BABI PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan ilmu
pengetahuan di Indonesia
jauh tertinggal dari
pada negara maju
lainnya, khususnya dalam
bidang teknologi. Seiring
dengan berkembangnya suatu negara
maka manusia ingin mendapatkan informasi tentang apa
saja yang terjadi
baik di negaranya
maupun di negara
lain. Oleh sebab
itu negara berkembang dan negara
maju terus-menerus melakukan penemuan baru di bidang
teknologi informasi. Kemajuan
teknologi informasi di
negara India dan Cina yang
luar biasa terjadi
karena sumber daya
manusia yang mampu mengembangkan
dan mengendalikan teknologi tersebut.
Di
Indonesia tradisi pendidikan,
pengembangan, termasuk penelitian
di bidang ilmu
pengetahuan belum begitu
mendarah daging, tradisi
penemuanpenemuan baru di
segala bidang kurang
berkembang. Salah satu
teknologi informasi yang
masuk ke Indonesia
adalah telepon seluler
yang awalnya hanya bisa
di pakai oleh segelintir orang yang dapat menggunakannya misalnya seorang direktur
perusahaan, pejabat pemerintahan dan golongan
ekonomi menengah ke atas. Hal
tersebut disebabkan harga
alat komunikasi tersebut
relatif mahal dan harga kartu
seluler yang digunakan
juga memiliki harga
yang tinggi. Secara perlahan-lahan, seiring
semakin berkembangnya ilmu
pengetahuan dan kecanggihan teknologi juga banyaknya pelaku
usaha penyedia kartu seluler maka Atik Triratnawati,
“Aspek Simbolisme Telepon
Genggam”, Majalah Humaniora volume
XV, No. 1 Tahun 2003, hal. 91.
telpon
seluler yang awalnya
merupakan barang tersier
berubah menjadi barang primer.
Pentingnya
telekomunikasi untuk mendukung
kegiatan perekonomian masyarakat
membuat bisnis telekomunikasi pada
masa mendatang usaha komunikasi
data akan meraup untung yang sangat besar. Tidaklah mengherankan apabila muncul prediksi pasar komunikasi akan
tumbuh pesat dengan nilai bisnis mencapai
Rp. 14,9 triliun pada tahun 2011.
Jasa telekomunikasi seluler di Indonesia
memiliki pasar yang sangat besar.
Pasar yang sangat
besar dalam industri jasa telekomunikasi ini tentu patut diikuti dengan
sistem perlindungan hukum.
Tujuannya untuk melindungi
jutaan masyarakat yang menggunakan jasa telekomunikasi
seluler yang pada gilirannya menimbulkan
tanggung jawab bagi
para pelaku usaha
untuk memberikan pelayanan yang baik kepada para konsumennya.
Kartu
seluler di Indonesia
memiliki dua klasifikasi
antara lain GSM (Global System
for Mobile Communication) seperti
XL (XL prabayar
dan XL pascabayar), Indosat (IM3 dan Mentari),
Telkomsel (kartu As, Halo dan Simpati) dan CDMA
(Code Division Multiple
Access) seperti Telkom
(Flexi), Mobile-8 (Fren), Indosat (Starone). Hadirnya kartu GSM
lebih awal daripada kartu CDMA.
Akan tetapi
sekarang perkembangan keduanya
sangat pesat. Hal
ini membuat pelaku
usaha semakin ketat
bersaing dalam dunia
jasa telekomunikasi di Achmad Rouzni
Noor, Pasar Komunikasi
Data 14,9 T
di 2011 http:// www.
Detikinet.com,
diakses pada tanggal 12 Desember 2010.
Muhlis
Usman “Perlindungan Hukum
Bagi Pelanggan Jasa
Telekomunikasi Seluler Terhadap
Perjanjian Berlangganan Jasa
Telekomunikasi Seluler GSM”
http://referensihukum.blogspot.com/2010/07/perlindungan-hukum-bagi-pelanggan-jasa.html, diakses
pada tanggal 12 Desember 2010.
Indonesia.
Pelaku usaha menanamkan
sahamnya untuk berinvestasi
di dunia telekomunikasi di Indonesia, tidak hanya
investasi yang berasal dari dalam negeri tetapi juga dari luar negeri.
Perkembangan
kartu seluler di
Indonesia mendukung kebutuhan masyarakat
akan informasi dan
komunikasi, sehingga hadirnya
kartu seluler memudahkan
masyarakat untuk mendapatkan
informasi. Sekarang tidak
hanya golongan ekonomi menengah
ke atas saja yang dapat menikmati kehadiran kartu seluler tetapi semua golongan dapat
menikmatinya dari pejabat tinggi, karyawan kantor, ibu rumah tangga sampai abang tukang
becak.
Konsumen
yang telah menyetujui
untuk menggunakan layanan
yang ditawarkan dengan
menyepakati aturan yang
telah dibuat oleh
pelaku usaha, terikat
dalam suatu hubungan
hukum antara konsumen
dengan pelaku usaha.
Adanya hubungan hukum antara konsumen dan pelaku usaha menimbulkan hak dan kewajiban
dari masing-masing pihak.
Hubungan hukum itu
terjadi karena adanya
perikatan dari pihak
pelaku usaha dan
konsumen. Sebagaimana Subekti mendefinisikan perikatan sebagai berikut : “suatu hubungan hukum antara dua orang atau
pihak berdasarkan mana pihak yang satu
berhak menuntut suatu
hal dari pihak
lain, dan pihak
lain berkewajiban memenuhi
tuntutan tersebut.” Meskipun konsumen
dapat memilih operator
celuler yang memiliki
kualitas pelayanan telekomunikasi yang
lebih baik, namun
telekomunikasi merupakan Wilson L. Simatupang, Perkembangan
Telekomunikasi Dalam Masyarakat, http:// www.
Sinarharapan.
co.id, diakses pada tanggal 12 Desember 2010.
Ibid Subekti,
Hukum Perjanjian, cet. 19, (Jakarta: PT. Intermasa, 2001), hal. 1.
industri
yang sarat akan asymmetric information.
Maksudnya dalam industri telekomunikasi, informasi
kondisi layanan yang
didapat konsumen sering
kali tidak sesuai
dengan kondisi yang
dipromosikan operator. Akibatnya,
pengguna layanan berpindah dari
satu operator ke operator celuler yang
lain yang kualitas pelayanannya sama buruknya.
Setiap
orang pada suatu
masa tertentu dalam
posisi tunggal maupun berkelompok bersama orang
lain, dalam suatu
keadaan pasti menjadi konsumen untuk
suatu barang dan jasa
tertentu, keadaan yang universal ini
pada beberapa sisi menunjukkan
beberapa kelemahan pada konsumen sehingga konsumen berada posisi yang tidak aman.
Kondisi ini mengakibatkan kedudukan pelaku
usaha dan konsumen tidak
seimbang, dimana konsumen
barada di posisi
yang lemah, konsumen menjadi objek aktifitas bisnis untuk
meraup keuntungan yang sebesarbesarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi,
cara penjualan atau penawaran produk serta
perjanjian standar yang
merugikan konsumen. Akibatnya
apabila konsumen dirugikan
akibat kesalahan dari
pelaku usaha, maka
konsumen tidak mampu menuntut ganti kerugian. Salah satu
penyebabnya adalah terdapat praktik perdagangan
tertentu yang merugikan konsumen.
Banyak
provider atau pelaku
usaha telekomunikasi yang
menawarkan berbagai macam
keuntungan dan manfaat
dalam kartu seluler
yang ditawarkan kepada
konsumen, jika tidak
hati-hati memilih produk barang/jasa
yang Abdul Salam Taba, “Mengurai
Standar, Mengerek Layanan. Koran Tempo, 29 Agustus 2007.
Sri
Redjeki Hartono, Aspek-aspek Hukum
Perlindungan Konsumen dalam
kerangka Era Perdagangan Bebas
dalam hukum perlindungan konsumen (Bandung : Mandar Maju, 2000), hal. 37.
diinginkan,
konsumen hanya akan
menjadi objek eksploitasi
dari provider atau pelaku
usaha yang tidak bertanggung jawab.
Menurut penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
faktor utama yang
menjadi penyebab eksploitasi terhadap
konsumen sering terjadi
adalah masih rendahnya
tingkat kesadaran konsumen
akan haknya. Tentunya,
hal tersebut terkait
erat dengan rendahnya pendidikan konsumen.
Jika dilihat lebih lanjut, konsumen ternyata tidak hanya
dihadapkan pada persoalan lemahnya
kesadaran dan ketidakmengertian (pendidikan)
mereka terhadap hak-haknya
sebagai konsumen. Hak-hak
yang dimaksud, misalnya bahwa konsumen tidak mendapatkan penjelasan
tentang manfaat barang atau jasa yang dikonsumsi.
Lebih dari itu
konsumen ternyata tidak
memiliki bargaining position
(posisi tawar) yang
berimbang dengan pelaku
usaha. Hal ini
terlihat sekali pada perjanjian
baku yang siap untuk ditandatangani dan
bentuk klausula baku atau ketentuan baku
yang yang tidak informatif dan tidak bisa ditawar lagi.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan
judul skripsi ini
“Tanggung Jawab Pelaku
Usaha Terhadap Kerugian
Konsumen Akibat Paket
Penghematan Pulsa Excelcomindo (Berdasarkan
Studi Putusan PN
No. 206/Pdt/2006)”, maka
perlu dirumuskan permasalahan sebagai berikut : Penyedia layanan atau jasa dan atau penyedia
layanan, http:/www.total. or. Id, diakses pada tanggal 12 desember 2010.
Gunawan
Widjaja dan Ahmad
Yani, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta : Gramedia,
2003), hal. 3.
1.
Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen di Indonesia.
2. Bagaimana
tanggung jawab pelaku
usaha kepada konsumen
dalam Undang-Undang No. 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen.
3. Bagaimana
implementasi penegakan Undang-Undang
No. 8 Tahun
1999 dalam hal
tanggung jawab pelaku
usaha mengenai ganti
rugi terhadap konsumen. (Berdasarkan Putusan PN No. 206/Pdt.
G/2006).
C. Tujuan dan
Manfaat Penulisan Penulisan
dalam rangka penulisan
skripsi ini mempunyai
tujuan yang hendak
dicapai, sehingga penulisan
ini bisa lebih
terarah serta dapat
mengenai sasarannya. Adapun
tujuan dari penulisan ini adalah : 1. Untuk
mengetahui bentuk perlindungan
hukum terhadap konsumen
di Indonesia.
2. Untuk mengetahui tanggung jawab pelaku usaha
kepada konsumen dalam Undang-Undang No.
8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
3. Untuk mengetahui implementasi penegakan
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen dalam
hal tanggung jawab
pelaku usaha mengenai ganti rugi
terhadap konsumen.
Manfaat penulisan
yang dapat diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : 1.
Secara teoritis.
Skripsi ini
diharapkan dapat memberikan
masukan bagi ilmu
pengetahuan, khususnya mengenai
tanggung jawab pelaku
usaha dalam memberikan
layanan terhadap konsumen.
Skripsi ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan perangkat ketentuan perlindungan
konsumen di Indonesia.
2. Secara praktis.
Pembahasan terhadap
masalah ini ditujukan kepada kalangan pelaku usaha utnuk lebih mengetahui bagaimanakah aspek tanggung
jawab pelaku usaha kartu seluler dalam
memberikan layanan kepada konsumen.
D. Keaslian
Penulisan Sepanjang
yang ditelusuri dan
diketahui di lingkungan
Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara bahwa
penulisan tentang “Tanggung
Jawab Pelaku Usaha
Terhadap Kerugian Konsumen
Akibat Paket Penghematan
Pulsa Excelcomindo (Studi
Putusan PN No.
206/Pdt/2006)” belum pernah
ditulis sebelumnya. Dengan
demikian dilihat dari permasalahan serta tujuan
yang ingin dicapai
dalam penulisan ini,
maka dapat dikatakan
bahwa skripsi ini
adalah merupakan karya sendiri
yang asli dan bukan jiplakan dari skripsi orang lain yang diperoleh
melalui pemikiran, referensi
buku-buku, bahan seminar,
makalahmakalah, media cetak
seperti koran-koran, media
elektronik, yaitu internet serta bantuan dari
berbagai pihak. Dengan
azas-azas keilmuan yang
jujur, rasional, serta
terbuka. Semua ini
merupakan implikasi etis
dari proses menemukan kebenaran
ilmiah. Sehingga penelitian
ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.
E. Tinjauan Kepustakaan Adapun
judul yang dikemukakan penulis adalah “Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Terhadap Kerugian Konsumen
Akibat Paket Penghematan
Pulsa Excelcomindo (Studi
Putusan PN No.
206/Pdt/2006)”, maka sebelum
diuraikan lebih lanjut
terlebih dahulu penulis
akan memberikan penjelasan
tentang pengertian judul dengan
maksud untuk memberikan pembatasan yang jelas.
Perlindungan konsumen itu sendiri menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen No.
8 Tahun 1999 Pasal 1 angka 1 adalah segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum untuk
memberikan perlindungan kepada
konsumen.
Rumusan pengertian
perlindungan konsumen yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 UUPK
tersebut cukup memadai.
Kalimat yang menyatakan
“segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum”, diharapkan
sebagai benteng untuk meniadakan tindakan
sewenang-wenang yang merugikan
pelaku usaha hanya demi
untuk kepentingan perlindungan konsumen.
Ada
pun pihak-pihak dan
istilah yang terkait
di dalam perlindungan konsumen, yaitu : 1.
Konsumen Istilah
konsumen berasal dari
kata consumer (Inggris-Amerika)
atau consument/konsument
(Belanda). Secara harafiah
arti kata consumer adalah “(lawan
dari produsen) setiap
orang yang menggunakan
barang”, sedangkan menurut
Kamus Bahasa Inggris-Indonesia, consumer adalah “ pemakai atau konsumen”.
Ahmadi
Miru dan Sutarman
Yodo, Hukum Perlindungan
Konsumen, (Jakarta : Raja
Grafindo Persada, 2004), hal. 1.
Sebelum lahirnya UUPK, batasan dan pengertian
tentang konsumen masih rancu. Istilah
konsumen telah dimuat
pertama kali dalam
TAP MPR No.
II/MPR/119 Bab
IV huruf f butir 4a tentang GBHN dan
selanjutnya disinggung sedikit dalam
beberapa peraturan perUndang-Undangan. Tidak
satupun menjelaskan pengertian
konsumen. Untuk memperkecil
lingkup pengertian konsumen, maka pengertian konsumen dapat
terdiri dari tiga bagian, yaitu : a. Konsumen
dalam arti umum
adalah pemakai, pengguna
dan/atau pemanfaat barang
dan/atau jasa untuk tujuan tertentu.
b. Konsumen
antara adalah pemakai,
pengguna dan/atau pemanfaat
barang dan/atau jasa
untuk diproduksi (produsen)
menjadi barang/jasa lain
atau untuk diproduksi
(produsen) menjadi barang/jasa
lain atau untuk memperdagangkannya (distributor), dengan
tujuan komersial. Konsumen antara ini sama dengan pelaku usaha.
c. Konsumen
akhir adalah pemakai,
pengguna dan/atau pemanfaat
barang dan/atau jasa konsumen
untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangganya dan tidak untuk
diperdagangkan kembali.
Setelah
lahirnya UUPK, maka
jenis konsumen yang
dilindungi adalah jenis konsumen akhir. Hal ini terlihat dari
defenisi konsumen yang menjelaskan, yaitu konsumen adalah setiap orang pemakai
barang dan/atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri,
keluarga, orang lain maupun makhluk
hidup lain dan
tidak untuk diperdagangkan.
Selanjutnya Adrian
Sutedi, Tanggung Jawab Produk
Dalam Hukum Perlindungan
Konsumen, (Bogor : Ghalia
Indonesia, 2008), hal. 10.
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor
8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 1 angka 2.
pengertian
konsumen yang akan
dibahas dalam penulisan
ini adalah konsumen akhir sesuai dengan pengertian konsumen dalam
UUPK.
Selama
ini sudah banyak
konsumen yang sudah
dirugikan baik secara materiil maupun immateril oleh pelaku usaha,
namun dari pihak konsumen kurang usahanya untuk
menuntut hak-haknya. Kenyataan
ini disebabkan konsumen kurang menyadari hal-hal apa saja yang menjadi
haknya dan masih enggan untuk menjalani proses
penuntutan hak-haknya yang lama dan
rumit. Lahirnya UUPK memberikan
penjelasan mengenai apa saja yang menjadi hak-hak konsumen yang tercantum dalam Pasal 4, yaitu : a. Hak
atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; b.
Hak untuk memilih
barang dan/atau jasa
serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai
tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan; c. Hak
atas informasi yang
benar, jelas dan
jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa;
d.
Hak untuk didengar pendapat dan keluhan atas barang dan/atau jasa yang digunakan; e. Hak
untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; f. Hak
untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; g.
Hak untuk diperlakukan
dan dilayani secara
benar dan jujur
serta tidak diskriminatif; h.
Hak untuk mendapatkan
kompensasi, ganti rugi
dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima
tidak sesuai dengan perjanjian atau
tidak sebagaimana mestinya; i. Hak-hak
yang diatur dalam
ketentuan peraturan perUndang-Undangan lainnya.
Hak-hak tersebut
diatas merupakan hak yang sudah melekat bagi siapapun
yang berkedudukan sebagai
konsumen, sekaligus sebagai
subjek hukum. Dengan demikian
adalah merupakan suatu
kebebasan bagi konsumen
untuk dapat mempresentasikan hak-hak tersebut kedalam
suatu wadah atau kelompok.
Suatu
hubungan hukum akan
menimbulkan hak dan
kewajiban dari masing-masing
pihak. Sebelum konsumen
mengajukan tuntutan terhadap
hakhaknya, sebaiknya konsumen
melaksanakan apa yang
menjadi kewajibannya.
Pasal 5 UUPK
menjelaskan apa saja yang menjadi kewajiban konsumen, yaitu : a.
Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi
keamanan dan keselamatan; b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi
pembelian barang dan/atau jasa; c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang
disepakati; d. Mengikuti
upaya penyelesaian hukum
sengketa perlindungan konsumen secara patut.
2. Pelaku Usaha Pelaku
usaha dalam sehari-hari lebih dikenal dengan istilah pengusaha dan memiliki
arti yang luas,
tidak semata-mata membicarakan
produsen, tetapi juga pedagang
perantara atau pengusaha.
Undang-Undang
Perlindungan Konsumen memberikan pengertian pelaku usaha yaitu
setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik
yang berbentuk badan
hukum maupun bukan
badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan
kegiatan dalam wilayah
hukum negara Republik Indonesia,
baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai
bidang ekonomi.
Pelaku
usaha merupakan salah
satu dari pelaku
ekonomi yang dibagi dalam tiga kelompok pelaku usaha, yaitu : a.
Investor, yaitu pelaku
usaha penyedia dana
untuk membiayai berbagai kepentingan. Seperti perbankan, penyedia dana
dan lain sebagainya.
b. Produsen,
yaitu pelaku usaha
yang membuat, memproduksi
barang dan/atau jasa
dari barang-barang dan/atau
jasa-jasa lain (bahan
baku, bahan tambahan/penolong dan
bahan-bahan lainnya). Mereka dapat terdiri dari
orang/badan usaha berkaitan
dengan pangan, orang/badan
yang memproduksi sandang,
orang/usaha yang berkaitan
dengan pembuatan perumahan,
orang/usaha yang berkaitan
dengan jasa angkutan, perasuransian,
perbankan, orang/usaha berkaitan
dengan obat-obatan, kesehatan narkotika, dan lain sebagainya.
c. Distributor,
yaitu pelaku usaha
yang mendistribusikan atau memperdagangkan barang
dan/atau jasa tersebut
kepada masyarakat, Mariam
Darus, Perlindungan Konsumen Dilihat
dari Perjanjian Baku
(standar), Kertas Kerja Pada Simposium Aspek-aspek Hukum
Masalah Perlindungan Konsumen,
(Jakarta, 1980), hal. 57.
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor
8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 1 angka 3. Sutedi,
Op.cit,. hal. 11.
seperti
pedagang secara retail,
pedagang kaki lima,
warung, toko, supermarket,
rumah sakit, “warung
dokter”, usaha angkutan
(darat, laut, udara), kantor pengacara, dan sebagainya.
3. Pemerintah Ketatnya
persaingan antar pelaku
usaha dalam menawarkan
produknya kepada konsumen
membentuk suatu keadaan
dimana para pelaku
usaha dengan tujuan
untuk meraih keuntungan
yang sebanyak-banyaknya, sering
kali mengabaikan hak-hak konsumen
dengan melanggar larangan-larangan yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Salah
satu usaha pemerintah
untuk mengatasi masalah
perlindungan konsumen adalah
dengan memberlakukan Undang-Undang
Perlindungan Konsumen. Agar
pelaksanaan dan penerapan
Undang-Undang Perlindungan Konsumen
berjalan dengan baik,
maka pemerintah menerbitkan
peraturan pelaksanaannya antara
lain tentang : a. Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2001
tanggal 21 Juli 2001 tentang Badan
Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN); b. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001
tanggal 21 Juli 2001 tentang Pembinaan
dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen; c.
Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2001 tanggal 21 Juli 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya
Masyarakat(LPKSM); d. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor
90 Tahun 2001 tanggal 21 Juli 2001
tentang Pembentukan Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK) pada
kota Medan, Palembang,
Jakarta Pusat, Jakarta
Barat, Bandung, Semarang,
Yogyakarta, Malang Surabaya dan Makassar; e.
Keputusan Menteri Perindustrian
dan Perdagangan Nomor 31/MPP/Kep/10/2001 tanggal
24 Oktober 2001
tentang Pengangkatan, Pemberhentian
Anggota dan Sekretariat
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen; f.
Keputusan Menteri Perindustrian
dan Perdagangan Nomor 252/MPP/Kep/10/2001 tanggal
24 Oktober 2001
tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya
Masyarakat.
Selain
memberlakukan beberapa peraturan-peraturan perUndangUndangan sebagai
pelaksana UUPK, pemerintah
juga mendirikan beberapa lembaga untuk membantu dalam menyelesaikan
masalah konsumen yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang
diatur juga dalam UUPK.
4. Barang dan/atau Jasa Menurut
UUPK, barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak,
dapat dihabiskan maupun tidak dapat
dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan,
dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh
konsumen.
Undang-Undang
Perlindungan Konsumen juga memberikan
batasan terhadap jasa yaitu setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau
prestasi yang disediakan
bagi masyarakat untuk dimanfaatkan
oleh konsumen.
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor
8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 1 angka 4.
Dalam Pasal 45 ayat 1 UUPK Pasal 45 ayat 1
UUPK menyatakan setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha
melalui lembaga yang bertugas
menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan
yang berada di
lingkungan peradilan umum.
Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan
atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela
para pihak yang
bersengketa.
Penyelesaian
sengketa di luar pengadilan tidak
menghilangkan tanggung jawab
pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang dan Apabila telah dipilih
upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan,
gugatan melalui pengadilan
hanya dapat ditempuh
jika upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah
satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa..
Berkenaan dengan sengketa ini pemerintah telah
membentuk suatu badan yang bertugas
menangani dan menyelesaikan
sengketa antara pelaku
usaha dan konsumen
yang dikenal dengan
nama Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen BPSK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka
11 UUPK yang pendiriannya berdasarkan Keputusan
Presiden Republik Indonesia
Nomor 90 Tahun
2001 tanggal 21
Juli 2001 tentang
Pembentukan Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK)
pada kota Medan, Palembang,
Jakarta Pusat, Jakarta
Barat, Bandung, Semarang,
Yogyakarta, Malang Surabaya dan Makassar.
Ibid., Pasal 45 ayat 2.
Ibid., Pasal 45 ayat 3 dan 4.
F. Metode Penulisan 1. Pendekatan Penelitian Dalam penulisan
skripsi ini digunakan metode penelitian normatif (yuridis normatif). Penelitian hukum normatif biasanya
dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan maka
disebut juga dengan
metode kepustakaan. Penelitian
Hukum Normatif adalah penelitian
dengan hanya mengolah dan menggunakan
data-data sekunder yang
berkaitan pelaku usahakartu
seluler sebagai penyedia
jasa telekomunikasi.
2. Sumber Data Materi
dalam skripsi ini diambil dari data-data sekunder : a.
Bahan hukum primer, yaitu : Dokumen peraturan
yang mengikat dan
ditetapkan oleh pihak yang
berwenang.
Dalam tulisan
ini antara lain
Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan peraturan-peraturan
lainnya.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu : Semua
dokumen yang merupakan
informasi , atau
hasil kajian tentang perlindungan
konsumen, tanggung jawab
pelaku usaha terhadap
kerugian konsumen, seperti karya
tulis ilmiah, jurnal-jurnal hukum, majalah-majalah, serta sumber dari internet yang berkaitan dengan
persoalan di atas.
c. Bahan hukum tersier, yaitu : Semua dokumen yang berisi petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer
dan hukum sekunder, seperti kamus, ensiklopedi, dan lain-lain.
3. Analisis Data Bahan
hukum primer dan
bahan hukum sekunder
yang telah disusun secara
sistematis kemudian dianalisa
secara perspektif dengan
meggunakan metode kualitatif
karena penelitian ini
kepustakaan yang menggunakan
data sekunder. Metode
kualitatif adalah tata
cara penelitian yang
menghasilkan penelitian yang
bersifat deskriptif analitis.
G. Sistematika
Penulisan Skripsi ini dibahas dalam lima bab yang
terdiri dari pendahuluan, tinjauan umum terhadap
perlindungan hukum konsumen
di Indonesia, tanggung
jawab pelaku usaha
terhadap konsumen menurut
Undang-Undang No. 8
Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, studi
putusan PN No.
206/Pdt. G/2006 mengenai
tanggung jawab pelaku
usaha terhadap kerugian
yang diderita konsumen serta kesimpulan dan saran.
BAB I PENDAHULUAN Ban
ini menguraikan latar
belakang masalah yang
menjadi dasar penulisan.
Kemudian berdasarkan latar
belakang masalah tersebut dibuat
rumusan masalah dan
tujuan penulisan. Bab
ini juga menjelaskan tentang keaslian penulisan,
tinjauan kepustakaan, metode penelitian
dan sistematika penulisan.
BAB II PERLINDUNGAN
HUKUM TERHADAP KONSUMEN
DI INDONESIA.
Pada
bab ini menjelaskan
tentang tinjauan umum
terhadap hukum perlindungan
konsumen di Indonesia
yang antara lain
membahas perkembangan perlindungan
konsumen di Indonesia,
pengertian dan cakupan hukum perlindungan konsumen di
Indonesia, asas dan tujuan dalam perlindungan
konsumen, serta bentuk
perlindungan hukum terhadap konsumen di Indonesia.
BAB III TANGGUNG
JAWAB PELAKU USAHA
TERHADAP KONSUMEN MENURUT
UU No. 8
TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN.
Pada
bab ini menjelaskan
tentang tanggung jawab
pelaku usaha terhadap
konsumen menurut Undang-Undang
Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan
Konsumen yang membahas
tentang hak dan kewajiban
pelaku usaha berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999,
tanggung jawab pelaku
usaha, serta bentuk
tanggung jawab pelaku usaha bila terjadi kerugian terhadap
konsumen.
BAB IV IMPLEMENTASI
PENEGAKAN UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN
1999 dalam hal
TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA MENGENAI GANTI RUGI TERHADAP KONSUMEN BERDASARKAN PUTUSAN PN NO. 206/PDT. G/2006 Pada
bab ini penulis
menjelaskan tentang posisi
sengketa perlindungan konsumen
Excelcomindo, analisa putusan
PN No.
206/Pdt. G/2006
antara John Parlyn
Sinaga (Penggugat) melawan PT.Excelcomindo. Tbk
(Tergugat) serta penyelesaian
sengketa pelanggaran
perlindungan konsumen menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.
BAB V KESIMPULAN dan SARAN Bab
ini penulis akan
memberikan kesimpulan dari
pembahasanpembahasan dari permasalahan-permasalahan yang
diangkat dalam skripsi
ini dan mencoba
memberikan beberapa saran
kepada pihakpihak yang
berkepentingan.
Download lengkap Versi Word
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi