Sabtu, 05 April 2014

Skripsi Hukum: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PIHAK YANG BERITIKAD BAIK DALAM PERJANJIAN JUAL BELI



BAB I PENDAHULUAN
 A.Latar Belakang
 Suatu persetujuan tertentu berupa rangkaian kata-kata sebagai gambaran  dari suatu perhubungan antara kedua belah pihak. Seperti halnya dengan semua  buah perbuatan manusia, maka gambaran ini tidak ada yang sempurna. Kalau  orang mulai melaksanakan persetujuan itu, timbullah bermacam-macam persoalan  yang pada waktu persetujuan terbentuk, sama sekali tidak atau hanya sedikit  nampak pada alam pikiran dan alam perasaan kedua belah pihak.

1 1 R.Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Perjanjian, Bandung: Mandar Maju, 2000,  hlm.102.
Tidak dapat dipungkiri bahwa perbuatan hukum seperti jual beli sering  dilakukan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Pada hakekatnya perjanjian  jual beli bertujuan untuk memindahkan hak milik atas suatu barang yang  diperjualbelikan karena dalam jual beli pihak penjual wajib menyerahkan barang  yang dijualnya itu kepada pembeli, sedangkan pihak pembeli mempunyai  kewajiban untuk membayar harga dari barang itu kepada pihak penjual.
Masalah jual beli tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat  sehari-hari. Kejujuran atau itikad baik dalam jual beli merupakan faktor yang  penting sehingga pembeli yang beritikad baik akan mendapat perlindungan hukum  secara wajar, sedangkan yang tidak beritikad baik tidak perlu mendapat  perlindungan hukum.
 Umumnya dapat dikatakan, bahwa dalam pergaulan hidup ditengah-tengah  masyarakat, pihak yang jujur atau beritikad baik haruslah dilindungi dan  sebaliknya pihak yang tidak jujur atau tidak beritikad baik patut merasakan akibat  dari ketidakjujurannya itu. Itikad baik adalah faktor yang paling penting dalam  hukum karena tingkah dari anggota masyarakat itu tidak selamanya diatur dalam  peraturan perundang-undangan, tetapi ada juga dalam peraturan yang berdasarkan  persetujuan masing-masing pihak dan oleh karena peraturan-peraturan tersebut  hanya dibuat oleh manusia biasa maka peraturan-peraturan itu tidak ada yang  sempurna.
Kejujuran atau itikad baik, dapat dilihat dalam dua macam, yaitu pada  waktu mulai berlakunya suatu perhubungan hukum atau pada waktu pelaksanaan  hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang termaktub dalam perhubungan hukum  itu.
2 Kejujuran pada waktu mulainya dalam hati sanubari yang bersangkutan,  bahwa syarat-syarat yang diperlukan bagi mulai berlakunya perhubungan hukum  itu sudah dipenuhi semua, sedang kemudian ternyata bahwa ada syarat yang tidak  terpenuhi. Dalam hal yang demikian itu, bagi pihak yang jujur dianggap seolaholah syarat-syarat tersebut dipenuhi semua, atau dengan kata lain yang jujur tidak  boleh dirugikan sebagai akibat tidak terpenuhinya syarat termaksud di dalam  perjanjian itu. Sebaliknya satu pihak dikatakan tidak jujur pada waktu mulai  berlakunya perhubungan hukum, apabila ia pada waktu itu tahu betul tentang  adanya keadaan yang menghalang-halangi pemenuhan suatu syarat untuk  2 R.Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Perdata, Bandung: Sumur, 1983, hlm.56.
 berlakunya perhubungan itu. Sedangkan pihak lain mungkin jujur tentang hal itu,  artinya tidak mengetahui adanya hal tersebut. Dalam hal ini pihak yang tidak jujur  pada umumnya harus bertanggung jawab atas ketidakjujuran itu dan harus  memikul risiko.Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, ketentuan  mengenai itikad baik, khususnya yang berhubungan dengan pelaksanaan  perjanjian terdapat dalam Pasal 1338 ayat 3 yang menetapkan bahwa semua  perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Ini berarti, bahwa setiap pihak  yang membuat perjanjian tersebut dibuat dengan disertai oleh itikad baik, dalam  hal ini termasuk perjanjian jual-beli.
Itikad baik dalam kontrak merupakan lembaga hukum (rechtsfiguur) yang  berasal dari hukum Romawi yang  kemudian diserap oleh civil law. Dalam  perkembangannya diterima pula dalam hukum kontrak di beberapa negara seperti  Amerika Serikat, Australian, Selandia baru, dan Kanada. Walaupun itikad baik  menjadi asas penting dalam hukum kontrak di berbagai sistem hukum, tetapi asas  itikad baik tersebut masih menimbulkan sejumlah permasalahan terutama yang  berkaitan dengan keabstrakan makna itikad baik.
B.Perumusan Masalah Perumusan masalah adalah merupakan persoalan yang harus dicari  pemecahannya. Perumusan masalah biasanya mempunyai banyak aspek. Dalam  perumusan masalah dapat dilihat manfaat penelitian, yang diharapkan dapat  menemukan pemecahan atau jawaban. Untuk menjawab secara tuntas semua   kemungkinan sebab-sebab itu mungkin diperlukan banyak penelitian. Manfaat  ilmiah dari suatu penelitian perlu ditonjolkan atau dikembangkan.
Permasalahan yang akan menjadi pangkal tolak dalam pembahasan adalah  sebagai berikut: 1.  Apa yang menjadi kewajiban para pihak dalam perjanjian jual beli? 2.  Bagaimana jual beli yang dilakukan terhadap barang orang lain? 3.  Bagaimana perlindungan hukum terhadap pihak yang beritikad baik dalam  perjanjian jual beli? C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1.  Tujuan Penulisan Adapun tujuan penulisan dalam skripsi ini adalah : a.  Untuk mengetahui hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian  jual beli.
b.  Untuk mengetahui jual beli yang dilakukan terhadap barang orang  lain.
c.  Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap pihak yang beritikad baik dalam perjanjian jual beli.
2.  Manfaat Penulisan a.  Secara teoretis Secara teoretis diharapkan penulisan skripsi ini dapat bermanfaat untk  menambah pengetahuan dan wawasan terutama mengenai hukum  perjanjian khusunya mengenai perjanjian jual beli.
 b.  Secara Praktis Manfaat penelitian yang bersifat praktis hasil penelitian ini diharapkan  bermanfaat sebagai bahan masukan bagi kalangan akademisi, praktisi  maupun masyarakat umumnya serta dapat bermanfaat bagi pihak-pihak  yang ingin melakukan penelitian di bidang yang sama.
D. Keaslian Penulisan Adapun judul yang dipilih adalah “Perlindungan Hukum Terhadap Pihak  Yang Beritikad Baik dalam Perjanjian Jual Beli”, merupakan hasil pemikiran  penulis sendiri. Skripsi ini belum pernah ada yang membuat, kalaupun ada,  penulis yakin subtansi pembahasannya berbeda. Dengan demikian keaslian  penulisan skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan.
E. Tinjauan Kepustakaan Menurut Pasal 1313 KUH Perdata, suatu perjanjian adalah suatu perbuatan  dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain  atau lebih.
Suatu perjanjian yang dibuat oleh seseorang dengan seseorang yang lain  atau lebih akan menimbulkan suatu hubungan hukum yang dinamakan perikatan,  jadi dapat disimpulkan perjanjian adalah sumber perikatan di samping sumber  lainnya.
Wirjono Prodjodikoro mengemukakan arti perjanjian sebagai suatu  hubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak. Dalam mana suatu   pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau tidak  melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.
3 Beberapa ajaran saat terjadinya perjanjian antara pihak adalah : 1.  Teori kehendak (willstheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan pada saat  kehendak pihak penerima dinyatakan, misalnya dengan melukiskan surat; 2.  Teori pengiriman (verzendtheorie) mengajarjan bahwa kesepakatan terjadi  pada saat kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima  tawaran; 3.  Teori pengetahuan (vernemingstheorie) mengajarkan bahwa pihak yang  menawarkan seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya diterima; 4.  Teori kepercayaan (vertrowenstheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan  itu terjadi pada saat pernyataan kehendak dianggap layak diterima oleh  pihak yang menawarkan.
Menurut Pasal 1457 KUH Perdata, jual beli adalah suatu perjanjian dengan  mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan,  dan pihak yang lain membayar harga yang telah dijanjikan.
Hasanuddin Rahman mengatakan dari pengertian Pasal 1457 KUH Perdata  di atas dapat dikemukakan lebih lanjut bahwa: 4 1.  Terdapat dua pihak yang saling mengikatkan dirinya, yang masing-masing  mempunyai hak dan kewajiban yang timbul dari perikatan jual beli  tersebut; 3 R.Wirjono Prodjodikoro, Op.cit, hlm.9.
4 Hasanuddin Rahman, Contract Darfting, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003, hlm.24.
 2.  Pihak yang satu berhak untuk mendapatkan/ menerima pembayaran dan  berkewajiban menyerahkan suatu kebendaan, sedangkan pihak yang  lainnya berhak mendapatkan/menerima suatu kebendaan dan berkewajiban  menyerahkan suatu pembayaran; 3.  Hak bagi pihak yang satu merupakan kewajiban bagi pihak lainnya,  begitupun sebaliknya, kewajiban bagi pihak yang satu merupakan hak bagi  pihak yang lain.
4.  Bila salah satu hak tidak terpenuhi atau kewajiban tidak dipenuhi oleh  salah satu pihak, maka tidak akan terjadi perikatan jual beli.
Berdasarkan penjelasan para sarjana di atas, jual beli merupakan suatu  bentuk penyerahan kebendaan yang dijual oleh penjual, dan penyerahan uang oleh  pembeli kepada penjual.
Jual beli senantiasa terletak pada dua sisi hukum perdata, yaitu hukum  kebendaan dan hukum perikatan. Pada sisi hukum kebendaan, jual beli melahirkan  hak bagi kedua belah pihak atas tagihan berupa penyerahan kebendaan pada satu  pihak dan pembayaran pada pihak lainnya. Pada sisi hukum perikatan, jual beli  merupakan suatu bentuk perjanjian yang melahirkan kewajiban dalam bentuk  penyerahan kebendaan yang dijual oleh penjual dan penyerahan uang oleh  pembeli kepada penjual.
Walaupun demikian KUH Perdata melihat jual beli hanya dari sisi  perikatan semata-mata, yaitu dalam bentuk kewajiban dalam lapangan harta  kekayaan, dari masing-masing pihak secara bertimbal balik, oleh karena itu jual  beli dimasukkan dalam Buku Ketiga KUH Perdata tentang perikatan.
 Dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata membahas mengenai pelaksanaan  suatu perjanjian dan berbunyi :” Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan  itikad baik”. Jadi dalam perikatan yang dilahirkan dari perjanjian, maka para  pihak bukan hanya terikat oleh kata-kata perjanjian itu, tetapi juga oleh itikad  baik.
Martijn Hasselin menyebutkan semua itikad baik yang bersifat objektif  mengacu kepada konsep normatif. Sesungguhnya itikad baik seringkali dilihat  sebagai suatu norma tertinggi dari hukum kontrak, hukum perikatan, bahkan  hukum perdata. Itikad baik seringpula dikatakan sebagai berhubungan dengan  standar moral. Di satu sisi, dikatakan menjadi suatu standar moral itu sendiri,  yakni suatu prinsip legal ethical, sehingga itikad baik bermakna honesty. Dengan  demikian, pada dasarnya itikad baik bermakna bahwa satu pihak harus  memperhatikan kepentingan pihak lainnya di dalam kontrak. Di sisi lain, itikad  baik dapat dikatakan sebagai pintu masuk hukum melalui nilai moral (moral  values). Dengan keadaan yang demikian itu menjadikan itikad baik sebagai norma  terbuka (open norm), yakni suatu norma yang isinya tidak dapat ditetapkan secara  abstrak, tetapi ditetapkan melalui kongkretisasi kasus demi kasus dengan  memperhatikan kondisi yang ada.
5 Dalam common law Inggris dikenal dua makna itikad baik yang berbeda,  yakni good faith performance dan good faith purchase. Good faith performance  berkaitan dengan kepatutan (yang objektif), atau reasonableness  pelaksanaan  kontrak. Di dalam makna yang demikian itu, itikad baik digunakan sebagai  5 Ridwan Khairandy, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Jakarta : Pascasarjana  UI, 2004, hlm.34-35.
 implide term, yang digunakan dalam hukum Romawi, mensyaratkan adanya  kerjasama diantara para pihak untuk tidak menimbulkan kerugian dari  reasonableness expectation. Good faith purchase, di lain pihak, berkaitan dengan  a contracting party’s subjective state of mind; apakah seseorang membeli dengan  itikad baik sepenuhnya digantungkan pada ketidaktauannya, kecurigaan, dan  pemberitahuan yang berkaitan dengan kontrak.
6 Kejujuran dalam pelaksanaan persetujuan harus diperbedakan daripada  kejujuran pada waktu mulai berlakunya perhubungan hukum dan kejujuran dalam  pelaksanaan perjanjian. Dalam kejujuran pada waktu mulai berlakunya suatu  perhubungan hukum berupa pengiraan dalam hati sanubari terhadap syarat untuk  memperoleh hak milik barang telah dipenuhi. Sedangkan kejujuran dalam  pelaksanaan perjanjian terletak pada keadaan jiwa manusia, akan tetapi titik berat  dari kejujuran ini terletak pada tindakan yang dilakukan kedua belah pihak dalam  hal melaksanakan janji. Dalam melaksanakan tindakan inilah kejujuran harus  berjalan dalam hari sanubari seorang manusia berupa selalu mengingat, bahwa  manusia itu sebagai anggota masyarakat harus jauh dari sifat menipukan pihak  lain  dengan menggunakan secara membabi buta kata-kata yang dipakai pada  waktu kedua belah pihak membentuk suatu persetujuan. Kedua belah pihak harus  selalu memperhatikan hal ini dan tidak boleh mempergunakan kelalaian pihak lain  untuk menguntungkan diri pribadi.
7 Dalam pandangan ahli hukum Belanda antara lain Hofmann dan Vollmar  dianggap adanya pengertian kejujuran yang bersifat objektif dan kejujuran bersifat  6 Ibid, hlm.161.
7 R.Wirjono Prodjodikoro, Op.cit, hlm.104-105.
 subjektif. Perbedaan antara kejujuran subjektif dan kejujuran objektif itu oleh para  ahli hukum Belanda tadi terutama dibicarakan dalam hubungan dengan suatu  persetujuan, dalam mana para pihak bersepakat untuk menyerahkan penyelesaian  suatu sengketa yang mungkin akan timbul dalam melaksanakan perjanjian, kepada  pihak ketiga atau suatu badan hukum atau kepada salah seorang daripada para  pihak, yaitu selaku pemberi nasehat yang mengikat (bindend advise). Dimana  hakim tidak boleh meninjau lagi isi dari nasehat yang dikatakan mengikat  itu.Sedangkan apabila dilihat dari kejujuran subjektif ketentuan Pasal 1338 ayat  (3) KUH Perdata dapat dianggap bersifat subjektif, sedang untuk mencapai agar  isi dari nasehat yang dikatakan mengikat itu, dapat ditinjau, dapatlah  dipergunakan Pasal 1339 KUH Perdata yang memperbolehkan hakim  memperhatikan hal kepatuhan (billikheid) di samping kejujuran (goede trouw).
8 F.Metode Penelitian 1. Jenis dan Sifat Penelitian Jenis penelitian dalam skripsi ini adalah deskriptif analitis. Penelitian yang  bersifat deskriptif analitis merupakan suatu penelitian yang menggambarkan,  menelaah, menjelaskan, dan menganalisis suatu peraturan hukum.
9 Penelitian ini mempergunakan metode yuridis normatif, dengan  pendekatan yang bersifat kualitatif. Metode penelitian yuridis normatif adalah  metode penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam  8 Ibid,hlm.106.
9 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press,1986, hlm.63  peraturan perundang-undangan.
10 Adapun data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library  research) bertujuan untuk mendapatkan konsep-konsep, teori-teori dan informasiinformasi serta pemikiran konseptual dari peneliti pendahulu baik berupa  peraturan perundang-undangan dan karya  ilmiah lainnya.  Data sekunder  Penelitian yang digunakan terdiri dari : Dalam penelitian yuridis normatif yang  dipergunakan adalah merujuk pada sumber bahan hukum, yakni penelitian yang  mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam berbagai perangkat  hukum.
2. Sumber Data 11 1)  Bahan hukum primer yakni bahan hukum yang terdiri dari aturan hukum  yang terdapat pada berbagai perangkat hukum atau peraturan perundangundangan.
2)  Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari buku  teks, jurnal-jurnal, pendapat sarjana, dan hasil-hasil penelitian.
3)  Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau  penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti  kamus hukum, ensiklopedia,dan lain-lain.
3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dilakukan dengan penelitian kepustakaan  (library research), yaitu dengan meneliti sumber bacaan yang berhubungan  10 Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Raja Grafindo  Persada, 2004), hlm.14 11 Jhonny Ibrahim,  Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Surabaya:  Bayumedia, 2006, hlm.192.
 dengan topik dalam skripsi ini, seperti: Buku-buku hukum, majalah hukum,  artikel-artikel, pendapat para sarjana, dan bahan-bahan lainnya.
4. Analisa Data Seluruh data yang sudah diperoleh dan dikumpulkan selanjutnya akan  ditelaah dan dianalisis secara kualitatif dengan mempelajari seluruh jawaban  kemudian diolah dengan menggunakan metode induktif dan deduktif dan terakhir  dilakukan pembahasan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Dengan  demikian kegiatan analisis ini diharapkan akan memberikan solusi atas  permasalahan dalam penelitian ini.
G. Sistematika Penulisan Sistematika dari penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab, dan setiap bab  dibagi lagi menjadi beberapa bab, yang diperinci sebagai berikut: BAB I : PENDAHULUAN Dalam bab ini penulis memaparkan hal-hal yang bersifat umum sebagai  langkah awal dari penulisan ini yang terdiri dari latar belakang,  perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan,  tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN Dalam bab ini dibahas mengenai pengertian perjanjian, syarat-syarat  sahnya perjanjian, jenis-jenis perjanjian, asas-asas hukum perjanjian,  akibat perjanjian.
BAB III : TINJAUAN UMUM MENGENAI JUAL BELI  Dalam bab ini dibahas tentang pengertian jual beli, macam-macam jual  beli, saat terjadinya jual beli, serta wanprestasi.
BAB IV : PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PIHAK YANG BERITIKAD  BAIK DALAM PERJANJIAN JUAL BELI Dalam bab ini dibahas mengenai hak dan kewajiban dalam jual beli,  penjualan benda kepunyaan orang lain, perlindungan hukum bagi  pembeli yang beritikad baik.
BAB V  : KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini merupakan bab terakhir dan menututp seluruh pembahasan  penulisan dalam skripsi ini. Dalam bab ini ditarik kesimpulan yang  merupakan saripati bab-bab pembahasan, kemudian penulis mencoba  memberikan saran yang diharapkan dapat berguna bagi penulis dan  pembaca.
  

Download lengkap Versi Word

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi