Senin, 07 April 2014

Skripsi Hukum: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU KEPEMILIKAN DAN PENJUALAN SENJATA API SERTA AMUNISI ILEGAL OLEH MASYARAKAT SIPIL



BAB I PENDAHULUAN
 A. Latar Belakang   
Perkembangan zaman pada saat ini mengalami kemajuan pertumbuhan  yang sangat pesat,tidak hanya didunia teknik industri dan perdagangan tetapi juga  dalam dunia hukum.perkebangan zaman diikuti juga oleh perkembangan tingkat  kejahatan dimana perkembanagn tingkat kejahatan dipengaruhi oleh peredaran  senjata api ilegal.senjata api pada dasarnya dapat dimiliki oleh masyrakat sipil  tetapi melalu proses yang cukup panjang.

Secara normatif, Indonesia sebenarnya termasuk negara yang cukup ketat  menerapkan aturan kepemilikan senjata api untuk kalangan sipil. Ada sejumlah  dasar hukum yang mengatur mengenai hal ini, mulai dari level undang-undang  yakni UU Darurat No. 12 Tahun 1951,UU No 8 Tahun 1948 dan Perpu No. 20  Tahun 1960. Selebihnya adalah peraturan yang diterbitkan oleh Kepolisian,  seperti SK Kapolri No. Skep/244/II/1999 dan SK Kepala Polri Nomor 82 Tahun  2004 tentang Pelaksanaan Pengawasan dan Pengendalian Senjata Non-Organik.
Berdasarkan SK tahun 2004, persyaratan untuk mendapatkan senjata api  ternyata relatif mudah. Cukup dengan menyerahkan syarat kelengkapan dokumen  seperti KTP, Kartu Keluarga, dan lain-lain, seseorang berusia 24-65 tahun yang  memiliki sertifikat menembak dan juga lulus tes menembak, maka dapat memiliki  senjata api. SK tersebut juga mengatur bahwa individu pemilik senjata api untuk  keperluan pribadi dibatasi minimal setingkat Kepala Dinas atau Bupati untuk  kalangan pejabat pemerintah, minimal Letnan Satu untuk kalangan angkatan  bersenjata, dan pengacara atas rekomendasi  Departemen Kehakiman.
1  Seiring dengan meningkatnya kejahatan dengan senjata api, pada tahun  2007 Kapolri Sutanto mengeluarkan kebijakan penarikan senjata api yang  dianggap ilegal. Senjata api ilegal adalah senjata yang tidak sah beredar di  kalangan sipil, senjata yang tidak diberi izin kepemilikan, atau senjata yang telah  habis masa berlaku izinnya. Berdasarkan ketentuan yang berlaku, izin  kepemilikan senjata api di Indonesia dibatasi hingga satu tahun dan dapat  diperpanjang untuk jangka waktu yang sama. Gerakan Polri ini bertujuan untuk  mengurangi kepemilikan senjata api oleh sipil karena banyak penyalahgunaan  senjata api oleh masyarakat. Meskipun sudah ada upaya preventif dengan  mewajibkan calon pemilik mengikuti psikotes terlebih dahulu sebelum mendapat  izin kepemilikan senjata.
4 Perkelahihan,pertikaian dan perampokan Semua ini tidak lepas dari masih  adanya peredaran senjata api ilegal yang ada di masyarakat, baik standar atau  rakitan. Dengan memiliki senjata api, setiap orang merasa memiliki kekuatan  yang cukup untuk menyerang “musuhnya”, tanpa mereka sadar bahwa  “musuhnya” juga memiliki senjata api yang sama. Sebagai akibatnya beberapa  nyawa melayang dengan sia-sia. Dengan menyadari bahwa kepemilikan senjata  api ilegal bisa mendorong ke arah ke arah terjadinya pertikaian atau lebih jauh lagi  kerusuhan (antar orang, antar penduduk, antar golongan, antar agama), maka  sudah sepantasnya setiap orang, dengan kesadarannya menyerahkan senjata api  mereka kepada aparat, baik kepada polisi atau kepada TNI. Kepemilikan senjata  api secara tidak sah dapat dikenai sangsi hukum, sedangkan aparat sudah  4 http://www.indowebster.com/lawandlegal. ,dikunjungi terakhir tanggal 29 maret 2010  memberikan jaminan untuk tidak memberikan tuntutan hukum kepada mereka  yang menyerahkan senjata api mereka secara suka rela.
Motif warga sipil menguasai senjata api secara ilegal memang bermacammacam.Dalam situasi perang terbuka, motifnya jelas"membunuh atau dibunuh".
Dalam kasusk kekerasan bersenjata, sejak Mei 2000,hingga pra Deklarasi Malino,  Desember2001, motif ini jelas sangat menonjol.Motif ini juga masih terungkap  dalam sejumlah kasus kekerasan bersenjatapaska Deklarasi Malino.Dalam situasi  yang relatif damai,sebagian warga tetap menguasai senjata api.Alasannya  sederhana, karena sama sekali tidak mempercayai jaminan keamanan dari aparat  keamanan. Mereka menyatakan terpaksa memiliki senjata api secara ilegal,karena tidak ada kepastian keamanan.Mereka tidak ingin menjadi korbankekerasan  bersenjata.Bagi para penjahat jelas senjata api digunakan untuk memudahkan niat  jahatnya.
B. RUMUSAN MASALAH Pokok materi pembahasan guna memperoleh kesimpulan tujuan  pembahasan suatu karya ilmiah tergambar dalam permaslahan yang  dikemukakan.Oleh karena itu,sehubungan dengan judul di atas,berikut penulis  akan mengemukakan rumusan masalah dalam skripsi ini yaitu: 1.  Bagaimana pengaturan mengenai kepemilikan senjata api oleh masyarakat  sipil? 2.  .faktor-faktor apa saja yang menyebabkan kepemilkan senjata api ilegal? 3.  bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku kepemilkan dan  penjulan senjata api ilegal serta amunisi oleh masyarakat sipil?  C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai  berikut:  a.  Untuk mengetahui bagaimana pegaturan kepemilkan senjata  api bagi masyarakat sipil. Terutama yang diatur dalam hukum  pidana materil maupun formil.
b.  untuk mengetahui faktor-faktor apa saja menyebabkan  terjadinya senjata api secara ilegal,sehingga dapat diantisipasi  peredarannya sekaligus dapat meminalisir dampak dari  kepemilikan senjata api ilegal.
c.  untuk mengetahui bagaimana pertanggungjawaban pidana  terhadap kepemilikan senjata api ilegal ditinjau  dari analisa  putusan nomor 3550/Pid.B/2006/PN.Mdn .
Penulisan ini dapat bermanfaat secara teoritis dan praktis ,secara praktis  penulisan ini bermanfaat bagi: a.  Masyarakat secara umum guna memberi informasi mengenai  dampak dari kepemilkan dan penjualan senjata api ilegal, sehingga  masyarakat dapat membantu aparat kepolisian dalam menagani  penyebaran senjata api ilegal.
b.  Aparat penegak hukum dan pemerintah, yang bertujuan untuk  menegakan sendi-sendi hukum pidana dan menjaga  ketertiban.memberi masukan kepada aparat penegak hukum  mengenai upaya yang dapat dilakukan dalam mengurangi tindak   pidana kepemilikan dan penjualan senjata api ilegal oleh  masyarakat sipil.
Secara teoritis penulisan ini diharapkan bermanfaat bagi pakar  hukum,civitas akademika dan para ilmuwan  lainya dalam memberikan  sumbangsih literatur dan referensi berkaitan dengan kepemilkan senjata  api ilegal oleh masyarakat sipil.
D. Keaslian Penulisan Penulisan skripsi yang diberi judul “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap  Pelaku Kepemilikan Dan Penjualan Senjata Serta Amunisi Ilegal Oleh Masyarakat  Sipil (Studi Putusan Nomor 3350/Pid.B/2006/PN.Mdn)” ini merupakan penulisan  asli yang belum pernah terdapat dalam literatur manapun.Sepengetahuan penulis  belum ada penulis lain yang mengemukakanya, dan penulis  telah  mengkonfirmasikanya kepada Sekretarian Departemen Pidana.
F.  Tinjauan Kepustakaan  1.  Pengertian Dan Unsur-unsur Tindak Pidana  A. Pengertian tindak pidana  Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana  Belanda yaitu “Straftbaar Feit”, Strafbar Feit terdiri dari 3 (tiga) kata yakni Straf,  Baar dan Feit. Straf diterjemahkan sebagai pidana dan hukum, perkataan baar  diterjemahkan sebagai dapat dan boleh sedangkan kata feit diterjemahkan sebagai  tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan. Istilah tindak pidana telah lazim   digunakan dan merupakan istilah resmi dalam perundang-undangan.
5 Tindak menunjuk pada hak kelakuan manusia dalam arti positif  (handelen). Padahal pengertian yang sebenarnya dalam istilah feit adalah  termasuk baik perbuatan aktif maupun pasif.
Dalam  hampir seluruh peraturan perundang-undangan menggunakan istilah tindak  pidana, seperti dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta  dan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana  korupsi, walaupun masih diperdebatkan ketetapatannya.
6 Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, tidak ditemukan definisi  tindak pidana. Dalam pengertian tindak pidana tidak termasuk mengenai  pertanggungjawaban. Tindak pidana hanya menunjuk kepada dilarangnya  melakukan suatu perbuatan, yang kemudian apakah orang yang telah melakukan  perbuatan tersebut dapat dipidana atau tidak. Pengertian tindak pidana yang  dipahami selama ini merupakan kreasi teoritis para ahli hukum.
Perbuatan aktif maksudnya suatu  bentuk perbuatan yang untuk mewujudkannya diperlukan atau diisyaratkan  adanya suatu gerakan atau gerakan-gerakan dari tubuh atau bagian dari tubuh  manusia, misalnya mengambil sebagaimana diatur dalam Pasal 362 KUHP atau  merusak yang diatur dalam Pasal 406 KUHP. Sedangkan perbuatan pasif adalah  suatu bentuk tidak melakukan suatu bentuk perbuatan fisik apapun, dimana  seseorang tersebut telah mengabaikan kewajiban hukumnya, misal perbuatan tidak  menolong sebagaimana diatur dalam Pasal 531 KUHP atau perbuatan  membiarkan yang diatur dalam Pasal 304 KUHP.
5 Drs.Adami Chazawi,SH.Pelajaran Hukum Pidana Bagian I,Jakarta,Raja Grafindo  Persada,2002,hal 67 6 Ibid ,hal 70  Simon mengatakan bahwa straftbaar feit adalah kelakukan yang diancam  dengan pidana, bersifat melawan hukum, dan berhubungan dengan kesalahan  yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.
7 7 Adami Chazawi ,op.cit,Hal 26 Sedangkan Van  Hamel mengatakan bahwa  straftbaar feit  adalah kelakukan orang yang  dirumuskan dalam undang-undang, bersifat melawan hukum, patut dipidana dan  dilakukan dengan kesalahan.
Menurut ahli hukum pidana Indonesia, Komariah E. Saprdjaja bahwa  tindak pidana adalah suatu perbuatan manusia yang memenuhi perumusan delik,  melawan hukum dan pembuat bersalah melakukan perbuatan itu.
Pada dasarnya tindak pidana adalah perbuatan atau serangkaian perbuatan  yang padanya diletakkan sanksi pidana. Dengan demikian dilihat dari istilahnya,  hanya sifat-sifat dari perbuatan saja yang meliputi suatu tindak pidana sedangkan  sifat-sifat orang yang melakukan tindak pidana menjadi bagian dari persoalan lain,  yaitu pertanggungjawaban pidana.
Terdapat pemisahan antara pertanggungajwaban pidana dan tindak pidana,  yang dikenal dengan paham dualisme, yang memisahkan antara unsur yang  mengenai perbuatan dengan unsur yang melekat pada diri orangnya tentang tindak  pidana.
Para ahli hukum umumnya mengidentifikasi adanya tiga persoalan  mendasar dalam hukum pidana. Saner, berpendapat bahwa hal itu berkaitan  dnegan, onrecht, schuld, dan strafe. Sementara itu, packer menyebut ketiga  masalah tersebut berkenaan dengan crime, responsibility, dan panishment.
 Menurut Soedarto, persoalan-persoalan tersebut  berkaitan dengan  perbuatan yang dilarang, orang yang melakukan perbuatan yang dilarang itu, dan  pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran larangan itu. Dengan kata lain,  masalah mendasar dalam hukum pidana berhubungan dengan persoalan tindak  pidana, pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan. Pembedaan ini,  menimbulkan konsepsi yang bukan hanya perlu memisahkan antara tindak pidana  dan pertanggungajwaban pidana, tetapi lebih jauh memisahkan  pertanggungjawaban pidana dengan pengenaan pidana. Berdasarkan hal  ini  pengkajian juga diarahkan untuk mendalami bagaiman teori pemisahan tindak  pidana dan pertanggungjawaban pidana seharusnya diterapkan dalam  mempertanggungjawabkan dan mengenakan pidana terhadap pembuat tindak  pidana. Dengan kata lain, perlu pengkajian untuk menemukan pola penentuan  kesalahan dan pertanggungjawaban pembuat tindak pidana.
Teori yang memisahkan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana  bertitik tolak dari pandangan bahwa, unsur tidak pidana hanyalah perbuatan,  dengan demikian aturan mengenai tindak pidana mestinya sebatas menentukan  tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang dilakukan. Aturan hukum mengenai  tindak pidana berfungsi sebagai pembeda antara perbuatan yang terlarang daam  hukum pidana dan perbuatan-perbuatan lain diluar kategori tersebut.
Dengan adanya aturan mengenai tindak pidana dapat dikenali perbuatanperbuatan yang dilarang dan karenanya tidak boleh dilakukan. Dengan kata lain,  the rules which all of you us what we can and cannot do.  Aturan tersebut  menentukan perbuatan yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan. Oleh karena   itu, ditinjau dari tujuan-tujuan prevensi, aturan hukum yang memuat rumusan  tindak pidana juga berfungsi sebagai peringatan bagi masyarakat untuk sejauh  mungkin menghindar dari melakukan perbuatan tersebut, mengingat ancaman  pidana yang dilekatkan padanya. Aturan tersebut berisi pedoman bertingkah laku  bagi masyarakat, sehingga dilihat dari segi represif tekanannya lebih banyak pada  fungsi perlindungan individu dari kewenang-wenangan penguasa.
Sedangkan aturan hukum mengenai pertanggungjawaban pidana berfungsi  sebagai penentu syarat-syarat yang harus ada pada diri seseorag sehingga sah jika  dijatuhi pidana. Tekanannya justru pada fungsi melegitimasi tindakan penegak  hukum untuk menimpakan nestapa pada pembuat tindak pidana. Dengan  keharusan untuk tetap menjaga kesimbangan antara tingkat ketercelaan seseorang  karena melakukan tindak pidana dan penetuan berat ringannya nestapa yang  menjadi konsekuensinya.
Aturan mengenai pertanggungjawaban pidana merupakan saringan  pengenaan pidana, yaitu hanya dapat diterapkan terhadap mereka yang memiliki  kesalahan dan pidana yang dikenakan sebatas kesalahannya tersebut.
Tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana, apabila dilihat dari konsep  sistem hukum sebagaimana dikemukakan Hart, juga menyebabkan kedua hal  tersebut berada pada struktur aturan yang terpisah. Dikatakannya “primary laws  setting standards for behavior and sencodary laws specifying what officals must  or may do when they are broken.
8 8 Chairul huda,Dari Tiada Pidana Tanpa kesalahan Menuju Kepada Tiada pertanggungjawaban  Pidana Tanpa Kesalahan,Prenada Media.Jakarta.2006 .hal 28  Suatu tindak pidana adalah suatu perbuatan atau omisi yang dilarang oleh  hukum untuk melindungi masyarakat, dan dapat dipidanan berdasarkan prosedur  hukum yang berlaku. Dalam defenisi-defenisi tersebut, unsur kesalahan telah  dikeluarkan, sehingga tindak pidana pada hakikatnya adalah perbuatan saja.
Perbuatan disini berisi kelakukan dan kejadian yang ditimbulkan oleh kelakukan  atau kelakukan dan akibatnya. Kelakukan juga terdiri dari melakukan sesuatu  (komisi) dan tidak melakukan sesuatu (omisi). Dengan demikian, tindak pidana  merupakan perbuatan melakukan sesuatu, perbutan tidak melakukan sesuatu, dan  menimbulkan akibat, yang dilarang oleh undang-undang.
Pengertian tersebut di atas, dalam pasal 11 Rancangan KUHP dirumuskan  dengan “tindak pidana” adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan  sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan  yang dilarang dan diancam dengan pidana.
9 Dalam hukum pidana Indonesia, sebagaiman di negara-negara civil law lainnya, tindak pidana umumnya dirumsukan dalam kodifikasi. Namun demikian,  sejauh ini tidak terdapat ketentuan dalam KUHP maupun peraturan perundangundangan lainnya, yang merinci lebih lanjut mengenai cara bagiamana  merumuskan suatu tindak pidana. Tidak mengherankan apabila terdapat berbagai  rumusan tindak pidana yang memuat hal-hal di luar karakteristik perbuatan dan  Dapat ditegaskan, sepanjang  berkenaan dengan perumusan defenisi tindak pidana, pikiran-pikiran untuk  memisahkan tindak pidana dari pertanggungjawaban pidana telah menjadi bagian  pembaruan hukum pidana Indonesia, dengan diadopsi dalam Rancangan KUHP.
9 Ibid  sanksi atas perbuatan tersebut. Dalam hal ini, berbagai tindak pidana terutama  yang terdapat dalam KUHP, perumusannya tidak sejalan dengan teori pemisahan  antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana.
Tindak pidana pertama-tama berisi larangan terhadap perbuatan. Dengan  demikian, pertama-tama suatu tindak pidana berisi larangan terhadap kelakuankelakuan tertentu. Dengan delik-delik omisi, larangan ditujukan kepada tidak  diturutinya perintah. Dengan demikian, norma hukum pidana berisi rumusan  tentang suruhan untuk melakukan sesuatu. Dalam hal tindak pidana materil,  larangan ditujukan kepada penimbulan akibat. Tindak pidana berisi rumusan  tentang akibat-akibat yang terlarang untuk diwujudkan.
Ketika tindak pidana berisi rumusan tentang dilarangnya suatu omisi,  maka pada hakikatnya undang-undang justru memerintahkan setiap orang  melakukan sesuatu, apabila mendapati keadaan-keadaan yang juga ditentukan  dalam undang-undang tersebut. Dengan demikian, rumusan tentang tindak pidana  berisi kewajiban, yang apabila tidak dilaksanakan pembuatnya diancam dengan  pidana. Kewajiban disini, menurut Wilson bukan hanya bersumber dari ketentuan  undang-undang, dapat kewajiban tersebut timbul dari suatu perjanjian ataupun  kewajiban yang timbul di luar perjanjian, atau kewajiban yang timbul dari  hubungan-hubungan yang khusus, atau kewajiban untuk mencegah keadaan  bahaya akibat perbuatannya, bahkan kewajiban-kewajiban lain yang timbul dalam  hubungan sosial.
10 10 Ibid hal 30  B.  Unsur-unsur tindak pidana  Unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan dari dua sudut pandang yaitu :  a.  Unsur tindak pidana dari sudut teoritis Menurut Moeljatno, unsur tidak pidana adalah  11 1.  Perbuatan  2.  Yang diarang (oleh aturan hukum) 3.  Ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan) Perbuatan manusia saja yang boleh dilarang, yang melarang adalah aturan  hukum. Ancaman (diancam) dengan pidana menggambarkan bahwa tidak mesti  perbuatan itu dalam kenyataan benar-benar dipidana. Pengertian diancam adalah  pengertian umum, yang artinya pada umumnya dijatuhi pidana.
Tresna menyatakan bahwa unsur-unsur tindak pidana adalah : 12 1.  Perbuatan atau rangkaian perbuatan  2.  Yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan  3.  Diadakan tindakan penghukuman  Dari unsur ketiga, kalimat diadakan tindakan penghukuman, terdapat pengertian  bahwa seolah-olah setiap perbuatan yang dilarang itu selalu diikuti dengan  penghukuman (pemidanaan). Berbeda dengan Moeljatno, karena kalimat diancam  pidana berarti perbuatan itu tidak selalu dan dengan demikian dijatuhi pidana.
Walaupun mempunyai kesan bahwa setiap perbuatan yang bertenttangan dengan  undang-undang selalu diikuti dengan pidana, namun dalam unsur-unsur itu tidak  11 Adami Chazawi,Op.cit,hal 79.
12 Ibid   terdapat kesan perihak syarat-syarat (subyektif) yang melekat pada orangnya  untuk dijatuhkannya pidana.
Sedangkan menurut Vos unsur-unsur tindak pidana adalah : 13 1.  Kelakuan manusia  2.  Diancam dengan pidana  3.  Dalam peraturan perundang-undangan  Dari rumusan-rumusan tindak pidana dalam KUHP itu, maka dapat  diketahui adanya 8 (delapan) unsur tindak pidana, yaitu :  1. Unsur tingkah laku  Tindak pidana adalah mengenai larangan berbuat, oleh karena itu  perbuatan tingkah laku harus disebutkan dalam rumusan. Tingkah laku unsur  mutlak tindak pidana. Jika ada rumusan tindak pidana tanpa mencantumkan unsur tingkah laku, misalnya Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan adalah suatu  pengecualian dengan alasan tertentu dan tidak berarti tindak pidana itu tidak  terdapat unsur perbuatan, unsur itu telah ada dengan sendirinya didalamnya, dan  wujudnya tetap harus dibuktikan di sidang pengadilan untuk menetapkan telah  terjadinya penganiayaan.
2. Unsur sifat melawan hukum  Melawan hukum adalah suatu sifat tercela atau terlarangnya dari suatu  perbuatan, yang sifat tercela mana dapat bersumber pada Undang-undang  (melawan hukum formil) dan dapat bersumber pada masyarakat (melawan hukum  materil). Karena bersumber pada masyarakat, yang sering juga disebut dengan  13 Ibid  bertentangan dengan asas-asas hukum masyarakat, maka sifat tercela tersebut  tidak tertulis. Seringkali sifat tercela dari suatu perbuatan itu terletak pada keduaduanya, seperti perbuatan menghilangkan nyawa (orang lain) pada pembunuhan,  adalah dilarang baik dalam undang-undang maupun menurut masyarakat.
Dari sudut undang-undang, suatu perbuatan tidaklah mempunyai sifat  melawan hukum sebelum perbuatan itu diberi sifat terlarang (wederrechtelijk) dengan memuatnya sebagai dilarang dalam peraturan perundang-undangan,  artinya sifat terlarang itu disebabkan atau bersumber pada dimuatnya dalam  peraturan perundang-undangan. Berpegang pada pendirian ini, maka setiap  perbuatan yang ditetapkan sebagai dilarang dengan mencantumkannya dalam  peraturan perundang-undangan (menjadi tindak pidana), tanpa melihat apakah  unsur melawan hukum itu dicantumkan atauhkah tidak dalam rumusan maka  dengan demikian tindak pidana itu sudah mempunyai sifat melawan hukum,  artinya melawan hukum adalah unsut mutlak dari tindak pidana.
Mencatumkan secara tegas unsur sifat melawan hukum dalam suatu  rumusan tindak pidana didasarkan pada suatu alasan tertentu, sebagaimana  tercermin dalam keterangan risalah penjelasan Wvs Belanda, ialah adanya  kekhawatiran bagi pembentuk Undang-undang, jika tidak dimuatnya unsur  melawan hukum, akan dapat dipidananya pula perbuatan lain yang sama namun  tidak bersifat melawan hukum. Adalah wajat dan dapat dimengerti pendirian  pembentuk Undang-undang ini, mengingat hukum pidana menganut sifat  melawan hukum formil dalam hal pemidanaan (dalam arti positif) sebagaimana  termuat secara tegas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.
 Sifat terlarang yang bagaimana yang harus dibutikan tidak sama bagi  setiap tindak pidana, dan bergantung pada redaksi rumusan dan paham yang  dianut, contohnya sifat terlarang dalam perbuatan mengambil pada pencurian,  bagi paham sifat melawan hukum obyektif adalah terletak pada tidak ada izin dari  sipemilik benda, dan inilah yang harus dibuktikan. Tetapi bagi paham melawan  hukum subyektif, melihat dari rumusan (maksud untuk memiliki dengan melawan  hukum), yang harus dibuktikan ialah keadaan batin ketika sebelum berbuat, ialah  berupa kesacaran bahwa mengambil barang milik orang lain itu adalah terlarang  atau tercela. Unsur batinlah yang menyebabkan perbuatan mengambil tersebut  menjadi bersifat melawan hukum, karena slain tercela menurut masyarakat juga  tercela menurut undang-undang.
3. Unsur Kesalahan  Kesalahan (schuld) adalah unsur mengenai keadaan atau gambaran batin  orang sebelum atau pada saat memulai perbuatan, karena itu unsur ini selalu  melekat pada diri pelaku dan bersifat subyektif. Dalam hal ini berbeda dengan  unsur melawan hukum yang dapat bersifat obyektif dan dapat bersifat subyektif,  bergantung pada redaksi rumsuan dan sudut pandang terhadap rumusan tindak  pidana tersebut.
Unsur kesalahan yang mengenai keadaan batin pelaku adalah berupa unsur  yang menghubungkan antara perbuatan dan akibat serta sifat melawan hukum  perbuatan dengan si pelaku. Hanya dengan adanya hubungan antara ketiga unsut  tadi dengan keadaan batin pembuatnya inilah, pertanggungjawaban dapat   dibebankan pada pelaku. Dengan demikian maka terhadap pelaku tadi dijatuhi  pidana. Adapun yang termasuk kesalahan dalam arti luas adalah :  a. Kesengajaan  Undang-undang tidak memberikan pengertian mengenai kesengajaan.
Didalam memori van Toelichting (MvT) WvS Belanda ada sedikit keterangan  mengenai ksengajaan, yang menurut Moeljatno menyatakan “Pidana pada  umumnya hendaknya hanya pada barang siapa melakukan perbuatan yang  dilarang, dengan dikehendaki dan diketahui.
Kesegajaan ada 3 (tiga) bentuk, yaitu :  14 1.  Kesengajaan sebagai maksud,  Sama artinya dengan  menghendaki unuk mewujudkan suatu  perbuatan (tindak pidana aktif), menghendaki untuk tidak  berbuat/melalaikan kewajiban hukum (tindak pidana pasif), dan juga  menghendaki timbulnya akibat dari perbuatan itu (tindak pidana  materil).
2.  Kesenjangan sebagai kepastian,  Adalah berupa kesadaran seseorang terhadap suatu akibat yang  menurut akal orang pada umumnya pasti terjadi oleh dilakukannya  suatu perbuatan tertentu.
3.  Kesenjangan sebagai kemugnkinan  14 Adil Matogu,Kajian Hukum Lingkungan Terhadap perusakan Hutan di kawasan Hutan lindung  Tormotutung Kisaran Sumatera Utara (skripsi),2007  Ialah kesenjangan untuk melakukan perbuatan yang diketahuinya  bahwa ada akibat lain yang mungkin dapat timbul yang ia tidak  inginkan dari perbuatan, namun begitu besarnya kehendak untuk  mewujudkan perbuatan, ia tidak mundur dan siap mengambil risiko  untuk melakukan perbuatan itu.
b. Kelalaian Undang-undang juga tidak memberikan defenisi apakah kelalaian itu.
Hanya dalam Memori Penjelasan (MvT) menyatakan, bahwa kelalaian terletak  antara sengaja dan kebetulan.
15 Meskipun demikian, kelalaian itu dipandang lebih  ringan dibandingkan dengan sengaja. Kelalaian ini merupakan unsur batin, bisa  berupa kehendak, pengetahuan, perasaan dan lain sebagainya yang dapat  menggambarkan perihal keadaan batin manusia. Apabila kemampuan berpikir,  berperasaan itu tidak digunakan sebagaimana mestinya maka disebut sebagai  kelalaian.
16 a.  Tindak pidana materil atau tindak pidana dimana akibat menjadi syarat  selesainya tindak pidana.
4. Unsur akibat konstitutif Unsur akibat konstitutif terdapat pada :  Dalam tindak pidana materil, timbulnya akibat itu bukan untuk  memberatkan pertanggungjawaban pidana, dalam arti berupa alasan  pemberat pidana, tetapi menjadi syarat selesainya tindak pidana.
Perbedaan lain, ialah unsur akibat konstritutif pada tindak pidana  15 Ibid  16 Ibid ,hal 55  materil adalah berupa unsur pokok tindak pidana, artinya jika unsur ini  tidak timbul, maka tindak pidananya tidak terjadi hanyalah percobaan,  b.  Tindak pidana sebagai syarat memperberat pidana bukan merupakan  unsut pokok tindak pidana, artinya jika syarat ini tidak timbul, tidak  terjadi percobaan, melainkan terjadinya tindak pidana selesai.
c.  Tindak pidana dimana akibat merupakan syarat dipidananya pembuat Tanpa timbulnya akibat dari perbuatan yang dirumuskan dalam  undang-undang tindak pidana, baru dapat dipidana apabila akibat  terlarang itu telah timbul.
Tindak pidana materil dimana unsur akibat menjadi syarat selesainya  tindak pidana, berbeda dengan tindak pidana yang mengandung unsur  akibat sebagai pembuat pidana atau tindak pidana yang dkualifisert  oleh akibatnya. Perbedaan itu adalah dalam tindak pidana materil, jika  akibat itu tidak timbul, maka tindak pidana itu tersebut tidak terjadi,  yang terjadi adalah percobaan. Tetapi jika akibat tidak timbul pada  tindak pidana dimana akibat sebagai syarat pemberat pidana, maka  tidak terjadi percobaan, tetapi yang terjadi adalah tindak pidana selesai  yang lain.
5. Unsur keadaan yang menyertai  Unsur keadaan yang menyertai, adalah unsur tidak pidana yang berupa  semua keadaan yang ada dan berlaku dalam mana perbuatan dilakukan. Unsur   keadaan yang menyertai ini dalam kenyataan rumusan tindak pidana dapat  berupa: 17 1.  Mengenai cara melakukan perbuatan  2.  Mengenai cara untuk dapatnya dilakukan perbuatan  3.  Mengenai obyek tindak pidana  4.  Mengenai subyek tindak pidana  5.  Mengenai tempat dilakukannya tindak pidana  6.  Mengenai waktu dilakukannya tindak pidana  6. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana  Unsur ini hanya terdapat pada tindak pidana aduan. Tindak pidana aduan  adalah tindak pidana yang hanya dapat dituntut pidana jika adanya pengaduan dari  yang berhak mengadu. Pengaduan substansinya adalah sama dengan laporan, ialah  berupa keterangan atau informasi mengenai telah terjadinya tindak pidana yang  disampaikan kepada pejabat penyelidik atau penyidik yakni kepolisian, atau  dalam hal tindak pidana khusus ke kantor kejaksaan negeri.
7. Syarat tambahan untuk memperberat pidana  Mengenai syarat ini telah disinggung pada saat membicarakan unsur akibat  konstitutif. Unsur adalah berupa alasan utnuk diperberatnya pidana, dan bukan  unsut syarat untuk terjadinya atau syarat selesainya tindak pidana sebagiamana  pada tindak pidana materil.
17 Ibid,hal 106  Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana bukan merupakan unsur  pokok tindak pidana yang bersangkutan, artinya tindak pidana tersebut dapat  terjadi tanpa adanya unsur ini.
8. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana  Unsur syarat tambahan untuk dapanya dipidana adalah berupa unsur  keadaan-keadaan tertentu yang timbul setelah perbuatan dilakukan, yang  menentukan untuk dapat dipidananya perbuatan. Artinya bila setelah perbuatan  dilakukan keadaan ini tidak timbul, maka terhadap perbuatan itu tidak bersifat  melawan hukum dan karenanya si pembuat tidak dapat dipidana. Sifat melawan  hukumnya dan patutnya dipidana perbuatan itu sepenuhnya digantungkan pada  timbulnya unsur ini. Nilai bahayanya bagi kepentingan hukum dari perbuatan itu  adalah terletak pada timbulnya unsur syarat tambahan, bukan semata-mata pada  perbuatan.
2.  Pengertian Pertanggung jawaban Pidana  Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ”tanggung jawab” adalah keadaan  wajib menanggung segala sesuatu (kalau terjadi apa-apa, boleh  dituntut,  dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya). Pidana adalah kejahatan (tentang  pembunuhan, perampokan, dsb).
18 Hal pertama yang perlu diketahui mengenai pertanggungjawaban pidana  adalah bahwa pertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya  seseorang telah melakukan tindakan pidana. Moeljatno mengatakan, orang tidak  mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau tidak melakukan  18 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, 1991, hal. 1006  perbuatan pidana.
19 Apakah orang yang telah melakukan perbuatan itu kemudian juga  dipidana, tergantung pada soal, apakah dia dalam melakukan perbuatan itu  mempunyai kesalahan atau tidak. Apabila orang yang melakukan perbuaan pidana  itu memang mempunyai kesalahan, maka tentu dia akan dipidana. Tetapi,  manakala dia tidak mempunyai kesalahan walaupun dia telah melakukan  perbuatan yang terlarang dan tercela, dia tentu tidak dipidana. Asas yang tidak  tertulis “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan” merupakan dasar daripada  dipidananya si pembuat.
Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana pertama-tama  tergantung pada dilakukannya tindak pidana.
20 Nyatalah bahwa hal dipidana atau tidaknya si pembuat bukanlah  bergantung pada apakah ada perbuatan pidana atau tidak, melainkan pada apakah  siterdakwa tercela atau tidak karena tidak melakukan tindak pidana.
Jadi perbuatan yang tercela oleh masyarakat itu  dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya, artinya celaan yang objektif  terhadap perbuatan itu kemudian diteruskan kepada siterdakwa.
21 19 Moeljatno.Asas-asas Hukum Pidana,Rineka Cipta,Jakarta.1993,hal 155 20 Prof.Mr.Roeslan Saleh,Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana ,Aksara  Baru,Jakarta.1983,hal 75 21 Ibid hal .76 Oleh karena  itu dikatakan bahwa dasar daripada adanya tindak pidana adalah asas legaliteit,  yaitu asas yang menentukan bahwa sesuatu perbuatan adalah terlarang dan  diandam dengan pidana barangsiapa yang melakukannya, sedangkan dasar  daripada dipidannya sipembuat adalah asas”tidak dipidana jika tidak ada  kesalahan.
 Dapat dikatakan orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan dan dijatuhi  pidana kalau tidak melakukan perbuatan pidana. Tetapi meskipun dia melakukan  perbuatan pidana, tidaklah selalu dia dapat dipidana. Orang yang melakukan  tindak pidana akan dipidana, apabila dia mempunyai kesalahan.
Pertanggungjawaban pidana ditentukan berdasar pada kesalahan pembuat  (liability based on fault), dan bukan hanya dengan dipenuhinya seluruh unsur  suatu tindak pidana. Dengan demikian, kesalahan ditempatkan sebagai faktor  penentu pertanggungjawaban pidana dan tidak hanya dipandang sekedar unsur  mental dalam tindak pidana.
22 22 Chairul Huda,Op.cit Hal 4.
Konsepsi yang menempatkan kesalahan sebagai  faktor penentu pertanggungjawaban pidana, juga dapat ditemukan dalam common  law sistem, berlaku maksim latin yaitu octus non est reus, nisi mens sit rea. Suatu  kelakukan tidak dapat dikatakan sebagai suatu kejahatan tanpa kehendak jahat,  pada satu sisi doktrin ini menyebabkan adanya mens rea  merupakan suatu  keharusan dalam tindak pidana. Pada sisi lain, hal ini menegaskan bahwa untuk  dapat  mempertanggungjawabkan seseorang karena melakukan tindak pidana,  sangat ditentukan oleh adanya mens rea pada diri orang tersebut..
Dengan demikian, mens rea  yang dalam hal ini disinonimkan dengan  quilty of mind atau vicious will,  merupakan hal yang menenukan  pertanggungjawaban pembuat pidana. Dilihat dari sisi ini, penggunaan dktrin  mens rea dalam common law system, pada hakikatnya sejalan dengan penerapan  asas tiada pidana tanpa kesalahan dalam civil law system.
 Berpangkal tolak pada asas tiada pidana tanpa kesalahan, Moeljatno  mengemukakan suatu pandangan yang dalam hukum pidana Indonesia dikenal  dengan ajaran dualistis, pada pokoknya ajaran ini memisahkan tindak pidana dan  pertanggungjawaban pidana. Tindak pidana ini hanya menyangkut persoalan  “perbuatan” sedangkan masalah apakah orang yang melakukannya kemudian  dipertanggungjawabkan, adalah persoalan lain.
23 Dalam banyak kejadian, tindak pidana dapat terjadi sekalipun dilihat dari  batin terdakwa sama sekali tidak patut dicelakan terhadapnya. Dengan kata lain,  walaupun telah melakukan tindak pidana, tetapi pembuatnya tidak dililiputi  kesalahan dan karenanya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Melakukan suatu  tindak pidana, tidak selalu berarti pembuatnya bersalah atas hal itu.
24 Dipisahkannya tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana  menyebabkan kesalahan dikeluarkan dari unsur tindak pidana dan ditempatkan  sebagai faktor yang menentukan dalam pertanggungjawaban pidana. Namun  demikian, bagaimana konsepsi ini diterapkan dalam praktik hukum perlu  pengkajian lebih lanju. Pertanggungjawaban pidana terutama dipandang sebagai  bagian dari pelaksanaan tugas hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus  Untuk dapat  mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana diperlukan syaratsyarat untuk dapat mengenakan pidana terhadapnya, karena melakukan tindak  pidana tersebut. Dengan demikian, selain telah melakukan tindak pidana,  pertanggungjawaban pidana hanya dapat dituntu ketika tindak pidana dilakukan  dengan kesalahan.
23 Ibid hal 5 24 Ibid hal 6  perkara. Oleh karena iu, pengkajian mengenai teori pemisahan tindak pidana dan  pertanggungjawban pidana, pertama-tama dilakukan dengan menelusuri  penerapan dan perkembangannya dalam putusan pengadilan. Dengan kata lain,  konkretisasi sesungguhnya dari penerapan dari teori tersebu terdapat dalam  putusan pengadilan.
Seseorang mempunyai kesalahan, apabila pada waktu melakukan  perbuatan pidana, dilihat dari segi masyarakat, dia dapat dicela oleh karennya,  sebab dianggap dapat berbuat lain jika memang tidak ingin berbuat demikian.
Dilihat dari segi masyarakat, ini menunjukkan pandangan yang normatif  menganai kesalahan. Seperti diketahui mengenai kesalahan ini dulu orang  berpandangan psychologisch. Tetapi kemudian pandangan ini ditinggalkan orang  dan orang lalu berpandangan normatif. Ada atau tidaknya kesalahan tidaklah  ditentukan bagaimana dalam keadaan senyatanya batin daripada terdakwa, tetapi  bergantung pada bagaimanakah penilaian hukum mengenai keadaan batin itu,  apakah dinilai ada atau tidak ada kesalahan.
Pompe menyingkat kesalahan ini dengan dapat dicela (verwijbaarheid) dan dapat dihindari (vermijdbaarheid)  perbuatan yang dilakukan 25 25 Prof.Mr.Roeslan Saleh,Op.Cit,hal.77 . Pompe  mengatakan, menurut akibatnya, hal ini adalah dapat dicela, menurut hakikatnya  dia adalah dapat dihindarinya kelakukan melawan hukum itu. Karena kehendak si  pembuat itu terlihat pada kelakuan yang bersifat melawan hukum, maka ini dapat  dicelakan padanya. Sampai sekian jauh, maka kesalahan menyebabkan atau  mempunyai akibat dapat dicela. Celaan ini dimungkinkan karena si pembuat itu   bisa berusaha, agar dia tidak berbuat berlawanan dengan hukum oleh karena dia  juga dapat berbuat sesuai dengan hukum. Pelanggaran atas norma itu bergantung  pada kehendaknya, itu dapat dihindari. Berarti kesalahan pada hakikatnya dapat  dihindari. Menurut Pompe, kelakuan adalah suatu kejadian yang ditimbulkan oleh  seseorang yang nampak keluar dan yang diarahkan kepada tujuan yang menjadi  objek hukum.
Simons mengatakan bahwa kesalahan adalah keadaan psychis orang yang  melakukan perbuatan dan hubungannya dengan perbuatan yang dilakukan, yang  sedemikian rupa sehingga orang itu dapat dicela karena perbuatan tadi.
26 a.  Keadaan batin dari orang yang melakukan perbuatan itu.
Jadi  yang harus diperhatikan adalah :  b.  Hubungan antara keadaan batin itu dengan perbuatan yang dilakukan.
Dua hal inilah yang harus diperhatikan, dimana diantara keduanya terjalin erat  satu dengan yang lainnya, yang kemudian dinamakan kesalahan. Hal yang  merpakan kesatuan yang tak dapat dipisah-pisahkan.
Mengenai keadaan batin dari orang yang melakukan perbuatan, dalam  ilmu hukum pidana merupakan persoalan yang lazim disebut dengan kemampuan  bertanggung jawab. Sedangkan mengenai hubungan antara batin itu dengan  perbuatan yang dilakukan, merupakan masalah kesengajaan, kealpaan serta alasan  pemaaf, sehingga mampu bertanggungjawab, mempunyai kesengajaan atau  kealpaan serta tidak adanya alasan pemaaf merupakan unsur-unsur dari kesalahan.
Tiga unsur ini merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Yang satu  26 Ibid ,hal.78  bergantung pada yang lain, dalam arti demikianlah urut-urutannya dan yang disebut kemudian bergantung pada yang disebutkan terlebih dahulu. Konkritnya  tidaklah mungkin dapat dipikirkan tentang adanya kesengajaan atau kealpaan,  apabila orang itu tidak mampu bertanggung jawab. Begitu pula tidak dapat  dipikirkan mengenai alasan pemaaf, apabila orang tidak mampu bretanggung  jawab dan tidak pula adanya kesengajaan ataupun kealpaan.
Selanjutnya tidak ada gunanya untuk mempertanggungjawabkan terdakwa  atas perbuatannya apabila perbuatannya itu sendiri tidaklah bersifat melawan  hukum, maka dapat dikatakan bahwa terlebih dahulu harus ada kepastian tentang  adanya perbuatan pidana, dan kemudian semua unsur-unsur kesalahan tadi harus  dihubungkan pula dengan perbuatan pidana yang dilakukan, sehingga untuk  adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya terdakwa maka haruslah :  a.  Melakukan perbuatan pidana  b.  Mampu bertanggung jawab c.  Dengan kesengajaan atau kealpaan  d.  Tidak adanya alasan pemaaf Telah dikatakan diatas bahwa mengenai keadaan batin dari si terdakwa  dalam ilmu hukum pidana merupakan kemampuan bertanggung jawab, apakah  yang menyebabkan maka hal ini merupakan suatu masalah ?  Dalam hukum positif kita, yaitu dalam Pasal 44 KUHP dinyatakan bahwa :  “Apabila yang melakukan perbuatan pidana itu tidak dapat  dipertanggungjawabkan disebabkan karena pertumbuhan yang cacat atau   adanya gangguan karena penyakit daripada jiwanya maka orang itu tidak  dipidana. “ Jadi seseorang yang telah melakukan perbuatan pidana, tetapi tidak dapat  dipertanggungjawabkan karena hal-hal yang disebutkan dalam Pasal 44 KUHP,  maka tidak dapat dipidana.
Ketentuan dalam hukum positif ini sesuai dengan apa yang telah  disebutkan dalam teori, dia dapat dicela oleh karenanya, sebab dianggap dapat  berbuat lain, jika memang tidak diinginkan. Demikian yang disebut mengenai  oran gyang mampu bertanggungjawab. Orang yang tidak mampu bertanggung  jawab tentu saja tidak sepantasnya dianggap dapat berbuat seperti yang  diharapkan oleh hukum ataupun pikiran yang sehat.
Prof. Mr. Roeslan Saleh mengatakan bahwa orang yang mampu  bertanggungjawab itu harus memenuhi tiga syarat, yaitu :  27 a.  Dapat menginsyafi makna yang senyatanya dari perbuatannya.
b.  Dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang patur  dalam pergaulan masyarakat.
c.  Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya dalam melakukan  perbuatan.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa untuk menentukan  adanya kemampuan bertanggung jawab, ada dua faktor yang harus dipenuhi yaitu  faktor akal dan faktor kehendak. Akal yaitu dapat membeda-bedakan antara  perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan, orang yang akalnya  27 Ibid ,hal 80  tidak sehat tidak dapat diharapkan menentukan kehendaknya sesuai dengan yang  dikehendaki oleh hukum, sedangkan orang yang akalnya sehat dapat diharapkan  menentukan kehendaknya sesuai dengan yang  dikehendaki oleh hukum.
Kehendak yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas  mana diperbolehkan dan mana yang tidak.
3.  Pengertian Dan Jenis-jenis Senjata Api  A.  Pengertian senjata api  Undang-undang Darurat Nomor 12 tahun 1951 Pasal 1 ayat (2)  memberikan pengertian senjata api dan amunisi yaitu termasuk juga segala barang  sebagaimana diterangkan dalam Pasal 1 ayat (1) dari peraturan senjata api 1936  (Stb 1937 Nomor 170), yang telah diubah dengan ordonantie tanggal 30 Mei 1939  (Stb Nmor 278), tetapi tidak termasuk dalam pengertian itu senajata “yang nyata”  mempunyai tujuan sebagai barang kuno atau barang yang ajaib dan bukan pula  sesuatu senjata yang tetap tidak dapat terpakai atau dibikin sedemikian rupa  sehingga tidak dapat digunakan.
Menurut pasal 1 ayat (1) Undang-undang senjata api (L.N. 1937. No. 170  diubah dengan L. N. 1939 No. 278) tentang Undang-undang senjata api  (pemasukan, pengeluaran dan pembongkaran) 1936, yang dimaksud senjata api  adalah :  a.  Bagian-bagian senjata api;  b.  Meriam-meriam dan penyembur-penymebur api dan bagianbagiannya;  c.  Senjata-senjata tekanan udara dan senjata-senjata tekanan per, pistolpistol penyembelih dan pistol-pistol pemberi isyarat, dan selanjutnya  senjata-senjata api tiruan seperti pistol-pistol tanda bahaya, pistolpistol perlombaan, revolver-revolver tanda bahaya dan revolverrevolver perlombaan, pistol-pistol mati sur i, dan revolver-revolver mati  suri dan benda-benda lain yang serupa itu yang dapat dipergunakan  untuk mengancam atau mengejutkan, demikian juga bagian-bagian  senjata itu, dengan pengertian, bahwa senjata-senjata tekanan udara,  senjata-senjata tekanan per dan senjata-senjata tiruan serta bagianbagian senjata itu hanya dapat dipandang sebagai senjata api, apabila  dengan nyata tidak dipergunakan sebagai permainan anak-anak.
Sedangkan berdasarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9  Tahun 1976, senjata api adalah salah satu alat untuk melaksanakan tugas pokok  angkatan bersenjata dibidang pertahanan dan keamanan, sedangkan bagi instansi  pemerintah di luar angkatan bersenjata, senjata api merupakan alat khusus yang  penggunannya diatur melalui ketentuan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1976,  yang menginstruksikan agar para menteri (pimpinan lembaga pemerintah dan non  pemerintah) membantu pertahanan dan keamanan agar dapat mencapai sasaran  tugasnya.
B. Jenis-jenis senjata api Senjata api yang beredar jenisnya bermacam-macam, berikut ini adalah  senjata api ditinjau dari type, jenis, negara produsen dan kalibernya. Senjata  tersebut antara lain :   No.  Type  Jenis  Kaliber  Negara  Produsen  1.  A-91  Rifle Gempur  Padat 5.45x39 mm,  5.56x45 mm Russia 2.  AAI ACR  Rifle Gempur  5.56x45 mm  USA 3.  AAI CAWS  Senjata Gempur  Dekat 7.62 mm  USA 4.  AAI SBR  Serial Bullket  Riffle 4.32x45 mm  USA 5.  SS1-V1  Rifle Gempur  5,56x45 mm  Indonesia 6.  SS1-V2  Rifle Gempur  5,56x45 mm  Indonesia 7.  AK-47  Rifle Gempur  7.62x39 mm  Russia 8.  AK-101  Rifle Gempur  5.56 mm  Russia 9.  Albini-Braendlin  M1867  Riffle Satu  11x50 mm  Jerman 10.  ALFA Defender  Pistol  9x19 mm  Republik  Czech 11.  ALGIMEC AGMi  Semi auto  9x19 mm  Italia 12.  Allin-Springfield  M1879 Karbin  Single Shot  Karbin 4-7 mm  USA 13.  AMT Automag III  Pistol Magnum  9 mm  USA 14.  APS Stechkin  Machine Pistol  9x18 mm  Russia 15.  Arisaka Year 29  Bolt Action Rifle  6.5x50 mm  Jepang 16.  Armalite AR-9  Shotgun SemiAuto 7.62 mm  USA 17.  B94  Rifle Semi-Auto  12.7x108mm  Russia 18.  Baby Nambu  Pistol  7 mm  Jepang 19.  Bacon Arms C.
Pepperbox  Revolver Revolver  7 mm  USA  20.  Beholla Pistol  Pistol  7.65x17 mm  Jerman 21.  Belgian M1871  Trooper's Revolver Revolver  11x17.5 mm  Belgia 22.  Belgian M1883  NCO's Revolver Revolver  9x23 mm  Belgia 23.  Benelli B82  Pistol  9x18 mm  Italia 24.  Beretta Machine  Guns  Pistol  5.56 mm  Italia 25.  Baretta M1915  Pistol  7.65x17mm  Italia 26.  Baretta 32  Pistol    Taget  Model  7.65x21mm  Italia 27.  Baretta 81B  Cheetah Pistol  7.65x17mm  Italia 28.  Baretta M80  Olimpionica Pistol  22 mm  Italia 29  BM59  Riffle tempur  7.62 mm  Italia 30.  BM59 Mark E  Rifle tempur  9x19 mm  Italia 31.  Billenium 92  Pistol  9x19 mm  Italia 32.  Benelli M3  Semi auto shoot  gun  7.62 mm  Italia 33.  Bounded 8040  Cougar D Rifle tempur  11x17.5 mm  Italia 34.  Berdan rifle  Rifle tempur  9x19 mm  Rusia 35.  C1 Rifle   Rifle Tempur  7.62 mm  Kanada 36.  C9 – LMG  FN Minimi  5.56 mm  Belgia 37.  CADCO Medusa  Revolver  9x23 mm  US 38.  Calico Liberty   Revolver  9x19 mm  US 39.  Campo-Giro Model  1904  Pistol  7.65x17mm  Spanyol  40.  Carl Gustav 1873  SMG Luger  9x19mm  Swedia  41.  CETME Ameli   LMG  5.56mm  Spanyol  42.  ChinaLake NATIC   Pelancar Bom  tangan 40x46mm  USA 43.  Chinese Type 54    Pistol  7.62x25mm  Cina 44.  Chinese Type 63  Rifle Riffle Gempur  7.62x39mm  Cina 45.  Chinese Type 80   Machine Pistol  7.62x25mm  Cina 46.  Christensen Arms  Carbon Tactical  Bolt Action Rifle  7.62x25mm  USA 47.  CIS .50 MG   HMG  50 mm  Singapura  48.  Civil  Defence  Supply MP5-224  SMG  22 mm  Jerman 49.  Colt Accurized  Rifle  Rifle Semi-Auto  5.56 mm  USA 50.  Colt Defender  Riffle auto  10 mm   USA 51  Colt Mustang   Pistol  9x17mm  USA 52.  Colt M16   Riffle gempur  5.56 mm  USA 53.  Combined Service  Forces 60 SMG Luger  9X19 mm  Taiwan 54.  CZ-581 Mod.4   Riffle Gempur  7.62x39mm  Belgia 55.  CZ-584 Mod.7  FN   5.56 mm  Belgia 56.  DPMS Panther Bull  A-15  Pistol  7.62x25mm  USA 57.  Dragunov SVD  SMG  16 mm  Rusia 58.  Dardick Model   SMG  12 mm  Rusia 59.  DS Arms SA58  Riffle  7.62x39mm  USA 60.  DShK   Machine Pistol  7.62x25mm  Rusia  G. Metode Penelitian  Sudah merupakan ketentuan dalam hal penyusunan serta penulisan karya  ilmiah atau skripsi diperlukan metode penelitian dalam pengerjaannya. Metode  penelitian sebagai suatu hal yang mempunyai cara utama yang dieprgunakan  untuk mencapai suatu tujuan dan untuk menghasilkan karya tulis ilmiah yang  dapat dipertanggungjawabkan, maka harus didukung dengan fakta-fakta/dalil-dalil  yang akurat yang diperoleh dari penelitian. Dalam pembahasan skripsi ini,  metodologi penelitian hukum yang digunakan penulis seperti :  1.  Spesfiikasi Penelitian  Penulis menggunakan metode penelitian Hukum Normatif. Dalam hal ini  penelitian Hukum Normatif, penulis melakukan penelitian terhadap peraturan  perundang-undangan dan bahan yang berhubungan dengan judul skripsi  penulis yaitu “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Kepemilika Dan  Penjualan Senjata Api serta Amunisi Ilegal Oleh Masyarakat Sipil (studi  Putusan di Pengadilan Negeri Medan) 2.  Bahan Hukum  Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan bahan hukum primer,  sekunder dan bahan hukum tersier.
Bahan hukum primer yakni bahan hukum yang terdiri dari aturan hukum yang  diurut berdasarkan hirarki mulai dari UUD 1945, TAP MPR, Undang-Undang,  Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, Peraturan Pemerintah dan  aturan lain di bawah Undang-undang serta bahan hukum asing pembanding.
 Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari buku,  pendapat para sarjana dan Putusan pengadilan Negeri Medan register  3550/Pid.B/2006/PN.Mdn.
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau  penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti  kamus huku m dan lain-lain.
3.  Lokasi Penelitian  Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengambil lokasi penelitian di  Pengadilan Negeri Medan yang terletak dalam wilayah pemerintahan  Kotamadya Medan dan juga di Kepolisian Daerah Sumatera Utara.
4.  Alat Pengumpul Data  a.  Penelitian Kepustakaan (Library Research)  Penelitian kepustakaan atau penelitian hukum normatif adalah penelitian  yang dilakukan berdasarkan bahan-bahan bacaan, dengan cara membaca  buku-buku, literatur-literatur serta peraturan perundang-undangna yang  berhubungan dengan materi yang akan dibahas dalam skripsi ini. Data  yang diperoleh dari bahan pustaka ini dinamakan dengan data sekunder.
28 28 Soejono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum,UI Press,Jakarta.Hal 12 Data sekunder ini mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku karya  ilmiah pendapat sarjana, hasil penelitian yang berwujud laporan majalah,  artikel dan juga berita dari internet yang bertujuan untuk mencari  konsepsi-konsepsi, teori-teori atau asas atau doktrin yang berkenaan  dengna kepolisian dan pertanggungjawaban pidana. Yang kesemuanya ini   dimaksudkan untuk memperoleh data yang sifatnya toritis yang digunakan  sebagai pedoman dalam penelitian dan menganalisa permasalahan yang  dihadapi.
b.  Penelitian Lapangan (Field Research)  Selain penelitian kepustakaan, penulis juga mengadakan penelitian secara  langsung ke lapangan yaitu dengan mendatangi objek penelitian untuk  mengadakan wawancara terhadap beberapa aparat kepolisian di  lingkungan Polda Sumut, untuk mendapatkan data-data, informasi dan  keterangan-keterangan yang diperlukan dalam penulisan skripsi.
Wawancara (interview) adalah situasi peran antar pribadi bertatap muka  (face to face), ketika seseorang yakni pewawancara mengajukan  pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawabanjawaban yang relevan dengan masalah penelitian kepada seseorang  responden. Penelitian lapangan dalam penulisan skripsi ini bersifat  melengkapi data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan.
5.  Analisis Data Terhadap data yang diperoleh, akan dianalisa secara kualitatif. Menurut Bogan  dan Biklena analisa data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan  bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi  satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola,  menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa  yang dapat diceritaka kepada orang lain 29 29 Lexy J.Moleong,Metodologi Penelitian Kualitatif,PT.Remaja Rosdakarya,Jakarta,2007.hal 248  H. Sistematika Penulisan Dalam penulisan skripsi yang diberi judul “Pertanggungjawaban Pidana  Terhadap Pelaku Kepemilikan Dan Penjualan Senjata Api Ilegal Oleh Masyarakat  Sipil (Studi Putusan Nomor 3550/Pid.B/2006/PN.Mdn)” .Dibagi dalam kedalam  lima bab yang diperincikan sebagai berikut: BAB I: PENDAHULUAN Terdiri dari tujuh sub bab yang mana memuat hal-hal umum  mengenai latar belakang penulisan yaitu yang menjadi dasar bagi  penulisan skripsi ini,didalamnya juga mengidetifikasi rumusan masalah  yang menjadi sudut pandang atau kajian yang hendak dibahas secara  tersistematis yang diarahkan pada tujuan dan manfaat penulisan. Pada bab  satu juga dibahas mengenai tinjauan kepustakaan yang secara garis besar  menjadi landasan terminologi dan yuridis dalam melakukan penulisan  ini.Dalam bab ini,penulis juga menerangkan tentang keaslian  penulisan,dimana tulisan ini ditulis dan dibuat oleh penulis.Akhirnya bab  ini ditutup dengan sistematika penulisan yang menerangkan bagian-bagian  dari keseluruhan bab ini secara ringkas.
BAB II : PENGATURAN KEPEMILKAN SENJATA API BAGI MASYA-  RAKAT SIPIL.
Pada bagian ini ,penulis akan membahas mengenai masyarakat  sipil yang berhak memiliki senjata api dan prosedur kepemilikan senjata  api.Dalam bab ini juga dibahas prosedur penggunaan senjata api bagi  masyarakat sipil dan juga membahas mengenai tujuan pengaturan  penggunaan senjata bagi masyarakat sipil.
 BAB III : FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN TERJADINYA  KEPEMILIKAN SENJATA API ILEGAL.
Dalam bab ini, penulis membahas tetang penyalahgunaan  senjata api,hal-hal yang menyebabkan masyarakat menggunakan  senjata api ilegal dan perdagangan senjata api ilegal BAB IV :  KASUS  TENTANG  PERTANGGUNGJAWABAN  PIDANA  TERHADAP PELAKU KEPEMILIKAN DAN PENJUALAN  SENJATA API SERTA AMUNISI ILEGAL OLEH  MASYARAKAT SIPIL.
Pada bab ini, penulis akan membahas mengenai kasus  pertanggungjawaban pidana terhadap kepemilikan dan penjualan  senjata api serta amunisi ilegal oleh masyarakat sipil.Dimana kasus  akan diuraikan dari dakwaan sampai putusan dan akan dianalisa oleh  penulis.
BAB V : PENUTUP Terdiri dari 2 sub bab yang merupakan kesimpulan atau intisari  dari penulisan skripsi ini beserta rekomendasi saran.
  

Download lengkap Versi Word

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi