Selasa, 22 April 2014

Skripsi Hukum: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEREMPUAN DARI TINDAK PERKOSAAN DI WAKTU PERANG

BAB I .
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang Masalah.
Di Amerika Serikat menurut FBI, 56.000 perempuan menjadi korban  perkosaan atau korban pencobaan perkosaan pada tahun 1975. Ini berarti  bahwa setiap 9 menit seorang perempuan menjadi korban perkosaan atau  penyerangan seksual pada tahun itu dan angka tersebut menunjukkan  peningkatan 40% hingga 50% selama lima tahun pertama tahun 70-an. Di  Indonesia tercatat terjadi satu kasus perkosaan setiap lima jam pada tahun 80-an  . Angka-angka tersebut belum dapat menggambarkan keadaan yang aktual  karena potensi “dark number” yang tinggi dan keadaan seperti ini tidak hanya  terjadi di Indonesia  a.  penyerangan fisik (Pembunuhan, penganiayaan, penyunatan, pengendalian  alat reproduksi, pembunuhan terhadap bayi perempuan).

.
Kekerasana seksual yang dialami oleh kaum perempuan ini dikenal  dalam banyak bentuk. Ia tidak hanya terjadi di tempat tertentu atau pada  golongan tertentu saja, melainkan terjadi di seluruh belahan dunia, desa  maupun kota, negara maju  maupun negara berkembang dan dalam berbagai  macam keadaan.
Kekerasan terhadap perempuan dapat dilakukan oleh keluarga,  masyrakat dan negara. Untuk kekerasan keluarga dapat berupa :   Topo Santoso, Seksualitas dan Hukum Pidana (Jakarta : IND-HILL CO, 1997), hal 33-34.
 Ibid., hal.
  b.  Penganiayaan seksual (Perkosaan, Insect) dan penganiayaan mental  (pengurungan, kawin paksa).
Untuk kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat dapat berasal dari :  a.  tradisi atau adat (kekerasan fisik, penganiayaan, hukuman fisik,  pengendalian alat reproduksi, perkosaan).
b.  Kekerasan ditempat kerja (pelecehan dan intimidasi seksual, kekerasan  yang diperdagangkan, perdagangan perempuan, pelacuran paksa)  c.  Media masa (pornografi, memperlakukan tubuh perempuan sebagai  barang dagangan)  Untuk kekerasan yang dilakukan oleh negara dapat berupa :  a.  Kekerasan politik lewat kebijakan negara atau undang-undang (penahanan  tidak sah, sterilisasi paksa, , kekerasan terhadap perempuan yang dibiarkan  negara).
b.  Kekerasan dalam tahanan yang dilakukan oleh militer atau polisi  (perkosaan, penyiksaan)  Kekerasan terhadap perempuan terjadi baik pada saat perang ataupun  damai. Namun, tingkat kekerasan terhadap perempuan akan meningkat dengan  drastis pada saat pecahnya perang .
  Newsletter Jurnal Perempuan, dikutip dari Toeti Heraty Noerhadi, “Kekerasan Negara  Terhadap Perempuan”, dalam Negara dan Kekerasan Terhadap Perempuan, Kartini Syahrir, ed.,  (Jakarta : Yayasan Jurnal Perempuan, 2000), hal. 31.
 Galuh Wandita, “Air Mata Telah Terkuras, Kekerasan Belum Berakhir : Memahami  Kekerasan Terhadap Perempuan Sebagai Prasyarat SebuahTransformasi”, Ibid., hal. 127.
.  Kasus-kasus yang selama ini terjadi  misalnya : kasus Jepang selama perang Asia – Pasifik, wanita Vietnam selama  Perang Vietnam dan Kasus Balkan, menunjukkan bagaimana seringnya  perempuan menjadi  obyek kekerasan seksual selama perang berlangsung.
2   Tragedi berdarah Nanking pun lebih dikenal dengan istilah “The Rape of  Nanking”  Kekerasan seksual terhadap perempuan di waktu perang terkadang  semakin parah ketika kekerasan yang terjadi tersebut didukung oleh institusi  negara dan dalam beberapa kasus dilakukan dengan maksud memusnahkan  entitas etnis dan/atau budaya tertentu (Perkosaan Nanking ) karena banyaknya korban perkosaan yang  dialami oleh perempuan-perempuan Cina yang dilakukan oleh tentara-tentara  Jepang.
 Berbeda dengan kejahatan perang lainnya, karakteristik perkosaan  yang sangat khusus dan sifatnya sangat pribadi,  menyangkut  .
Terlibatnya negara dalam kegiatan perkosaan yang secara masal dan  sistematis sungguh terjadi dengan perempuan-perempuan muslim Bosnia  dalam konflik Semenanjung Balkan tahun 1992-1995.
Fakta telah dilakukannya perkosaan terhadap perempuan di waktu  perang sebagai alat ukur memenangkan perang mulai menjadi bahan  pembicaraan pada awal tahun 1990-an yang pada mulanya masih banyak yang  memperdebatkan teori tersebut. Namun, dengan banyaknya kasus yang  muncul dan diangkat kepermukaan fakta yang ada tidak dapat lagi ditutuptutupi. Posisi perempuan yang lemah telah digunakan oleh kelompokkelompok yang bersangketa untuk mencapai tujuannya.
 Pada tanggal 13 Desember 1937 pasukan Jepang menduduki Kota Nanking, Ibukota Cina  pada waktu itu. Selama berbulan-bulan mereka membakar, menjarah dan secara sistematis  memperkosa, menganiaya dan membunuh. Tercatat korban yang tewas sebanyak 369.366 orang.
SUARA PEMBARUAN DAILY, 3 april 20  Nursyahbani Karjasungkana, “Militer dan Kekerasan Terhadap Perempuan : Negara  Membiarkan Kekerasan Oleh Masyarakat”, op. cit., hal 240.
3   kohormatan/harga diri serta nilai-nilai tradisional yang dianut masyarakat,  membuat kasus-kasus tersebut seringkali tidak terangkat kepermukaan. Efek  psikologis yang muncul karena kasus perkosaan yang dialami oleh korban  menyebabkan korban maupun keluarga korban cenderung untuk diam, hal ini  semakin mempersulit penanganan kasus-kasus semacam ini.
Untuk jenis kasus-kasus perkosaan yang dilakukan secara sistematis  dan kolektif oleh sebuah negara, kesulitan yang ditemui adalah dalam hal  pembuktian dan pertanggungjawabannya karena untuk kasus seperti ini  perkosaan-perkosaan yang terjadi akan dikemas dengan sangat baik demi  melindungi kepentingan-kepentingan politik pihak-pihak yang  berkepentingan.
Menyadari begitu sering terjadinya pelanggaran terhadap nilai-nilai  kemanusiaan selama berlangsungnya perang, beberapa negara di dunia sepakat  untuk membuat sebuah peraturan internasional yang khusus mengatur batasan  kemanusiaan bagi negara-negara yang terlibat dalam konflik bersenjata.
Pengaturan tersebut termuat dalam sebuah konvensi yang ditandatangani oleh  lebih dari 120 negara pada tanggal 12 Agustus 1949 di Jenewa dengan 28  negara diantaranya melakukan reservasi terhadap beberapa Pasal-Pasal dari  konvensi tersebut   . Konvensi ini kemudian lebih  dikenal dengan nama  Konvensi Jenewa 1949 (Geneva Convention 1949).
http://www.icrc.org, diakses 24 April 20   Perlindungan terhadap perempuan dari berbagai bentuk tindak  kekerasan sudah banyak diatur dalam berbagai perjanjian internasional  diantaranya adalah sebagai berikut :  1.  International Convention for the Suppression of the Traffic in Women and  Children (1947)  2.  Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against  Women (1979)  3.  Vienna Declaration & Programe of Action (World Conference on Human  Rights, Vienna, 14-25 June 1993)  4.  Declaration in the Elimination of Violence Against Women (1994)  5.  Beijing Declaration 1995.
Namun, untuk kekerasan yang terjadi di waktu perang hanya diatur dalam  Konvensi Jenewa tahun 1949, dimana konvensi ini terdiri dari empat  pembagian yaitu : Konvensi Jenewa I mengatur mengenai perlindungan bagi  mereka yang terluka dan sakit pada saat terjadinya perang (Convention (I) For  The Amelioration of The Condition of The Wounded And Sick In Armed  Forces In The Field). Konvensi Jenewa II mengatur perlindungan terhadap  anggota angkatan bersenjata yang berada dilaut yang dalam keadaan terluka  atau sakit (Convention (II) for the Amelioration of the Condition of Wounded,  Sick and Shipwrecked Members of Armed Forces at Sea). Konvensi Jenewa III  mengatur perlindungan terhadap tawanan perang (Convention (III) Relative to  The Treatment of Prisoners of War)  dan Konvensi Jenewa IV mengatur  mengenai perlindungan terhadap penduduk sipil selama berlangsungnya    perang (Convention (IV) Relative to The Protection of Civilian Persons in  Time of War).
Dalam Konvensi Jenewa IV tahun 1949 inilah diatur mengenai  perlindungan terhadap anak-anak dan wanita sebagai warga sipil dari segala  macam bentuk kekerasan selam berlangsungnya perang. Konvensi ini  terutama bertujuan untuk melindungi wanita dan anak-anak dari berbagai  macam tindak kekerasan selama berlangsungnya perang, termasuk pula  didalamnya kejahatan terhadap kehormatan (perkosaan)  Pada tanggal 2 September 1998, untuk pertama kalinya sebuah  pengadilan atas kejahatan perang yang terjadi di Rwanda menghukum  terpidana (Akayesu) denga tuduhan genosida dan menggunakan perkosaan  secara sistematis sebagai alat dari genosida .

Meskipun secara internasional sudah ada aturan yang mengatur  mengenai pelarangan terhadap perkosaan di waktu perang, perlindungan  hukum dan kesadaran akan pentingnya  perlindungan hukum atas hak-hak  wanita selama berlangsungnya perang masih sangat minim hal ini dapat dilihat  dari banyaknya kasus perkosaan terhadap kaum perempuan diwaktu perang  yang terjadi namun masih minimnya pengadilan internasional bagi penjahat  perang untuk kasus bersangkutan.
Download lengkap Versi Word

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi