BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang.
Hukum diyakini
sebagai alat untuk memberikan kesebandingan dan kepastian dalam pergaulan hidup. Layaknya
suatu alat, hukum akan dibutuhkan jika
timbul kebutuhan atau keadaan yang luar biasa di dalam masyarakat. Belum dianggap sebagai tindak pidana jika suatu
perbuatan tidak secara tegas tercantum di
dalam peraturan hukum pidana (Kitab Uundangundang Hukum Pidana) atau ketentuan pidana lainnya.
Prinsip tersebut hingga sekarang dijadikan
pijakan demi terjaminnya kepastian
hukum. Guna mencapai kepastian, hukum pidana juga diupayakan untuk mencapai kesebandingan hukum.
Peran pembuat undangundang perlu dikedepankan sebagai sarana untuk mencapai
kesebandingan hukum sehingga kebutuhan
akan adanya undang-undang yang mengatur tindak pidana yang berkaitan teknologi informasi dan dunia
maya mendesak untuk segera direalisasikan.
Penegakan hukum sebagai suatu proses, pada
hakikatnya merupakan diskresi yang
menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh Selama belum ada peraturan perundang-undangan
khusus mengenai kejahatan ini, maka
untuk menutupi kekosongan hukum perlu diaktifkan
kembali kekosongan hukum oleh hakim-hakim dalam peradilan karena pada dasarnya hakim tidak dapat menolak setiap
masalah hukum yang diajukan ke persidangan.
Sianturi Storia, Asas-Asas Hukum Pidana di
Indonesia dan Penerapannya, Grafika, Jakarta,
2002, hal. 79.
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum
dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan,
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 247.
kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur
penilaian pribadi. Dengan mengutip pendapat Roscoe Pound, maka LaFavre
menyatakan, bahwa pada hakikatnya diskresi berada diantara huku m dan moral
(etika dalam arti sempit).
Pada ruang lingkup keimigrasian, terdapat
norma-norma atau kaidahkaidah yang senantiasa hidup dan diwujudkan didalam
suatu hukum keimigrasian.
Didalam sistem
hukum nasional, hukum keimigrasian merupakan bagian dari Hukum Administrasi Negara yang terlihat dari
fungsi keimigrasian yang dilaksanakannya,
yaitu fungsi penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat dan bukan fungsi pembentuk
undang-undang dan peradilan. Dengan demikian,
keimigrasian dapat dilihat dalam perspektif hukum administrasi negara.
Gangguan penegakan
hukum mungkin terjadi, apabila ada ketidakserasian antara ”tritunggal” nilai, kaidah dan pola
prilaku. Gangguan tersebut terjadi apabila
terjadi ketidakserasian antara nilai-nilai yang berpasangan, yang menjelma didalam kaidah-kaidah yang bersimpang siur,
dan pola prilaku tidak terarah yang mengganggu
kedamaian pergaulan hidup. Oleh karena itu dapatlah dikatakan, bahwa penegakan hukum bukanlah semata-mata
berarti pelaksanaan perundangundangan, walaupun di dalam kenyataan di Indonesia
kecenderungannya adalah demikian,
sehingga pengertian law enforcement begitu populer. Selain itu, ada kecenderungan yang kuat untuk mengartikan
penegakan hukum sebagai pelaksanaan
keputusankeputusan hakim. Perlu dicatat, bahwa pendapat-pendapat yang agak sempit tersebut mempunyai
kelemahan-kelemahan, apabila pelaksanaan
perundangundangan atau keputusan-keputusan hakim tersebut sebaliknya akan mengganggu kedamaian di dalam
pergaulan hidup.
Wayne LaFave. R. , “The Decision To Take a
Suspect Into Custody”, Boston: Little, Brownand
Company, 1964.
Luas lingkup tugas keimigrasian abad ke-21
tidak hanya mencakup pengaturan, penyelenggaraan
masuk dan keluar orang dari dan kedalam wilayah Indonesia serta pengawasan orang asing yang berada di
wilayah Indonesia, tetapi telah bertalian
juga dengan pencegahan orang keluar wilayah Indonesia dan penangkalan orang masuk wilayah Indonesia demi
kepentingan umum, penyidikan atas dugaan
terjadinya tindak pidana keimigrasian, serta pengaturan prosedur keimigrasian, mekanisme pemberian
izin keimigrasian sebagai bagian dari
penyelenggaraan kekuasaan eksekutif yaitu fungsi administrasi negara dan pemerintahan, maka hukum keimigrasian dapat
dikatakan merupakan bagian dari bidang
hukum administrasi negara.
Praktek
penyelenggaraan hukum keimigrasian, tentunya tidak semua permasalahan bidang keimigrasian dapat
berjalan sesuai dengan peraturanperaturan
keimigrasian, banyak sekali terjadi pelanggaran, kejahatan maupun penyimpangan dalam bidang keimigrasian.
Perkembangan teknologi dan struktur
masyarakat internasional memiliki relevansi terhadap munculnya bentukbentuk
kejahatan transnasional, termasuk didalamnya organisasi-organisasi sebagai wadahnya. Bentuk jenis kejahatan ini
lebih dikenal dengan nama kejahatan
transnasional (transnational crime), yang ternyata dalam faktanya terdapat struktur maupun organizer-nya,
sehingga dikenal dengan sebutan kejahatan
transnasional terorganisasi (transnational organized crime), seperti korupsi, pencucian uang (money-laundering),
penyelun-dupan orang (smuggling of
migrants), perdagangan manusia khususnya wanita dan anak-anak (trafficking in
persons espcially women and children), perdagangan senjata gelap
(illicit trafficking in firearms), dan
terorisme.
Bassiouni, M. Cherif, “International Criminal Law, Volume I:
Crimes, TransnationalPublishers Inc.”,
Dobb Ferry, New York, hal. 125.
Oleh karena itu
perlu adanya kerjasama antar negara baik
yang bersifat bilateral dan multilateral untuk mencegah, memberantas, memerangi kejahatan yang bersifat
transnasional dan terorganisasi.
Maraknya fenomena
kejahatan di lingkungan keimigrasian, khususnya pemalsuan dokumen pelengkap
imigrasi, yakni paspor dan/atau memberi keterangan
baik lisan maupun tertulis secara palsu atau dipalsukan di wilayah hukum keimigrasian membutuhkan keberadaan
satuan yang khusus bertugas menyelidiki
dan menyidik kasus ini. Direktorat Jendral Keimigrasian hendaknya membentuk satuan khusus untuk menangani kasus
kejahatan kepabeanan yang bertanggung
jawab terhadap tugas-tugas penegakan
hukum berkaitan tindak pidana
keimigrasian.
Perbuatan pemalsuan
sesungguhnya baru dikenal didalam suatu masyarakat yang sudah maju,
dimana data-data/ surat, uang logam, merek atau tanda tertentu dipergunakan
untuk mempermudah lalu lintas hubungan di dalam masyarakat. Perbuatan
pemalsuan dapat digolongkan
pertama-tama dalam kelompok kejatahan
“Penipuan”,hingga tidak semua perbuatan adalah pemalsuan. Perbuatan pemalsuan tergolong
kelompok kejahatan penipuan apabila seseorang memberikan gambaran tentang sesuatu gambaran
atas barang (c.q.
surat) seakan-akan
asli atau benar, sedangkan sesungguhnya atau kebenaran tersebut tidak dimilikinya. Karena gambaran
data ini orang lain terpedaya dan percaya
bahwa keadaan yang digambarkan atas barang/ surat/ data tersebut adalah benar
atau asli. Pemalsuan terhadap
tulisan/ data terjadi apabila isinya atau datanya tidak benar.
Tindak pidana pemalsuan dokumen keimigrasian,
yakni paspor, merupakan tindak pidana
yang merugikan negara. Tindakan penyidikan sampai pada putusan penerapan sanksi pidana merupakan rangkaian hasil
kegiatan pengawasan imigrasi. Untuk
menjaga dan memastikan agar semua orang yang keluar/masuk dari dan ke suatu Negara mematuhi
semua ketentuan keimigrasian.
Setiap administrasi
keimigrasian harus melakukan kegiatan pengawasan. Kegiatan pengawasan imigrasi harus meliputi seluruh
pelaksanaan wewenang yang dimiliki oleh
petugas imigrasi dalam
perundang-undangannya yaitu memeriksa, penumpang, dokumen, pembukuan, melakukan
penyitaan, penangkapan, dan lainlain.
Adanya tindak
pidana pemalsuan paspor ini bisa terjadi dikarenakan perbuatan pelaku sendiri yang memiliki
kemampuan dan keahlian dalam memalsukan
paspor yang dipergunakan bagi dirinya sendiri. Salah satu kasus yang belakangan terungkap adalah dugaan
pemalsuan paspor yang dilakukan Vincentius
Amin Sutanto, terpidana 11 tahun penjara dalam kasus pembobolan Bank Fortis Singapura. Ketika melarikan diri
keluar negeri dari kejaran aparat hukum,
ia diduga menggunakan paspor palsu. Selain itu, tindak pidana pemalsuan paspor ini terkadang juga terjadi dikarenakan
adanya peran petugas lingkungan keimigrasian
sendiri yang bekerjasama dengan pengguna paspor palsu dengan ketentuan imbalan tertentu. Hal ini tentunya
lebih sulit untuk diidentifikasi, sebab paspor
palsu tersebut dikeluarkan oleh orang-orang berkompeten dan profesional.
Oleh karena hal
tersebut di atas, tulisan ini mencoba untuk mengangkat masalah pemalsuan paspor oleh petugas/ pegawai
keimigrasian ini ke dalam bentuk
skripsi dengan judul Pertanggungjawaban
Pidana Pegawai Imigrasi yang Melakukan
Pemalsuan Paspor (Studi pada Kantor Imigrasi Medan).
B. Permasalahan 1.
Bagaimana kedudukan paspor sebagai dokumen resmi dalam lingkungan keimigrasian di Indonesia? 2.
Bagaimana konsep pertanggungjawaban pidana yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia? 3. Bagaimana pertanggungjawaban pidana pegawai
imigrasi yang melakukan pemalsuan
paspor? C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1.
Tujuan a. Untuk mengetahui
kedudukan paspor sebagai dokumen resmi dalam lingkungan keimigrasian di Indonesia b. Untuk mengetahui konsep pertanggungjawaban pidana yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan di
Indonesia c. Untuk mengetahui
pertanggungjawaban pidana pegawai imigrasi yang melakukan pemalsuan paspor 2. Manfaat a.
Secara Teoritis 1. Menambah
wawasan dan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum pidana, khususnya yang berkaitan dengan tindak
pidana pemalsuan yang dilakukan oleh
pegawai imigrasi.
Download lengkap Versi Word
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi