BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang.
Negara Indonesia
adalah negara hukum tidak hanya berdasarkan pada kekuasaan belaka, selain itu juga berdasarkan
Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945.
Hal ini berarti Negara Indonesia menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menjamin segala warga negaranya bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan, serta wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu tanpa ada kecualinya. Pernyataan bahwa
Indonesia merupakan negara hukum juga mempunyai
konsekuensi, bahwa Negara Indonesia
menerapkan hukum sebagai idiologi untuk menciptakan ketertiban,
keamanan, keadilan serta kesejahteraan bagi
warga negara, sehingga hukum itu bersifat mengikat bagi setiap tindakan yang dilakukan oleh warga negaranya. Negara
hukum harus memenuhi beberapa unsur
antara lain pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, harus berdasar hukum atau peraturan
perundang-undangan, adanya jaminan terhadap hak asasi manusia, adanya pembagian kekuasaan
dalam Negara, adanya pengawasan dari
badan-badan peradilan.
Berkaitan dengan
unsur di atas, adanya jaminan terhadap hak asasi manusia (HAM), dapat diartikan bahwa di dalam
setiap konstitusi selalu ditemukan
adanya jaminan terhadap hak asasi manusia (warga negara).
Perlindungan
konstitusi terhadap hak asasi manusia tersebut, salah satunya adalah perlindungan terhadap nyawa warga negaranya
seperti yang tercantum dalam Pasal 28A
Undang Undang Dasar 1945: ”Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya”. Nyawa dan tubuh adalah milik manusia yang paling berharga dan
merupakan hak asasi setiap manusia yang diberikan
oleh Tuhan Yang Maha Esa dan tidak ada seorangpun yang dapat merampasnya.
Bangsa Indonesia
menjamin perlindungan terhadap nyawa setiap warga negaranya, dari yang ada dalam kandungan
sampai yang akan meninggal.
Tujuannya adalah
untuk mencegah tindakan sewenang-wenang dalam suatu perbuatan khususnya yang dilakukan dengan cara
merampas nyawa orang lain (membunuh).
Pada masyarakat yang masih sederhana, membunuh merupakan suatu kebanggan sebagai bukti keberanian dan
kepahlawanan seseorang di kalangan
kelompoknya. Membunuh jika dipandang dengan sudut agama merupakan sesuatu yang terlarang bahkan tidak
boleh dilakukan. Oleh karena itu setiap
perbuatan yang mengancam keamanan dan keselamatan atas nyawa seseorang
tersebut dianggap sebagai
kejahatan yang berat
oleh karena itu
dijatuhi dengan hukuman yang
berat pula.
Mengenai kejahatan terhadap nyawa ini diatur
dalam KUHP Buku II Bab XIX Pasal
338-350. Khusus mengenai tindak pidana pembunuhan biasa, diatur dalam KUHP Pasal 338, yang berbunyi: “Barang
siapa dengan sengaja merampas nyawa
orang lain, diancam, karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama 15 tahun”. Dalam proses peradilan,
pembuktian merupakan masalah yang peranan
penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Dengan pembuktian inilah ditentukan nasib terdakwa.
Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat
bukti yang ditentukan undang-undang tidak
cukup membuktikan kesalahan yang
didakwakan kepada terdakwa, maka terdakwa dibebaskan dari Harmien Hardiati Koeswadji, Hukum dan Masalah
Medik, Airlangga University Press, Surabaya,
1984, hal. 2.
hukuman. Sebaliknya kalau kesalahan terdakwa
dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti
yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP, maka terdakwa harus dinyatakan bersalah dan kepadanya akan dijatuhkan pidana.
Hakim harus hati-hati, cermat, dan
matang dalam menilai dan mempertimbangkan nilai pembuktian. Meneliti sampai dimana batas minimum kekuatan
pembuktian atau bewijs kracht dari setiap alat bukti yang disebut dalam Pasal 184
KUHAP.
Untuk menjatuhkan putusan yang berupa
pemidanaan, undang-undang telah
mengisyaratkan adanya syarat minimal, yaitu harus diduku ng oleh dua alat bukti dan hakim meyakini akan kebenarannya,
sehingga dengan alat bukti tersebut dapat
menunjukkan bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana. Di dalam KUHAP Pasal 184 ayat (1) terdapat lima alat
bukti yang sah yaitu: Keterangan Saksi, Keterangan Ahli, Surat, Petunjuk, Keterangan
Terdakwa. Dalam contoh kasus tindak
pidana, seperti pencurian, penggelapan, penipuan dan sejenisnya, tentunya pihak penyidik tak akan kesulitan
untuk mengidentifikasikan barang bukti
yang salah satu atau beberapa diantaranya dapat dijadikan alat bukti, yang selanjutnya akan diperiksa dalam proses sidang
pengadilan. Akan tetapi, apabila kejahatan
tersebut berkaitan dengan kesehatan seseorang, luka maupun meninggalnya seseorang tersebut, persoalannya
menjadi tidak sederhana. Oleh karena
terganggunya kesehatan seseorang pada suatu saat akan berubah sembuh ataupun sebaliknya, sementara apa yang
dinamakan dengan luka juga pada saat yang
lain akan berubah sembuh maupun ada kemungkinan akan menjadi lebih parah. Demikian juga terhadap
kejahatan-kejahatan yang menyebabkan matinya M. yahya Harahap, Pembahasan permasalahan
KUHAP dan Penerapan KUHAP ,Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, Peninjauan kembali edisi kedua, Sinar Grafika, jakarta, 2000, Hal.273.
seseorang, kematian tersebut telah menutup
semua kemungkinan pemrosesan secara
hukum, sehingga ketidakadilan menjadi mungkin.
Untuk mengungkap
secara hukum tentang benarkah telah terjadi tindak pidana yang menyebabkan terganggunya kesehatan
seseorang? Benarkah telah terjadi tindak
pidana yang menyebabkan matinya seseorang? Serta apakah sesungguhnya yang menyebabkan kesemuanya itu,
diperlukan bukti yang konkrit pada waktu
terjadinya tindak pidana atau dengan kata lain diperlukan adanya pengganti alat bukti yang dibenarkan oleh
undang-undang. Oleh karena itu dibutuhkan
suatu dokumen yang dapat menceritakan tentang terjadinya tindak pidana yang menyebabkan luka, terganggunya
kesehatan dan juga matinya korban, yang
dapat menjadi bukti yang kemudian dapat diusut dalam waktu yang lain. Dokumen yang dimaksudkan tidak lain
adalah “Visum Et Repertum”.
Secara harfiah
Visum Et Repertum adalah apa yang dilihat dan apa yang diketemukan dalam melakukan pemeriksaan
terhadap seseorang yang luka atau yang
meninggal dunia. Visum Et Repertum
termasuk alat bukti surat, sebab merupakan
keterangan ahli yang tertulis, di luar sidang pengadilan, sebagaimana diatur dalam Pasal 187 KUHAP butir c yang
berbunyi “Surat keterangan dari seorang
ahli memuat pendapat berdasarkan keadian mengenai hal atau suatu keadaan yang diminta secara resmi dari
padanya.” Visum Et Repertum adalah laporan
dari dokter ahli yang dibuat berdasar sumpah, perihal apa yang dilihat, dikemukakan atas benda hidup atau mati ataupun
barang bukti lain, kemudian dilakukan
pemeriksaan berdasarkan pengetahuan yang sebaik-baiknya. Atas dasar itu selanjutnya diambil kesimpulan yang juga
merupakan pendapat dari seorang ahli
ataupun kesaksian (ahli) secara tertulis sebagai mana yang tertuang dalam bagian pemberitahuan..
Visum Et Repertum
juga dapat menjadi bukti keterangan ahli berdasar ketentuan pemerintah tanggal 22 Mei 1937 dalam
Lembaran Negara 1937 (Staatsblad 1937
No. 350) Pasal 1 menyatakan bahwa: “Visum Et Repertum dari dokter-dokter, yang dibuat atas sumpah jabatan
yang diikrarkan pada waktu menyelesaikan
pelajaran kedokteran di negeri Belanda atau Indonesia atau sumpah khusus, sebagai dimaksud Pasal 2,
mempunyai daya bukti dalam perkaraperkara pidana, sejauh itu mengandung
keterangan tentang apa yang dilihat oleh dokter pada benda yang diperiksa”. Dalam Pasal
186 KUHAP dan Lembaran Negara 1937
(Staatsblad 1937 No. 350) Pasal 1, sama-sama menerangkan bahwa sebelum dokter (ahli) memberikan keterangan
harus mengucap sumpah didepan hakim.
Dalam perkara
pidana yang lain dimana tanda buktinya (Corpus Delicti) merupakan suatu benda (tidak bernyawa) misalnya senjata tajam atau senjata
api yang digunakan untuk melakukan
sesuatu tindak pidana, barang hasil curian atau penggelapan, mata uang yang dipalsukan,
barang-barang hasil penyelundupan dan lain-lain
pada umumnya selalu dapat diajukan dimuka pengadilan sebagai barang bukti. Akan tetapi tidak demikian halnya
dengan Corpus Delicti (tanda bukti) yang
berupa tubuh manusia, oleh karena misalnya luka-luka pada tubuh seseorang akan selalu berubah-ubah yaitu mungkin akan
sembuh, membusuk atau akhirnya menimbulkan
kematian dan mayatnya akan menjadi busuk
dan dikubur jadi kesimpulannya keadaan itu tidak pernah tetap
seperti pada waktu pemeriksaan dilakukan,
maka oleh karenanya Corpus Delicti yang demikian itu tidak mungkin disediakan atau diajukan pada sidang
pengadilan dan secara mutlak harus diganti oleh Visum Et Repertum. Hal ini dapat dilihat
dalam kasus pembunuhan yang menggunakan
racun, dimana untuk membuktikan seseorang meninggal karena keracunan tidak dapat tubuh korban itu dibawa
di depan persidangan. Jadi dibutuhkanlah
peran toksikologi dalam pembuatan visum et repertum.
Toksikologi dapat
mempermudah para dokter yang berwenang untuk melakukan visum serta dijadikan alat bukti surat yang
akan dibawa ke persidangan.
B. Perumusan
Masalah Perumusan masalah diperlukan
untuk memperjelas dan mempermudah pelaksanaan
agar sasaran penelitian menjadi runtut, jelas, dan tegas guna mencapai hasil yang diharapkan. Berdasarkan
penelitian yang disusun oleh penulis
maka perumusan yang dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Bagaimanakah peranan Toksikologi dalam pembuatan Visum Et Repertum terhadap pembuktian tindak
pidana pembunuhan dengan menggunakan racun? 2. Apa saja hambatan dalam
pembuatan Visum Et Repertum pada pembuktian tindak pidana pembunuhandengan menggunakan
racun.
C. Tujuan dan
Manfaat Penulisan Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah: 1. Untuk mengetahui
peranan toksikologi dalam pembuatan visum et repertum terhadap pembuktian tindak pidana pembunuhan
dengan menggunakan racun.
2. Untuk mengetahui
hambatan-hambatan dalam pembuatan visum et repertum dalam pembuktian tindak pidana pembunuhan
dengan menggunakan racun.
Download lengkap Versi Word
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi