiditas usaha Pemberi Waralaba baik dari luar negeri dan dalam negeri guna
menciptakan transparansi informasi usaha yang dapat dimanfaatkan secara optimal oleh
usaha nasional dalam memasarkan barang
dan/atau jasa dengan Waralaba. Disamping itu, Pemerintah dapat memantau dan menyusun data Waralaba baik
jumlah maupun jenis usaha yang diwaralabakan.
Untuk itu, Pemberi Waralaba sebelum membuat perjanjian Waralaba dengan Penerima Waralaba, harus
menyampaikan prospektus penawaran
Waralaba kepada Pemerintahdan calon Penerima Waralaba. Disisi lain, apabila terjadi kesepakatan perjanjian
Waralaba, Penerima Waralaba harus menyampaikan
perjanjian Waralaba tersebut kepada Pemerintah. Berdasarkan alasan tersebut pemerintah kemudian menetapkan
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007
tentang Waralaba.
Kejelian memilih
waralaba sebenarnyahanyalah sebagian dari serangkaian kiat sukses di bisnis ini. Selain itu prinsip
kehati-hatian juga harus dijaga.
Perjanjian yang
akan dibuat hendaknya benar-benar dipahami oleh para pihak agar dikemudian hari tidak terjadi sengketa yang berujung pada
gugatan wanprestasi salah satu pihak.
Contoh sengketa yang terjadi mengenai tindakan wanprestasi dari pemberi waralaba adalah
sebagai berikut : Setelah mulus
menggeluti bisnis waralaba selama lebih dari 20 tahun, Rudy Hadisuwarno akhirnya memetik buah sengketa.
Penata rambut kesohor itu harus
menghadapi tuntutan dari PT. Mega Mulia Mandiri, pemilik franchise My Salon di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Ini merupakan buntut dari kesepakatan
bisnis antara PT. Rudy Hadisuwarno dan PT. Mega Mulia yang putus di tengah jalan. Bagi Rudy,
konsepwaralaba memang dipercaya bisa memanjangkan
rantai pemasaran salon Rudy Hadisuwarno ke pasar menengah-bawah. Itu sebabnya, sejak tahun
1983, pria kelahiran Pekalongan ini
aktif menjalin kerja sama dengan banyak mitra usaha, termasuk menjalin kesepakatan co-brandingalias penggabungan
merek dengan Thomas Lie, Direktur PT.
Mega Mulia Mandiri, pada awal tahun 2004. Lewat kesepakatan itu, My Salon yang saat itu telah memiliki
delapan outletberhak membubuhkan nama Rudy Hadisuwarno di belakang
merek dagangnya sehingga menjadi My
Salon by Rudy Hadisuwarno. Untuk penggunaan nama Rudy itu, My Salon wajib membayar franchise
feeRp 500 juta. Selain itu, ia juga
harus membayar Rp 10 juta untuk tiap pembukaan outletMy Salon baru, serta pembagian revenue sharingsebesar 50%
dari total pendapatan My Salon. Awalnya,
kerja sama yang berlaku untuk 10 tahun itu berjalan mulus.
Bisnis waralaba
yang diusung My Salon pun berkembang pesat. Sayang, di tengah jalan, masalah mulai mencuat.PT. Rudy
Hadisuwarno tiba-tiba menyatakan ingin
menaikkan harga yang harus dibayar My Salon.
Kenaikannya,
sekitar dua kali lipat. Tentu saja usul itu tak diterima oleh PT Mega Mulia. Sejumlah perundingan yang
dilakukan pun tak menemukan titik temu.
Buntutnya, perjanjian yang diamanatkan dalam nota kesepahaman itu tak kunjung diteken oleh kedua belah pihak.
Persoalan itu pun lantas menjadi rumit.
Pada pertengahan Agustus 2004, Rudy melansir pengumuman di harian Kompas yang isinya menyebutkan bahwa
kesepahaman co-branding antara My Salon dan Rudy Hadisuwarno hanya berlaku satu
tahun dan berakhir pada 31 Desember
2004. Di koranharian itu jugadisebutkan bahwa My Salon tidak boleh lagi memakai nama Rudy
Hadisuwarno untuk merek salonnya. Iklan
itulah rupanya yang mendorong sengketa melaju ke meja hijau. Akhir Desember 2004, PT MegaMulia resmi
mengajukan gugatan terhadap PT. Rudy
Hadisuwarno di Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat.
Perusahaan milik
Rudy Hadisuwarno dianggap telah wanprestasi alias ingkar janji karena memutuskan kesepakatan secara
sepihak. PT. Mega Mulia menunjuk Pasal 4
Nota Kesepahaman Co-Brandingyang menyebutkan bahwa jangka waktu kerja sama berlaku selama
10 tahun. Lewat gugatan itu pula,
pengelola franchiseMy Salon menuntut ganti rugi sekitar Rp 7 miliar.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar yang telah dipaparkan di
atas, maka penulis membatasi pembahasan
dalam Skripsi yang berjudul : “Analisis Terhadap Bisnis Waralaba Berdasarkan PP.No 42 Tahun 2007”, dengan
batasan permasalahan-permasalahan sebagai
berikut : Trust, Salon ditebar gugatan
tiba, www.majalahtrust.com, 26 Oktober 2008 1.
Bagaimana perbedaan antara
PP.No.42 Tahun 2007
jika dibandingkan dengan PP.No.16
tahun 1997 tentang waralaba? 2. Bagaimana prosedur izin permohonan
perolehan hak waralaba ? 3. Bagaimana
perlindungan hukum penerima waralaba atas wanprestasi yang dilakukan pemberi waralaba ? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan penjabaran dalam latar belakang
dan perumusan masalah di atas, maka
tujuan dari penelitian ini adalah : 1.
Untuk mengetahui bagaimana perbedaan antara PP.No.42 Tahun 2007 jika dibandingkan dengan PP.No.16 tahun 1997
tentang waralaba.
Download lengkap Versi Word
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi