BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang.
Penyelenggaraan
penerbangan sipil baik internasional maupun nasional harus mengacu pada norma-norma hukum
internasional maupun nasional yang berlaku,
untuk menjamin keselamatan penumpang, awak pesawat udara, pesawat udara maupun barang-barang yang diangkut. Di
mana penyelenggaraan penerbangan sipil
tersebut diatur dalam berbagai konvensi-konvensi internasional.
Dalam hukum udara
internasional publik terdapat Konvensi Chicago 1944 yang merupakan konsitusi penerbangan sipil
internasional. Konvensi tersebut dijadikan
acuan dalam pembuatan hukum nasional bagi negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional
(ICAO) untuk penyelenggaraan penerbangan
sipil internasional. Kemudian di bidang hukum udara perdata internasional juga terdapat berbagai konvensi
internasional seperti Konvensi Warsawa
1929 beserta protokol serta suplemennya. Konvensi tersebut mengatur tanggung jawab hukum terhadap pihak ketiga
(third parties liability) beserta protokolnya,
konvensi mengenai pengakuan hak atas pesawat udara, di samping hukurn nasional perdata maupun publik sebagai
implementasi konvensi internasional
tersebut di atas.
Tujuan konferensi
penerbangan sipil internasional tampak dengan jelas pada pembukaan Konvensi Penerbangan Sipil
Internasional yang ditandatangani di
Chicago pada tahun 1944. Dalam pembukaan tersebut dijelaskan bahwa pertumbuhan
penerbangan sipil yang akan datang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan persahabatan, memelihara
perdamaian dan saling mengerti antarbangsa,
saling mengunjungi masyarakat dunia dan dapat mencegah dua kali perang dunia yang sangat mengerikan, dapat
mencegah friksi dan dapat digunakan untuk
kerjasama antarbangsa yang dapat memelihara perdamaian dunia. Oleh karena itu, negara-negara peserta konferensi
sepakat mengatur prinsip-prinsip dasar
penerbangan sipil internasional, menumbuhkembangkan penerbangan sipil yang
aman, lancar, teratur dan memberi kesempatan yang sama kepada negara anggota untuk menyelenggarakan angkutan udara
internasional dan mencegah adanya
persaingan yang tidak sehat.
Segera setelah
ditemukannya moda transportasi udara, para ahli hukum udara internasional mulai membahas masalah
yurisdiksi terhadap tindak pidana pelanggaran
maupun kejahatan yang terjadi dalam pesawat udara. Sebenarnya sejak tahun 1902, perintis hukum udara
internasional Prancis telah membahas kompetensi
yurisdiksi terhadap tindak pidana pelanggaran maupun kejahatan yang terjadi dalam pesawat udara, serta
tindakan-tindakan yang perlu diambil selama penerbangan berlangsung.
Pembahasan tersebut
diteruskan dalam konferensi internasional yang membahas penerbangan internasional tahun 1910
yang dikenal sebagai Konferensi Paris
1910. Dalam konferensi tersebut telah dikemukakan berbagai aspek hukum oleh para ahli hukum udara
internasional maupun badan-badan internasionaI
lainnya. Aspek-aspek hukum tersebut antara lain mengenai kedaulatan di udara (sovereignty), penggunaan pesawat udara, pendaftaran pesawat udara (nationality and registration
mark), sertifikasi awak pesawat udara (certificate
of competency), sertifikasi pesawat
udara (certificate of airworthiness), transportasi bahan peledak,
izin penerbangan, izin pendaratan, peralatan
navigasi penerbangan, dan lain-lain.
Khusus mengenai pembahasan tindak pidana
pelanggaran maupun kejahatan baru
dimulai tahun 1950 yang kemudian disahkan dalam konferensi diplomatik di Tokyo tahun 1963 di bawah
naungan Organisasi Penerbangan Sipil lnternasional.
Sebagaimana disebutkan di muka, konvensi
tentang tindak pidana pelanggaran maupun
kejahatan dalam pesawat udara tersebut pertama kali diusulkan oleh delegasi Meksiko dalam tahun
1950. Konsep tersebut dikembangkan oleh
Legal Sub Committee dan konsep Legal Status of Aircraft dalam tahun 1958. Di dalam konsep tersebut
digunakan prinsip yurisdiksi negara pendaftar
pesawat udara dan prinsip yurisdiksi teritorial. Penggunaan prinsip tersebut didukung sepenuhnya oleh delegasi
Amerika Serikat yang disampaikan kepada
Legal Committee untuk mempercepat proses penyelesaian konvensi yang Salah satu tujuan Organisasi Penerbangan Sipil
Internasional yang didirikan berdasarkan
Pasal 43 Konvensi Chicago 1944 tersebut adalah menyelenggarakan transportasi udara
internasional yang selamat, aman, tertib, teratur serta mengembangkan fasilitas navigasi
penerbangan dengan membentuk Legal
Committee yang ditugaskan untuk menyiapkan konsep-konsep konvensi internasional seperti Konvensi Tokyo 1963,
Konvensi The Hague 1970, Konvensi Montreal
1971. Protokol Montreal 1988, Konvensi Montreal 1991, di samping konvensi-konvensi internasional mengenai hukum
udara perdata internasional.
K. Martono, Pengantar Hukum Udara Nasional dan
Internasional, Bagian Pertama, PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 44.
Organisasi Penerbangan Sipil Internasional
didirikan berdasarkan Pasal 43 Konvensi Chicago
1944 tentang Convention on International Civil Aviation, signed at Chicago on 7
December 1944.
mengatur tindak pidana pelanggaran maupun
kejahatan dalam pesawat udara.
Namun demikian,
Legal Sub Committee belum juga mengambil langkah-langkah tertentu yang lebih nyata.
Dalam sidang Legal
Committee yang berlangsung di Munich tahun 1959, konsep Legal Status of Aircraft disusun secara
terpisah dengan konsep konvensi yang
mengatur tindak pidana pelanggaran maupun kejahatan dalam pesawat udara yang berjudul Draft Convention on Offences and
Certain Other Acts Committed on Board
Aircraft. Konsep ini relatif lebih baik dibandingkan dengan konsep sebelumnya karena dalam konsep ini telah
diatur prinsip yurisdiksi negara terhadap
tindak pidana pelanggaran maupun kejahatan dalam pesawat udara, hak, dan kewajiban negara anggota, hak dan
kewajiban kapten penerbang (pilot in command),
kekebalan hukum yang dimiliki oleh kapten penerbang beserta awak pesawat, udara maupun penumpangnya yang
mengambil langkah-langkah yang diperlukan
untuk perlindungan terhadap penumpang serta disinggung ancaman hukuman ganda (double trial).
Sepanjang menyangkut yurisdiksi, dalam sidang
Munich tahun 1959, telah dibahas
yurisdiksi negara pendaftar pesawat udara, yurisdiksi negara pendaratan dan yurisdiksi teritorial. Dalam konsep
tersebut diusulkan negara yang mempunyai
yurisdiksi terhadap tindak pidana pelanggaran maupun kejahatan dalam pesawat udara adalah negara pendaftar
pesawat udara. Di dalam konsep tersebut
yurisdiksi yang dianut adalah negara bendera seperti halnya dalam hukum laut yang telah diakui oleh hukum
internasional. Sebenarnya, prinsip negara K. Martono, Op. Cit., hal. 42.
bendera demikian telah diusulkan oleh Paul
Fauchille pada saat konferensi hukum udara
intenasional yang pertama kali di Prancis tahun 1910, demikian pula dalam tahun 1937 telah disarankan pula oleh Ede
Visscher.
Dalam Pasal 48 Konvensi Tokyo 1963 diatur
yurisdiksi negara pendaftar pesawat
udara. Dikatakan apabila negara tersebut bukan negara pendaftar pesawat udara tidak akan melakukan yurisdiksi tindak
pidana pelanggaran maupun kejahatan di
dalam pesawat udara, kecuali tindak pidana pelanggaran maupun pidana tersebut berpengaruh kepada wilayahnya atau tindak pidana tersebut
mengganggu keamanan nasional atau
langkah langkah tertentu sangat diperlukan untuk melaksanakan ketentuan hukum
internasional yang berlaku. Oleh karena itu, negara bukan pendaftar pesawat udara maupun
negara pendaratan pesawat udara tidak
dapat melakukan yurisdiksi terhadap tindak pidana pelanggaran maupun kejahatan di dalam pesawat udara.
Masalah kejahatan penerbangan dalam bentuk
pembajakan udara bukan milik dunia
penerbangan sendiri, karena itu Perserikatan Bangsa-Bangsa juga mengagendakan pembahasan pembajakan udara atas
permohonan negara anggota Tujuan utama
konvensi Tokyo 1963 adalah melindungi pesawat udara, orang maupun barang yang diangkut untuk
menjamin keselamatan penerbangan Untuk
maksud itu diadakan keseragaman yurisdiksi
negara anggota, mengisi kekosongan
hukum, menjamin ketertiban di dalam pesawat udara, melindungi orang yang melakukan tindakan sebagaimana
dimaksudkan dalam konvensi, dan masalah
pembajakan udara.
Matte N.M.Ed., Annals of Air and Space Law.
Vol.XVIII, 1993 Part I Toronto: The Carswell
Company limited, 187-191 (1993), dalam K. Martono, Op. Cit., hal. 48.
Ibid., hal. 48.
Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dalam resolusinya sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa merekomendasikan agar setiap
negara mengambil langkah.-langkah agar pembajakan udara dapat diancam dengan
hukuman yang berat berdasarkan hukum
nasional maupun hukum internasional. Perserikatan BangsaBangsa juga mendukung
sepenuhnya usaha Organisasi Penerbangan Sipil Internasional untuk memberantas pembajakan
udara yang selalu mengancam keselamatan
penumpang, awak pesawat udara, pesawat udara maupun barangbarang yang diangkut.
Sekaligus menyerukan agar negara-negara yang belum meratifikasi Konvensi Tokyo 1963 segera
meratifikasi.
Konvensi
internasional mengenai kejahatan penerbangan sipil internasional ini kemudian dilakukan yang
dinamakan Konvensi The Hague 1970.
Di mana berdasarkan
basil studi Sub-Komite Hukum Organisasi Penerbangan Sipil Internasional, reko mendasi
International Law Association (ILA) maupun Perserikatan Bangsa-Bangsa serta
organisasi-organisasi internasional lainnya, Organisasi Penerbangan Sipil Internasional
mengadakan konferensi diplomatik pada
bulan Desember 1970 yang diselenggarakan di The Hague Belanda.
Download lengkap Versi Word
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi