Sabtu, 19 April 2014

Skripsi Hukum: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENGATUR LALU LINTAS UDARA SIPIL ATAS KECELAKAAN PESAWAT TERBANG DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG RI NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN

BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang.
Kasus kecelakaan pesawat terbang yang terjadi di Indonesia telah menyita  perhatian masyarakat luas, karena selain interval waktu yang berdekatan dan  melanda hampir seluruh maskapai penerbangan, juga yang paling menyorot  perhatian publik adalah timbulnya korban jiwa  dalam kecelakaan tersebut. Kepercayaan masyarakat atas kenyamanan dan keselamatan dalam penggunaan  moda transportasi udara tersebut semakin berkurang, meskipun kebutuhan atas  penggunaannya sangat tinggi. Perusahaan penerbangan selaku operator, oleh  masyarakat dianggap lalai dan tidak profesional dalam pengelolaan perusahaan,  disisi lain Pemerintah selaku regulator juga dianggap lamban dalam mengambil  tindakan atas kondisi yang terjadi di lapangan serta tidak memiliki ketegasan  dalam Pengaturan atas perusahaan-perusahaan penerbangan yang tidak memenuhi  standar keselamatan.

Secara garis besar, hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan sektor  penerbangan di Indonesia terkait kualitas dari sumber daya manusia operator  penerbangan dan pembuat regulasi sangat rendah. Lemahnya kualitas sumber  daya manusia itu menjadi bahaya laten dalam industri penerbangan. Kelemahan  itu diduga merupakan tindakan melanggar hukum dan atau tidak sesuai dengan  norma etika kerja dari industri penerbangan secara mayoritas.
 Kondisi kritis pada sektor penerbangan di Indonesia terjadi karena para  pengelola di tingkat regulator dan operator bukanlah merupakan orang-orang  profesional yang lebih mengutamakan keselamatan dan keamanan umum daripada  kepentingan kelompok-kelompok tertentu yang sangat diuntungkan oleh regulasi  penerbangan yang ada. Pelanggaran hampir terjadi di semua level, baik di tingkat  manajemen perusahaan maskapai, regulator, awak pesawat, maupun operator di  lapangan. Kurangnya sikap profesionalisme tersebut membahayakan keselamatan  pengguna jasa penerbangan, rendahnya sumber daya manusia industri  penerbangan itu sebagai akibat dari penyederhanaan kebijakan (deregulasi)  industri penerbangan. Pemerintah diharapkan dapat merespon kondisi tersebut  dengan membentuk dan/atau melakukan pembenahan atas regulasi yang berkaitan  dengan penerbangan sehingga moda transportasi tersebut dapat memberikan  keamanan dan kenyamanan.
Salah satu contoh adalah kasus kecelakaan pesawat yang menimpa  pesawat terbang Garuda Indonesia Penerbangan GA 152 jenis Airbus A300-B4-200 yang jatuh pada tanggal 26 September 1997 sekitar pukul 13.30 WIB di  kawasan perladangan warga di Desa Buah Nabar Kecamatan Sibolangit  Kabupaten Deli Serdang, sekitar 50 kilometer dari Medan yang mengakibatkan  222 penumpang dan 12 awak pesawat tewas. Penyebab jatuh diduga karena  kesalahan petugas Pengatur Lalu Lintas Udara atau Air Traffic Controller (ATC) saat membimbing pilot Hance Rahmowiyogo keluar dari kabut asap 15 menit  sebelum mencapai Bandara Polonia dalam penerbangannya dari Jakarta.
 Bukannya keluar dari kabut, pesawat justru menabrak perbukitan dan  menewaskan seluruh penumpang dan awak berjumlah 234 orang.
Berdasarkan Undang Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan pasal 431 dan 437 maka kelalaian yang dilakukan oleh Pengatur Lalu Lintas  Udara atau Air Traffic Controller (ATC) tersebut adalah tindak pidana, yang juga  diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 479g huruf a  dan b. Namun penuntutan pidana terhadap Pengatur Lalu Lintas Udara atau Air  Traffic Controller (ATC) terkait kecelakaan pesawat terbang tersebut dapat  menimbulkan polemik baru di dalam masyarakat, khususnya masyarakat  penerbangan yang memiliki pandangan bahwa tindakan tersebut merupakan suatu  bentuk kriminalisasi terhadap profesi Pengatur Lalu Lintas Udara atau Air Traffic  Controller (ATC) di Indonesia. Apalagi dengan mendasarkan pada ketentuan  Convention Chicago  1944 sebagai regulasi penerbangan internasional.
Ditambahkan lagi, penggunakan data yang terdapat dalam black box pesawat  sebagai alat bukti di dalam persidangan, memicu reaksi yang semakin keras dari  para personel penerbangan dan pakar penerbangan, karena hal itu bertentangan  juga dengan  Annex 13 sebagai standar ketentuan pelaksanaan atas regulasi  penerbangan internasional yang berlaku secara universal bagi negara-negara  anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional atau International Civil  Aviation Organization (ICAO).
Peraturan perundang-undangan baru tentang penerbangan, yaitu UndangUndang RI Nomor 1 Tahun 2009 melakukan suatu pembenahan terkait  pemeriksaan terhadap personel penerbangan sipil yang diindikasikan melakukan   suatu pelanggaran etika dalam profesi dan berpotensi melanggar ketentuan hukum  pidana. Mekanisme pemeriksaan atas personel penerbangan dilaksanakan melalui  majelis profesi penerbangan seperti yang ditegaskan dalam Pasal 364 UndangUndang Nomor 1 Tahun 2009 yang menentukan bahwa untuk melaksanakan  penyelidikan lanjutan, penegakan etika profesi, pelaksanaan mediasi dan  penafsiran penerapan regulasi, komite nasional membentuk majelis profesi  penerbangan, dengan tugas pokok sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 365  Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2009, yaitu: 1. menegakkan etika profesi dan kompetensi personel di bidang  penerbangan; 2. melaksanakan mediasi antara penyedia jasa penerbangan, personel dan  pengguna jasa penerbangan; dan 3. menafsirkan penerapan regulasi di bidang penerbangan.
Terkait dengan dugaan adanya unsur-unsur tindak pidana yang ditemukan  dalam hasil penyidikan lanjutan majelis profesi penerbangan, maka dapat  dilimpahkan kepada instansi yang memiliki kompetensi terkait dengan hal  tersebut seperti yang ditentukan dalam Pasal 368 Undang-Undang RI Nomor 1  Tahun 2009 bahwa majelis profesi penerbangan berwenang: 1. memberi rekomendasi kepada Menteri untuk pengenaan sanksi  administratif atau penyidikan lanjut oleh PPNS; 2. menetapkan keputusan dalam sengketa para pihak dampak dari  kecelakaan atau kejadian serius terhadap pesawat udara; dan 3. memberikan rekomendasi terhadap penerapan regulasi penerbangan.
 Pembenahan terhadap prosedur investigasi atas kecelakaan pesawat  terbang dan para personel penerbangan merupakan langkah yang ditempuh  pemerintah selaku regulator untuk mendapatkan kepastian hukum dalam  pemeriksaan kondisi yang sering terjadi didalam lingkungan penerbangan dengan  didasarkan pada ketentuan-ketentuan penerbangan internasional, khususnya ICAO Annex 13 tentang Aircraft Accident and Incident Investigation (Investigasi  Kecelakaan dan Kejadian Pesawat Terbang) yang berlaku secara universal dikalangan penerbangan dunia dan ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam  Civil Aviation Safety Regulation  (CASR) atau Peraturan Keselamatan  Penerbangan Sipil (PKPS) sebagai ketentuan standar keselamatan penerbangan.
Berdasarkan pada realita di lapangan dan dengan menitikberatkan pada  pertanggungjawaban dalam aspek hukum pidana melalui mekanisme penyelidikan  dan penyidikan atas seorang personel penerbangan sipil khususnya Pengatur Lalu  Lintas Udara atau Air Traffic Controller (ATC) yang menyebabkan terjadinya  kecelakaan pesawat terbang di Indonesia terkait dengan diberlakukannya UndangUndang RI Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, penulis mengangkat  sebuah judul guna penyusunan suatu penulisan skripsi, yaitu: Pertanggungjawaban Pidana Pengatur Lalu Lintas Udara Sipil Atas  Kecelakaan Pesawat Terbang Dalam Perspektif Undang-Undang RI Nomor  1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan.
 B. Permasalahan  Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan tersebut,  maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Perbuatan-perbuatan apakah yang termasuk lingkup tindak pidana di  bidang penerbangan dalam perspektif Undang Undang RI Nomor 1  Tahun 2009 tentang Penerbangan? 2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana bagi Pengatur Lalu Lintas  Udara Sipil terhadap kecelakaan pesawat terbang? C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Tujuan yang hendak dicapai dalam melakukan penulisan ini adalah untuk  mengetahui perbuatan yang termasuk dalam tindak pidana di bidang penerbangan  dalam perspektif Undang Undang RI Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan  dan untuk mengetahui bagaimana pertanggungjawaban pidana bagi Pengatur Lalu  Lintas Udara Sipil terhadap kecelakaan pesawat terbang.
Hasil penulisan ini dapat memberikan manfaat teoritis, yaitu: 1. Memberikan sumbangan pengetahuan, pemikiran atau masukan  terhadap perkembangan ilmu hukum, khususnya hukum pidana terkait  dengan pertanggungjawaban pidana terhadap personel penerbangan  sipil yang menyebabkan terjadinya kecelakaan pesawat terbang di  Indonesia; 2. Memberikan sumbangan pengetahuan terhadap profesi Pengatur Lalu  Lintas Udara atau Air Traffic Controller (ATC) di Indonesia, agar dapat   mengetahui dan memahami hal-hal yang berkaitan dengan kecelakaan  pesawat terbang serta pertanggungjawabannya dalam hukum pidana; 3. Memberikan sumbangan pengetahuan terhadap masyarakat luas,  khususnya masyarakat penerbangan di Indonesia sehingga dapat  memahami dan menjawab polemik seputar regulasi penerbangan dan  aturan hukum pidana yang berlaku di Indonesia dalam kaitannya  dengan pertanggungjawaban pidana personel penerbangan sipil dalam  kecelakaan pesawat terbang; Di samping itu juga memberikan manfaat praktis yaitu memberikan  masukan bagi aparat penegak hukum terkait penegakan hukum dalam bidang  penerbangan yang dalam dinamika hukum di Indonesia mengalami perkembangan  yang sangat signifikan serta dapat menjunjung tinggi sikap profesionalitas dalam  penegakan aturan hukum di Indonesia.

D. Keaslian penulisan Skripsi ini merupakan karya tulis yang asli dimana belum ada penulis yang  menulis skripsi tentang hal yang sama, khususnya di Falkutas Hukum Universitas  Sumatera Utara Medan, keaslian penulisan ini ditunjukan dengan adanya  penegasan dari pihak administrasi bagian/jurusan hukum pidana.
Download lengkap Versi Word

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi