BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang.
Menurut J.G.
Starke, hukum internasional adalah suatu sistem yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban
negara. Dengan merujuk pada praktik internasional yang berlaku dan hukum
positif, pada umumnya pakar hukum
berpendapat bahwa hukum internasional hanya mengatur hubungan antar negara dan oleh karena itu individu tidak
dapat dianggap sebagai subjek hukum internasional.
Sebaliknya ada juga yang berpendapat lain,
terutama Prof. Georges Scelle, pakar
hukum ternama dari Prancis, bahwa hanya individu yang merupakan subjek hukum internasional. Para pendukung doktrin
ini berpandangan bahwa bukankah tujuan
akhir dari pengaturan-pengaturan konvensional adalah individu dan oleh karena itu para individu mendapatkan
perlindungan internasional. Sebagai contoh, suatu konvensi
internasional yang ditandatangani oleh sejumlah negara yang berisikan ketentuan bahwa pelayaran atas suatu
sungai internasional adalah bebas, tidak
lain berarti pemberian kebebasan kepada individu-individu agar dapat menggunakan sungai tersebut untuk keperluan
usaha mereka.
J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional
1, Edisi Ke-10, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal. 4.
Dr. Boer Mauna, Hukum Internasional –
Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, (Bandung: P.T. Alumni, 2008),
hal. 670.
Ibid.
Aliran ini tampak benar pada isu hak asasi manusia, hak yang
melekat pada individu, namun langsung
diatur dalam hukum internasional.
Pada masa sekitar
abad ke-18 dan 19, timbul kesadaran akan hak-hak asasi manusia yang salah satu di antaranya adalah
hak untuk hidup. Perjuangan untuk melindungi
hak-hak asasi manusia mencapai puncak pada abad ke-20. Deklarasideklarasi dan
konvensi internasional serta seruan-seruan tentang hak-hak asasi manusia mulai bermunculan baik yang
diprakarsai oleh lembaga-lembaga internasional
seperti PBB dan organ-organnya maupun oleh negara-negara secara kolektif dan individual.
Pada umumnya, sepanjang negara menjalankan
kewajibannya berdasarkan hukum nasional,
bagaimana melakukannya tidak menjadi perhatian hukum internasional. Namun, dalam beberapa hal
negara-negara bersepakat untuk menjalankan
kewajiban mereka dengan cara tertentu. Inilah yang acapkali menjadi persoalan dalam bidang hak asasi
manusia.
Seperti dalam hukum pidana, setiap negara
berhak untuk menentukan berat atau
besarnya ancaman hukuman terhadap suatu tindak atau peristiwa pidana.
I Wayan Parthiana, Ekstradisi dalam Hukum
Internasional dan Hukum Nasional, (Bandung:
Penerbit Alumni, 1983), hal. 100.
C. de Rover, To Serve & To Protect – Acuan
Universal Penegakan HAM, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2000), hal. 9.
I Wayan Parthiana, 1, op. cit, hal. 99.
Namun, hukuman itu
memiliki berbagai gradasi. Pada umumnya, telah diakui bahwa hukuman mati adalah merupakan
jenis hukuman yang paling berat jika
dibandingkan dengan jenis-jenis hukuman lainnya yang dikenal di dalam berbagai sistem hukum pidana negara-negara di
dunia sebab hukuman mati merupakan
pencabutan nyawa yang dengan sengaja dilakukan terhadap si terhukum untuk selama-lamanya.
Oleh sebab itu, sebagian kalangan berpendapat bahwa hukuman mati merupakan suatu bentuk
pengikaran terhadap hak untuk hidup, sehingga dipandang tidak sesuai lagi dengan
hak-hak asasi manusia.
Sebagai tambahan, hukuman mati adalah huku man
yang bersifat irreversible (tidak dapat
diubah). Sudah menjadi pengetahuan di kalangan para ahli hukum bahwa Criminal Justice System is
not infallible (Sistem peradilan pidana
tidaklah sempurna). Peradilan pidana dapat saja keliru dalam menghukum orang-orang yang tidak bersalah. Polisi, jaksa
penuntut umum, maupun hakim adalah juga
manusia yang bisa saja keliru ketika menjalankan tugasnya. Berkaitan dengan hukuman mati maka kekeliruan tersebut
dapat berakibat fatal. Orang yang telah
dieksekusi mati tidak dapat dihidupkan lagi walaupun di kemudian hari diketahui bahwa yang bersangkutan tidak
bersalah.
Ketidaksempurnaan sistem peradilan pidana
merupakan suatu keniscayaan karena ia
merupakan “hasil karya manusia”. Bahkan di negara maju sekalipun Negara bisa mengganti uang denda, mengembalikan hak milik yang telah
dirampas, atau mengkompensasi orang yang
ternyata tidak bersalah tetapi dijatuhi hukuman penjara, tetapi tidak bisa mengembalikan seseorang dari kematian
akibat hukuman mati yang telah dijatuhkan.
Ibid, hal. 100.
Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay,
Kontroversi Hukuman Mati – Perbedaan Pendapat Hakim Konstitusi, (Jakarta: Kompas,
2009), hal. 31.
I Wayan Parthiana, 1, op. cit, hal. 101.
Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, op. cit,
hal. 43.
seperti Amerika, kegagalan sistem pidana,
untuk tidak menghukum orang yang tidak
bersalah, cukup sering terjadi. Sejak tahun 1973, lebih dari 120 orang di Amerika
yang sedang menunggu eksekusi hukuman mati dibebaskan karena ditemukan bukti bahwa ternyata mereka sama
sekali tidak bersalah Munculnya
norma-norma internasional menyebutkan tentang pembatasan dan penghapusan hukuman mati merupakan suatu
fenomena pasca Perang Dunia II. Sebagai
suatu cita-cita dari negara beradab, penghapusan mulai dipropagandakan saat perumuskan isi Universal
Declaration of Human Rights (UDHR) pada tahun 1948, walaupun hanya berbentuk
arti tersirat yang terkandung dalam pengakuan
“right to life” (hak untuk hidup).
Arus yang menghimbau penghapusan hukuman mati
sedang berkembang dalam masyarakat
internasional. Penghapusan hukuman mati dilihat sebagai suatu elemen yang penting dalam perkembangan
demokrasi di negara-negara yang ingin memutuskan
hubungan dengan masa lalu yang dipenui dengan teror, ketidakadilan dan penindasan.
Ibid, hal. 43-44.
William A. Schabas, The Abolition of Death
Penalty in International Law, rd ed., (United Kingdom: Cambridge University Press,
2002), hal. 1.
William A. Schabas, “International Law and
Abolition of the Death Penalty”, 55 Wash.
& Lee L. Rev. 797 (1998).
Tren penghapusan
ini terlihat dari berbagai produk hukum
internasional yang dibentuk guna mendorong penghapusan hukuman mati. Selain UDHR, instrumen hukum hak
asasi manusia lain yang paling mendasar
adalah International Covenant of Civil and Political Rights (ICCPR) dan Second
Optional Protocol-nya serta beberapa konvensi regional lainnya. Pada tahun 2007, Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga
mengeluarkan Resolusi “Moratorium on the Use of the Death Penalty” yang menghimbau penghapusan hukuman mati.
Dewasa ini jumlah negara yang termasuk dalam
kategori abolisionis terhadap hukuman
mati sudah mencapai angka 129 dengan perincian 88 negara yang abolisionis untuk semua kejahatan
(abolitionist for all crimes), 11 negara untuk kejahatan biasa (abolisionist for
ordinary crimes only), dan 30 negara yang melakukan penangguhan hukuman mati
(abolitionist in practice). Apabila dibandingkan
dengan jumlah negara retensionis yang berjumlah 68 negara, maka statistik ini seperti menunjukkan adanya
kecenderungan peradaban dunia untuk menghargai
hak untuk hidup di atas hak-hak lain.
Selain itu, tekanan dari negara abolisionis
juga bermunculan. Negara retensionis
dituntut untuk setidaknya menerapkan
Safeguards (upaya-upaya perlindungan)
dalam peradilan dan penerapan hukuman mati. Pembuat hukum internasional juga mendesak agar pembatasan terhadap hukuman
mati dengan berbagai upaya misalnya
mengecualikan anak-anak di bawah umur, wanita hamil, dan orang tua dari ruang lingkup hukuman mati
dan membatasinya dengan mengurangi
daftar kejahatan-kejahatan serius yang diancam huku man mati.
Masalah hukuman mati juga menjadi bahan
pemikiran negara-negara di General
Assembly Resolution 62/149 of 18 December 2007, Moratorium on the use of the death penalty, A/62/439/Add.2.
Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, op. cit,
hal 15.
William A. Schabas, 1, loc. cit.
dalam penyusunan undang-undang dan perjanjian
ekstradisi.
1.
Bagaimana peranan PBB dalam
perkembangan penerapan dan penghapusan
hukuman mati di dunia? Suatu negara bisa
menolak untuk mengekstradisi seorang
pelaku kejahatan kembali ke negara asalnya
apabila setelah diekstradisi, orang tersebut akan dijatuhi hukuman mati, seperti yang terjadi pada kasus-kasus
ekstradisi di Eropa dan Amerika.
Download lengkap Versi Word
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi