Senin, 21 April 2014

Skripsi Hukum: PERANAN TOKSIKOLOGI DALAM PEMBUATAN VISUM ET REPERTUM TERHADAP PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DENGAN MENGGUNAKAN RACUN

BAB I.
PENDAHULUAN.
A.   Latar Belakang.
Negara Indonesia adalah negara hukum tidak hanya berdasarkan pada  kekuasaan belaka, selain itu juga berdasarkan Pancasila dan Undang Undang  Dasar 1945. Hal ini berarti Negara Indonesia menjunjung tinggi hak asasi manusia  dan menjamin segala warga negaranya bersamaan kedudukannya di dalam hukum  dan pemerintahan, serta wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu  tanpa ada kecualinya. Pernyataan bahwa Indonesia merupakan negara hukum juga  mempunyai konsekuensi, bahwa Negara Indonesia
menerapkan hukum sebagai  idiologi untuk menciptakan ketertiban, keamanan, keadilan serta kesejahteraan  bagi warga negara, sehingga hukum itu bersifat mengikat bagi setiap tindakan  yang dilakukan oleh warga negaranya. Negara hukum harus memenuhi beberapa  unsur antara lain pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, harus  berdasar hukum atau peraturan perundang-undangan, adanya jaminan terhadap  hak asasi manusia, adanya pembagian kekuasaan dalam Negara, adanya  pengawasan dari badan-badan  peradilan.
Berkaitan dengan unsur di atas, adanya jaminan terhadap hak asasi  manusia (HAM), dapat diartikan bahwa di dalam setiap konstitusi selalu  ditemukan adanya jaminan terhadap hak asasi manusia (warga negara).
Perlindungan konstitusi terhadap hak asasi manusia tersebut, salah satunya adalah  perlindungan terhadap nyawa warga negaranya seperti yang tercantum dalam  Pasal 28A Undang Undang Dasar 1945: ”Setiap orang berhak untuk hidup serta  berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”.  Nyawa dan tubuh adalah  milik manusia yang paling berharga dan merupakan hak asasi setiap manusia yang  diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa dan tidak ada seorangpun yang  dapat merampasnya.
Bangsa Indonesia menjamin perlindungan terhadap nyawa setiap warga  negaranya, dari yang ada dalam kandungan sampai yang akan meninggal.
Tujuannya adalah untuk mencegah tindakan sewenang-wenang dalam suatu  perbuatan khususnya yang dilakukan dengan cara merampas nyawa orang lain  (membunuh). Pada masyarakat yang masih sederhana, membunuh merupakan  suatu kebanggan sebagai bukti keberanian dan kepahlawanan seseorang di  kalangan kelompoknya. Membunuh jika dipandang dengan sudut agama  merupakan sesuatu yang terlarang bahkan tidak boleh dilakukan. Oleh karena itu  setiap perbuatan yang mengancam keamanan dan keselamatan atas nyawa  seseorang  tersebut dianggap sebagai  kejahatan   yang   berat   oleh   karena  itu  dijatuhi dengan hukuman yang  berat pula.
 Mengenai kejahatan terhadap nyawa ini diatur dalam KUHP Buku II Bab  XIX Pasal 338-350. Khusus mengenai tindak pidana pembunuhan biasa, diatur  dalam KUHP Pasal 338, yang berbunyi: “Barang siapa dengan sengaja merampas  nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan dengan pidana penjara paling  lama 15 tahun”. Dalam proses peradilan, pembuktian merupakan masalah yang  peranan penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Dengan  pembuktian inilah ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan  alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang tidak  cukup membuktikan  kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, maka terdakwa dibebaskan dari   Harmien Hardiati Koeswadji, Hukum dan Masalah Medik, Airlangga University Press,  Surabaya, 1984, hal. 2.
 hukuman. Sebaliknya kalau kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat  bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP, maka terdakwa harus dinyatakan  bersalah dan kepadanya akan dijatuhkan pidana. Hakim harus hati-hati, cermat,  dan matang dalam menilai dan mempertimbangkan nilai pembuktian. Meneliti  sampai dimana batas minimum kekuatan pembuktian atau bewijs kracht  dari  setiap alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP.
 Untuk menjatuhkan putusan yang berupa pemidanaan, undang-undang  telah mengisyaratkan adanya syarat minimal, yaitu harus diduku ng oleh dua alat  bukti dan hakim meyakini akan kebenarannya, sehingga dengan alat bukti tersebut  dapat menunjukkan bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana. Di dalam  KUHAP Pasal 184 ayat (1) terdapat lima alat bukti yang sah yaitu: Keterangan  Saksi,  Keterangan Ahli, Surat, Petunjuk, Keterangan Terdakwa. Dalam contoh  kasus tindak pidana, seperti pencurian, penggelapan, penipuan dan sejenisnya,  tentunya pihak penyidik tak akan kesulitan untuk mengidentifikasikan barang  bukti yang salah satu atau beberapa diantaranya dapat dijadikan alat bukti, yang  selanjutnya akan diperiksa dalam proses sidang pengadilan. Akan tetapi, apabila  kejahatan tersebut berkaitan dengan kesehatan seseorang, luka maupun  meninggalnya seseorang tersebut, persoalannya menjadi tidak sederhana. Oleh  karena terganggunya kesehatan seseorang pada suatu saat akan berubah sembuh  ataupun sebaliknya, sementara apa yang dinamakan dengan luka juga pada saat  yang lain akan berubah sembuh maupun ada kemungkinan akan menjadi lebih  parah. Demikian juga terhadap kejahatan-kejahatan yang menyebabkan matinya   M. yahya Harahap, Pembahasan permasalahan KUHAP dan Penerapan KUHAP  ,Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, Peninjauan kembali edisi kedua, Sinar  Grafika, jakarta, 2000, Hal.273.
 seseorang, kematian tersebut telah menutup semua kemungkinan pemrosesan  secara hukum, sehingga ketidakadilan menjadi mungkin.
Untuk mengungkap secara hukum tentang benarkah telah terjadi tindak  pidana yang menyebabkan terganggunya kesehatan seseorang? Benarkah telah  terjadi tindak pidana yang menyebabkan matinya seseorang? Serta apakah  sesungguhnya yang menyebabkan kesemuanya itu, diperlukan bukti yang konkrit  pada waktu terjadinya tindak pidana atau dengan kata lain diperlukan adanya  pengganti alat bukti yang dibenarkan oleh undang-undang. Oleh karena itu  dibutuhkan suatu dokumen yang dapat menceritakan tentang terjadinya tindak  pidana yang menyebabkan luka, terganggunya kesehatan dan juga matinya  korban, yang dapat menjadi bukti yang kemudian dapat diusut dalam waktu yang  lain. Dokumen yang dimaksudkan tidak lain adalah “Visum Et Repertum”.
Secara harfiah Visum Et Repertum adalah apa yang dilihat dan apa yang  diketemukan dalam melakukan pemeriksaan terhadap seseorang yang luka atau  yang meninggal dunia. Visum Et Repertum  termasuk alat bukti surat, sebab  merupakan keterangan ahli yang tertulis, di luar sidang pengadilan, sebagaimana  diatur dalam Pasal 187 KUHAP butir c yang berbunyi “Surat keterangan dari  seorang ahli memuat pendapat berdasarkan keadian mengenai hal atau suatu  keadaan yang diminta secara resmi dari padanya.” Visum Et Repertum adalah  laporan dari dokter ahli yang dibuat berdasar sumpah, perihal apa yang dilihat,  dikemukakan atas benda hidup atau mati ataupun barang bukti lain, kemudian  dilakukan pemeriksaan berdasarkan pengetahuan yang sebaik-baiknya. Atas dasar  itu selanjutnya diambil kesimpulan yang juga merupakan pendapat dari seorang   ahli ataupun kesaksian (ahli) secara tertulis sebagai mana yang tertuang dalam  bagian pemberitahuan..
Visum Et Repertum juga dapat menjadi bukti keterangan ahli berdasar  ketentuan pemerintah tanggal 22 Mei 1937 dalam Lembaran Negara 1937  (Staatsblad 1937 No. 350) Pasal 1 menyatakan bahwa: “Visum Et Repertum dari  dokter-dokter, yang dibuat atas sumpah jabatan yang diikrarkan pada waktu  menyelesaikan pelajaran kedokteran di negeri Belanda atau Indonesia atau  sumpah khusus, sebagai dimaksud Pasal 2, mempunyai daya bukti dalam perkaraperkara pidana, sejauh itu mengandung keterangan tentang apa yang dilihat oleh  dokter pada benda yang diperiksa”. Dalam Pasal 186 KUHAP dan Lembaran  Negara 1937 (Staatsblad 1937 No. 350) Pasal 1, sama-sama menerangkan bahwa  sebelum dokter (ahli) memberikan keterangan harus mengucap sumpah didepan  hakim.
Dalam perkara pidana yang lain dimana tanda buktinya (Corpus Delicti)  merupakan suatu benda (tidak  bernyawa) misalnya senjata tajam atau senjata api  yang digunakan untuk melakukan sesuatu tindak pidana, barang hasil curian atau  penggelapan, mata uang yang dipalsukan, barang-barang hasil penyelundupan dan  lain-lain pada umumnya selalu dapat diajukan dimuka pengadilan sebagai barang  bukti. Akan tetapi tidak demikian halnya dengan Corpus Delicti (tanda bukti)  yang berupa tubuh manusia, oleh karena misalnya luka-luka pada tubuh seseorang  akan selalu berubah-ubah yaitu mungkin akan sembuh, membusuk atau akhirnya  menimbulkan kematian dan mayatnya  akan menjadi busuk dan dikubur  jadi  kesimpulannya keadaan itu tidak pernah tetap seperti pada waktu pemeriksaan  dilakukan, maka oleh karenanya Corpus Delicti yang demikian itu tidak mungkin   disediakan atau diajukan pada sidang pengadilan dan secara mutlak harus diganti  oleh Visum Et Repertum. Hal ini dapat dilihat dalam kasus pembunuhan yang  menggunakan racun, dimana untuk membuktikan seseorang meninggal karena  keracunan tidak dapat tubuh korban itu dibawa di depan persidangan. Jadi  dibutuhkanlah peran toksikologi dalam pembuatan visum et repertum.
Toksikologi dapat mempermudah para dokter yang berwenang untuk melakukan  visum serta dijadikan alat bukti surat yang akan dibawa ke persidangan.
B. Perumusan Masalah  Perumusan masalah diperlukan untuk memperjelas dan mempermudah  pelaksanaan agar sasaran penelitian menjadi runtut, jelas, dan tegas guna  mencapai hasil yang diharapkan. Berdasarkan penelitian yang disusun oleh  penulis maka perumusan yang dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah peranan Toksikologi dalam pembuatan  Visum Et Repertum terhadap pembuktian tindak pidana pembunuhan dengan menggunakan racun? 2. Apa saja hambatan dalam pembuatan Visum Et Repertum pada pembuktian  tindak pidana pembunuhandengan menggunakan racun.
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah: 1. Untuk mengetahui peranan toksikologi dalam pembuatan visum et repertum  terhadap pembuktian tindak pidana pembunuhan dengan menggunakan racun.

2. Untuk mengetahui hambatan-hambatan dalam pembuatan visum et repertum  dalam pembuktian tindak pidana pembunuhan dengan menggunakan racun.
Download lengkap Versi Word

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi