BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang.
Praktik pencucian
uang bukan hal asing lagi di dunia internasional, bahkan dunia telah sepakat untuk mencegah dan
memberantasnya dengan cara mengadakan
kerjasama internasional dalam berbagai forum. Indonesia mengikuti perkembangan pencucian uang tersebut dengan
bergabung dalam badan-badan atau
organisasi internasional. Undang-undang Anti Pencucian Uang Indonesia, yaitu Undang-Undang No. 15 tahun 2002 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang telah
diundangkan pada tanggal 17 April 2002 melalui Lembaran Negara No. 30 tahun 2002. Sebelumnya Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) telah menyetujui revisi rancangan
undang-undang anti pencucian uang pada tanggal 25 Maret 2002, satu tahun setelah diajukan pertama kali
ke DPR pada bulan Juni 2002 sebagaimana
telah diubah dengan UU No. 25 tahun 2003 dengan adanya undangundang tersebut
yang pada intinya membuat pencucian uang sebagai suatu tindak terpisah dan tersendiri.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 masih mengandung beberapa kelemahan
(loopholes) yang cukup mendasar, antara lain:
pertama, kriminalisasi perbuatan pencucian uang yang multi interpretatif, adanya duplikasi penyebutan unsur-unsur, dan
banyaknya unsur yang harus TB. Irman,
Hukum Pembuktian Pencucian Uang, MQS Publishing & CV Alyces Group, Bandung, 2006, hal 1.
dipenuhi atau dibuktikan sehingga menyulitkan
dalam hal pembuktian. Kedua, kurang
sistematis dan tidak jelasnya klasifikasi perbuatan yang dapat dijatuhi sanksi berikut bentuk-bentuk sanksinya.
Ketiga, masih terbatasnya pihak pelapor (reporting
parties) yang harus menyampaikan laporan kepada PPATK termasuk jenis pelaporannya. Keempat, perlunya
pengukuhan penerapan prinsip mengenali pengguna
jasa (know your customer principle) oleh seluruh pihak pelapor.
Kelima, terbatasnya
instrumen formal untuk melakukan deteksi dan penyitaan aset hasil kejahatan. Keenam, terbatasnya pihak yang berwenang
melakukan penyidikan tindak pidana
pencucian uang. Ketujuh, keterbatasan kewenangan dari PPATK.
Beberapa kelemahan dan kendala legislasi
tersebut akan menjadi sorotan dan
perhatian dari komunitas internasional, yaitu FATF, APG, IMF, dan world bank
dalam mengevaluasi kepatuhan terhadap Indonesia terhadap standar internasional yang disepakati bersama, yaitu
40+9 FATF recommendations.
Sehubungan dengan hal-hal-hal tersebut di atas
dan mengingat pentingnya Undang-Undang
Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai landasan hukum dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana pencucian uang di Indonesia serta
guna menghindari adanya penilaian negatif komunitas internasional yang Apabila hasil evaluasi yang dilakukan oleh
komunitas internasional tersebut bernilai
negatif, akan merusak reputasi Indonesia di mata internasional sehingga tidak tertutup kemungkinan Indonesia kembali
dianggap sebagai negara yang tidak
kooperatif dalam pemberantasan tindak pidana pencucian uang.
Adrian Sutedi, Tindak Pidana Pencucian Uang,
PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008, hal.
1.
Ibid, hal. 2.
tentunya akan berdampak buruk terhadap
stabilitas dan integritas sistem keuangan dan sistem perekonomian, maka disarankan untuk
segera melakukan perubahan dan
penyempurnaan atas beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 dengan mengikuti standar internasional yang telah berubah sebagaimana
tercermin dalam “revised 40+9 FATF
recommendations” serta ketentuan anti money laundering regime yang berlaku secara internasional (international
best practice).
Seorang pelaku kejahatan kemungkinan dapat
melarikan diri ke luar negeri begitu
juga dengan pelaku kejahatan tindak pidana pencucian uang dengan berharap bahwa ia tidak dapat diadili oleh
negara asalnya. Tidak semudah itu seseorang
pelaku lari dengan mudah, karena suatu negara kemungkinan telah membuat perjanjian ekstradisi terlebih dahulu.
Praktek negara-negara dalam melakukan
penyerahan penjahat pelarian tidak semata-mata tergantung pada adanya perjanjian tersebut. Hubungan baik dan
bersahabat antara dua negara dapat lebih
memudahkan dan mempercepat penyerahan penjahat pelarian. Bahkan masing-masing pihak akan membiarkan wilayahnya
dijadikan sebagai tempat pelarian dan
mencari perlindungan bagi penjahat-penjahat dari negara musuhnya.
Dengan demikian
kesediaan menyerahkan penjahat pelarian bukanlah didasarkan pada kesadaran bahwa orang yang bersangkutan
patut diadili dan dihukum.
Demikian pula
memberikan perlindungan kepada seorang atau beberapa orang A.S. Mamoedin. Analisis Kejahatan Perbankan,
Rafflesia, Jakarta, 1997, Cetakan Pertama,
hal. 291-292.
penjahat pelarian bukan pula karena didorong
oleh kesadaran bahwa orang yang bersangkutan
patut untuk dilindungi.
Apabila hubungan kedua negara yang semula
bersahabat berubah menjadi permusuhan,
maka kerja sama saling menyerahkan penjahat pelarian bisa berubah menjadi saling melindungi penjahat pelarian.
Di samping itu pula praktek-praktek penyerahan
penjahat pelarian belum didasarkan atas keinginan untuk bekerja sama dalam mencegah dan memberantas kejahatan.
Hal ini mengingat kehidupan masyarakat umat manusia pada jaman kuno masih
jauh lebih sederhana jika dibandingkan
dengan masyarakat sekarang ini. Kemajuan-kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta
berkembangnya pemikiran-pemikiran baru dalam
bidang politik, ketatanegaraan dan kemanusiaan turut pula memberikan warna tersendiri pada ekstradisi ini.
Ekstradisi ternyata merupakan sarana untuk
dapat mengadili dan menghukum si pelaku
kejahatan oleh negara locus delicti atau
negara yang memiliki yurisdiksi atas
kejahatannya itu. Dengan demikian sekaligus rasa keadilan dari si korban atau anggota
masyarakat dapat dipulihkan.
Berdasarkan hal itu tentunya kejahatan
pencucian uang menjadi persoalan yang
rumit dalam perjanjian ekstradisi, memang setiap negara dalam perjanjian Para pelaku kejahatan yang mempunyai niat untuk melarikan
diri ke negara lain mungkin akan berpikir
dua kali di dalam melaksanakan niatnya itu, sebab dia akan merasa dibayang-bayangi oleh ekstradisi.
I. Wayan Parthiana, Ekstradisi Dalam Hukum Internasional dan
Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1983,
hal 3.
Ibid, hal. 4.
Ibid, hal. 5.
Ibid.
ekstradisi telah menetapkan kerjasama dalam
beberapa tindak pidana yang telah diatur
dalam isi perjanjian tersebut. Kerumitan dalam proses pembuktian pencucian uang ini ditambah dengan pelaku
kejahatan yang melarikan diri menyebabkan
sulitnya mengungkapnya baik masih tahap penyelidikan maupun penyidikan. Supaya orang-orang semacam ini
tidak terlepas dari tanggung jawabnya
atas kejahatan yang dilakukannya, maka diperlukan kerja sama untuk mencegah dan memberantasnya.
Oleh karena negara-negara yang memiliki
yurisdiksi terhadap si pelaku kejahatan
tidak bisa menangkap secara langsung di wilayah negara tempat si pelaku kejahatan itu berada, negara-negara
tersebut dapat menempuh secara legal untuk
dapat mengadili dan menghukum si pelaku kejahatan itu. Apabila suatu negara melindungi pelaku kejahatan pencucian
uang yang memang sebelumnya tidak ada
perjanjian ekstradisi, secara tidak langsung menjadikan wilayahnya sebagai gudang tempat penampungan para pelaku
kejahatan tersebut.
Sebab pencegahan
dan pemberantasan kejahatan yang hanya
dilakukan oleh negara-negara secara sendiri-sendiri, dalam hal-hal tertentu tidak bisa dipertahankan lagi
terlebih pada masa abad teknologi sekarang
ini.
Dalam pergaulan internasional maupun nasional,
dimana tersangkut kepentingan umum atau
negara pada satu pihak dan kepentingan individu pada lain pihak, masalahnya adalah mencari
keseimbangan antara keduanya itu. Pokok persoalannya
adalah bagaimana mencegah dan memberantas kejahatan pencucian Ibid, hal 5-6.
Ibid, hal 7.
uang dengan segala akibatnya demi ketenteraman
dan ketertiban umat manusia, tetapi
harus tetap menghormati dan menjunjung tinggi hak-hak azasi manusia.
Perjanjian
ekstradisi telah ditandatangani antara Pemerintah Indonesia dan Singapura tanggal 27 April 2007. Suatu
prestasi diplomasi yang cukup baik dilihat dari kacamata betapa lama harus menunggu untuk
menandatangani perjanjian ekstradisi
tersebut. Ini karena keengganan Pemerintah Singapura menandatanganinya, dengan berbagai alasan.
Terganjalnya ekstradisi Hendra Rahardja oleh
pemerintah Australia adalah karena
alasan diskriminasi terhadap etnis China di Indonesia, peraturan-peraturan hukum yang diskriminatif dan peristiwa Mei
1998. Hal-hal seperti inilah yang harus
diantisipasi. Belum lagi kepentingan nasional Indonesia harus ditonjolkan selain mengektradisi para buronan (fugitives)
juga adalah kepentingan Salah satu
sebabnya adalah sistem hukum yang berbeda dan penegakan hukum di Indonesia yang belum memadai dan
tidak konsisten. Menyusul prestasi diplomasi
ini meski pelaksanaannya konon baru tahun depan
pemerintah Indonesia, khususnya
lembaga-lembaga penegak hukum, perlu segera membenahi sistem hukum, dan perlu konsistensi penegakan
hukum. Jangan sampai orangorang, baik tersangka atau terpidana yang buron dan
diserahkan kepada pemerintah Indonesia,
ternyata lolos dari tuntutan hukum, entah karena kurang bukti, suap, ketidakprofesionalan, dana kurang
atau keengganan para penegak hukum dan
birokrasi menegakkan hukum dalam memberantas korupsi.
Download lengkap Versi Word
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi