Sabtu, 05 April 2014

Skripsi Hukum: TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA TERHADAP KERUGIAN KONSUMEN AKIBAT PAKET PENGHEMATAN PULSA EXCELCOMINDO(STUDIPUTUSAN PN No.206/Pdt/2006)



 BABI  PENDAHULUAN  
 A. Latar Belakang    
Perkembangan  ilmu  pengetahuan  di  Indonesia  jauh  tertinggal  dari  pada  negara  maju  lainnya,  khususnya  dalam  bidang  teknologi.  Seiring  dengan  berkembangnya suatu negara maka manusia ingin mendapatkan informasi tentang  apa  saja  yang  terjadi  baik  di  negaranya  maupun  di  negara  lain.  Oleh  sebab  itu  negara berkembang dan negara maju terus-menerus melakukan penemuan baru di  bidang  teknologi  informasi.  Kemajuan  teknologi  informasi  di  negara  India  dan  Cina  yang  luar  biasa  terjadi  karena  sumber  daya  manusia  yang  mampu  mengembangkan dan mengendalikan teknologi tersebut.

 Di  Indonesia  tradisi  pendidikan,  pengembangan,  termasuk  penelitian  di  bidang  ilmu  pengetahuan  belum  begitu  mendarah  daging,  tradisi  penemuanpenemuan  baru  di  segala  bidang  kurang  berkembang.  Salah  satu  teknologi  informasi  yang  masuk  ke  Indonesia  adalah  telepon  seluler  yang  awalnya  hanya  bisa di pakai oleh segelintir orang yang dapat menggunakannya misalnya seorang  direktur  perusahaan,  pejabat  pemerintahan dan  golongan  ekonomi  menengah  ke  atas.  Hal  tersebut  disebabkan  harga  alat  komunikasi  tersebut  relatif  mahal  dan  harga  kartu  seluler  yang  digunakan  juga  memiliki  harga  yang  tinggi.  Secara  perlahan-lahan,  seiring  semakin  berkembangnya  ilmu  pengetahuan  dan  kecanggihan teknologi juga banyaknya pelaku usaha penyedia kartu seluler maka   Atik  Triratnawati,  “Aspek  Simbolisme  Telepon  Genggam”, Majalah  Humaniora volume XV, No. 1 Tahun 2003, hal. 91.
  telpon  seluler  yang  awalnya  merupakan  barang  tersier  berubah  menjadi  barang  primer.
 Pentingnya  telekomunikasi  untuk  mendukung  kegiatan  perekonomian  masyarakat  membuat  bisnis  telekomunikasi  pada  masa  mendatang  usaha  komunikasi data akan meraup untung yang sangat besar. Tidaklah mengherankan  apabila muncul prediksi pasar komunikasi akan tumbuh pesat dengan nilai bisnis  mencapai Rp. 14,9 triliun pada tahun 2011.
 Jasa telekomunikasi seluler di Indonesia memiliki pasar yang sangat besar.
Pasar yang sangat besar dalam industri jasa telekomunikasi ini tentu patut diikuti  dengan  sistem  perlindungan  hukum.  Tujuannya  untuk  melindungi  jutaan  masyarakat  yang menggunakan jasa telekomunikasi seluler  yang pada gilirannya  menimbulkan  tanggung  jawab  bagi  para  pelaku  usaha  untuk  memberikan  pelayanan yang baik kepada para konsumennya.
 Kartu  seluler  di  Indonesia  memiliki  dua  klasifikasi  antara  lain  GSM  (Global  System  for  Mobile  Communication)  seperti  XL  (XL  prabayar  dan  XL  pascabayar), Indosat (IM3 dan Mentari), Telkomsel (kartu As, Halo dan Simpati)  dan  CDMA  (Code  Division  Multiple  Access)  seperti  Telkom  (Flexi),  Mobile-8  (Fren), Indosat (Starone). Hadirnya kartu GSM lebih awal daripada kartu CDMA.
Akan  tetapi  sekarang  perkembangan  keduanya  sangat  pesat.  Hal  ini  membuat  pelaku  usaha  semakin  ketat  bersaing  dalam  dunia  jasa  telekomunikasi  di   Achmad  Rouzni  Noor,  Pasar  Komunikasi  Data  14,9  T  di  2011 http://  www.
Detikinet.com, diakses pada tanggal 12 Desember 2010.
 Muhlis  Usman  “Perlindungan  Hukum  Bagi  Pelanggan  Jasa  Telekomunikasi  Seluler  Terhadap  Perjanjian  Berlangganan  Jasa  Telekomunikasi  Seluler  GSM”  http://referensihukum.blogspot.com/2010/07/perlindungan-hukum-bagi-pelanggan-jasa.html,  diakses  pada  tanggal 12 Desember 2010.
  Indonesia.  Pelaku  usaha  menanamkan  sahamnya  untuk  berinvestasi  di  dunia  telekomunikasi di Indonesia, tidak hanya investasi yang berasal dari dalam negeri  tetapi juga dari luar negeri.
 Perkembangan  kartu  seluler  di  Indonesia  mendukung  kebutuhan  masyarakat  akan  informasi  dan  komunikasi,  sehingga  hadirnya  kartu  seluler  memudahkan  masyarakat  untuk  mendapatkan  informasi.  Sekarang  tidak  hanya  golongan ekonomi menengah ke atas saja yang dapat menikmati kehadiran kartu  seluler tetapi semua golongan dapat menikmatinya dari pejabat tinggi, karyawan  kantor, ibu rumah tangga sampai abang tukang becak.
 Konsumen  yang  telah  menyetujui  untuk  menggunakan  layanan  yang  ditawarkan  dengan  menyepakati  aturan  yang  telah  dibuat  oleh  pelaku  usaha,  terikat  dalam  suatu  hubungan  hukum  antara  konsumen  dengan  pelaku  usaha.
Adanya  hubungan hukum  antara konsumen  dan pelaku usaha menimbulkan  hak  dan  kewajiban  dari  masing-masing  pihak.  Hubungan  hukum  itu  terjadi  karena  adanya  perikatan  dari  pihak  pelaku  usaha  dan  konsumen.  Sebagaimana  Subekti  mendefinisikan perikatan sebagai berikut :  “suatu hubungan hukum antara dua orang atau pihak berdasarkan mana pihak  yang  satu  berhak  menuntut  suatu  hal  dari  pihak  lain,  dan  pihak  lain  berkewajiban memenuhi tuntutan tersebut.”  Meskipun  konsumen  dapat  memilih  operator  celuler  yang  memiliki  kualitas  pelayanan  telekomunikasi  yang  lebih  baik,  namun  telekomunikasi  merupakan   Wilson L. Simatupang, Perkembangan Telekomunikasi Dalam Masyarakat, http:// www.
Sinarharapan. co.id, diakses pada tanggal 12 Desember 2010.
 Ibid  Subekti, Hukum Perjanjian, cet. 19, (Jakarta: PT. Intermasa, 2001), hal. 1.
  industri  yang  sarat  akan asymmetric  information.  Maksudnya  dalam  industri  telekomunikasi,  informasi  kondisi  layanan  yang  didapat  konsumen  sering  kali  tidak  sesuai  dengan  kondisi  yang  dipromosikan  operator.  Akibatnya,  pengguna  layanan berpindah dari satu operator ke operator celuler  yang lain  yang  kualitas  pelayanannya sama buruknya.
 Setiap  orang  pada  suatu  masa  tertentu  dalam  posisi  tunggal  maupun  berkelompok bersama  orang  lain,  dalam  suatu  keadaan pasti  menjadi  konsumen  untuk  suatu barang  dan  jasa  tertentu,  keadaan  yang universal  ini  pada beberapa  sisi menunjukkan beberapa kelemahan pada konsumen sehingga konsumen berada  posisi yang tidak aman.
 Kondisi ini mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan  konsumen  tidak  seimbang,  dimana  konsumen  barada  di  posisi  yang  lemah,  konsumen menjadi objek aktifitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesarbesarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan atau penawaran  produk  serta  perjanjian  standar  yang  merugikan  konsumen.  Akibatnya  apabila  konsumen  dirugikan  akibat  kesalahan  dari  pelaku  usaha,  maka  konsumen  tidak  mampu menuntut ganti kerugian. Salah satu penyebabnya adalah terdapat praktik  perdagangan tertentu yang merugikan konsumen.
 Banyak  provider  atau  pelaku  usaha  telekomunikasi  yang  menawarkan  berbagai  macam  keuntungan  dan  manfaat  dalam  kartu  seluler  yang  ditawarkan  kepada  konsumen,  jika  tidak  hati-hati  memilih  produk  barang/jasa  yang   Abdul Salam Taba, “Mengurai Standar, Mengerek Layanan. Koran Tempo, 29 Agustus  2007.
 Sri  Redjeki  Hartono, Aspek-aspek  Hukum  Perlindungan  Konsumen  dalam  kerangka  Era Perdagangan Bebas dalam hukum perlindungan konsumen (Bandung : Mandar Maju, 2000),  hal. 37.
  diinginkan,  konsumen  hanya  akan  menjadi  objek  eksploitasi  dari  provider  atau  pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab.
 Menurut penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang  Perlindungan  Konsumen,  faktor  utama  yang  menjadi  penyebab  eksploitasi  terhadap  konsumen  sering  terjadi  adalah  masih  rendahnya  tingkat  kesadaran  konsumen  akan  haknya.  Tentunya,  hal  tersebut  terkait  erat  dengan  rendahnya  pendidikan konsumen.
 Jika dilihat lebih  lanjut, konsumen ternyata tidak hanya dihadapkan pada  persoalan  lemahnya  kesadaran  dan  ketidakmengertian  (pendidikan)  mereka  terhadap  hak-haknya  sebagai  konsumen.  Hak-hak  yang  dimaksud,  misalnya  bahwa konsumen tidak mendapatkan penjelasan tentang manfaat barang atau jasa  yang  dikonsumsi.  Lebih  dari  itu  konsumen  ternyata  tidak  memiliki bargaining  position (posisi  tawar)  yang  berimbang  dengan  pelaku  usaha.  Hal  ini  terlihat  sekali pada perjanjian baku  yang siap untuk ditandatangani dan bentuk klausula  baku atau ketentuan baku yang yang tidak informatif dan tidak bisa ditawar lagi.
 B. Perumusan Masalah   Berdasarkan  judul  skripsi  ini  “Tanggung  Jawab  Pelaku  Usaha  Terhadap  Kerugian  Konsumen  Akibat  Paket  Penghematan  Pulsa  Excelcomindo  (Berdasarkan  Studi  Putusan  PN  No.  206/Pdt/2006)”,  maka  perlu  dirumuskan  permasalahan sebagai berikut :   Penyedia layanan atau jasa dan atau penyedia layanan, http:/www.total. or. Id, diakses  pada tanggal 12 desember 2010.
 Gunawan  Widjaja  dan  Ahmad  Yani, Hukum  Perlindungan  Konsumen (Jakarta  :  Gramedia, 2003), hal. 3.
  1.  Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen di Indonesia.
2.  Bagaimana  tanggung  jawab  pelaku  usaha  kepada  konsumen  dalam  Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
3.  Bagaimana  implementasi  penegakan  Undang-Undang  No.  8  Tahun  1999  dalam  hal  tanggung  jawab  pelaku  usaha  mengenai  ganti  rugi  terhadap  konsumen. (Berdasarkan Putusan PN No. 206/Pdt. G/2006).
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan   Penulisan  dalam  rangka  penulisan  skripsi  ini  mempunyai  tujuan  yang  hendak  dicapai,  sehingga  penulisan  ini  bisa  lebih  terarah  serta  dapat  mengenai  sasarannya. Adapun tujuan dari penulisan ini adalah :  1.  Untuk  mengetahui  bentuk  perlindungan  hukum  terhadap  konsumen  di  Indonesia.
2.  Untuk mengetahui tanggung jawab pelaku usaha kepada konsumen dalam  Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
3.  Untuk mengetahui implementasi penegakan Undang-Undang No. 8 Tahun  1999  tentang  Perlindungan Konsumen dalam  hal  tanggung  jawab  pelaku  usaha mengenai ganti rugi terhadap konsumen.
Manfaat penulisan yang dapat diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah sebagai  berikut :  1.  Secara teoritis.
Skripsi  ini  diharapkan  dapat  memberikan  masukan  bagi  ilmu  pengetahuan,  khususnya  mengenai  tanggung  jawab  pelaku  usaha  dalam  memberikan  layanan    terhadap konsumen. Skripsi ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi  penyempurnaan perangkat ketentuan perlindungan konsumen di Indonesia.
2.  Secara praktis.
Pembahasan terhadap masalah ini ditujukan kepada kalangan pelaku usaha utnuk  lebih mengetahui bagaimanakah aspek tanggung jawab pelaku usaha kartu seluler  dalam memberikan layanan kepada konsumen.
D. Keaslian Penulisan   Sepanjang  yang  ditelusuri  dan  diketahui  di  lingkungan  Fakultas  Hukum  Universitas  Sumatera  Utara  bahwa  penulisan  tentang  “Tanggung  Jawab  Pelaku  Usaha  Terhadap  Kerugian  Konsumen  Akibat  Paket   Penghematan  Pulsa  Excelcomindo  (Studi  Putusan  PN  No.  206/Pdt/2006)”  belum  pernah  ditulis  sebelumnya. Dengan demikian dilihat dari permasalahan serta tujuan  yang  ingin  dicapai  dalam  penulisan  ini,  maka  dapat  dikatakan  bahwa  skripsi  ini  adalah  merupakan karya sendiri yang asli dan bukan jiplakan dari skripsi orang lain yang  diperoleh  melalui  pemikiran,  referensi  buku-buku,  bahan  seminar,  makalahmakalah,  media  cetak  seperti  koran-koran,  media  elektronik,  yaitu internet  serta  bantuan  dari  berbagai  pihak.  Dengan  azas-azas  keilmuan  yang  jujur,  rasional,  serta  terbuka.  Semua  ini  merupakan  implikasi  etis  dari  proses  menemukan  kebenaran  ilmiah.  Sehingga  penelitian  ini  dapat  dipertanggungjawabkan  kebenarannya secara ilmiah.
  E. Tinjauan Kepustakaan   Adapun judul yang dikemukakan penulis adalah “Tanggung Jawab Pelaku  Usaha  Terhadap  Kerugian  Konsumen  Akibat  Paket   Penghematan  Pulsa  Excelcomindo  (Studi  Putusan  PN  No.  206/Pdt/2006)”,  maka  sebelum  diuraikan  lebih  lanjut  terlebih  dahulu  penulis  akan  memberikan  penjelasan  tentang  pengertian judul dengan maksud untuk memberikan pembatasan yang jelas.
 Perlindungan konsumen itu sendiri menurut Undang-Undang Perlindungan  Konsumen No. 8 Tahun 1999 Pasal 1 angka 1 adalah segala upaya yang menjamin  adanya  kepastian  hukum  untuk  memberikan  perlindungan  kepada  konsumen.
Rumusan pengertian perlindungan konsumen yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1  UUPK  tersebut  cukup  memadai.  Kalimat  yang  menyatakan  “segala  upaya  yang  menjamin  adanya  kepastian  hukum”,  diharapkan  sebagai  benteng  untuk  meniadakan  tindakan  sewenang-wenang  yang  merugikan  pelaku  usaha  hanya  demi untuk kepentingan perlindungan konsumen.
 Ada  pun  pihak-pihak  dan  istilah  yang  terkait  di  dalam  perlindungan  konsumen, yaitu :  1.  Konsumen   Istilah  konsumen  berasal  dari  kata consumer (Inggris-Amerika)  atau  consument/konsument (Belanda).  Secara  harafiah  arti  kata  consumer adalah  “(lawan  dari  produsen)  setiap  orang  yang  menggunakan  barang”,  sedangkan  menurut  Kamus  Bahasa  Inggris-Indonesia, consumer adalah    pemakai  atau  konsumen”.
 Ahmadi  Miru  dan  Sutarman  Yodo, Hukum  Perlindungan Konsumen,  (Jakarta  :  Raja  Grafindo Persada, 2004), hal. 1.
  Sebelum lahirnya UUPK, batasan dan pengertian tentang konsumen masih  rancu.  Istilah  konsumen  telah  dimuat  pertama  kali  dalam  TAP  MPR  No.
II/MPR/119 Bab IV  huruf f butir 4a tentang GBHN dan selanjutnya disinggung  sedikit  dalam  beberapa  peraturan  perUndang-Undangan.  Tidak  satupun  menjelaskan  pengertian  konsumen.  Untuk  memperkecil  lingkup  pengertian  konsumen, maka pengertian konsumen dapat terdiri dari tiga bagian, yaitu :  a.  Konsumen  dalam  arti  umum  adalah  pemakai,  pengguna  dan/atau  pemanfaat barang dan/atau jasa untuk tujuan tertentu.
b.  Konsumen  antara  adalah  pemakai,  pengguna  dan/atau  pemanfaat  barang  dan/atau  jasa  untuk  diproduksi  (produsen)  menjadi  barang/jasa  lain  atau  untuk  diproduksi  (produsen)  menjadi  barang/jasa  lain  atau  untuk  memperdagangkannya  (distributor),  dengan  tujuan  komersial.  Konsumen  antara ini sama dengan pelaku usaha.
c.  Konsumen  akhir  adalah  pemakai,  pengguna  dan/atau  pemanfaat  barang  dan/atau jasa konsumen untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, keluarga  atau rumah tangganya dan tidak untuk diperdagangkan kembali.
 Setelah  lahirnya  UUPK,  maka  jenis  konsumen  yang  dilindungi  adalah  jenis konsumen akhir. Hal ini terlihat dari defenisi konsumen  yang menjelaskan,  yaitu konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa  yang tersedia  dalam  masyarakat,  baik  bagi  kepentingan  diri  sendiri,  keluarga,  orang  lain  maupun  makhluk  hidup  lain  dan  tidak  untuk  diperdagangkan.
 Selanjutnya   Adrian  Sutedi, Tanggung  Jawab  Produk  Dalam  Hukum  Perlindungan  Konsumen,  (Bogor : Ghalia Indonesia, 2008), hal. 10.
 Undang-Undang  Republik  Indonesia  Nomor  8  Tahun  1999  tentang  Perlindungan  Konsumen, Pasal 1 angka 2.
  pengertian  konsumen  yang  akan  dibahas  dalam  penulisan  ini  adalah  konsumen  akhir sesuai dengan pengertian konsumen dalam UUPK.
 Selama  ini  sudah  banyak  konsumen  yang  sudah  dirugikan  baik  secara  materiil maupun immateril oleh pelaku usaha, namun dari pihak konsumen kurang  usahanya  untuk  menuntut  hak-haknya.  Kenyataan  ini  disebabkan  konsumen  kurang menyadari hal-hal apa saja yang menjadi haknya dan masih enggan untuk  menjalani  proses  penuntutan  hak-haknya  yang lama dan  rumit.  Lahirnya  UUPK  memberikan penjelasan mengenai apa saja yang menjadi hak-hak konsumen yang  tercantum dalam Pasal 4, yaitu :  a.  Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi  barang dan/atau jasa;  b.  Hak  untuk  memilih  barang  dan/atau  jasa  serta  mendapatkan  barang  dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan  yang dijanjikan;  c.  Hak  atas  informasi  yang  benar,  jelas  dan  jujur  mengenai  kondisi  dan  jaminan barang dan/atau jasa;  d.  Hak untuk didengar pendapat dan keluhan atas barang dan/atau jasa yang  digunakan;  e.  Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian  sengketa perlindungan konsumen secara patut;  f.  Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;  g.  Hak  untuk  diperlakukan  dan  dilayani  secara  benar  dan  jujur  serta  tidak  diskriminatif;    h.  Hak  untuk  mendapatkan  kompensasi,  ganti  rugi  dan/atau  penggantian,  apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian  atau tidak sebagaimana mestinya;  i.  Hak-hak  yang  diatur  dalam  ketentuan  peraturan  perUndang-Undangan  lainnya.
Hak-hak tersebut diatas merupakan  hak  yang sudah melekat bagi  siapapun  yang  berkedudukan  sebagai  konsumen,  sekaligus  sebagai  subjek  hukum.  Dengan  demikian  adalah  merupakan  suatu  kebebasan  bagi  konsumen  untuk  dapat  mempresentasikan hak-hak tersebut kedalam suatu wadah atau kelompok.
 Suatu  hubungan  hukum  akan  menimbulkan  hak  dan  kewajiban  dari  masing-masing  pihak.  Sebelum  konsumen  mengajukan  tuntutan  terhadap  hakhaknya,  sebaiknya  konsumen  melaksanakan  apa  yang  menjadi  kewajibannya.
Pasal 5 UUPK menjelaskan apa saja yang menjadi kewajiban konsumen, yaitu :  a.  Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau  pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;  b.  Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;  c.  Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;  d.  Mengikuti  upaya  penyelesaian  hukum  sengketa  perlindungan  konsumen  secara patut.
2.  Pelaku Usaha   Pelaku usaha dalam sehari-hari lebih dikenal dengan istilah pengusaha dan  memiliki  arti  yang  luas,  tidak  semata-mata  membicarakan  produsen,  tetapi  juga    pedagang  perantara  atau  pengusaha.
 Undang-Undang  Perlindungan  Konsumen  memberikan pengertian pelaku usaha yaitu setiap orang perseorangan atau badan  usaha,  baik  yang  berbentuk  badan  hukum  maupun  bukan  badan  hukum  yang  didirikan  dan  berkedudukan  atau  melakukan  kegiatan  dalam  wilayah  hukum  negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian  menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
 Pelaku  usaha  merupakan  salah  satu  dari  pelaku  ekonomi  yang  dibagi  dalam tiga kelompok pelaku usaha, yaitu :  a.  Investor,  yaitu  pelaku  usaha  penyedia  dana  untuk  membiayai  berbagai  kepentingan. Seperti perbankan, penyedia dana dan lain sebagainya.
b.  Produsen,  yaitu  pelaku  usaha  yang  membuat,  memproduksi  barang  dan/atau  jasa  dari  barang-barang  dan/atau  jasa-jasa  lain  (bahan  baku,  bahan tambahan/penolong dan bahan-bahan lainnya). Mereka dapat terdiri  dari  orang/badan  usaha  berkaitan  dengan  pangan,  orang/badan  yang  memproduksi  sandang,  orang/usaha  yang  berkaitan  dengan  pembuatan  perumahan,  orang/usaha  yang  berkaitan  dengan  jasa  angkutan,  perasuransian,  perbankan,  orang/usaha  berkaitan  dengan  obat-obatan,  kesehatan narkotika, dan lain sebagainya.
c.  Distributor,  yaitu  pelaku  usaha  yang  mendistribusikan  atau  memperdagangkan  barang  dan/atau  jasa  tersebut  kepada  masyarakat,   Mariam  Darus, Perlindungan  Konsumen  Dilihat  dari  Perjanjian  Baku  (standar),  Kertas Kerja  Pada Simposium Aspek-aspek  Hukum  Masalah  Perlindungan  Konsumen,  (Jakarta,  1980), hal. 57.
 Undang-Undang  Republik  Indonesia  Nomor  8  Tahun  1999  tentang  Perlindungan  Konsumen, Pasal 1 angka 3.    Sutedi, Op.cit,. hal. 11.
  seperti  pedagang  secara  retail,  pedagang  kaki  lima,  warung,  toko,  supermarket,  rumah  sakit,  “warung  dokter”,  usaha  angkutan  (darat,  laut,  udara), kantor pengacara, dan sebagainya.
3.  Pemerintah   Ketatnya  persaingan  antar  pelaku  usaha  dalam  menawarkan  produknya  kepada  konsumen  membentuk  suatu  keadaan  dimana  para  pelaku  usaha  dengan  tujuan  untuk  meraih  keuntungan  yang  sebanyak-banyaknya,  sering  kali  mengabaikan hak-hak konsumen dengan melanggar larangan-larangan yang telah  ditetapkan oleh pemerintah.
 Salah  satu  usaha  pemerintah  untuk  mengatasi  masalah  perlindungan  konsumen  adalah  dengan  memberlakukan  Undang-Undang  Perlindungan  Konsumen.  Agar  pelaksanaan  dan  penerapan  Undang-Undang  Perlindungan  Konsumen  berjalan  dengan  baik,  maka  pemerintah  menerbitkan  peraturan  pelaksanaannya antara lain tentang :  a.  Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2001 tanggal 21 Juli 2001 tentang  Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN);  b.  Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tanggal 21 Juli 2001 tentang  Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen;  c.  Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2001 tanggal 21 Juli 2001 tentang  Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat(LPKSM);  d.  Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 90 Tahun 2001 tanggal 21  Juli 2001 tentang Pembentukan  Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen    (BPSK)  pada  kota  Medan,  Palembang,  Jakarta  Pusat,  Jakarta  Barat,  Bandung, Semarang, Yogyakarta, Malang Surabaya dan Makassar;  e.  Keputusan  Menteri  Perindustrian  dan  Perdagangan  Nomor  31/MPP/Kep/10/2001  tanggal  24  Oktober  2001  tentang  Pengangkatan,  Pemberhentian  Anggota  dan  Sekretariat  Badan  Penyelesaian  Sengketa  Konsumen;  f.  Keputusan  Menteri  Perindustrian  dan  Perdagangan  Nomor  252/MPP/Kep/10/2001  tanggal  24  Oktober  2001  tentang  Pendaftaran  Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.
 Selain  memberlakukan  beberapa  peraturan-peraturan  perUndangUndangan  sebagai  pelaksana  UUPK,  pemerintah  juga  mendirikan  beberapa  lembaga untuk membantu dalam menyelesaikan masalah konsumen  yaitu Badan  Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang diatur juga dalam UUPK.
4.  Barang dan/atau Jasa   Menurut UUPK, barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak  berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak  dapat dihabiskan,  yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau  dimanfaatkan  oleh  konsumen.
 Undang-Undang  Perlindungan  Konsumen  juga  memberikan batasan terhadap jasa yaitu setiap layanan yang berbentuk pekerjaan  atau  prestasi  yang  disediakan  bagi  masyarakat  untuk  dimanfaatkan  oleh  konsumen.
 Undang-Undang  Republik  Indonesia  Nomor  8  Tahun  1999  tentang  Perlindungan  Konsumen, Pasal 1 angka 4.
  Dalam Pasal 45 ayat 1 UUPK Pasal 45 ayat 1 UUPK menyatakan setiap  konsumen  yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui  lembaga  yang  bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui  peradilan  yang  berada  di  lingkungan  peradilan  umum.  Penyelesaian  sengketa  konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan  pilihan  sukarela  para  pihak  yang  bersengketa.
 Penyelesaian  sengketa  di  luar  pengadilan  tidak  menghilangkan  tanggung  jawab  pidana  sebagaimana  diatur  dalam Undang-Undang dan Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa di  luar  pengadilan,  gugatan  melalui  pengadilan  hanya  dapat  ditempuh  jika  upaya  tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang  bersengketa..
  Berkenaan dengan sengketa ini pemerintah telah membentuk suatu badan  yang  bertugas  menangani  dan  menyelesaikan  sengketa  antara  pelaku  usaha  dan  konsumen  yang  dikenal  dengan  nama  Badan  Penyelesaian  Sengketa  Konsumen  BPSK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 11 UUPK yang pendiriannya  berdasarkan  Keputusan  Presiden  Republik  Indonesia  Nomor  90  Tahun  2001  tanggal  21  Juli  2001  tentang  Pembentukan  Badan  Penyelesaian  Sengketa  Konsumen  (BPSK)  pada  kota  Medan,  Palembang,  Jakarta  Pusat,  Jakarta  Barat,  Bandung, Semarang, Yogyakarta, Malang Surabaya dan Makassar.
 Ibid., Pasal 45 ayat 2.
 Ibid., Pasal 45 ayat 3 dan 4.
  F. Metode Penulisan  1. Pendekatan Penelitian   Dalam penulisan skripsi ini digunakan metode penelitian normatif (yuridis  normatif). Penelitian hukum normatif biasanya dilakukan dengan cara penelitian  kepustakaan  maka  disebut  juga  dengan  metode  kepustakaan.  Penelitian  Hukum  Normatif adalah penelitian dengan  hanya mengolah dan menggunakan data-data  sekunder  yang  berkaitan  pelaku  usahakartu  seluler  sebagai  penyedia  jasa  telekomunikasi.
2. Sumber Data   Materi dalam skripsi ini diambil dari data-data sekunder :  a.  Bahan hukum primer, yaitu :  Dokumen  peraturan  yang  mengikat  dan  ditetapkan  oleh pihak  yang  berwenang.
Dalam  tulisan  ini  antara  lain  Undang-Undang  Nomor  8  Tahun  1999  tentang  Perlindungan Konsumen dan peraturan-peraturan lainnya.
b.  Bahan hukum sekunder, yaitu :  Semua  dokumen  yang  merupakan  informasi  ,  atau  hasil  kajian  tentang  perlindungan  konsumen,  tanggung  jawab  pelaku  usaha  terhadap  kerugian  konsumen, seperti karya tulis ilmiah, jurnal-jurnal hukum, majalah-majalah, serta  sumber dari internet yang berkaitan dengan persoalan di atas.
c.  Bahan hukum tersier, yaitu :  Semua dokumen yang berisi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum  primer dan hukum sekunder, seperti kamus, ensiklopedi, dan lain-lain.
  3. Analisis Data   Bahan  hukum  primer  dan  bahan  hukum  sekunder  yang  telah  disusun  secara  sistematis  kemudian  dianalisa  secara  perspektif  dengan  meggunakan  metode  kualitatif  karena  penelitian  ini  kepustakaan  yang  menggunakan  data  sekunder.  Metode  kualitatif  adalah  tata  cara  penelitian  yang  menghasilkan  penelitian yang bersifat deskriptif analitis.
G. Sistematika Penulisan   Skripsi ini dibahas dalam lima bab yang terdiri dari pendahuluan, tinjauan  umum  terhadap  perlindungan  hukum  konsumen  di  Indonesia,  tanggung  jawab  pelaku  usaha  terhadap  konsumen  menurut  Undang-Undang  No.  8  Tahun  1999  tentang  Perlindungan  Konsumen,  studi  putusan  PN  No.  206/Pdt.  G/2006  mengenai  tanggung  jawab  pelaku  usaha  terhadap  kerugian  yang  diderita  konsumen serta kesimpulan dan saran.
BAB I  PENDAHULUAN   Ban  ini  menguraikan  latar  belakang  masalah  yang  menjadi  dasar  penulisan.  Kemudian  berdasarkan  latar  belakang  masalah  tersebut  dibuat  rumusan  masalah  dan  tujuan  penulisan.  Bab  ini  juga  menjelaskan tentang keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode  penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II  PERLINDUNGAN  HUKUM  TERHADAP  KONSUMEN  DI  INDONESIA.
  Pada  bab  ini  menjelaskan  tentang  tinjauan  umum  terhadap  hukum  perlindungan  konsumen  di  Indonesia  yang  antara  lain  membahas  perkembangan  perlindungan  konsumen  di  Indonesia,  pengertian  dan  cakupan hukum perlindungan konsumen di Indonesia, asas dan tujuan  dalam  perlindungan  konsumen,  serta  bentuk  perlindungan  hukum  terhadap konsumen di Indonesia.
BAB III  TANGGUNG  JAWAB  PELAKU  USAHA  TERHADAP  KONSUMEN  MENURUT  UU  No.  8  TAHUN  1999  TENTANG  PERLINDUNGAN KONSUMEN.
 Pada  bab  ini  menjelaskan  tentang  tanggung  jawab  pelaku  usaha  terhadap  konsumen  menurut  Undang-Undang  Nomor  8  Tahun  1999  tentang  Perlindungan  Konsumen  yang  membahas  tentang  hak  dan  kewajiban pelaku usaha berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun  1999,  tanggung  jawab  pelaku  usaha,  serta  bentuk  tanggung  jawab  pelaku usaha bila terjadi kerugian terhadap konsumen.
BAB IV  IMPLEMENTASI  PENEGAKAN  UNDANG-UNDANG  NO.  8  TAHUN  1999  dalam  hal  TANGGUNG  JAWAB  PELAKU  USAHA MENGENAI GANTI RUGI TERHADAP KONSUMEN  BERDASARKAN PUTUSAN PN NO. 206/PDT. G/2006   Pada  bab  ini  penulis  menjelaskan  tentang  posisi  sengketa  perlindungan  konsumen  Excelcomindo,  analisa  putusan  PN  No.
206/Pdt.  G/2006  antara  John  Parlyn  Sinaga  (Penggugat)   melawan  PT.Excelcomindo.  Tbk  (Tergugat)  serta  penyelesaian  sengketa    pelanggaran perlindungan konsumen menurut Undang-Undang No. 8  Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.
BAB V  KESIMPULAN dan SARAN  Bab  ini  penulis  akan  memberikan  kesimpulan  dari  pembahasanpembahasan  dari  permasalahan-permasalahan  yang  diangkat  dalam  skripsi  ini  dan  mencoba  memberikan  beberapa  saran  kepada  pihakpihak yang berkepentingan.
  

Download lengkap Versi Word

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi