BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang .
Kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang menjadi salah satu indikator kemajuan sebuah bangsa, ternyata
tidak dapat menjadi indikator bagi peradaban
suatu bangsa. Akhir-akhir ini, bangsa Indonesia dihadapkan pada permasalahan penyakit moral yang dapat
dikatakan sudah sangat parah, yaitu korupsi.
Penyakit moral yang katanya sudah membudaya dan mengakar dari sejak jaman penjajahan, ternyata masih saja
berlangsung sampai saat ini. Pergantian setiap
rezim yang terjadi ternyata tidak mengubah terlalu banyak perilaku kotor yang dilakukan oleh para koruptor tersebut,
padahal untuk setiap rezim itu pula janji
manis pemberantasan korupsi akan dilakukan.
Tindak pidana
korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangannya terus
meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan
negara maupun dari segi kualitas tindak
pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat.
Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak
saja terhadap kehidupan perekonomian
nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya.
Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi. UU No. 30 Tahun 2002. LN No.137,
TLN No. 4250, penjelasan umum.
Ibid., Tindak
pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan
hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena
itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu
kejahatan luar biasa.
Dalam rangka mewujudkan supremasi hukum,
Pemerintah Indonesia telah meletakkan
landasan kebijakan yang kuat dalam usaha memerangi tindak pidana korupsi. Berbagai kebijakan tersebut tertuang
dalam berbagai peraturan perundang-undangan,
antara lain dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998
tentang Penyelenggara Negara yang Bersih
dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, serta
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat
dilakukan secara biasa, tetapi dituntut
cara-cara yang luar biasa tetapi harus menggunakan cara-cara luar biasa (extraordinary). Penegakan hukum untuk
memberantas tindak pidana korupsi yang
dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu diperlukan metode penegakan
hukum secara luar biasa melalui
pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan manapun
dalam upaya pemberantasan tindak pidana
korupsi, yang pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional serta berkesinambungan.
Ibid., Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
Salah satu permasalahan yang sedang terjadi
belakangan ini adalah mengenai
perseteruan antara dua lembaga penegak hukum yaitu Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) dan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) memang menjadi
isu hukum yang sedang bergulir, dimana salah satu permasalahan di dalamnya adalah perdebatan mengenai keabsahan
pencekalan dari segi hukum yang
dilakukan oleh pimpinan KPK. Kasus ini berawal dari testimoni Antasari Azhar, Polri memanggil empat pimpinan KPK dan
empat pejabat KPK. Polisi memanggil
petinggi KPK dengan jeratan Pasal 23 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 atas dugaan telah
menyalahgunakan kekuasaan dan wewenang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 421 KUHP. Dalam kasus ini Polri mendapatkan laporan secara resmi dari Ketua
KPK nonaktif Antasari Azhar.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001, badan khusus tersebut yang selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi, memiliki
kewenangan melakukan koordinasi dan
supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, sedangkan mengenai pembentukan,
susunan organisasi, tata kerja dan pertanggung
jawaban, tugas dan wewenang serta keanggotaannya diatur dengan Undangundang. Atas dasar itulah Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk.
Ibid., Laporan
itu menyebutkan adanya dugaan pimpinan KPK yang menerima suap dan penyalahgunaan kewenangan sebagai pimpinan KPK
dalam menangani kasus PT Masaro Radiokom
yang diduga melibatkan Anggoro Widjaja.
Dalam pemeriksaan,
penyidik lebih banyak menanyakan mengenai dugaan penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan oleh
pimpinan KPK mengenai pencekalan dan
pencabutan cekal Direktur PT Masaro Radiokom Anggoro Widjojo. Orang tersebut memang dijatuhi cekal
oleh KPK. Anggoro diduga melakukan suap
kepada anggota Komisi IV DPR. Anggoro telah menjadi tersangka dalam kasus ini. Namun, sebelum cekal itu diberikan,
yang bersangkutan lebih dulu kabur ke
Singapura. Namun setelah diselidiki lebih mendalam, kasus suap tersebut tidak terbukti.
Keputusan pencekalan ini dikemudian hari
menimbulkan permasalahan antara KPK dan POLRI, dimana pihak POLRI menganggap pencekalan itu tidak
sah, karena KPK dianggap melakukan
pencekalan tanpa menjelaskan indikator dan bukti hukum yang jelas yang digunakan sebagai dasar.
Sedangkan, KPK berpendapat bahwa pencekalan yang dilakukan sudah sesuai dengan Pasal 12
ayat (1) huruf c UU Nomor 30 Tahun 2002
yang berbunyi: Disisi lain, permasalahan
ini mendapat tanggapan dari Ketua Mahkamah Konstitusi, dimana beliau mengatakan bahwa
permasalahan pencekalan dan “Dalam melaksanakan
tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, KPK berwenang memerintahkan kepada instansi
yang terkait untuk melarang seseorang
bepergian ke luar negeri. " 6http://www.detiknews.com/read/2009/09/20/000737/1207117/10/herifirm
ansyah-staf pengajar ugm pencekalan-kpk-tidak berdasar/, 04 Juni 20 http://korupsi.vivanews.com/news/read/89659-
pencekalan sudah sesuai dengan uu kpk /,
04 Juni 20 kewenangannya tidak ada
masalah secara pidana, namun ini adalah murni sengketa administrasi terkait kewenangan
pencekalan, sehingga lembaga yang berwenang
menyelesaikan bukan kepolisian, melainkan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Pada dasarnya, pencekalan adalah serangkaian
tindakan larangan bersifat sementara
terhadap orang-orang tertentu untuk keluar Indonesia berdasarkan alasan tertentu yang dilakukan
oleh pejabat penyidik Kewenangan-kewenangan
Komisi Pemberantasan Korupsi dalam bidang penyelidikan, penyidikan dan penuntutan,
sebagaimana diatur UU Nomor 30 Tahun 2002
adalah sebagai berikut: , dalam hal ini pejabat
KPK yang diberi kewenangan, sesuai dengan cara yang diatur oleh Undang-Undang untuk mencari serta mengumpulkan
bukti, dan dengan bukti itu membuat atau
menjadi terang tindak pidana yang terjadi serta sekaligus menemukan tersangkanya atau pelaku tindak
pidana.
a. Melakukan penyadapan dan merekam
pembicaraan b. Memerintahkan kepada
instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri c. Meminta keterangan kepada Bank atau lembaga
keuangan lainnya tentang keadaan
keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa http://www.detiknews.com/read/2009/09/20/000737/1207117/10/ketuamk-harusnya-joko-tjandra-anggoro-gugat-kpk-ke-ptun/,
04 Juni 20 http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1996/05/16/0008.html
/, 04 Juni 20 Undang-Undang tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UndangUndang No. 30 Tahun 2002,
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 137 Tahun 2002, pasal 12.
d. Meminta keterangan kepada bank atau lembaga
keuangan lainnya untuk memblokir
rekening yang diduga hasil korupsi milik tersangka, terdakwa atau pihak lain yang terkait e. Memerintahkan
kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya f. Meminta
data kekayaan dan data perpajakan tersangka, atau terdakwa kepada instansi yang terkait g. Menghentikan
sementara suatu transaksi perdagangan dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perijinan, lisensi
serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki
tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi
yang diperiksa h. Meminta bantuan interpol Indonesia atau instansi penegak
hukum negara lain untuk melakukan
pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri i. Meminta bantuan kepada Kepolisian
dan Instansi lain yang terkait untuk melakukan
penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang
ditangani.
Download lengkap Versi Word
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi