Sabtu, 05 April 2014

Skripsi Hukum: TINDAKAN PASSING OFF DALAM PENEGAKKAN HUKUM MEREK TERKAIT PERLINDUNGAN KONSUMEN



 BAB I PENDAHULUAN 
A. Latar Belakang   
Perkembangan kegiatan bidang ekonomi dan perdagangan negara-negara  di dunia pada dasawarsa belakangan ini didorong oleh arus globalisasi yang  menyebabkan sistem informasi, komunikasi dan transportasi jauh lebih mudah  sehingga produk barang atau jasa dari negara lain akan dengan cepat diperoleh.

Kegiatan ekonomi dan perdagangan yang semakin meningkat ini juga sebagaian  berasal dari produk-produk kekayaan intelektual seperti karya cipta, merek  maupun penemuan-penemuan di bidang teknologi. Indonesia sebagai negara  berkembang perlu mencermati dan memahaminya guna mengantisipasi  permasalahan yang akan timbul sehubungan dengan hak kekayaan intelektual  yaitu dengan memberikan perlindungan hukum.
Dalam perdagangan barang atau jasa, merek sebagai salah satu bentuk  karya intelektual memiliki peranan yang penting bagi kelancaran dan peningkatan  perdagangan barang atau jasa. Merek memiliki nilai yang strategis dan penting  baik bagi produsen maupun konsumen. Bagi produsen, merek selain untuk  membedakan produknya dengan produk perusahaan lain yang sejenis, juga  dimaksudkan untuk membangun citra perusahaan khususnya dalam pemasaran.
  Muhamad Djumhana, Perkembangan Doktrin dan Teori Perlindungan Hak Kekayaan  Intelektual, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2006), hal. 78.
Bagi konsumen, merek selain mempermudah pengidentifikasian juga menjadi  simbol harga diri. Masyarakat yang sudah terbiasa dengan pilihan barang dari    merek tertentu, cenderung untuk menggunakan barang dengan merek tersebut  seterusnya dengan berbagai alasan seperti  karena sudah mengenal lama,  terpercaya kualitas produknya, dan lain-lain sehingga fungsi merek sebagai  jaminan kualitas semakin nyata, khususnya terkait dengan produk-produk  bereputasi.
 Merek menurut Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek  (selanjutnya disebut UU Merek 2001) Pasal 2 meliputi merek dagang dan merek  jasa. Merek itu sendiri menurut UU Merek 2001 Pasal 1 angka 1 adalah tanda  yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau  kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan  dalam kegiatan perdagangan barang atau  jasa. Dari rumusan tersebut dapat  diketahui bahwa merek:  1. tanda berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna  atau kombinasi dari gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan  warna tersebut; 2. memiliki daya pembeda (distinctive) dengan merek lain yang sejenis; 3. digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa yang sejenis.
Menyimak rumusan pengertian merek yang disebutkan diatas, merek berfungsi sebagai pembeda dari produk barang atau jasa yang dibuat oleh  seseorang atau badan hukum dengan produk barang atau jasa yang dibuat  seseorang atau badan hukum lain.
  Ibid.
Dari pihak produsen, merek digunakan untuk   Rahmadi Usman, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual Perlindungan dan Dimensi  Hukumnya di Indonesia, (Bandung: PT. Alumni, 2003), hal. 321.
 Ibid., hal.322.     jaminan nilai hasil produksinya khususnya mengenai kualitas, kemudahan  pemakaian atau hal-hal lain yang pada umumnya berkenaan dengan teknologinya  sedangkan dari pihak konsumen merek diperlukan untuk mengadakan pilihan  barang yang akan dibeli.
 Mengingat merek mempunyai peran yang sangat penting dalam  perdagangan barang atau jasa dan padanya melekat hak ekonomis, banyak terjadi  pelanggaran merek terutama pada merek-merek terkenal. Dulu pelanggaran merek  dilakukan dengan memasang merek dan logo persis dengan yang asli, pemalsuan,  mereknya sama secara keseluruhan. Sekarang penggunaan merek yang mirip  dengan merek lain yang sudah terdaftar serta penggunaan merek yang sama dan  atau mirip dengan merek lain sehingga menimbulkan kesalahan persepsi di benak  masyarakat sudah mulai marak. Modus pelanggaran merek telah bergerak ke  tingkat yang lebih canggih. Pelanggaran merek ini disebut  passing off  (pemboncengan reputasi).
Passing off secara kepustakaan hukum Indonesia belum begitu dikenal,  dengan demikian maka istilahnya pun masih seluruhnya asing. Passing off  memang merupakan pranata yang dikenal dalam sistem hukum Common Law.
Pemboncengan merek sering disebut dengan passing off  atau pemboncengan  reputasi dimana perbuatan yang mencoba meraih keuntungan dengan cara  membonceng reputasi (nama baik) sehingga dapat menyebabkan tipu muslihat  atau penyesatan. Perbuatan passing off ini obyeknya adalah merek terkenal dan  biasanya tidak menggunakan merek terkenal secara keseluruhan tetapi hanya   Harsono Adisumarto, Hak Milik Intelektual Khususnya Paten dan Merek: Hak Milik  Perindustrian (Industrial Property), (Jakarta: CV. Akademika Pressindo, 1990), hal. 45.
  persamaan pada pokoknya saja sehingga menimbulkan salah persepsi atau  menimbulkan kesan seolah-olah merek tersebut merupakan merek yang sudah  terkenal yang menjadi obyek passing off-nya.
Dalam dunia perdagangan terdapat perbedaan tingkat derajat sentuhan  kemashuran  yang dimiliki oleh merek, tingkatan merek tersebut dimulai dari  merek biasa atau “normal mark” kemudian merek terkenal atau “well-known  mark” dan yang tertinggi ialah merek termashur atau “famous mark”. Merek  produk (baik barang maupun jasa) tertentu yang sudah menjadi terkenal dan laku  di pasar tentu saja akan cenderung membuat produsen atau pengusaha lainya  memacu produknya bersaing dengan merek terkenal, bahkan dalam hal ini  akhirnya muncul persaingan tidak sehat. Merek terkenal sering menjadi obyek  pelanggaran karena terkait dengan reputasi yang dimiliki oleh merek terkenal  tersebut sehingga seringkali menggoda pihak-pihak lain yang beritikad buruk  untuk membonceng dengan cara-cara yang melanggar etika bisnis, norma  kesusilaan maupun hukum. Melalui merek sebuah perusahaan telah membangun  suatu karakter terhadap produk-produknya yang diharapkan akan dapat  membentuk reputasi bisnis atas penggunaan merek tersebut. Padahal untuk  membangun sebuah reputasi merek memerlukan biaya yang yang tidak sedikit dan  waktu yang cukup lama  serta hal lain yang juga tidak kalah penting bahwa  reputasi yang baik akan menimbulkan kepercayaan dari konsumen. Karena itu,  perusahaan-perusahaan cenderung berupaya untuk mencegah orang/perusahaan  lain untuk menggunakan merek tersebut dalam produk-produknya.
  Dalam passing off terkait erat dengan apa yang disebut goodwill, goodwill  sering digunakan dalam arti yang bersamaan dengan kata reputasi yaitu sebagai  sesuatu yang melekat dalam merek dan selain itu kata goodwill sering juga  diartikan sebagai “itikad baik”. Goodwill juga dapat diartikan suatu kebaikan yang  bermanfaat dan bersifat menguntungkan dari nama baik, reputasi dan  keterkaitannya dalam usaha bisnis. Reputasi atau goodwill dalam dunia bisnis  dipandang sebagai kunci sukses atau kegagalan dari sebuah perusahaan sehingga  reputasi atau goodwill sangatlah penting bagi produsen karena meyakinkan pihak  konsumen untuk membeli produknya.
 Ada contoh kasus passing off yang terkenal di Indonesia adalah kasus  merek “AQUA”. Pemilik merek AQUA yaitu PT Aqua Golden Mississipi merasa  pesaingnya melakukan tindakan mendopleng reputasinya dengan cara memiripmiripkan merek berupa pencantuman merek “CLUB AQUA” serta merek  “AQUARIA” juga warna-warna yang dipakai untuk merek-merek yang  bersangkutan, bentuk, ukuran atau format dan kesan selanjutnya dari merek-merek  yang bersangkutan.
 Pemboncengan reputasi ini tidak hanya merugikan produsen sebagai  pemilik merek terkenal suatu produk namun juga  merugikan konsumen.
Dari kasus ini dapat dilihat pemilik merek “CLUB AQUA”  dan merek “AQUARIA” tidak mempunyai itikad baik dalam memakai merek  dagangnya, si pemilik ingin cepat mendapatkan keuntungan dan ketenaran dengan  mendompleng atau membonceng reputasi dari merek “AQUA”.
 Dwi Agustine Kurniasih, Perlindungan Hukum Pemilik Merek Terdaftar Dari Perbuatan  Passing Off (Pemboncengan Reputasi), Media HKI Buletin Informasi dan Keragaman HKI, Vol.
V/No. 6/Desember 2008, hal. 4.
 Muhammad Djumhana dan R. Djubaedillah, Hak Milik Intelektual Sejarah , Teori dan  Prakteknya di Indonesia, (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 240.
  Konsumen biasanya dalam memilih produk mereka lebih dahulu melihat  mereknya dan biasanya merek yang terkenal memiliki kualitas produk yang baik  pula. Dengan adanya passing off  ini konsumen akan mendapat barang dengan  kualitas yang lebih rendah dari aslinya bahkan dapat membahayakan keselamatan  ataupun kesehatan konsumen tersebut. Jadi dalam passing off ada dua pihak yang  dirugikan yaitu produsen atau pelaku usaha yang memiliki merek terkenal dan  konsumen sebagai pemakai produk terkenal  disamping pada akhirnya akan  merugikan iklim usaha di Indonesia sendiri.
Berdasarkan hal tersebut diatas merek terkenal perlu mendapat  perlindungan dan berkaitan dengan perlindungan merek, perdagangan tidak akan  berkembang baik jika merek tidak mendapat perlindungan hukum yang memadai  di suatu negara. Perlindungan hukum di bidang merek di Indonesia sudah ada  sejak 1961 melalui Undang-Undang Nomor 21 tentang Merek Perusahaan dan  Merek Perniagaan. Kemudian Undang-Undang tersebut diganti dengan UndangUndang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek. Seiring dengan perkembangan  perdagangan dunia yang melahirkan WTO (World Trade Organisation) dengan  TRIPs (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights) sebagai  lampirannya, maka ketentuan mengenai merek diperbaharui terus hingga  melahirkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek yang disahkan  dan diundangkan pada 1 Agustus 2001.
Meskipun kita memiliki UU Merek 2001 namun mengenai perlindungan  merek dari passing off belum diatur, tetapi bukan berarti perbuatan seperti itu  tidak diatur dalam peraturan yang ada di Indonesia namun aturan-aturan mengenai    perbuatan tersebut tidak diatur secara jelas dan khusus sehingga tidak ada  kepastian hukum yang jelas dalam menindak lanjuti perbuatan passing off  atau  pemboncengan reputasi ini, sedangkan dalam kasus yang terjadi di Indonesia  dibilang cukup banyak.
Selain pemilik merek terkenal yang perlu mendapatkan perlindungan  dalam passing off, konsumen pun perlu mendapat perlindungan. Hal tersebut  disebabkan karena konsumen merupakan pengguna suatu produk dan  suatu  produk sangat erat kaitannya dengan merek. Sehingga konsumen yang biasanya  sudah terikat menggunakan produk dengan merek tertentu dengan adanya passing  off  sudah pasti konsumen mengalami kerugian karena mengkonsumsi secara  keliru produk tertentu yang kualitasnya berbeda dengan produk yang biasa ia  konsumsi. Indonesia telah memiliki undang-undang yang dapat memberikan  perlindungan kepada konsumen. Undang-undang itu adalah Undang-Undang  Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang diundangkan pada  tanggal 20 April 1999 dan berlaku satu tahun setelah diundangkan.
Masalah passing off adalah masalah yang terjadi pada merek terutama  merek terkenal yang mana terjadi sebuah pemboncengan reputasi sehingga akan  dapat merugikan pihak produsen yang sudah memiliki reputasi baik dan terhadap  konsumen yang telah dirugikan, sehingga kita dapat kaitkan juga terhadap  perlindungan konsumen yang mana konsumen telah dirugikan dalam perbuatan  passing off  atau pemboncengan reputasi ini.
  Berkaitan  dengan  hal-hal  yang telah diuraikan diatas, penulis tertarik  untuk memilih judul “Tindakan Passing Off dalam Penegakan Hukum Merek  Terkait Perlindungan Konsumen”.
B. Perumusan Masalah Adapun yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah  mengenai hal-hal berikut : 1.  Bagaimanakah pengaturan  passing off  dalam sistem hukum merek  Indonesia?  2.  Bagaimanakah penegakan hukum merek dalam tindakan passing off di  Indonesia?  3.  Bagaimanakah upaya pemberian perlindungan hukum terhadap konsumen dari akibat tindakan passing off?  C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Penulisan dalam rangka penyusunan skripsi ini mempunyai tujuan yang  hendak dicapai, sehingga penulisan skripsi ini akan lebih terarah dan dapat  mencapai sasarannya. Adapun penulisan ini bertujuan : 1.  Untuk mengetahui pengaturan passing off  dalam sistem hukum merek  Indonesia.
2.  Untuk mengetahui penegakan hukum merek dalam tindakan passing off di  Indonesia.
  3.  Untuk mengetahui upaya pemberian perlindungan hukum terhadap  konsumen dari akibat tindakan passing off.
Manfaat penulisan yang diharapkan melalui penulisan skripsi ini adalah : 1.  Secara Teoritis Skripsi ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi ilmu pengetahuan  khususnya untuk menambah wawasan bagi kalangan akademik tentang tindakan  passing off  dalam penegakan hukum hak merek terkait perlindungan konsumen.
2.  Secara Praktis Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan bahan informasi dan  masukan baik bagi pemerintah maupun semua pihak yang terkait dalam rangka  penyiapan dan penyempurnaan perangkat hukum serta kebijakan yang ditempuh  bagi upaya perlindungan konsumen terkait dengan adanya tindakan passing off  hukum merek.
D. Keaslian Penulisan Judul yang penulis pilih adalah “TINDAKAN PASSING OFF  DALAM  PENEGAKAN HUKUM MEREK TERKAIT PERLINDUNGAN  KONSUMEN”, yang diajukan dalam rangka memenuhi tugas-tugas dan syarat  untuk memperoleh gelar “Sarjana Hukum”. Judul skripsi ini belum pernah ditulis  di Fakultas Hukum . Penulisan ini berdasarkan  referensi buku-buku, media cetak, dan elektronik. Oleh karena itu penulisan ini  merupakan sebuah karya asli sehingga tulisan ini dapat di pertanggungjawabkan.
  E. Tinjauan Kepustakaaan Adapun judul yang dikemukakan penulis adalah “Tindakan Passing Off  dalam Penegakan Hukum Merek Terkait Perlindungan Konsumen”, maka  sebelumnya diuraikan lebih lanjut, terlebih dahulu penulis akan memberikan  penjelasan  tentang  pengertian judul dengan maksud untuk menghindarkan  kesalahpahaman dan memberikan pembatasan yang jelas.
Indonesia mengenal hak merek pertama kali pada saat dikeluarkannya  Undang-Undang Hak Milik Perindustrian yaitu Reglement Industrieele Eigendom  Kolonien Stb 545 Tahun 1912 yang kemudian diganti dengan Undang-Undang  Merek No. 21 Tahun 1961 dan diganti pula dengan Undang-Undang No.19 Tahun  1992 tentang Merek yang diubah dengan Undang-Undang Merek No. 14 Tahun  1997 tentang Perubahan Undang-Undang No. 19 Tahun 1992 tentang Merek dan  terakhir adalah undang-undang yang berlaku saat ini yaitu Undang-Undang No.
15 Tahun 2001 tentang Merek (selanjutnya disebut UU Merek 2001).
Meskipun Indonesia telah memiliki undang-undang tentang merek  (merupakan bagian dari Hak Kekayaan Intelektual (HKI)) sejak tahun 1961,  namun dalam melakukan kerjasama internasional Indonesia baru resmi menjadi  anggota Organisasi HKI Dunia/World Intellectual Property Organization (WIPO)  pada tahun 1979 dengan meratifikasi  Convention Establising the World  Intellectual Property Organization melalui Keputusan Presiden No. 24 Tahun  1979 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden No. 15 Tahun 19 dan melalui Keputusan Presiden yang sama diratifikasi pula Paris Convention  sedangkan Bern Convention diratifikasi sesuai Keputusan Presiden No. 18 Tahun    1997.
 Dengan demikian Indonesia harus tunduk pada ketentuan-ketentuan yang  disepakati oleh WIPO seperti Paris Convention yang mengatur mengenai  perlindungan hak milik perindustrian meliputi paten, model dan rancang bangun  (utility models), desain industri (industrial designs), merek dagang (trademarks),  nama dagang (trade name) dan persaingan curang (unfair competition) dan Bern  Convention yang menyangkut mengenai karya kesusasteraan dan kesenian  (literary and artistic works) yang meliputi pula semua karya yang dihasilkan  dalam bidang kesusasteraan, kesenian dan ilmu pengetahuan.
 Indonesia juga menjadi anggota Organisasi Perdagangan Dunia/World  Trade Organisation (WTO) dengan menandatangani  Agreement Estabilishing  The World Organization dan meratifikasinya dalam Undang-Undang No. 7 tahun  1994 tentang Pengesahan Agreement Estabilishing The World Organization yang  berarti pula berkewajiban mempedomani persetujuan tersebut ke dalam legislasi  nasionalnya. Sesuai dengan kesepakatan internasional  bahwa pada tanggal  Januari 2000 Indonesia sudah harus menerapakan semua perjanjian-perjanjian  yang ada dalam kerangka TRIPs (Trade Related Aspects of Intellectual Property  Right, Inculding Trade in Counterfeit Good), penerapan semua ketentuanketentuan yang ada dalam TRIPs tersebut adalah merupakan konsekuensi Negara  Indonesia  sebagai anggota dari WTO.
Dalam Paris Convention di London tahun 1934, diberikan batasan apa  yang dimaksud dengan merek yaitu trade mark means visible sign serving to  distinguish the goods of one enterprise from tthose of the other enterprise, yang   Rahmadi Usman, Op.cit., hal. 5.
 Ibid., hal. 4.
  terjemahan bebasnya merek adalah setiap tanda yang jelas dari perusahaan untuk  membedakan barang dari suatu perusahaan dengan barang dari perusahaan lain.
Para sarjana juga banyak yang memberikan pengertian terhadap merek ini  diantaranya, Soekardono yang menyatakan merek adalah sebuah tanda dengan  mana dipribadikan sebuah barang tertentu dimana perlu juga untuk  mempribadikan asalnya barang atau menjamin kualitas barang dalam  perbandingan dengan barang-barang yang sejenis yang dibuat atau diperniagakan  oleh orang-orang atau badan-badan perusahaan lain.
 H.M.N Purwo Sutjipto juga memberikan rumusan bahwa merek adalah suatu tanda dengan mana suatu benda  tertentu di pribadikan, sehingga dapat di bedakan dengan benda lain yang  sejenis.
 Menurut Prof.Molengraaf merek yaitu dengan mana dipribadikanlah  suatu barang tertentu untuk menunjukkan asal barang dan jaminan kualitasnya  sehingga bisa dibandingkan dengan barang-barang sejenis yang dibuat dan  diperdagangkan oleh orang atau perusahaan lain.
 Seperti yang telah ditelah disebutkan sebelumnya, UU Merek 2001,  memberikan pengertian atas merek yaitu tanda yang berupa gambar, nama, kata,  huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi  dari unsur-unsur  tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan  barang atau jasa.
  R. Soekardono, Hukum Dagang Indonesia I, Cet.IX, (Jakarta: Dian Rakyat, 1983),  hal.149.
Dari pengertian tersebut, merek terdiri dari merek dagang dan   H.M.N Purwo Sutjipto, Perlindungan Merek Terkenal di Indonesia, (Bandung: Fakultas  Hukum Alumni UNPAR, 1999), hal. 21.
 Muhammad Djumhana dan R. Djubaedillah, Op.cit., hal.154.
 Undang-Undang Republik Indonesia No. 15 Tahun 2001 tentang Merek, Pasal  angka1.
  merek jasa.
 Merek dagang adalah merek yang digunakan pada barang yang  diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau  badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya,  contohnya, Teh Botol Sosro, Kopi ABC, Kacang Garuda dan sejenisnya.
 Sedangkan merek  jasa adalah  merek yang digunakan pada jasa  yang  diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau  badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya, contohnya,  Toyota Rent-A-Car, Tabungan Siaga dan sejenisnya.
 Tetapi melihat pengertian yang diberikan oleh Paris Convention dan para  sarjana, merek masih sebatas merek dagang. Hal ini disebabkan pengakuan  terhadap merek jasa baru dilakukan dalam Paris Convention di Lisabon tahun  1958 sehingga sampai sekarang merek jasa termasuk dalam kategori merek.
 Suatu merek akan mendapat perlindungan hukum apabila didaftarkan  namun tidak semua hal yang mengenai merek dapat didaftarkan dan tidak semua  merek yang dapat didaftarkan terdaftar. Warna kemasan, tipe huruf dan tata letak  cetakan pembungkus suatu produk memberikan andil untuk kesuksesan  pemasaran suatu produk, tetapi hal-hal tersebut tidak dapat didaftarkan.
 Pada merek yang terdaftar, sebagai bentuk perlindungan hukum, diberikan  suatu hak kepada pemilik merek yang disebut hak atas merek. Hak atas merek  adalah hak eksklusif yang diberikan oleh  negara kepada pemilik merek yang   Undang-Undang Republik Indonesia No. 15 Tahun 2001 tentang Merek, Pasal 2.
 Undang-Undang Republik Indonesia No. 15 Tahun 2001 tentang Merek, Pasal 1 angka  2.
 Undang-Undang Republik Indonesia No. 15 Tahun 2001 tentang Merek, Pasal 1 angka  3.
 Muhammad Djumhana dan R. Djubaedillah, Loc.cit.
 Ibid., hal. 236.
  terdaftar dalam Daftar  Umum Merek untuk jangka waktu tertentu dengan  menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan izin kepada  seseorang,  beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum  untuk  menggunakannya.
 Izin yang diberikan oleh pemilik merek terdaftar kepada  pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pemberian hak (bukan pengalihan  hak) untuk menggunakan merek tersebut, baik untuk seluruh atau sebagian jenis  barang dan atau jasa yang didaftarkan dalam jangka waktu dan syarat tertentu  dikenal dengan nama lisensi.
 Oleh karena suatu merek memberi hak khusus atau  hak mutlak pada yang bersangkutan, maka hak itu dapat dipertahankan terhadap  siapapun dan hak atas merek diberikan kepada pemilik merek yang beritikad baik  serta pemakaiannya meliputi pula barang ataupun jasa.
 Perlindungan hukum diberikan dalam jangka waktu selama sepuluh tahun  terhitung sejak tanggal penerimaan dan dapat diperpanjang.
 Pemilik Merek  terdaftar  atau kuasanya setiap kali dapat mengajukan permohonan perpanjangan  untuk jangka waktu yang sama secara tertulis dalam jangka waktu dua belas bulan  sebelum berakhirnya jangka waktu perlindungan dan diajukan kepada Direktorat  Jenderal HKI.
 Dan untuk perjanjian lisensi yang berlaku di seluruh wilayah  negara Republik Indonesia jangka waktunya tidak lebih lama dari jangka waktu  perlindungan merek terdaftar yang bersangkutan.
  Undang-Undang Republik Indonesia No. 15 Tahun 2001 tentang Merek, Pasal 3.
 Ahmadi Miru, Hukum Merek Cara Mudah Mempelajari Undang-Undang Merek,  (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005),hal. 63.
 Muhammad Djumhana dan R. Djubaedillah, Op.cit., hal.163.
 Undang-Undang Republik Indonesia No. 15 Tahun 2001 tentang Merek, Pasal 28.
 Undang-Undang Republik Indonesia No. 15 Tahun 2001 tentang Merek, Pasal 35.
 Ahmadi Miru, Loc.cit.
  Untuk dapat memperoleh hak atas merek tersebut suatu merek harus  didaftarkan dan ada dua sistem untuk memperoleh hak atas merek yaitu:  1. Sistem Deklaratif (passief stelsel)  Menurut sistem ini pemakai pertamalah yang menciptakan suatu hak atas merek  Hak atas merek diberikan kepada pihak yang pertama kali memakai merek  tersebut. Pendaftaran tidak menerbitkan hak melainkan hanya memberikan dugaan  atau sangkaan hukum atau presumption iuris yaitu bahwa pihak yang mereknya  terdaftar itu adalah pihak yang berhak atas merek tersebut dan sebagai pemakai  pertama dari merek yang didaftarkan. Sistem ini kurang memberikan kepastian  hukum.
2. Sistem Konstitutif ( attributive stelsel)  Menurut sistem ini yang berhak atas suatu merek adalah pihak yang telah  mendaftarkan mereknya. Pendaftaran menciptakan suatu hak atas merek tersebut,  pihak yang mendaftarkan merupakan satu-satunya yang berhak atas suatu merek  dan pihak ketiga harus menghormati haknya si pendaftar sebagai hak mutlak  (monopoli). Pendaftaranlah yang akan memberikan perlindungan terhadap suatu  merek. Meskipun demikian bagi merek yang tidak terdaftar tetapi luas  pemakaiannya dalam perdagangan (well known trademark) juga diberikan  perlindungan terutama dari tindakan persaingan yang tidak jujur. Sistem ini lebih  memiliki kepastian hukum dan UU Merek 2001 memakai sistem konstitutif ini.
Merek yang memenuhi syarat-syarat dibawah inilah yang dapat  didaftarkan sebagai merek:   Ibid., hal. 173-175.
  1. mempunyai daya pembeda; 2. merupakan tanda pada barang atau jasa yang dapat berupa gambar (lukisan),  nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari  unsur-unsur tersebut; 3. tanda tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang  berlaku, moralitas agma, kesusilaan atau ketertiban umum; bukan tanda  bersifat umum dan tidak menjadi milik umum; atau bukan merupakan  keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohonkan  pendaftarannya; 4. tanda tersebut juga tidak mempunyai persamaan dengan merek lain yang  terdaftar lebih dahulu, merek terkenal atau indikasi geografis yang sudah  dikenal; 5. tidak merupakan, menyerupai atau tiruan tanda lainnya yang dimiliki oleh  suatu lembaga atau negara tertentu.
Merek tidak dapat didaftar atas permohonan yang diajukan oleh pemohon  yang beritikad tidak baik dan pemohon yang beritikad baik adalah pemohon yang  mendaftarkan mereknya secara layak dan jujur tanpa  ada niat apapun untuk  membonceng, meniru atau menjiplak ketenaran merek pihak lain demi  kepentingan usahanya yang berakibat kerugian pada pihak lain itu atau  menimbulkan kondisi persaingan curang, mengecoh atau menyesatkan konsumen  contohnya merek dagang A yang sudah dikenal masyarakat secara umum sejak  bertahun-tahun ditiru sedemikian rupa sehingga memiliki persamaan pada   Rahmadi Usman, Op.cit. hal. 331.
  pokoknya atau keseluruhannya dengan merek dagang A tersebut dan disini sudah  terjadi itikad tidak baik dari peniru karena setidak-tidaknyapatut diketahui unsure  kesengajaan dalam meniru merek dagang yang sudah dikenal tersebut.
 Dalam penjelasan Pasal 4 Undang-Undang Merek tersebut berarti dapat  kita ketahui pemohon yang tidak baik itu adalah yang melakukan pemboncengan,  peniruan, penjiplakan ketenaran merek pihak lain demi kepentingan usahanya  yang berakibat kerugian pada pihak lain itu atau menimbulkan kondisi persaingan  curang, mengecoh atau menyesatkan konsumen.
Sehubungan dengan adanya pemboncengan ketenaran merek pihak lain  atau passing off  yang menimbulkan salah satu kondisi yaitu mengecoh atau  menyesatkan konsumen maka konsumen perlu dilindungi dari akibat tindakan  passing off. Perlindungan konsumen itu sendiri menurut Undang-Undang  Perlindungan Konsumen (UUPK), UU No. 8 Tahun 1999 Pasal 1 angka 1 adalah  segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan  perlindungan kepada konsumen. Rumusan pengertian perlindungan konsumen  yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 UUPK tersebut cukup memadai. Kalimat  yang menyatakan “segala upaya  yang menjamin adanya kepastian hukum”,  diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang  merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan  konsumen.
  Undang-Undang Republik Indonesia No. 15 Tahun 2001 tentang Merek, Pasal 4 dan  penjelasannya.
Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan,  keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.
 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Raja  Grafindo Persada, 2004), hal. 1.
  Ada pun pihak-pihak dan istilah yang terkait di dalam perlindungan  konsumen, yaitu : 1.  Konsumen Istilah konsumen berasal dari kata  consumer (Inggris-Amerika) atau  consument/konsument  (Belanda). Secara  harafiah arti kata consumer  adalah  “(lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang”, sedangkan  menurut Kamus Bahasa Inggris-Indonesia, consumer adalah “ pemakai atau  konsumen”.
Sebelum lahirnya UUPK, batasan dan pengertian tentang konsumen masih  rancu. Istilah konsumen telah dimuat pertama kali dalam TAP MPR No.
II/MPR/119 Bab IV huruf f butir 4a tentang GBHN dan selanjutnya disinggung  sedikit dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Tidak satupun  menjelaskan pengertian konsumen. Untuk memperkecil lingkup pengertian  konsumen, maka pengertian konsumen dapat terdiri dari tiga bagian, yaitu :  1.  Konsumen dalam arti umum adalah pemakai, pengguna dan/atau  pemanfaat barang dan/atau jasa untuk tujuan tertentu.
2.  Konsumen antara adalah pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang  dan/atau jasa untuk diproduksi (produsen) menjadi barang/jasa lain atau  untuk diproduksi (produsen) menjadi barang/jasa lain atau untuk  memperdagangkannya (distributor), dengan tujuan komersial. Konsumen  antara ini sama dengan pelaku usaha.
 Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen,  (Bogor : Ghalia Indonesia, 2008), hal. 10.
  3.  Konsumen akhir adalah pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang  dan/atau jasa konsumen untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, keluarga  atau rumah tangganya dan tidak untuk diperdagangkan kembali.
Setelah lahirnya UUPK, maka jenis konsumen yang dilindungi adalah  jenis konsumen akhir. Hal ini terlihat dari defenisi konsumen yang menjelaskan,  yaitu konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia  dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain  maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
 Selama ini sudah banyak konsumen yang sudah dirugikan baik secara  materiil maupun immateril oleh pelaku usaha, namun dari pihak konsumen  kurang usahanya untuk menuntut hak-haknya. Lahirnya UUPK memberikan  penjelasan mengenai apa saja yang menjadi hak-hak konsumen yang tercantum  dalam Pasal 4, yaitu : Selanjutnya  pengertian konsumen yang akan dibahas dalam penulisan ini adalah konsumen  akhir sesuai dengan pengertian konsumen dalam UUPK.
a.  Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi  barang dan/atau jasa; b.  Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang  dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan  yang dijanjikan; c.  Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan  jaminan barang dan/atau jasa;  Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan  Konsumen, Pasal 1 angka 2.
  d.  Hak untuk didengar pendapat dan keluhan atas barang dan/atau jasa yang  digunakan;  e.  Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian  sengketa perlindungan konsumen secara patut; f.  Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; g.  Hak untuk diperlakukan dan dilayani secara benar dan jujur serta tidak  diskriminatif; h.  Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,  apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian  atau tidak sebagaimana mestinya; i.  Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan  lainnya.
Suatu hubungan hukum akan menimbulkan hak dan kewajiban dari  masing-masing pihak. Sebelum konsumen mengajukan tuntutan terhadap hakhaknya, sebaiknya konsumen melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya.
Pasal 5 UUPK menjelaskan apa saja yang menjadi kewajiban konsumen, yaitu : a.  Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau  pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; b.  Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; c.  Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; d.  Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen  secara patut.
2.  Pelaku Usaha   Pelaku usaha dalam sehari-hari lebih dikenal dengan istilah pengusaha dan memiliki arti yang luas, tidak semata-mata membicarakan produsen, tetapi juga  pedagang perantara atau pengusaha.
 Undang-Undang Perlindungan Konsumen  memberikan pengertian pelaku usaha yaitu setiap orang perseorangan atau badan  usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang  didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum  negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui  perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
 Pelaku usaha merupakan salah satu dari pelaku ekonomi yang dibagi  dalam tiga kelompok pelaku usaha, yaitu :  1.  Investor, yaitu pelaku usaha penyedia dana untuk membiayai berbagai  kepentingan. Seperti perbankan, penyedia dana dan lain sebagainya.
2.  Produsen, yaitu pelaku usaha yang membuat, memproduksi barang  dan/atau jasa dari barang-barang dan/atau jasa-jasa lain (bahan baku,  bahan tambahan/penolong dan bahan-bahan lainnya). Mereka dapat terdiri  dari orang/badan usaha berkaitan dengan pangan, orang/badan yang  memproduksi sandang, orang/usaha yang berkaitan dengan pembuatan  perumahan, orang/usaha yang berkaitan dengan jasa angkutan,  perasuransian, perbankan, orang/usaha berkaitan dengan obat-obatan,  kesehatan narkotika, dan lain sebagainya.
 Mariam Darus, Perlindungan Konsumen Dilihat dari Perjanjian Baku (standar),  Kertas Kerja Pada Simposium Aspek-aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen, (Jakarta,  1980), hal. 57.
 Undang-Undang  Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan  Konsumen, Pasal 1 angka 3.    Adrian Sutedi, Op.cit,. hal. 11.
  3.  Distributor, yaitu pelaku usaha yang mendistribusikan atau  memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut kepada masyarakat,  seperti pedagang secara retail, pedagang kaki lima, warung, toko,  supermarket, rumah sakit, “warung dokter”, usaha angkutan (darat, laut,  udara), kantor pengacara, dan sebagainya.
Untuk menyeimbangkan hak-hak yang telah diberikan kepada konsumen,  maka pelaku usaha diberikan beberapa hak seperti yang tercantum dalam Pasal  UUPK yaitu : a.  Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan  mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang  diperdagangkan;  b.  Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang  beritikad baik; c.  Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian  hukum sengketa konsumen; d.  Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa  kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang  diperdagangkan, hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan  perundang-undangan lainnya.
Sebagai konsekuensi dari adanya hak-hak pelaku usaha, maka kepada  pelaku usaha juga dibebankan beberapa kewajiban dalam menjalankan  usahanya. Kewajiban pelaku usaha tercantum dalam Pasal 7 UUPK yaitu : a.  Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;   b.  Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan  jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan  perbaikan dan pemeliharaan; c.  Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta  tidak diskriminatif; d.  Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau  diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa  yang berlaku; e.  Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba  barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas  barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; f.  Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat  penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang  diperdagangkan;  g.  Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang  dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan  perjanjian.
Selain hak dan kewajibannya, pelaku usaha juga mempunyai tanggung jawab  yang diatur dalam UUPK dari pasal 19 sampai dengan pasal 28. Tanggung jawab  pelaku usaha menurut UUPK meliputi: a.  tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan; b.  tanggung jawab ganti kerugian atas pencemaran; dan c.  tanggung jawab ganti kerugian atas kerugian konsumen.
  Pelaku usaha dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita  konsumen jika  a.  barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak  dimaksudkan untukdiedarkan; :  b.  cacat barang timbul pada kemudian hari; c.  cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang; d.  kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen; e. lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli  atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan.
3.  Pemerintah Para pelaku usaha seringkali  melakukan berbagai macam cara untuk  memasarkan dagangannya. Para pelaku usaha dengan orientasi untuk meraih  keuntungan yang sebanyak-banyaknya, sering kali mengabaikan hak-hak  konsumen dengan melanggar larangan-larangan yang telah ditetapkan oleh  pemerintah.  Pemerintah berperan sebagai regulator dan fasilitator didalam  memberikan perlindungan kepada konsumen.
4.  Barang dan/atau Jasa Istilah barang dan/atau jasa merupakan pengganti dari kata produk,  sedangkan kata produk itu sendiri dari bahasa Inggris, yaitu “product”. Menurut  Philip Kotler, yang dimaksud dengan produk adalah segala sesuatu yang dapat   Undang-Undang  Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan  Konsumen, Pasal 27.
  ditawarkan ke dalam pasar untuk diperhatikan, dimiliki, dipakai atau dikonsumsi  sehingga dapat memuaskan suatu keinginan atau sesuatu kebutuhan.
 Philip Khotler juga menyatakan bahwa produk terdiri dari dua macam,  yaitu berupa produk fisik (barang) dan jasa (kadang-kadang disebut produk  jasa). Philip Khotler memberikan pengertian tersendiri mengenai jasa, yaitu :  “berbagai tindakan atau kinerja yang ditawarkan suatu pihak kepada yang  lain yang pada dasarnya tidak dapat dilihat dan tidak menghasilkan hak  milik terhadap sesuatu. Produksinya dapat berkenaan dengan sebuah  produk fisik ataupun tidak.” Menurut UUPK, barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak  berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak  dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau  dimanfaatkan oleh konsumen.
 Undang-Undang Perlindungan Konsumen juga memberikan batasan  terhadap jasa yaitu setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang  disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.
Selain hal-hal tersebut diatas, biasanya dalam hubungan antara pelaku  usaha dengan konsumen tidak terlepas dari adanya sengketa/konflik yang terjadi  diantara mereka. Sengketa atau konflik umumnya bersumber dari adanya  perbedaan pendapat atau ketidak sesuaian diantara para pihak. Apabila pihakpihak tidak berhasil menemukan bentuk penyelesaian yang tepat dan  menguntungkan kedua belah pihak maka perbedaan ini dapat berakibat buruk bagi   Philip Kotler, Manajemen Pemasaran; Analisis, Perencanaan Implementasi, dan  Pengendalian (Marketing managements; Analysis,  Planning, Implementation, and Control),  diterjemahkan oleh Adi Zakaria Afiff, vol II, (Jakarta : Lembaga Penerbit FEUI, 1993), hal. 194.
 Ibid., hal. 229.
 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan  Konsumen, Pasal 1 angka 4.
  kelangsungan keduanya Oleh karena itu setiap menghadapi perbedaan pendapat  atau sengketa para pihak selalu berupaya menemukan cara-cara penyelesaian yang  dapat memuaskan mereka.
Dalam Pasal 45 ayat 1 UUPK Pasal 45 ayat 1 UUPK menyatakan setiap  konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang  bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui  peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.  Penyelesaian sengketa  konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan  pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.
 Penyelesaian sengketa di luar  pengadilan tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur  dalam Undang-undang dan Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa di  luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh jika upaya  tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang  bersengketa.
 Berkenaan dengan sengketa ini pemerintah telah membentuk suatu badan  ynag bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan  konsumen yang dikenal dengan nama Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen  BPSK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 11 UUPK yang pendiriannya  berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 90 Tahun 20 tanggal 21 Juli 2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa   Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan  Konsumen, Pasal 45 ayat 2.
 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan  Konsumen, Pasal 45 ayat 3 dan 4.
  Konsumen (BPSK) pada kota Medan, Palembang, Jakarta Pusat, Jakarta Barat,  Bandung, Semarang, Yogyakarta, Malang Surabaya dan Makassar.
F. Metode Penelitian Penelitian merupakan bagian pokok ilmu pengetahuan yang bertujuan  untuk mengetahui dan memahami segala kehidupan, atau lebih jelasnya penelitian  merupakan sarana yang dipergunakan oleh manusia untuk memperkuat, menguji,  serta mengembangkan ilmu pengetahuan.
 Untuk melengkapi penulisan skripsi ini agar tujuan dapat lebih terarah dan  dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, maka metode penulisan yang  digunakan antara lain : 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini disesuaikan  dengan permasalahan yang diangkat didalamnya. Dengan demikian, penelitian  yang dilaksanakan adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang  menganalisa hukum positif yang tertulis.
2. Sumber Data Penyusunan skripsi ini, data dan sumber data yang digunakan adalah data  sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier.  Data  sekunder adalah mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil  penelitian yang berwujud laporan dan sebagainya.
  Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1992), hal. 250.
 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rajawali  Pers, 2006), hal. 30.
  Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang terdiri dari peraturan  perundang-undangan di bidang Hukum Perlindungan Konsumen yang mengikat,  antara lain:  a.  Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
b.  Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
c.  Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.
d.  Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
e.  Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia  Nomor M. 03-Hc.02.01 Tahun 1991tentang Penolakan Permohonan Pendaftaran Merek  Terkenal atau Merek yang Mirip Merek Terkenal Milik Orang Lain atau  Milik Badan Lain.
Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan  terhadap bahan hukum primer yakni hasil karya para ahli hukum berupa bukubuku, pendapat-pendapat sarjana, yang berhubungan dengan pembahasan skripsi  ini.
Bahan hukum tersier atau bahan penunjang yaitu bahan hukum yang  memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer  dan/atau bahan hukum sekunder yakni kamus hukum dan Kamus Besar Bahasa  Indonesia.
3. Teknik Pengumpulan Data Dalam melakukan penulisan ini, penelitian yang dilakukan oleh penulis  adalah penelitian kepustakaan (library research) yang merupakan pengumpulan  data-data yang dilakukan  melalui literatur atau dari sumber bacaan buku-buku,    peraturan perundang-undangan, karya ilmiah para ahli, artikel-artikel baik dari  surat kabar, majalah, media elektronik dan bahan bacaan lain yang terkait dengan  penulisan skripsi ini, yang semuanya itu dimaksudkan untuk memperoleh datadata atau bahan-bahan yang bersifat teoritis yang dipergunakan sebagai dasar  dalam penelitian.
4. Analisis Data Penelitian yang dilakukan penulis dalam skripsi ini termasuk ke dalam  penelitian hukum normatif. Pengelolaan data pada hakekatnya merupakan  kegiatan untuk melakukan analisa terhadap permasalahan yang akan dibahas.
Analisis data dilakukan dengan : a.  Mengumpulkan bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan  yang diteliti.
b.  Memilih kaidah-kaidah hukum yang sesuai dengan penelitian c.  Menjelaskan hubungan-hubungan antara berbagai konsep pasal yang ada d.  Menarik kesimpulan dengan pendekatan deduktif dan induktif kualitatif G. Sistematika Penulisan Untuk memudahkan penulisan skripsi ini, maka akan diberikan gambaran  secara ringkas mengenai uraian dari bab ke bab yang berkaitan satu dengan  lainnya. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah : BAB I    PENDAHULUAN Pada bab ini menguraikan tentang Latar Belakang, Perumusan  Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metodologi Penelitian,    Sistematika Penulisan yang berkenaan dengan permasalahan yang  akan dibahas dalam skripsi ini.
BAB II  PENGATURAN PASSING OFF  DALAM SISTEM HUKUM  MEREK INDONESIA Pada bab ini akan dijelaskan  tentang Pengertian Passing Off,  Passing Off  dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang  Merek, Passing Off dan Persaingan Curang.
BAB III  PENEGAKAN HUKUM MEREK DALAM TINDAKAN  PASSING OFF di INDONESIA Pada bab ini dijelaskan tentang Pelanggaran Merek di Indonesia,  Bentuk-bentuk Tindakan Passing Off  di Indonesia,  Penegakan  Hukum Merek dalam Tindakan Passing Off di Indonesia.
BAB IV  PERLINDUNGAN HUKUM KEPADA KONSUMEN DARI  AKIBAT TINDAKAN PASSING OFF Pada bab ini dijelaskan secara mendalam tentang Hak-Hak  Kosumen dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang  Perlindungan Konsumen, Akibat dari Tindakan Passing Off Bagi  Konsumen, Upaya-Upaya dalam Memberikan Perlindungan  Hukum kepada Konsumen.
BAB V  KESIMPULAN DAN SARAN Pada bab ini berisikan kesimpulan dan saran menyangkut  permasalahan yang ada dalam penulisan ini.
  

Download lengkap Versi Word

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi