BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang Pemilihan Judul.
Di Indonesia, pajak atas tanah dan hasil bumi
mempunyai sejarah yang panjang dan dalam
jangka panjang pula telah mengakibatkan apa yang disebut trauma dan sindroma pajak. Karena sejarahnya begitu,
jenis pajak-pajak tadi boleh dikatakan tidak
pernah ditangani secara mendasar setelah kita merdeka. Akibatnya justru menimbulkan pajak berganda dan tumpang tindih Tumpang tindih disini dilihat dari
perkembangannya pada tahun 1959 melalui Peraturan
Pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1959 tentang Pajak Hasil Bumi, diberlakukan Pajak Bumi dan
Bangunan. Undang-Undang ini semula hanya
mengatur tentang pungutan pajak atas tanah adat, yaitu tanah yang dimiliki/dikuasai oleh orang-orang Indonesia
asli, dan tidak termasuk tanah hak barat.
Karena tanah Barat
tersebut telah diatur didalam ordonansi verponding Indonesia tahun 1923 dan Ordonansi Verponding tahun
1928. Namun kemudian pada tahun 1960
dikeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria yang mengemukakan bahwa hak atas
tanah berlaku atas semua tanah di
Indonesia. Hal itu dipertegas lagi dengan Keputusan Presidium Kabinet tanggal
10 Februari 1967 No. 87/Kep/U/4/1967.
Dengan demikian Peraturan Pemerintah tahun pergantian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1959
yang menjadi landasan Pajak Hasil Bumi
harus ditafsirkan bahwa semua tanah di Indonesia dipungut Pajak Hasil Bumi, termasuk tanah-tanah yang diatur dalam
ordonansi Verponding Indonesia tahun .
Tony Marsyahrul, Pengantar Perpajakan,
(Jakarta : Penerbit Grasindo, 2005) hal. 1
1923 dan tahun 1928. Dengan adanya tuntutan pembangunan yang terus
meningkat, ordonansi/UU yang mengatur
pungutan atas obyek yang sama, terlalu banyak sehingga membingungkan masyarakat Menyadari keadaan seperti itu, pemerintah
bersama dengan DPR pada akhir tahun 1985
membuat suatu Undang-Undang, yang dikenal dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan
Bangunan (UUPBB) .
Dengan dibuatnya Undang-Undang Pajak Bumi dan
Bangunan ini, sebagai pengganti dari 7
(tujuh) ordonansi/UU yang dulu pelaksanaannya tumpang tindih.
Tujuh ordonansi/UU
itu adalah sebagai berikut yang kemudian disempur nakan dengan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 1994.
5.
Ordonansi Pajak Jalan Tahun 1942, sebagaimana telah diubah beberapa
kali, : 1.
Pajak Rumah Tangga 1908 sebagaimana telah beberapa kali diubah. Terakhir
diubah dengan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang Nomor 19 Tahun 1959,
yang dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961 telah ditetapkan menjadi Undang-undang; 2. Ordonansi Verponding Indonesia Tahun 1923,
sebagaimana telah diubah beberapa kali,
terakhir dengan Staatblad 1931 Nomor 168; 3.
Ordonansi Verponding Indonesia Tahun 1928, sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959; 4.
Ordonansi Pajak Kekayaan Tahun 1932, sebagaimana telah diubah beberapa
kali, terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1967; Hilman Surawiguna,
“Sejarah Pajak Bumi dan Bangunan”, 20 Januari 2008 diperoleh dari www.pajak.go.id, terakhir kali diakses pada
tanggal 16 Oktober 20 Tim Penyusun
Ditjen Pajak dan Yayasan Bina Bangunan, Buku Panduan PBB, Edisi Revisi, (Jakarta : Penerbit Bina Rena Pariwara, 1992),
hal. 9.
Rochmat Soemitro, Pajak Bumi dan Bangunan,(
Bandung : Penerbit PT Eresco, 1986),hal terakhir dengan Rechtspleging
Oorlogmisdrijven Staatsblad 1946 Nomor 47; 6.
Undang-undang Darurat No. 11 Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah, Pasal 14 huruf j, k, dan l, yang
dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961
telah ditetapkan menjadi Undang-undang; 7.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 11 Tahun 1959 tentang Pajak Hasil Bumi yang dengan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1961 telah ditetapkan
menjadi Undang-Undang.
UU PBB merupakan
langkah penyederhanaan hukum perpajakan khususnya dalam Pajak Bumi dan Bangunan. Tujuan tersebut
tidaklah berlebihan mengingat ruang
lingkup UU PBB yang luas. Puluhan juta rakyat di Indonesia akan terlibat di dalamnya. Oleh sebab itu dengan penanganan
yang tepat, akan membuat kejelasan bagi
wajib pajak dalam melaksanakan pembayaran pajaknya serta menghapuskan trauma dan sindroma pajak warisan zaman
penjajahan.
Sejalan dengan itu
masyarakat memerlukan pelayanan yang bermutu dan profesional. Sampai sejauh mana wajib pajak
mendapat pelayanan yang memadai guna
mendapatkan kemudahan dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
Seiring dengan
tuntutan dari masyarakat tersebut di atas, Direktur Jenderal Pajak menetapkan suatu sistem pemungutan pajak
yang paling cocok untuk Indonesia yaitu
sistem “self assessment” yang merupakan suatu sistem, dimana wajib pajak diberi kepercayaan untuk menghitung,
memperhitungkan dan membayar sendiri pajak yang terhutang Ajeng, “Seputar Sistem Pemungutan Pajak di
Indonesia”, 09 November 2008 diperoleh dari . Sebagaimana yang telah diatur dalam
Undang-Undang No. 6 Tahun www.detikfinance.com
terakhir kali diakses pada tanggal 19 Oktober 20 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan yang kemudian di sempurnakan
dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994. Khusus pada Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) serta klasifikasinya dalam
kegiatan pemungutan pajak bumi dan bangunan
(PBB) masih menggunakan asas official assessment yang berupa sistem tempat pembayaran (SISTEP), dimana sistem ini
tidak kalah pentingnya menyangkut penyetoran
serta penagihan PBB, pelayanan cepat pada suatu tempat bagi wajib pajak yang memerlukan layanan keberatan serta
pengurangan. Sebenarnya padaprinsipnya Ditjen
Pajak berupaya memberikan pelayanan terpadu, sebagai proyeksi dari kesederhanaan, kemudahan dan lebih penting
adalah kepastian hukum.
Sebagai realisasi
dari amanat GBHN 1983, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang PBB yang disahkan pada tanggal 31
Desember 1985 yang kemudian disempur
nakan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 merupakan paket pembaharuan sistem perpajakan nasional.
Bertitik tolak dari
Undang-Undang tersebut di atas, maka penulis akan menelusuri seluk beluk sistem penetapan NJOP dalam PBB dimana ini semua berkaitan dengan wajib pajak (WP) itu sendiri
dalam pajak terhutang yang menjadi kewajiban
serta hak sebagai pembayar pajak. Sedangkan NJOP itu sendiri mempunyai faktor-faktor dan klasifikasi tersendiri bagi
WP untuk memenuhi kewajibannya sebagai
pembayar pajak.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian pada
latar belakang di atas serta sesuai dengan judul skr ipsi ini, yaitu: “Sistem Penetapan Nilai
Jual Obyek Pajak Dalam Pajak Bumi dan Bangunan
Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994”, maka ada beberapa permasalahan yang akan dibahas, antara lain
: 1. Apa yang dijadikan dasar sistem
penetapan NJOP? 2. Faktor-faktor apa
yang menentukan sistem klasifikasi NJOP? 3.
Bagaimana penyelesaian Kasus Wajib Pajak atas penetapan NJOP? C. Tujuan Penulisan Penulisan dalam rangka
penyusunan skripsi ini mempunyai tujuan yang hendak dicapai, sehingga penulisan ini akan
lebih terarah serta dapat mengenai sasarannya.
Tujuan utama daripada penulisan skripsi ini adalah sebagai sarana untuk melengkapi tugas akhir dan syarat untuk
memperoleh gelar ‘Sarjana Hukum’ dari Fakultas
Hukum . Selain itu, adapun tujuan lain daripada penulisan ini adalah: 1. Untuk mengetahui pelaksanaan sistem
penetapan NJOP.
2. Memberikan kejelasan factor-faktor apa yang
menetukan sistem klasifikasi NJOP bagi
wajib pajak.
3. Untuk memperjelas kepastian hukum wajib
pajak dalam penyelesaian kasus atas
penetapan NJOP.
Selain tujuan
daripada penulisan skripsi, perlu pula diketahui bersama bahwa manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari
penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1.
Secara teoritis Skripsi ini diharapkan dapat memberikan masukan yang
cukup berarti bagi perkembangan almu
pengetahuan secara umum, dan ilmu hokum pada khususnya, dan lebih khususnya lagi adalah di bidang
hokum perpajakan. Selain itu, skripsi ini
juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan perangkat ketentuan di bidang hokum perpajakan.
2. Secara praktis Melalui penulisan skripsi ini,
diharapkan dapat memberikan masukan dan pemahaman
yang lebih mendalam bagi aparat penegak hukum dan masyarakat sehingga akan lebih mengetahui bagaimanakah
system penetapan NJOP dalam PBB di
Indonesia.
D. Keaslian
Penulisan Karya tulis ini merupakan
karya tulis asli, dimana dalam hal ini penulis berupaya untuk menuangkan segenap gagasan dan
sudut pandang tentang Nilai Jual Objek
Pajak (NJOP) yang ada di dalam Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Sepanjang yang ditelusuri dan diketahui di lingkungan
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
bahwa penulisan tentang “Sistem Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Dalam Pajak Bumi dan Bangunan Menurut Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1994” belum pernah
ditulis sebelumnya. Walaupun dalam beberapa penulisan sebelumnya di Fakultas Hukum , khususnya Departemen Hukun Ekonomi dapat dijumpai kesamaan dari segi
substansi dasar mengenai kajian Perpajakan,
akan tetapi penulisan skripsi yang memfokuskan dalam penetapan Nilai Jual Objek Pajak di dalam Pajak Bumi dan
Bangunan belumlah dijumpai.
Dengan demikian,
dilihat dari permasalahan serta tujuan yang hendak dicapai melalui penulisan skripsi ini, maka dapat
dikatakan bahwa skripsi ini merupakan karya
sendiri yang asli dan bukan jiplakan dari skripsi orang lain, dimana diperoleh melalui pemikiran para pakar dan praktisi,
referensi, buku-buku, bahan seminar, makalah-makalah,
media cetak seperti koran-koran, media elektronik seperti internet serta bantuan dari berbagai pihak,
berdasarkan kepada asas-asas keilmuan yang
jujur, rasional, dan terbuka. Semua ini tidak lain adalah merupakan implikasi atis dari proses penemuan kebenaran ilmiah,
sehingga hasil penulisan ini dapat dipertanggung
jawabkan kebenarannya secara ilmiah.
E. Tinjauan Kepustakaan Uraian dalam penulisan
ini adalah seputar masalah Sistem Penetapan Nilai Jual Objek Pajak dalam Pajak Bumi dan Bangunan
menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun
1994. Untuk itu, sebagai tahap awal perlu terlebih dahulu diberikan batasan mengenai arti dari Pajak, Pajak bumi dan
Bangunan dan Nilai Jual Objek Pajak.
Download lengkap Versi Word
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi