Senin, 21 April 2014

Skripsi Hukum: TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP PELAKSANAAN HUKUMAN MATI DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL

BAB I.
PENDAHULUAN.
A.  Latar Belakang.
Menurut J.G. Starke, hukum internasional adalah suatu sistem yang  mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban negara.  Dengan merujuk pada  praktik internasional yang berlaku dan hukum positif, pada umumnya pakar  hukum berpendapat bahwa hukum internasional hanya mengatur hubungan antar  negara dan oleh karena itu individu tidak dapat dianggap sebagai subjek hukum  internasional.

 Sebaliknya ada juga yang berpendapat lain, terutama Prof. Georges Scelle,  pakar hukum ternama dari Prancis, bahwa hanya individu yang merupakan subjek  hukum internasional. Para pendukung doktrin ini berpandangan bahwa bukankah  tujuan akhir dari pengaturan-pengaturan konvensional adalah individu dan oleh  karena itu para individu mendapatkan perlindungan internasional. Sebagai contoh,  suatu konvensi  internasional yang ditandatangani oleh sejumlah negara yang  berisikan ketentuan bahwa pelayaran atas suatu sungai internasional adalah bebas,  tidak lain berarti pemberian kebebasan kepada individu-individu agar dapat  menggunakan sungai tersebut untuk keperluan usaha mereka.
  J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional 1, Edisi Ke-10, (Jakarta: Sinar Grafika,  2004), hal. 4.
 Dr. Boer Mauna, Hukum Internasional – Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era  Dinamika Global, (Bandung: P.T. Alumni, 2008), hal. 670.
 Ibid.
Aliran ini tampak  benar pada isu hak asasi manusia, hak yang melekat pada individu, namun   langsung diatur dalam hukum internasional.
Pada masa sekitar abad ke-18 dan 19, timbul kesadaran akan hak-hak asasi  manusia yang salah satu di antaranya adalah hak untuk hidup. Perjuangan untuk  melindungi hak-hak asasi manusia mencapai puncak pada abad ke-20. Deklarasideklarasi dan konvensi internasional serta seruan-seruan tentang hak-hak asasi  manusia mulai bermunculan baik yang diprakarsai oleh lembaga-lembaga  internasional seperti PBB dan organ-organnya maupun oleh negara-negara secara  kolektif dan individual.
 Pada umumnya, sepanjang negara menjalankan kewajibannya berdasarkan  hukum nasional, bagaimana melakukannya tidak menjadi perhatian hukum  internasional. Namun, dalam beberapa hal negara-negara bersepakat untuk  menjalankan kewajiban mereka dengan cara tertentu. Inilah yang acapkali  menjadi persoalan dalam bidang hak asasi manusia.
 Seperti dalam hukum pidana, setiap negara berhak untuk menentukan  berat atau besarnya ancaman hukuman terhadap suatu tindak atau peristiwa  pidana.
  I Wayan Parthiana, Ekstradisi dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional,  (Bandung: Penerbit Alumni, 1983), hal. 100.
 C. de Rover, To Serve & To Protect – Acuan Universal Penegakan HAM, (Jakarta: PT  RajaGrafindo Persada, 2000), hal. 9.
 I Wayan Parthiana, 1, op. cit, hal. 99.
Namun, hukuman itu memiliki berbagai gradasi. Pada umumnya, telah  diakui bahwa hukuman mati adalah merupakan jenis hukuman yang paling berat  jika dibandingkan dengan jenis-jenis hukuman lainnya yang dikenal di dalam  berbagai sistem hukum pidana negara-negara di dunia sebab hukuman mati   merupakan pencabutan nyawa yang dengan sengaja dilakukan terhadap si  terhukum untuk selama-lamanya.
 Oleh sebab itu, sebagian kalangan berpendapat  bahwa hukuman mati merupakan suatu bentuk pengikaran terhadap hak untuk  hidup,  sehingga dipandang tidak sesuai lagi dengan hak-hak asasi manusia.
 Sebagai tambahan, hukuman mati adalah huku man yang bersifat  irreversible (tidak dapat diubah). Sudah menjadi pengetahuan di kalangan para  ahli hukum bahwa Criminal Justice System is not infallible (Sistem peradilan  pidana tidaklah sempurna). Peradilan pidana dapat saja keliru dalam menghukum  orang-orang yang tidak bersalah. Polisi, jaksa penuntut umum, maupun hakim  adalah juga manusia yang bisa saja keliru ketika menjalankan tugasnya. Berkaitan  dengan hukuman mati maka kekeliruan tersebut dapat berakibat fatal. Orang yang  telah dieksekusi mati tidak dapat dihidupkan lagi walaupun di kemudian hari  diketahui bahwa yang bersangkutan tidak bersalah.
 Ketidaksempurnaan sistem peradilan pidana merupakan suatu keniscayaan  karena ia merupakan “hasil karya manusia”. Bahkan di negara maju sekalipun  Negara bisa mengganti uang  denda, mengembalikan hak milik yang telah dirampas, atau mengkompensasi  orang yang ternyata tidak bersalah tetapi dijatuhi hukuman penjara, tetapi tidak  bisa mengembalikan seseorang dari kematian akibat hukuman mati yang telah  dijatuhkan.
 Ibid, hal. 100.
 Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, Kontroversi Hukuman Mati –  Perbedaan  Pendapat Hakim Konstitusi, (Jakarta: Kompas, 2009), hal. 31.
 I Wayan Parthiana, 1, op. cit, hal. 101.
 Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, op. cit, hal. 43.
 seperti Amerika, kegagalan sistem pidana, untuk tidak menghukum orang yang  tidak bersalah, cukup sering terjadi. Sejak tahun 1973, lebih dari 120 orang di  Amerika  yang sedang menunggu eksekusi hukuman mati dibebaskan karena  ditemukan bukti bahwa ternyata mereka sama sekali tidak bersalah  Munculnya norma-norma internasional menyebutkan tentang pembatasan  dan penghapusan hukuman mati merupakan suatu fenomena pasca Perang Dunia  II. Sebagai suatu cita-cita dari negara beradab, penghapusan mulai  dipropagandakan saat perumuskan isi Universal Declaration of Human Rights (UDHR) pada tahun 1948, walaupun hanya berbentuk arti tersirat yang  terkandung dalam pengakuan “right to life” (hak untuk hidup).
 Arus yang menghimbau penghapusan hukuman mati sedang berkembang  dalam masyarakat internasional. Penghapusan hukuman mati dilihat sebagai suatu  elemen yang penting dalam perkembangan demokrasi di negara-negara yang ingin  memutuskan hubungan dengan masa lalu yang dipenui dengan teror,  ketidakadilan dan penindasan.
  Ibid, hal. 43-44.
 William A. Schabas, The Abolition of Death Penalty in International Law,  rd ed.,  (United Kingdom: Cambridge University Press, 2002), hal. 1.
 William A. Schabas, “International Law and Abolition of the Death Penalty”, 55  Wash. & Lee L. Rev. 797 (1998).
Tren penghapusan ini terlihat dari berbagai  produk hukum internasional yang dibentuk guna mendorong penghapusan  hukuman mati. Selain UDHR, instrumen hukum hak asasi manusia lain yang  paling mendasar adalah International Covenant of Civil and Political Rights (ICCPR) dan Second Optional Protocol-nya serta beberapa konvensi regional   lainnya. Pada tahun 2007, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)  juga mengeluarkan Resolusi “Moratorium on the Use of the Death Penalty” yang  menghimbau penghapusan hukuman mati.
 Dewasa ini jumlah negara yang termasuk dalam kategori abolisionis  terhadap hukuman mati sudah mencapai angka 129 dengan perincian 88 negara  yang abolisionis untuk semua kejahatan (abolitionist for all crimes), 11 negara  untuk kejahatan biasa (abolisionist for ordinary crimes only), dan 30 negara yang  melakukan penangguhan hukuman mati (abolitionist in practice). Apabila  dibandingkan dengan jumlah negara retensionis yang berjumlah 68 negara, maka  statistik ini seperti menunjukkan adanya kecenderungan peradaban dunia untuk  menghargai hak untuk hidup di atas hak-hak lain.
 Selain itu, tekanan dari negara abolisionis juga bermunculan. Negara  retensionis dituntut untuk setidaknya menerapkan  Safeguards (upaya-upaya  perlindungan) dalam peradilan dan penerapan hukuman mati. Pembuat hukum  internasional juga  mendesak agar pembatasan terhadap hukuman mati dengan  berbagai upaya misalnya mengecualikan anak-anak di bawah umur, wanita hamil,  dan orang tua dari ruang lingkup hukuman mati dan membatasinya dengan  mengurangi daftar kejahatan-kejahatan serius yang diancam huku man mati.
 Masalah hukuman mati juga menjadi bahan pemikiran negara-negara di   General Assembly Resolution 62/149 of 18 December 2007, Moratorium on the use of  the death penalty, A/62/439/Add.2.
 Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, op. cit, hal 15.
 William A. Schabas, 1, loc. cit.
 dalam penyusunan undang-undang dan perjanjian ekstradisi.

 1.  Bagaimana  peranan  PBB dalam  perkembangan penerapan dan  penghapusan hukuman mati di dunia?  Suatu negara bisa  menolak untuk mengekstradisi seorang pelaku kejahatan kembali ke negara  asalnya apabila setelah diekstradisi, orang tersebut akan dijatuhi hukuman mati,  seperti yang terjadi pada kasus-kasus ekstradisi di Eropa dan Amerika.
Download lengkap Versi Word

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi