Senin, 21 April 2014

Skripsi Hukum: PERLINDUNGAN PENERBANGAN SIPIL INTERNASIONAL TERHADAP PEMBAJAKAN UDARA BERDASARKAN KONVENSI INTERNASIONAL

BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang.
Penyelenggaraan penerbangan sipil baik internasional maupun nasional  harus mengacu pada norma-norma hukum internasional maupun nasional yang  berlaku, untuk menjamin keselamatan penumpang, awak pesawat udara, pesawat  udara maupun barang-barang yang diangkut. Di mana penyelenggaraan  penerbangan sipil tersebut diatur dalam berbagai konvensi-konvensi internasional.

Dalam hukum udara internasional publik terdapat Konvensi Chicago 1944  yang merupakan konsitusi penerbangan sipil internasional. Konvensi tersebut  dijadikan acuan dalam pembuatan hukum nasional bagi negara anggota  Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) untuk penyelenggaraan  penerbangan sipil internasional. Kemudian di bidang hukum udara perdata  internasional juga terdapat berbagai konvensi internasional seperti Konvensi  Warsawa 1929 beserta protokol serta suplemennya. Konvensi tersebut mengatur  tanggung jawab hukum terhadap pihak ketiga (third parties liability) beserta  protokolnya, konvensi mengenai pengakuan hak atas pesawat udara, di samping  hukurn nasional perdata maupun publik sebagai implementasi konvensi  internasional tersebut di atas.
Tujuan konferensi penerbangan sipil internasional tampak dengan jelas  pada pembukaan Konvensi Penerbangan Sipil Internasional yang ditandatangani  di Chicago pada tahun 1944. Dalam pembukaan tersebut dijelaskan bahwa  pertumbuhan  penerbangan sipil yang akan datang dapat dimanfaatkan untuk  meningkatkan persahabatan, memelihara perdamaian dan saling mengerti   antarbangsa, saling mengunjungi masyarakat dunia dan dapat mencegah dua kali  perang dunia yang sangat mengerikan, dapat mencegah friksi dan dapat digunakan  untuk kerjasama antarbangsa yang dapat memelihara perdamaian dunia. Oleh  karena itu, negara-negara peserta konferensi sepakat mengatur prinsip-prinsip  dasar penerbangan sipil internasional, menumbuhkembangkan penerbangan sipil yang aman, lancar, teratur dan memberi kesempatan yang sama kepada negara  anggota untuk menyelenggarakan angkutan udara internasional dan mencegah  adanya persaingan yang tidak sehat.
Segera setelah ditemukannya moda transportasi udara, para ahli hukum  udara internasional mulai membahas masalah yurisdiksi terhadap tindak pidana  pelanggaran maupun kejahatan yang terjadi dalam pesawat udara. Sebenarnya  sejak tahun 1902, perintis hukum udara internasional Prancis telah membahas  kompetensi yurisdiksi terhadap tindak pidana pelanggaran maupun kejahatan yang  terjadi dalam pesawat udara, serta tindakan-tindakan yang perlu diambil selama  penerbangan berlangsung.
Pembahasan tersebut diteruskan dalam konferensi internasional yang  membahas penerbangan internasional tahun 1910 yang dikenal sebagai  Konferensi Paris 1910. Dalam konferensi tersebut telah dikemukakan berbagai  aspek hukum oleh para ahli hukum udara internasional maupun badan-badan  internasionaI lainnya. Aspek-aspek hukum tersebut antara lain mengenai  kedaulatan di udara  (sovereignty),  penggunaan pesawat udara, pendaftaran  pesawat udara (nationality and registration mark), sertifikasi awak pesawat udara  (certificate of competency),  sertifikasi pesawat udara  (certificate of   airworthiness), transportasi bahan peledak, izin penerbangan, izin pendaratan,  peralatan navigasi penerbangan, dan lain-lain.
 Khusus mengenai pembahasan tindak pidana pelanggaran maupun  kejahatan baru dimulai tahun 1950 yang kemudian disahkan dalam konferensi  diplomatik di Tokyo tahun 1963 di bawah naungan Organisasi Penerbangan Sipil  lnternasional.
 Sebagaimana disebutkan di muka, konvensi tentang tindak pidana  pelanggaran maupun kejahatan dalam pesawat udara tersebut pertama kali  diusulkan oleh delegasi Meksiko dalam tahun 1950. Konsep tersebut  dikembangkan oleh Legal Sub Committee dan konsep Legal Status of Aircraft  dalam tahun 1958. Di dalam konsep tersebut digunakan prinsip yurisdiksi negara  pendaftar pesawat udara dan prinsip yurisdiksi teritorial. Penggunaan prinsip  tersebut didukung sepenuhnya oleh delegasi Amerika Serikat yang disampaikan  kepada Legal Committee untuk mempercepat proses penyelesaian konvensi yang  Salah satu tujuan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional yang  didirikan berdasarkan Pasal 43 Konvensi Chicago 1944 tersebut adalah  menyelenggarakan transportasi udara internasional yang selamat, aman, tertib,  teratur serta mengembangkan fasilitas navigasi penerbangan dengan membentuk  Legal Committee yang ditugaskan untuk menyiapkan konsep-konsep konvensi  internasional seperti Konvensi Tokyo 1963, Konvensi The Hague 1970, Konvensi  Montreal 1971. Protokol Montreal 1988, Konvensi Montreal 1991, di samping  konvensi-konvensi internasional mengenai hukum udara perdata internasional.
 K. Martono, Pengantar Hukum Udara Nasional dan Internasional, Bagian Pertama,  PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 44.
 Organisasi Penerbangan Sipil Internasional didirikan berdasarkan Pasal 43 Konvensi  Chicago 1944 tentang Convention on International Civil Aviation, signed at Chicago on 7  December 1944.
 mengatur tindak pidana pelanggaran maupun kejahatan dalam pesawat udara.
Namun demikian, Legal Sub Committee belum juga mengambil langkah-langkah  tertentu yang lebih nyata.
Dalam sidang Legal Committee yang berlangsung di Munich tahun 1959,  konsep Legal Status of Aircraft disusun secara terpisah dengan konsep konvensi  yang mengatur tindak pidana pelanggaran maupun kejahatan dalam pesawat udara  yang berjudul Draft Convention on Offences and Certain Other Acts Committed  on Board Aircraft. Konsep ini relatif lebih baik dibandingkan dengan konsep  sebelumnya karena dalam konsep ini telah diatur prinsip yurisdiksi negara  terhadap tindak pidana pelanggaran maupun kejahatan dalam pesawat udara, hak,  dan kewajiban negara anggota, hak dan kewajiban kapten penerbang (pilot in  command), kekebalan hukum yang dimiliki oleh kapten penerbang beserta awak  pesawat, udara maupun penumpangnya yang mengambil langkah-langkah yang  diperlukan untuk perlindungan terhadap penumpang serta disinggung ancaman  hukuman ganda (double trial).
 Sepanjang menyangkut yurisdiksi, dalam sidang Munich tahun 1959, telah  dibahas yurisdiksi negara pendaftar pesawat udara, yurisdiksi negara pendaratan  dan yurisdiksi teritorial. Dalam konsep tersebut diusulkan negara yang  mempunyai yurisdiksi terhadap tindak pidana pelanggaran maupun kejahatan  dalam pesawat udara adalah negara pendaftar pesawat udara. Di dalam konsep  tersebut yurisdiksi yang dianut adalah negara bendera seperti halnya dalam hukum  laut yang telah diakui oleh hukum internasional. Sebenarnya, prinsip negara   K. Martono, Op. Cit., hal. 42.
 bendera demikian telah diusulkan oleh Paul Fauchille pada saat konferensi hukum  udara intenasional yang pertama kali di Prancis tahun 1910, demikian pula dalam  tahun 1937 telah disarankan pula oleh Ede Visscher.
 Dalam Pasal 48 Konvensi Tokyo 1963 diatur yurisdiksi negara pendaftar  pesawat udara. Dikatakan apabila negara tersebut bukan negara pendaftar pesawat  udara tidak akan melakukan yurisdiksi tindak pidana pelanggaran maupun  kejahatan di dalam pesawat udara, kecuali tindak pidana pelanggaran maupun  pidana tersebut berpengaruh  kepada wilayahnya atau tindak pidana tersebut  mengganggu keamanan nasional atau langkah langkah tertentu sangat diperlukan  untuk melaksanakan ketentuan hukum internasional yang berlaku. Oleh karena itu,  negara bukan pendaftar pesawat udara maupun negara pendaratan pesawat udara  tidak dapat melakukan yurisdiksi terhadap tindak pidana pelanggaran maupun  kejahatan di dalam pesawat udara.
 Masalah kejahatan penerbangan dalam bentuk pembajakan udara bukan  milik dunia penerbangan sendiri, karena itu Perserikatan Bangsa-Bangsa juga  mengagendakan pembahasan pembajakan udara atas permohonan negara anggota  Tujuan utama konvensi Tokyo 1963 adalah melindungi pesawat udara,  orang maupun barang yang diangkut untuk menjamin keselamatan penerbangan  Untuk maksud itu diadakan keseragaman yurisdiksi  negara anggota, mengisi  kekosongan hukum, menjamin ketertiban di dalam pesawat udara, melindungi  orang yang melakukan tindakan sebagaimana dimaksudkan dalam konvensi, dan  masalah pembajakan udara.
 Matte N.M.Ed., Annals of Air and Space Law. Vol.XVIII, 1993 Part I Toronto: The  Carswell Company limited, 187-191 (1993), dalam K. Martono, Op. Cit., hal. 48.
 Ibid., hal. 48.
 Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dalam  resolusinya sidang Umum Perserikatan  Bangsa-Bangsa merekomendasikan agar setiap negara mengambil langkah.-langkah agar pembajakan udara dapat diancam dengan hukuman yang berat  berdasarkan hukum nasional maupun hukum internasional. Perserikatan BangsaBangsa juga mendukung sepenuhnya usaha Organisasi Penerbangan Sipil  Internasional untuk memberantas pembajakan udara yang selalu mengancam  keselamatan penumpang, awak pesawat udara, pesawat udara maupun barangbarang yang diangkut. Sekaligus menyerukan agar negara-negara yang belum  meratifikasi Konvensi Tokyo 1963 segera meratifikasi.
Konvensi internasional mengenai kejahatan penerbangan sipil  internasional ini kemudian dilakukan yang dinamakan Konvensi The Hague 1970.

Di mana berdasarkan basil studi Sub-Komite Hukum Organisasi Penerbangan  Sipil Internasional, reko mendasi International Law Association (ILA) maupun  Perserikatan Bangsa-Bangsa serta organisasi-organisasi internasional lainnya,  Organisasi Penerbangan Sipil Internasional mengadakan konferensi diplomatik  pada bulan Desember 1970 yang diselenggarakan di The Hague Belanda.
Download lengkap Versi Word

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi