Senin, 21 April 2014

Skripsi Hukum: TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENCEKALAN YANG DILAKUKAN OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) TERKAIT DUGAAN PENYALAHGUNAAN WEWENANG YANG DILAKUKAN OLEH PIMPINAN KPK DALAM KASUS PENCEKALAN TERHADAP DIREKTUR PT. MASARO RADIOKOM ( ANGGORO WIDJOYO)

BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang .
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menjadi salah satu  indikator kemajuan sebuah bangsa, ternyata tidak dapat menjadi indikator bagi  peradaban suatu bangsa. Akhir-akhir ini, bangsa Indonesia dihadapkan pada  permasalahan penyakit moral yang dapat dikatakan sudah sangat parah, yaitu  korupsi. Penyakit moral yang katanya sudah membudaya dan mengakar dari sejak  jaman penjajahan, ternyata masih saja berlangsung sampai saat ini. Pergantian  setiap rezim yang terjadi ternyata tidak mengubah terlalu banyak perilaku kotor  yang dilakukan oleh para koruptor tersebut, padahal untuk setiap rezim itu pula  janji manis pemberantasan korupsi akan dilakukan.

Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus  yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas  tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki  seluruh aspek kehidupan masyarakat.
 Meningkatnya tindak pidana korupsi yang  tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan  perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada  umumnya.
  Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. UU No. 30 Tahun 2002. LN  No.137, TLN No. 4250, penjelasan umum.
 Ibid.,  Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan  pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan   karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai  kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa.
 Dalam rangka mewujudkan supremasi hukum, Pemerintah Indonesia telah  meletakkan landasan kebijakan yang kuat dalam usaha memerangi tindak pidana  korupsi. Berbagai kebijakan tersebut tertuang dalam berbagai peraturan  perundang-undangan, antara lain dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan  Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara  yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari  Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, serta Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999  tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan  Begitu pun  dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi  dituntut cara-cara yang luar biasa tetapi harus menggunakan cara-cara luar biasa  (extraordinary). Penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi  yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai  hambatan. Untuk itu diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa  melalui pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas,  independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan  tindak pidana korupsi, yang pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif,  efektif, profesional serta berkesinambungan.
 Ibid.,  Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang  Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
 Salah satu permasalahan yang sedang terjadi belakangan ini adalah  mengenai perseteruan antara dua lembaga penegak hukum yaitu Kepolisian  Republik Indonesia (POLRI) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memang  menjadi isu hukum yang sedang bergulir, dimana salah satu permasalahan di  dalamnya adalah perdebatan mengenai keabsahan pencekalan dari segi hukum  yang dilakukan oleh pimpinan KPK. Kasus ini berawal dari testimoni Antasari  Azhar, Polri memanggil empat pimpinan KPK dan empat pejabat KPK. Polisi  memanggil petinggi KPK dengan jeratan Pasal 23 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo  UU Nomor 20 Tahun 2001 atas dugaan telah menyalahgunakan kekuasaan dan  wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 421 KUHP. Dalam kasus ini Polri  mendapatkan laporan secara resmi dari Ketua KPK nonaktif Antasari Azhar.
Berdasarkan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999  tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan  Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, badan khusus tersebut yang selanjutnya  disebut Komisi Pemberantasan Korupsi, memiliki kewenangan melakukan  koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan  penuntutan, sedangkan mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja dan  pertanggung jawaban, tugas dan wewenang serta keanggotaannya diatur dengan  Undangundang. Atas dasar itulah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)  dibentuk.
 Ibid.,  Laporan itu menyebutkan adanya dugaan pimpinan KPK yang menerima suap dan  penyalahgunaan kewenangan sebagai pimpinan KPK dalam menangani kasus PT  Masaro Radiokom yang diduga melibatkan Anggoro Widjaja.
Dalam pemeriksaan, penyidik lebih banyak menanyakan mengenai dugaan  penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan oleh pimpinan KPK mengenai  pencekalan dan pencabutan cekal Direktur PT Masaro Radiokom Anggoro  Widjojo. Orang tersebut memang dijatuhi cekal oleh KPK. Anggoro diduga  melakukan suap kepada anggota Komisi IV DPR. Anggoro telah menjadi  tersangka dalam  kasus ini. Namun, sebelum cekal itu diberikan, yang  bersangkutan lebih dulu kabur ke Singapura. Namun setelah diselidiki lebih  mendalam, kasus suap tersebut tidak terbukti. Keputusan pencekalan ini  dikemudian hari menimbulkan permasalahan antara KPK dan POLRI, dimana  pihak POLRI menganggap pencekalan itu tidak sah, karena KPK dianggap  melakukan pencekalan tanpa menjelaskan indikator dan bukti hukum yang jelas  yang digunakan sebagai dasar.
 Sedangkan, KPK berpendapat bahwa pencekalan  yang dilakukan sudah sesuai dengan Pasal 12 ayat (1) huruf c UU Nomor 30  Tahun 2002 yang berbunyi:  Disisi lain, permasalahan ini mendapat tanggapan dari Ketua Mahkamah  Konstitusi, dimana beliau mengatakan bahwa permasalahan pencekalan dan  “Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan,  KPK berwenang memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk  melarang seseorang bepergian ke luar negeri. " 6http://www.detiknews.com/read/2009/09/20/000737/1207117/10/herifirm ansyah-staf pengajar ugm pencekalan-kpk-tidak berdasar/, 04 Juni 20  http://korupsi.vivanews.com/news/read/89659- pencekalan sudah sesuai dengan uu kpk  /, 04 Juni 20  kewenangannya tidak ada masalah secara pidana, namun ini adalah murni  sengketa administrasi terkait kewenangan pencekalan, sehingga lembaga yang  berwenang menyelesaikan bukan kepolisian, melainkan Pengadilan Tata Usaha  Negara (PTUN).
 Pada dasarnya, pencekalan adalah serangkaian tindakan  larangan bersifat sementara terhadap orang-orang tertentu untuk keluar Indonesia  berdasarkan alasan tertentu yang dilakukan oleh pejabat penyidik  Kewenangan-kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam bidang  penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, sebagaimana diatur UU Nomor 30  Tahun 2002 adalah sebagai berikut: , dalam hal ini  pejabat KPK yang diberi kewenangan, sesuai dengan cara yang diatur oleh  Undang-Undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti, dan dengan bukti itu  membuat atau menjadi terang tindak pidana yang terjadi serta sekaligus  menemukan tersangkanya atau pelaku tindak pidana.
  a. Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan  b. Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang  bepergian ke luar negeri  c. Meminta keterangan kepada Bank atau lembaga keuangan lainnya tentang  keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa http://www.detiknews.com/read/2009/09/20/000737/1207117/10/ketuamk-harusnya-joko-tjandra-anggoro-gugat-kpk-ke-ptun/, 04 Juni 20  http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1996/05/16/0008.html /, 04 Juni 20  Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UndangUndang No. 30 Tahun 2002, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 137 Tahun 2002, pasal  12.

 d. Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk  memblokir rekening yang diduga hasil korupsi milik tersangka, terdakwa atau  pihak lain yang terkait e. Memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan  sementara tersangka dari jabatannya f. Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka, atau terdakwa kepada  instansi yang terkait g. Menghentikan sementara suatu transaksi perdagangan dan perjanjian lainnya  atau pencabutan sementara perijinan, lisensi serta konsesi yang dilakukan atau  dimiliki tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup  ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang diperiksa h. Meminta bantuan interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain  untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar  negeri i. Meminta bantuan kepada Kepolisian dan Instansi lain yang terkait untuk  melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam  perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.
Download lengkap Versi Word

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi