Selasa, 22 April 2014

Skripsi Hukum: PERJANJIAN EKSTRADISI DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang.
Praktik pencucian uang bukan hal asing lagi di dunia internasional, bahkan  dunia telah sepakat untuk mencegah dan memberantasnya dengan cara  mengadakan kerjasama internasional dalam berbagai forum. Indonesia mengikuti  perkembangan pencucian uang tersebut dengan bergabung dalam badan-badan  atau organisasi internasional. Undang-undang Anti Pencucian Uang Indonesia,  yaitu Undang-Undang No. 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang  telah diundangkan pada tanggal 17 April 2002 melalui Lembaran Negara No. 30  tahun 2002. Sebelumnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyetujui  revisi rancangan undang-undang anti pencucian uang pada tanggal 25 Maret  2002, satu tahun setelah diajukan pertama kali ke DPR pada bulan Juni 2002  sebagaimana telah diubah dengan UU No. 25 tahun 2003 dengan adanya undangundang tersebut yang pada intinya membuat pencucian uang sebagai suatu tindak  terpisah dan tersendiri.

 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian  Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003  masih mengandung beberapa kelemahan (loopholes) yang cukup mendasar, antara  lain: pertama, kriminalisasi perbuatan pencucian uang yang multi interpretatif,  adanya duplikasi penyebutan unsur-unsur, dan banyaknya unsur yang harus   TB. Irman, Hukum Pembuktian Pencucian Uang, MQS Publishing & CV Alyces Group,  Bandung, 2006, hal 1.
 dipenuhi atau dibuktikan sehingga menyulitkan dalam hal pembuktian. Kedua,  kurang sistematis dan tidak jelasnya klasifikasi perbuatan yang dapat dijatuhi  sanksi berikut bentuk-bentuk sanksinya. Ketiga, masih terbatasnya pihak pelapor  (reporting parties) yang harus menyampaikan laporan kepada PPATK termasuk  jenis pelaporannya. Keempat, perlunya pengukuhan penerapan prinsip mengenali  pengguna jasa (know your customer principle) oleh seluruh pihak pelapor.
Kelima, terbatasnya instrumen formal untuk melakukan deteksi dan penyitaan aset  hasil kejahatan.  Keenam, terbatasnya pihak yang berwenang melakukan  penyidikan tindak pidana pencucian uang. Ketujuh, keterbatasan kewenangan dari  PPATK.
 Beberapa kelemahan dan kendala legislasi tersebut akan menjadi sorotan  dan perhatian dari komunitas internasional, yaitu FATF, APG, IMF, dan world  bank  dalam mengevaluasi kepatuhan terhadap Indonesia terhadap standar  internasional yang disepakati bersama, yaitu 40+9 FATF  recommendations.
 Sehubungan dengan hal-hal-hal tersebut di atas dan mengingat pentingnya  Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai landasan hukum dalam  rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia  serta guna menghindari adanya penilaian negatif komunitas internasional yang  Apabila hasil evaluasi yang dilakukan oleh komunitas internasional tersebut  bernilai negatif, akan merusak reputasi Indonesia di mata internasional sehingga  tidak tertutup kemungkinan Indonesia kembali dianggap sebagai negara yang  tidak kooperatif dalam pemberantasan tindak pidana pencucian uang.
 Adrian Sutedi, Tindak Pidana Pencucian Uang, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008,  hal. 1.
 Ibid, hal. 2.
 tentunya akan berdampak buruk terhadap stabilitas dan integritas sistem keuangan  dan sistem perekonomian, maka disarankan untuk segera melakukan perubahan  dan penyempurnaan atas beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 15  Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah  dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 dengan mengikuti standar  internasional yang telah berubah sebagaimana tercermin dalam “revised 40+9  FATF recommendations” serta ketentuan anti money laundering regime yang  berlaku secara internasional (international best practice).
 Seorang pelaku kejahatan kemungkinan dapat melarikan diri ke luar negeri  begitu juga dengan pelaku kejahatan tindak pidana pencucian uang dengan  berharap bahwa ia tidak dapat diadili oleh negara asalnya. Tidak semudah itu  seseorang pelaku lari dengan mudah, karena suatu negara kemungkinan telah  membuat perjanjian ekstradisi terlebih dahulu. Praktek negara-negara dalam  melakukan penyerahan penjahat pelarian tidak semata-mata tergantung pada  adanya perjanjian tersebut. Hubungan baik dan bersahabat antara dua negara dapat  lebih memudahkan dan mempercepat penyerahan penjahat pelarian. Bahkan  masing-masing pihak akan membiarkan wilayahnya dijadikan sebagai tempat  pelarian dan mencari perlindungan bagi penjahat-penjahat dari negara musuhnya.
Dengan demikian kesediaan menyerahkan penjahat pelarian bukanlah didasarkan  pada kesadaran bahwa orang yang bersangkutan patut diadili dan dihukum.
Demikian pula memberikan perlindungan kepada seorang atau beberapa orang   A.S. Mamoedin. Analisis Kejahatan Perbankan, Rafflesia, Jakarta, 1997, Cetakan  Pertama, hal. 291-292.
 penjahat pelarian bukan pula karena didorong oleh kesadaran bahwa orang yang  bersangkutan patut untuk dilindungi.
 Apabila hubungan kedua negara yang semula bersahabat berubah menjadi  permusuhan, maka kerja sama saling menyerahkan penjahat pelarian bisa berubah  menjadi saling melindungi penjahat pelarian. Di samping itu pula praktek-praktek  penyerahan penjahat pelarian belum didasarkan atas keinginan untuk bekerja sama  dalam mencegah dan memberantas kejahatan.
 Hal ini mengingat kehidupan  masyarakat umat manusia pada jaman kuno masih jauh lebih sederhana jika  dibandingkan dengan masyarakat sekarang ini. Kemajuan-kemajuan dalam bidang  ilmu pengetahuan dan teknologi serta berkembangnya pemikiran-pemikiran baru  dalam bidang politik, ketatanegaraan dan kemanusiaan turut pula memberikan  warna tersendiri pada ekstradisi ini.
 Ekstradisi ternyata merupakan sarana untuk dapat mengadili dan  menghukum si pelaku kejahatan oleh negara locus delicti  atau negara yang  memiliki yurisdiksi atas kejahatannya itu. Dengan demikian sekaligus rasa  keadilan dari si korban atau anggota masyarakat dapat dipulihkan.
 Berdasarkan hal itu tentunya kejahatan pencucian uang menjadi persoalan  yang rumit dalam perjanjian ekstradisi, memang setiap negara dalam perjanjian  Para pelaku  kejahatan yang mempunyai niat untuk melarikan diri ke negara lain mungkin akan  berpikir dua kali di dalam melaksanakan niatnya itu, sebab  dia akan merasa  dibayang-bayangi oleh ekstradisi.
 I. Wayan Parthiana,  Ekstradisi Dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional,  Alumni, Bandung, 1983, hal 3.
 Ibid, hal. 4.
 Ibid, hal. 5.
 Ibid.
 ekstradisi telah menetapkan kerjasama dalam beberapa tindak pidana yang telah  diatur dalam isi perjanjian tersebut. Kerumitan dalam proses pembuktian  pencucian uang ini ditambah dengan pelaku kejahatan yang melarikan diri  menyebabkan sulitnya mengungkapnya baik masih tahap penyelidikan maupun  penyidikan. Supaya orang-orang semacam ini tidak terlepas dari tanggung  jawabnya atas kejahatan yang dilakukannya, maka diperlukan kerja sama untuk  mencegah dan memberantasnya.
 Oleh karena negara-negara yang memiliki yurisdiksi terhadap si pelaku  kejahatan tidak bisa menangkap secara langsung di wilayah negara tempat si  pelaku kejahatan itu berada, negara-negara tersebut dapat menempuh secara legal  untuk dapat mengadili dan menghukum si pelaku kejahatan itu. Apabila suatu  negara melindungi pelaku kejahatan pencucian uang yang memang sebelumnya  tidak ada perjanjian ekstradisi, secara tidak langsung menjadikan wilayahnya  sebagai gudang tempat penampungan para pelaku kejahatan tersebut.
Sebab pencegahan dan pemberantasan  kejahatan yang hanya dilakukan oleh negara-negara secara sendiri-sendiri, dalam  hal-hal tertentu tidak bisa dipertahankan lagi terlebih pada masa abad teknologi  sekarang ini.
 Dalam pergaulan internasional maupun nasional, dimana tersangkut  kepentingan umum atau negara pada satu pihak dan kepentingan individu pada  lain pihak, masalahnya adalah mencari keseimbangan antara keduanya itu. Pokok  persoalannya adalah bagaimana mencegah dan memberantas kejahatan pencucian   Ibid, hal 5-6.
 Ibid, hal 7.
 uang dengan segala akibatnya demi ketenteraman dan ketertiban umat manusia,  tetapi harus tetap menghormati dan menjunjung tinggi hak-hak azasi manusia.
Perjanjian ekstradisi telah ditandatangani antara Pemerintah Indonesia dan  Singapura tanggal 27 April 2007. Suatu prestasi diplomasi yang cukup baik dilihat  dari kacamata betapa lama harus menunggu untuk menandatangani perjanjian  ekstradisi tersebut. Ini karena keengganan Pemerintah Singapura  menandatanganinya, dengan berbagai alasan.

 Terganjalnya ekstradisi Hendra Rahardja oleh pemerintah Australia adalah  karena alasan diskriminasi terhadap etnis China di Indonesia, peraturan-peraturan  hukum yang diskriminatif dan peristiwa Mei 1998. Hal-hal seperti inilah yang  harus diantisipasi. Belum lagi kepentingan nasional Indonesia harus ditonjolkan  selain mengektradisi para buronan (fugitives) juga adalah kepentingan  Salah satu sebabnya adalah sistem hukum yang berbeda dan penegakan  hukum di Indonesia yang belum memadai dan tidak konsisten. Menyusul prestasi  diplomasi ini meski pelaksanaannya konon baru tahun depan  pemerintah  Indonesia, khususnya lembaga-lembaga penegak hukum, perlu segera membenahi  sistem hukum, dan perlu konsistensi penegakan hukum. Jangan sampai orangorang, baik tersangka atau terpidana yang buron dan diserahkan kepada  pemerintah Indonesia, ternyata lolos dari tuntutan hukum, entah karena kurang  bukti, suap, ketidakprofesionalan, dana kurang atau keengganan para penegak  hukum dan birokrasi menegakkan hukum dalam memberantas korupsi.
Download lengkap Versi Word

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi