BAB I.
PENDAHULUAN.
1. LATAR BELAKANG.
Sepanjang
perjalanan sejarah umat manusia, selalu timbul perbedaan kepentingan dan tujuan diantara negara –
negara yang ada. Perbedaan– perbedaan ini
memberikan dinamika dalam hubungan internasional. Dampak positif dari dinamika hubungan internasional berupa
kerjasama antar negara, tetapi terkadang menimbulkan dampak negatif, antara lain berupa
perang. Perang terjadi akibat tidak
dicapainya suatu titik temu antara berbagai kepentingan dan tujuan yang berbeda tersebut. Perang, sebagai jalan
terakhir yang diambil akibat buntunya upaya
kerjasama antar negara memang sering kali tidak dapat dihindari.
Ada kalanya suatu
perang dapat juga memunculkan kepentingan para pihak yang terlibat didalamnya. Tetapi satu
hal yang tidak dapat dipungkiri adalah bahwa
perang selalu akan meminta banyak korban, baik harta benda maupun jiwa manusia, yang secara langsung atau tidak
langsung terlibat didalamnya. Korban perang,
tanpa memandang apakah ia berstatus penduduk sipil atatu prajurit angkatan bersenjata (peserta perang) jelas
merupakan pihak yang paling menderita sebagai
akibat dari pecahnya suatu peperangan.
Dua medan
pertempuran yang amat terkenal pada abad ke-19 ialah perang KRIM dan perang SOLFERINO dan tercatat sebagai
perang yang sangat menyeramkan Ide dan cita
– cita Henry Dunant lebih membuka mata masyarakat internasional akan pentingnya kehadiran suatu
lembaga kepalangmerahan di negara –
negara lain. Sejak itu semakin banyak negara – negara yang mendirikan perhimpunan – perhimpunan palang merah
nasionalnya masing – masing, untuk membantu
para korban bencana alam dan melaksanakan kegiatan medis. Pada tahun 1919, perhimpunan – perhimpunan palang
merah nasional ini bergabung dalam
League of the Red Cross yang bertujuan untuk mengkoordinasikan kegiatan . Sebagai saksi mata yang pernah melihat
secara langsung jatuhnya korban – korban
akibat kekejaman perang pada tahun 1859 di Solferino (kota kecil yang terletak di daerah daratan rendah
provinsi Lambordi, paling utara Italia, kira
– kira 9 km di Selatan danau Garda), Jean Henry Dunant, seorang warga negara Swiss, tergerak hatinya untuk menolong
dan meringankan penderitaan para korban
perang. Dibantu oleh beberapa orang rekannya, ia mendirikan sebuah komite yang tujuan utamanya adalah membantu
korban perang, yang saat ini dikenal
dengan International Committee of the Red Cross (ICRC).
ICRC secara resmi
didirikan pada tanggal 22 Juli 1864. Pendirian Komite ini berawal dari pemikiran Dunant, bahwa harus
ada suatu lembaga yang bertanggung jawab
dalam membantu para korban perang, baik penduduk sipil maupun militer. Lembaga ini harus netral,
dalam arti tidak memihak kepada salah satu
negara yang terlibat dalam suatu perang, sehingga dapat memberikan pertolongan bagi para korban perang secarfa
efektif dan efisien.
H.Umar Mu’in, Gerakan Palang Merah dan Bulan
Sabit Merah Internasional & Perhimpunan
Palang Merah Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999, halaman.
perhimpunan – perhimpunan palang merah
nasional. Sejak tahun 1991, Liga ini berganti
nama menjadi Federation of Red Cross and Red Crescent Societies.
ICRC, Federation of Red Cross and Red Crescent
Societies, dan Perhimpunan Palang Merah
Nasional bergabung dalam satu wadah yang dikenal dengan nama Internasional Red Cross and Red
Crescent Movement. Gerakan ini bekerja
menangani masalah – masalah kemanusiaan dan hak asasi manusia, terutama dalam upaya pemberian bantuan bagi
korban perang, bencana alam, dan keadaan
darurat lainnya.
Dalam perkembangan
setelah ICRC didirikan, kenyataan menunjukkan bahwa keberadaan ICRC sebagai salah satu
lembaga netral yang bergerak dibidang humaniter semakin dibutuhkan oleh
masyarakat internasional. ICRC memiliki
peran yang besar dalam upaya memberikan bantuan dan pertolongan bagi korban – korban pertikian bersenjata, baik
yang terjadi di dalam wilayah suatu
negara maupun dalam konflik antar negara. Hal ini terlihat dengan diberikannya mandat oleh masyarakat
internasional kepada ICRC untuk menjalankan
fungsi dan peranannya terutama dalam lingkup hukum humaniter.
Fungsi dan peranan
ICRC selain tercantum dalam Statuta ICRC juga terdapat dalam empat buah Konvensi Jenewa 1949 dan dua
buah Protokol Tambahannya, yang
perumusannya didukung secara aktif oleh ICRC.
Dalam bukunya,
Mochtar Kusumaatmadja menyebutkan bahwa
ICRC yang berkedudukan di Jenewa
mempunyai tempat tersendiri (unik) dalam sejarah hukum internasional. ICRC adalah subyek hukum
internasional (yang terbatas) lahir
karena sejarah, walaupun kemudian kedudukannya (statusnya) itu kemudian diperkuat dalam perjanjian-perjanjian, dan
kemudian dalam konvensi-konvensi Palang
Merah (sekarang Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Korban Perang). Sekarang ICRC secara umum diakui
sebagai organisai internasional yang memiliki
subyek hukum internasional walaupun dengan ruang lingkup yang sangat terbatas 2.
PERUMUSAN MASALAH .
Berdasarkan
pertimbangan pentingnya diketahui secara jelas mengenai keistimewaan status ICRC serta fungsi dan
perannya sebagai suatu subjek hukum internasional
yang memiliki kapasitas yang terbatas, maka permasalahan yang diangkat dalam penulisan skr ipsi ini, yaitu :
1. Bagaimana status dan kedudukan ICRC
sebagai subyek hukum internasional yang
terbatas ? 2. Bagaimana fungsi dan
perkembangan peran ICRC sebagai subyek hukum internasional dalam perjalanan sejarahnya ? 3. Bagaimana keberadaan dan kegiatan ICRC di
Indonesia ? Mochtar Kusumaatmadja,
Pengantar Hukum Internasional, Buku I : Bagian Umum, cet.4, Bina Cipta, Bandung, 1982, halaman.
3.
TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN 1.
Tujuan penulisan Penulisan skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan
bagaimana status ICRC sebagai subyek
hukum internasional berdasarkan Konvensi Jenewa 1949 dan Status ICRC pada khususnya dan hukum humaniter
serta hukum internasional publik pada
umumnya.
2. Manfaat penulisan Untuk lebih memahami lagi
kegiatan yang dilakukan ICRC di seluruh tempat
di dunia yang sedang menghadapi konflik internasional dan non internasional maupun terjadinya suatu bencana
alam.
4. KEASLIAN PENULISAN Dalam rangka pengembangan
ilmu pengetahuan yang diperoleh oleh Penulis,
selama masa perkuliahan di Fakultas Hukum USU, maka penulis ingin mengangkat suatu materi dari bagian Hukum
Internasional mengenai “ STATUS DAN
PERKEMBANGAN PERAN ICRC SEBAGAI SUBYEK HUKUM INTERNASIONAL “.
Dalam proses
pengajuan judul skripsi ini penulis harus mendaftarkan terlebih dahulu tersebut kebagian Hukum
Internasional dan telah diperiksa pada arsip
yang ada sehingga judul yang diangkat oleh penulis dinyatakan disetujui oleh bagian Hukum Internasional pada tanggal
17 Mei 2010.
Atas dasar pemeriksaan pada bagian hukum
internasional khususnya Fakultas Hukum
USU pada umumnya, keaslian penulisan yang penulis tuangkan dapat dipertanggung jawabkan.
5. TINJAUAN KEPUSTAKAAN Hukum Humaniter Internasional yang dulu
disebut hukum perang, atau hukum
sengketa bersenjata, memiliki sejarah yang sama tuanya dengan peradaban manusia. Atau sama tuanya dengan perang itu
sendiri. Umumnya aturan-aturan tentang
perang itu termuat dalam aturan tingkah laku, moral dan agama. Aturanaturan ini
antara lain terdapat dalam ajaran agama Budha, Konfusius, Yahudi, Kristen dan Islam. Bahkan pada masa 3000 –
1500 ketentuan – ketentuan ini sudah ada
pada bangsa Sumeria, Babilonia dan Mesir Kuno. Dalam peradaban bangsa Romawi dikenal konsep perang yang adil
(just war) Arlina Permanasari dkk.
Pengantar Hukum Humaniter. Penerbit ICRC, Jakarta, 1999, halaman.
.
Pada abad ke 18
Jean Jacques Rosseau dalam bukunya The Social Contract mengajarkan bahwa perang harus
berlandaskan pada moral. Konsep ini kemudian
menjadi landasan bagi Hukum Humaniter Internasional. Pada abad ke 19 landasan moral ini dibangun oleh Henry
Dunant, yang merupakan initiator organisasi
Palang Merah, yang kemudian berhasil menyusun Konvensi Jenewa I tahun 1864. Di Amerika Serikat, pada saat yang
hampir bersamaan telah memiliki Code
Lieber atau Instructions for Government of Armies of the United States yang dipublikasi tahun 1863.
Konvensi Jenewa 1864, yaitu Konvensi bagi
Perbaikan Keadaan Tentara yang Luka di
Medan Perang Darat, merupakan Konvensi yang menjadi perintis Konvensi-Konvensi Jenewa berikutnya yang
mengatur tentang Perlindungan Korban Perang. Pada masa-masa berikutnya
kemudian perkembangan hukum humaniter
Internasional dilakukan melalui traktat-traktat yang ditandatangani negara-negara. Misalnya Hukum Den Haag 1899
dan 1907 yang merupakan serangkaian, Konvensi dan Deklarasi yang
mengatur tentang alat dan cara berperang,
terdapat juga Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 yang mengatur mengenai perlindungan terhadap korban perang.
Konvensi Jenewa ini kemudian dilengkapi
dengan Protokol Tambahan 1977.
Prinsip atau Asas
Pembedaan (Distinction Principle) merupakan suatu asas penting dalam Hukum Humaniter
Internasional. Prinsip ini membedakan penduduk
dari suatu negara yang sedang berperang dalam dua golongan yaitu : Kombatan (Combatant) dan Penduduk Sipil
(Civilian).
Ibid., halaman.
Apabila seorang
kombatan jatuh ketangan musuh, maka ia akan diperlakukan sebagai tawanan perang. Berkaitan
dengan prinsip pembedaan dan perlakuan
tawanan perang ini maka penting diketahui bagaimana mengenai status dan perlakuan yang ditujukan kepada mata-mata
(spy) dan tentara bayaran (mercenary) serta kombatan yang tidak sah
(unlawful combatant) apabila mereka jatuh
ke tangan musuh.
Download lengkap Versi Word
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi