Sabtu, 19 April 2014

Skripsi Hukum: PERLINDUNGAN HUKUM PENERIMA WARALABA ATAS WANPRESTASI YANG DILAKUKAN OLEH PEMBERI WARALABA

BAB I .
PENDAHULUAN .
A. Latar Belakang.
Bisnis waralaba merupakan kegiatan usaha penjualan barang secara retail  kepada masyarakat luas, begitu populernyakegiatan usaha ini, sehingga cepat  sekali berkembang dan meliputi berbagai jenis bidang usaha. Bisnis waralaba  diperkenalkan pertama kali oleh Isaac Singerseorang pencipta mesin jahit merek  Singer pada tahun 1851 di Amerika Serikat. Pelopor bisnis waralaba terkenal di  Amerika Serikat antara lain adalah   :    The Coca-Cola Corporationdi bidang minuman    Mc Donald's Corporationdi bidang makanan    General Motor Corporationdi bidang otomotif    Hilton Hoteldi bidang perhotelan    Computer Centre Inc. di bidang komputer    Jony Kingdi bidang pelayanan kebersihan   Di Indonesia, bisnis penjualan secara retail semacam waralaba mulai  dikembangkan, banyak sekali bermunculan pebisnis-pebisnis lokal yang melirik  penjualan barang atau jasanya secara waralaba, misalnya :    Pertamina yang mempelopori penjualan retail bensin melalui lisensi pompa  bensin.

  Ayam Goreng Wong Solo dan Tahu Tek-Tek, yang mempelopori bisnis  1Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung hal. 335.
1   waralaba di bidang makanan    Es Teler 77 yang mempelopori dalam bidang minuman    Primagama yang mempelopori waralabadalam bidang jasa pendidikan   Di Indonesia, sistem bisnis penjualan secara waralaba sangat diminati oleh  pebisnis waralaba asing dimana mereka memberikan izin kepada pengusaha lokal  untuk mengelola waralaba asing tersebut dan tentunya akan berakibat  menimbulkan saingan yang berat bagi pengusaha kecil lokal yang bergerak di  bidang usaha sejenis.
 Begitu menarik dan menguntungkannyabisnis waralaba ini, maka  pemerintah berkepentingan pula untuk mengembangkan bisnis di Indonesia guna  terciptanya iklim kemitraan usaha melalui pemanfaatan lisensi sistem bisnis  waralaba. Dengan bantuan International Labour Organization  (ILO) da  Departemen Perindustrian dan Perdagangan RI, kemudian didirikan Asosiasi  Franchise Indonesia pada tanggal 22 Nopember 1991. Pada tahun 1995 berdiri  pula Asosiasi Restoran Waralaba Indonesia (ARWI) yang mengkhususkan diri di  bidang usaha restoran. Asosiasi ini bertujuan untuk mengembangkn sumber daya  manusia bekualitas di bidang usaha restoran waralaba, mengembangkan informasi  dan inovasi teknologi di bidang usaha restoran terutama mengenai teknologi  makanan, peralatan masak, kemasan, kesehatan dan gizi, pengawetan dan  manajemen pelayanan.
 Melalui sistem bisnis waralaba ini, kegiatan usaha para pengusaha kecil di  Indonesia dapat berkembang secara wajar dengan menggunakan resep, teknologi,   Ibid., hal. 336   kemasan, manajemen pelayanan, merek dagang / jasa pihak lain dengan  membayar sejumlah royalti berdasarkan lisensi waralaba. Di samping itu  pengembangan sumber daya manusia berkualitas menjadi penting melalui  pelatihan keterampilan menjalankan usaha waralaba yang diselenggarakan oleh  pihak pemberi lisensi waralaba. Para pengusaha kecil tidak perlu bersusah payah  menciptakan sendiri sistem bisnis, sudah cukup dengan menyediakan modal  kemitraan usaha, membayar royalti, dengan memanfaatkan sistem bisnis waralaba  asing melalui lisensi bisnis.
Menurut Douglas J Queen, konsep bisnis waralaba yang sudah teruji  kemungkinan besar mengimbangi biaya awal dan royalti selanjutnya dari  waralaba tersebut. Besarnya biaya tersebut memberikan hak pada pemilik  waralaba berupa penyediaan pelayanan utama berikut ini  :    Pemilihan dan pengkajian lokasi    Spesifikasi peralatan dan tempat    Pelatihan manajemen dan staf    Dukungan promosi dan iklan    Manfaat pembelian dan volume    Merek dagang yang terkenal   Berdasarkan penyediaan pelayanan tersebut oleh pemilik waralaba, maka  pembeli waralaba mempertimbangkan kemungkinan memperoleh keuntungan bila  membeli / meneriman izin perolehan waralaba. Dengan kata lain, pemberi  waralaba melisensikan waralaba disertai penyediaan utama yang dapat   Ibid., hal. 337.
 menguntungkan penerima waralaba.
 Semakin menjamurnya bisnis waralaba saat ini, pemerintah memandang  perlu untuk mengetahui legalitas dan bonafiditas usaha Pemberi Waralaba baik  dari luar negeri dan dalam negeri guna menciptakan transparansi informasi usaha  yang dapat dimanfaatkan secara optimal oleh usaha nasional dalam memasarkan  barang dan/atau jasa dengan Waralaba. Disamping itu, Pemerintah dapat  memantau dan menyusun data Waralaba baik jumlah maupun jenis usaha yang  diwaralabakan. Untuk itu, Pemberi Waralaba sebelum membuat perjanjian  Waralaba dengan Penerima Waralaba, harus menyampaikan prospektus  penawaran Waralaba kepada Pemerintahdan calon Penerima Waralaba. Disisi  lain, apabila terjadi kesepakatan perjanjian Waralaba, Penerima Waralaba harus  menyampaikan perjanjian Waralaba tersebut kepada Pemerintah. Berdasarkan  alasan tersebut pemerintah kemudian menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor  42 Tahun 2007 tentang Waralaba.
Kejelian memilih waralaba sebenarnyahanyalah sebagian dari serangkaian  kiat sukses di bisnis ini. Selain itu prinsip kehati-hatian juga harus dijaga.
Perjanjian yang akan dibuat hendaknya benar-benar dipahami oleh para pihak  agar dikemudian hari  tidak terjadi sengketa yang berujung pada gugatan  wanprestasi salah satu pihak. Contoh sengketa yang terjadi mengenai tindakan  wanprestasi dari pemberi waralaba adalah sebagai berikut :  Setelah mulus menggeluti bisnis waralaba selama lebih dari 20 tahun, Rudy  Hadisuwarno akhirnya memetik buah sengketa. Penata rambut kesohor itu  harus menghadapi tuntutan dari PT. Mega Mulia Mandiri, pemilik franchise  My Salon di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Ini merupakan buntut dari  kesepakatan bisnis antara PT. Rudy Hadisuwarno dan PT. Mega Mulia yang  putus di tengah jalan. Bagi Rudy, konsepwaralaba memang dipercaya bisa   memanjangkan rantai pemasaran salon Rudy Hadisuwarno ke pasar  menengah-bawah. Itu sebabnya, sejak tahun 1983, pria kelahiran Pekalongan  ini aktif menjalin kerja sama dengan banyak mitra usaha, termasuk menjalin  kesepakatan co-brandingalias penggabungan merek dengan Thomas Lie,  Direktur PT. Mega Mulia Mandiri, pada awal tahun 2004. Lewat kesepakatan  itu, My Salon yang saat itu telah memiliki delapan  outletberhak  membubuhkan nama Rudy Hadisuwarno di belakang merek dagangnya  sehingga menjadi My Salon by Rudy Hadisuwarno. Untuk penggunaan nama  Rudy itu, My Salon wajib membayar franchise feeRp 500 juta. Selain itu, ia  juga harus membayar Rp 10 juta untuk tiap pembukaan outletMy Salon baru,  serta pembagian revenue sharingsebesar 50% dari total pendapatan My  Salon. Awalnya, kerja sama yang berlaku untuk 10 tahun itu berjalan mulus.
Bisnis waralaba yang diusung My Salon pun berkembang pesat. Sayang, di  tengah jalan, masalah mulai mencuat.PT. Rudy Hadisuwarno tiba-tiba  menyatakan ingin menaikkan harga yang harus dibayar My Salon.
Kenaikannya, sekitar dua kali lipat. Tentu saja usul itu tak diterima oleh PT  Mega Mulia. Sejumlah perundingan yang dilakukan pun tak menemukan titik  temu. Buntutnya, perjanjian yang diamanatkan dalam nota kesepahaman itu  tak kunjung diteken oleh kedua belah pihak. Persoalan itu pun lantas menjadi  rumit. Pada pertengahan Agustus 2004, Rudy melansir pengumuman di  harian Kompas yang isinya menyebutkan bahwa kesepahaman co-branding antara My Salon dan Rudy Hadisuwarno hanya berlaku satu tahun dan  berakhir pada 31 Desember 2004. Di koranharian itu jugadisebutkan bahwa  My Salon tidak boleh lagi memakai nama Rudy Hadisuwarno untuk merek  salonnya. Iklan itulah rupanya yang mendorong sengketa melaju ke meja  hijau. Akhir Desember 2004, PT MegaMulia resmi mengajukan gugatan  terhadap PT. Rudy Hadisuwarno di  Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Perusahaan milik Rudy Hadisuwarno dianggap telah wanprestasi alias ingkar  janji karena memutuskan kesepakatan secara sepihak. PT. Mega Mulia  menunjuk Pasal 4 Nota Kesepahaman Co-Brandingyang menyebutkan  bahwa jangka waktu kerja sama berlaku selama 10 tahun. Lewat gugatan itu  pula, pengelola franchiseMy Salon menuntut ganti rugi sekitar Rp 7 miliar.

 B. Rumusan Masalah  Berdasarkan latar yang telah dipaparkan di atas, maka penulis membatasi  pembahasan dalam Skripsi yang berjudul : “Analisis Terhadap Bisnis Waralaba  Berdasarkan PP.No 42 Tahun 2007”, dengan batasan permasalahan-permasalahan  sebagai berikut :   Trust, Salon ditebar gugatan tiba, www.majalahtrust.com, 26 Oktober 2008   1.  Bagaimana  perbedaan  antara  PP.No.42  Tahun  2007  jika  dibandingkan dengan PP.No.16 tahun 1997 tentang waralaba?   2. Bagaimana prosedur izin permohonan perolehan hak waralaba ?  3. Bagaimana perlindungan hukum penerima waralaba atas wanprestasi yang  dilakukan pemberi waralaba ?  C. Tujuan Penelitian  Berdasarkan penjabaran dalam latar belakang dan perumusan masalah di  atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah :  1. Untuk mengetahui bagaimana perbedaan antara PP.No.42 Tahun 2007 jika  dibandingkan dengan PP.No.16 tahun 1997 tentang waralaba.
Download lengkap Versi Word

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi