Senin, 07 April 2014

Skripsi Hukum: TINJAUAN ATAS PEMBERITAAN YANG BERINDIKASI ADANYA DELIK PENCEMARAN NAMA BAIK OLEH MEDIA MASSA DALAM PERSPEKTIF UU PERS



BAB I PENDAHULUAN 
A. Latar Belakang 
Perkembangan media massa di Indonesia dewasa ini berjalan sangat cepat,  baik dalam penggunaan teknologi komunikasi maupun penguasaan perangkat  lunaknya, sejalan dengan perkembangan media massa di dunia. Berita yang  disiarkan di Eropa atau Amerika Serikat dapat langsung diterima di Indonesia,  baik melalui radio, televisi, maupun internet.

Pers, baik cetak maupun elektronik merupakan instrumen dalam tatanan  hidup bermasyarakat yang sangat vital bagi peningkatan kualitas kehidupan  warganya. Pers juga merupakan refleksi jati diri masyarakat di samping fungsinya  sebagai media informasi dan komunikasi, karena apa yang dituangkan di dalam  sajian pers hakekatnya adalah denyut kehidupan masyarakat di mana pers berada.
1 Pers merupakan institusi sosial kemasyarakatan yang berfungsi sebagai  media kontrol sosial, pembentukan opini dan media edukasi yang eksistensinya  dijamin berdasarkan konstitusi.
2 1 Samsul Wahidin, Hukum Pers, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006, hal.1  2 Ibid, hal.3 Pergeseran antara pers dengan masyarakat dapat  terjadi sebagai akibat sajian yang dianggap merugikan oleh seseorang atau  golongan tertentu. Hal ini menuntut satu penyelesaian  yang adil dan dapat  diterima oleh pihak terkait.
 Fenomena mengenai pergeseran dimaksud mengemuka dalam bentuk  tuntutan hukum masyarakat terhadap pers, tindakan main hakim sendiri terhadap  wartawan dan sebagainya. Kesemuanya itu menunjukkan betapa penting untuk  menciptakan penyelesaian yang adil ketika terjadi persengketaan antara pers  dengan masyarakat.
Ancaman hukum yang paling sering dihadapi media atau wartawan adalah  menyangkut pasal-pasal penghinaan atau pencemaran nama baik. KUHP sejatinya  tidak mendefinisikan dengan jelas apa yang dimaksud dengan penghinaan,  akibatnya perkara hukum yang terjadi seringkali merupakan penafsiran yang  subyektif. Seseorang dengan mudah bisa menuduh pers telah menghina atau  mencemarkan nama baiknya, jika ia tidak suka dengan cara pers memberitakan  dirinya. Hal ini menyebabkan pasal-pasal penghinaan (dan penghasutan) sering  disebut sebagai “ranjau” bagi pers, karena mudah sekali dikenakan untuk  menuntut pers atau wartawan.
3 Masalah kemerdekaan pers di tanah air, baik di era orde baru maupun di  era reformasi sebenarnya bukan lagi merupakan suatu persoalan, karena di dalam  konstitusi maupun peraturan perundang-undangan sudah sepenuhnya memberikan  legalitas atas eksistensi pers bebas berkenaan dengan tugas-tugas jurnalistiknya.
Jika ditilik lebih jauh, sebagian besar sengketa pemberitaan pers yang berujung ke  pengadilan senantiasa berhubungan dengan kepentingan publik. Bagi pers, itu  pilihan yang sulit dihindarkan. Dengan demikian, pemberitaan yang mengundang  3 http://www.romeltea.com/2010/01/01/melawan-pers-dengan-delik-pencemaran-namabaik/, diakses pada hari Selasa 20 Oktober 2009, pukul 13.20 WIB  kontrol sosial semacam itu merupakan amanat yang harus diemban pers, seperti  ditegaskan dalam pasal 3 UU Pers (UU No. 40 Tahun 1999), yakni pers nasional  mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol  sosial.
4 Fungsi kontrol sosial itulah yang membuat pers harus bersinggungan  dengan kepentingan dan nama baik tokoh publik, baik tokoh itu duduk di lembaga  pemerintahan maupun lembaga bisnis. Pemberitaan pers tersebut kemudian  berubah menjadi perkara hukum, jika para tokoh publik itu merasa terusik diri dan  kepentingannya.
5 Sebagai contoh adalah kasus yang menimpa majalah Tempo versus Tomy  Winatame, yang menjatuhkan hukuman satu tahun penjara bagi Bambang  Harymurti, Pemimpin Redaksi Majalah Berita Mingguan Tempo dalam kasus  pencemaran nama baik. Menurut pengamat dan praktisi hukum, Todung Mulya  Lubis, keputusan menghukum Bambang Harymurti satu tahun penjara, adalah  tindakan membunuh kebebasan pers di Indonesia. Keputusan sama sekali tidak  mempertimbangkan Undang-undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik.
6 4 Lihat UU Pers Pemenjaraan wartawan dalam masa reformasi ini dianggap memasung  kreatifitas pekerja pers, dan merupakan ancaman terhadap kebebasan berekspresi  sebagaimana dijamin dalam konstitusi dan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang  Pers. Digunakannya pasal-pasal KUHP terhadap para jurnalis, menunjukkan  aparat hukum menganggap UU Pers tidak ada.
5 http://lawskripsi.com/index.php?option=com_content&view=article&id=106&Itemid=1 06, diakses pada hari Rabu, 21Oktober 2009, pukul 11.20 WIB 6 Ibid  Wartawan memiliki kebebasan yang disebut kebebasan pers, yakni  kebebasan mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers menyebutkan, kemerdekaan pers dijamin  sebagai hak asasi warga negara, bahkan pers nasional tidak dikenakan  penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran (Pasal 4 ayat 1 dan 2).
Pihak yang mencoba menghalangi kemerdekaan pers dapat dipidana penjara  maksimal dua tahun atau denda maksimal Rp 500 juta (Pasal 18 ayat 1).
7 7 Lihat UU Pers Selain itu, jika wartawan ingin menegakkan citra dan posisi mereka  sebagai kaum profesional, maka mereka harus memberi perhatian penuh terhadap  Kode Etik Jurnalistik. Kode Etik Jurnalistik itu harus diawasi secara internal oleh  pemilik atau manajemen redaksi masing-masing media massa. Di lain pihak,  kebebasan pers menimbulkan persoalan krusial tentang sejauh mana dapat  diterimanya pembatasan terhadap kebebasan pers (restriksi) menjadi suatu  pemikiran paradoksal (artinya terjadinya pertentangan antara prinsip kebebasan  pers dengan prinsip persaman di depan hukum serta prinsip negara demokrasi  yang berdasarkan hukum), apakah akan dianut kebebasan pers secara  murni/mutlak ataukah pers yang akan tetap berada dalam batasan hukum positif  (hukum yang saat ini sedang berlaku). Indikasinya banyak kasus yang  bermunculan dan diajukan ke tingkat peradilan formal yang pada intinya  berhadapan dengan insan pers terkait dengan kasus pencemaran nama  baik/penghinaan.
 Oleh sebab itu penulis ingin melakukan penelitian terhadap hal tersebut  yang kemudian akan dituangkan dalam bentuk skripsi dengan judul “TINJAUAN  ATAS PEMBERITAAN YANG BERINDIKASI ADANYA DELIK  PENCEMARAN NAMA BAIK OLEH MEDIA MASSA DALAM  PERSPEKTIF KODE ETIK JURNALISTIK DAN UU PERS”.
Salah satu alasan penulis mengambil judul tersebut adalah karena dalam  pemberitaan pers sering kali digunakan sebagai alat untuk memfitnah atau  menghina seseorang atau institusi dan tidak mempunyai nilai berita, dan di dalam  pemberitaan tersebut terdapat unsur kesengajaan dan unsur kesalahan yang  memenuhi unsur-unsur tindak pidana. Jadi, yang perlu ditekankan disini adalah  hukum tetap harus diberlakukan terhadap pihak manapun yang dengan sengaja  melakukan penghinaan atau fitnah dengan menggunakan pemberitaan pers  sebagai sarana.
B.  Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan  masalah dalam penulisan skripsi ini antara lain : 1.  Bagaimanakah pengaturan hukum terhadap kemerdekaan pers di Indonesia ? 2. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana yang dapat diberikan kepada  media massa terhadap pemberitaan yang berindikasi adanya delik pencemaran  nama baik ditinjau dari Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers, serta kaitannya  dengan pertanggungjawaban dalam hukum pidana ?  C.  Keaslian Penulisan Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh penulis di lingkungan  Fakultas Hukum , diketahui bahwa penulisan tentang  “Tinjauan Atas Pemberitaan yang Berindikasi Adanya Delik Pencemaran  Nama Baik Oleh Media Massa dalam Perspektif Kode Etik Jurnalistik Dan  UU Pers”  belum pernah ditulis sebelumnya. Dengan demikian dilihat dari  permasalahan serta tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini, maka dapat  dikatakan bahwa skripsi ini adalah karya penulis yang asli dan sesuai dengan asasasas keilmuan yang jujur, rasional dan terbuka.
Skripsi ini juga didasarkan pada referensi dari buku-buku, informasi media  cetak dan elektronik. Semuanya merupakan implikasi etis dari proses menemukan  kebenaran ilmiah, sehingga penulisan skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan  kebenarannya secara ilmiah.
D. Tujuan Penulisan Berdasarkan uraian yang terdapat dalam rumusan masalah di atas, maka  yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini antara lain : 1.  Untuk mengetahui pengaturan hukum terhadap kemerdekaan pers di  Indonesia.
2.  Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana yang dapat diberikan kepada  media massa terhadap pemberitaan yang berindikasi adanya delik pencemaran  nama baik ditinjau dari Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers, serta kaitannya  dengan pertanggungjawaban dalam hukum pidana.
 E.  Manfaat Penulisan Penulisan skripsi ini mempunyai manfaat teoritis dan manfaat praktis.
Adapun kedua manfaat tersebut adalah sebagai berikut : 1.  Manfaat Teoritis Penulis berharap kiranya penulisan skripsi ini dapat bermanfaat untuk  dapat memberikan masukan sekaligus menambah khasanah ilmu pengetahuan dan  literatur dalam dunia akademis tentang hal-hal yang berhubungan dengan  pemberitaan yang berindikasi adanya delik pencemaran nama baik oleh media  massa dalam perspektif Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers.
2. Manfaat Praktis Secara praktis penulis berharap agar penulisan skripsi ini dapat memberi  pengetahuan tentang pemberitaan yang berindikasi adanya delik pencemaran  nama baik oleh media massa dalam perspektif Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers.
Di negara demokrasi, pers mempunyai pengaruh yang cukup signifikan di tengah  masyarakat. Informasi yang disampaikannya dapat mempengaruhi individu atau  kelompok, secara langsung ataupun tidak langsung. Selain sebagai media untuk  memberi informasi bagi publik dan menjadi wahana pendidikan bagi masyarakat,  pers juga berfungi melakukan kontrol sosial, tidak hanya terhadap perilaku aparat  negara, tapi juga masyarakat. Peran besar ini memang membutuhkan sejumlah pra  syarat, di antaranya adalah ruang kebebasan yang memadai sehingga pers bisa  menjalankan fungsinya secara maksimal tentu saja selain kode etik yang  membuatnya harus tetap profesional. Untuk mendukung profesionalisme ini juga   dibutuhkan peraturan yang akan menjadi umbrella provision (payung hukum)  terhadap semua hal yang berhubungan dengan jurnalistik (pers).
F.  Tinjauan Kepustakaan 5.  Pengertian Delik Delik sering juga disebut “peristiwa pidana” ataupun “strafbaar feit”.
Dalam Bahasa Belanda dipakai dua istilah, yaitu kadang-kadang dipakai istilah  “strafbaar feit”, tetapi kadang-kadang juga dipakai istilah “delict”. Dipakainya  istilah  “feit” dengan alasan bahwa istilah itu tidak hanya meliputi perbuatan  (handelen), tetapi juga pengabaian (nalaten).
8 Dalam Bahasa Indonesia terdapat beberapa terjemahan-terjemahan dari  “strafbaar feit” itu. Di samping terjemahan seperti “peritiwa pidana”, ada juga  terjemahan-terjemahan seperti “perbuatan yang dapat dihukum”, “tindak pidana”,  ”perbuatan yang boleh dihukum”, “pelanggaran pidana” maupun “perbuatan  pidana.” 9 Utrecht memakai istilah “peristiwa pidana”, alasannya karena istilah  “peristiwa” itu meliputi suatu pebuatan (handelen) atau suatu melalaikan (nalaten) maupun akibatnya (= keadaan yang ditimbulkan oleh karena perbuatan atau  melalaikan itu). “Peristiwa pidana” itu adalah suatu peristiwa hukum (rechtsfeit),  yaitu suatu peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur oleh  hukum.
10 8 Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta, 2008,  hal.87  9 Ibid 10 E. Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Ichtiar Baru, Jakarta, 1959, hal.284  Menurut Vos peristiwa pidana adalah suatu kelakuan manusia (menselijke  gedraging)  yang oleh peraturan perundang-undangan diberi hukuman; jadi  kelakuan manusia yang pada umumnya dilarang dan diancam dengan hukuman.
11 a.  suatu kelakuan mansuia Dalam definisi Vos ini dapat dilihat anasir-anasir sebagai berikut : Akibat anasir ini adalah hal peristiwa dan pembuat tidak dapat dipisahkan  yang satu dari yang lain.
b.  suatu kelakuan manusia yang oleh peraturan perundang-undangan (pasal 1  ayat 1 KUHP) dilarang umum dan diancam dengan hukuman. Kelakuan yang  bersangkutan harus dilarang dan diancam dengan hukuman, jadi tidak semua  kelakuan manusia yang melanggar ketertiban hukum adalah suatu peristiwa  pidana.
Pompe mengemukakan dua gambaran, yaitu suatu gambaran teoritis  tentang “peristiwa pidana” dan suatu gambaran menurut hukum positif, yakni suatu wettelijke definitie (definisi menurut undang-undang), tentang peristiwa  pidana itu. Gambaran teoritis itu, bahwa suatu peristiwa pidana adalah suatu  pelanggaran kaidah (= pelanggaran tata hukum), yang diadakan karena kesalahan  pelanggar, dan yang harus diberi hukuman untuk dapat mempertahankan tata  hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum.
12 11 Vos, Leer Boek v/h Ned, Strafrecht, hal 1 (dalam buku karangan E.Utrecht, Rangkaian  Sari Kuliah Hukum Pidana I, Penerbitan Universitas Padjajaran, Bandung, 1958, hal.253) 12 Pompe, Leer Boek v/h Ned, Starfrecht, hal 1 (dalam buku karangan E.Utrecht,  Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, Penerbitan Universitas Padjajaran, Bandung, 1958,  hal.253)  Menurut gambaran teoritis ini maka anasir-anasir peristiwa pidana adalah :  a.  suatu kelakuan yang bertentangan dengan (melawan) hukum (onrechtmatig atau wederrechtelijk) b.  suatu kelakuan yang diadakan karena pelanggar bersalah (aan schuld te  wijten) c.  suatu kelakuan yang dapat dihukum (strafbaar) Menurut hukum positif, maka peristiwa pidana itu suatu peristiwa yang  oleh undang-indang ditentukan sebagai suatu peristiwa  yang menyebabkan  dijatuhkan hukuman. Gambaran menurut hukum positif ini memuat dua hal yang  menarik perhatian. Perlu ditegaskan kata “undang-undang”. Penegasan ini sesuai  dengan pasal 1 ayat 1 KUHP. Di samping itu, Pompe membuat kesimpulan bahwa  menurut hukum positif baik anasir melawan hukum maupun anasir bersalah  bukanlah suatu anasir mutlak dari peristiwa pidana.
13 1.  oleh hukum diancam dengan hukuman; Simons membuat definisi tentang peristiwa pidana yaitu “eene strafbaar  gestelde, onrechtmatige, met schuld in verband staande handeling van een  toerekeningsvatbaar persoon”, yang berarti suatu perbuatan yang : 2.  bertentangan dengan hukum; 3.  dilakukan oleh seseorang yang bersalah; 4.  orang itu boleh dianggap bertanggung jawab atas perbuatannya.
14 13 Ibidhal.254  14 Simons, Leer Boek v/h Ned, Strafrecht, hal 1 (dalam buku karangan E.Utrecht,  Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, Penerbitan Universitas Padjajaran, Bandung, 1958,  hal.256)   Delik mempunyai sifat melarang atau mengharuskan suatu perbuatan  tertentu dengan ancaman pidana kepada barang siapa melakukannya, dan delik itu  harus ditujukan kepada : a.  memperkosa suatu kepentingan hukum atau menusuk suatu kepentingan  hukum, seperti pembunuhan, pencurian, dan sebagainya; b.  membahayakan suatu kepentingan hukum (gevaarzettingsdelicten)  yang  dibedakan menjadi : b.1. concrete gevaarzettingsdelicten, misalnya kejahatan yang membahayakan  keamanan umum bagi orang atau barang pasal 187, pemalsuan surat pasal 263  KUHP yang menimbulkan suatu ketakutan ataupun kemungkinan kerugian; b.2.  abstracte gevaarzettingsdelicten, misalnya dalam penghasutan, sumpah  palsu dan sebagainya yang juga diatur dalam KUHP.
15 Kepentingan hukum yang dimaksud meliputi kepentingan negara,  kepentingan masyarakat, dan kepentingan individu, dengan diperinci lebih lanjut  dalam arti setiap kepentingan yang tersimpul kepentingan hukum individu,  masyarakat dan negara. Hubungan antara sifat delik yang demikian itu dan  kepentingan hukum yang dilindungi, maka yang dapat menjadi subjek delik pada  umumnya adalah manusia (een natuurlijk person).
16 1.  Terdapatnya rumusan yang dimulai dengan “hij die…” di dalam peraturan  perundang-undangan pada umumnya, yang berarti tidak lain adalah manusia.
Vos memberikan tiga alasan mengapa hanya manusia yang dapat menjadi  subjek delik, yaitu : 15 Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Yogyakarta, 1992,  hal. 92 16 Ibid  6.  Jenis-jenis pidana pokok hanya dapat dijalankan tidak lain daripada manusia.
7.  Di dalam hukum pidana berlaku asas kesalahan bagi seorang manusia  pr ibadi.
17 Perkembangan di dalam perundang-undangan hukum pidana baru ternyata  bagi badan hukum (rechtpersoon) dapat juga dipidana dengan penetapan sebagai  tindakan, dan dalam undang-undang fiskal dapat dipidana badan hukum dengan  reele executie atas harta kekayaannya. Pada waktu sekarang ini hanya undangundang di luar KUHP yang membuat ketentuan tentang dapat dipidananya badan  hukum, dan mungkin di kemudian hari keadaan demikian dapat berubah. Di  dalam KUHP ada ketentuan yang dapat memperdayakan pendapat karena pasal 59  dan 169 itu menentukan badan hukum (perkumpulan) sebagai subjek hukum yang  dapat dikenai pidana, namun kesan yang demikian itu ternyata tertuju kepada  manusianya yang ikut perkumpulan yang dimaksudkan untuk dipidana.
18 a.  yang paling lazim menyebutkan rumusan dengan cara menerangkan isi delik  dan keterangan itu dapat dijabarkan menjadi unsur-unsur perbuatan yang dapat  dipidana, seperti misalnya psal 279, 281, 286, 242, dan sebagainya dari  KUHP; Jonkers mengenal 4 jenis metode rumusan delik di dalam undang-undang,  yang terdiri atas : b.  dengan cara menerangkan unsur-unsur dan memberikan pensifatan  (kualifikasi), seperti misalnya pemalsuan pasal 263, pencurian pasal 362  KUHP; 17 Vos, Leer Boek v/h Ned, Strafrecht, hal.36 (dalam buku karangan Bambang Poernomo,  Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Yogyakarta, 1992, hal.93) 18 Bambang Poernomo, Op.Cit., hal.93  c.  cara yang jarang dipakai adalah hanya memberikan pensifatan kualifikasi saja  seperti misalnya penganiayaan pasal 351, pembunuhan pasal 338 KUHP; d.  kadang kala undang-undang merumuskan ancaman pidananya saja untuk  peraturan-peraturan yang masih akan dibuat kemudian seperti misalnya pasal  521 dan 122 ayat (1) KUHP.
19 Secara umum delik (tindak pidana) dapat dibagi sebagai berikut : 20 1.  Kejahatan dan pelanggaran KUHP membedakan tindak pidana atas kejahatan dan pelanggaran.
Kejahatan diatur dalam Buku II dan pelanggaran diatur dalam Buku III. Menurut  M.v.T. pembagian atas dua jenis tadi didasarkan perbedaan prinsipil. Dikatakan,  bahwa kejahatan  adalah  “rechtdelicten”, yaitu perbuatan-perbuatan yang  meskipun tidak ditentukan dalam undang-undang sebagai perbuatan pidana, telah  dirasakan sebagai onrecht, sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata  hukum. Pelanggaran sebaliknya adalah “wetsdelicten”, yaitu perbuatan-perbuatan  yang sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada undang-undang  yang menentukan demikian.
2.  Delik formil dan delik materil a.  Delik formil adalah delik yang dianggap telah selesai dengan hukuman  oleh undang-undang. Contohnya adalah pencurian (pasal 362 KUHP),  pemalsuan surat (pasal 263 KUHP), dan sebagainya.
19 Jonkers, Handboek van het Ned. Indische Strafrecht, hal. 84-85 (dalam buku karangan  Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Yogyakarta, 1992, hal.94) 20 A. Fuad Usfa dan Tongat, Pengantar Hukum Pidana, Penerbitan Universitas  Muhammadiyah Malang, Malang, 2004, hal.40  b.  Delik materil adalah delik yang dianggap telah selesai dengan  ditimbulkannya akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman  oleh undang-undang. Contohnya adalah pencurian (pasal 362 KUHP),  pemalsuan surat (pasal 263 KUHP), dan sebagainya.
3.  Delik commisionis, delik ommissionis, dan delik commissionis per  ommissinis commissa a.  Delik commisionis yaitu delik yang berupa pelanggaran terhadap laranganlarangan di dalam  undang-undang. Contohnya pencurian, penggelapan,  penipuan, dan sebagainya.
b.  Delik ommissionis yaitu delik yang berupa pelanggaran terhadap perintah  (keharusan-keharusan) menurut undang-undang. Contohnya tidak  menghadap sebagai saksi di muka pengadilan (pasal 522 KUHP).
c.  Delik commissionis per ommissinis commissa  yaitu delik yang berupa  pelanggaran terhadap larangan dalam undang-undang (delik  commissionis), tetapi melakukannya dengan cara tidak berbuat. Contoh :  seorang ibu yang membunuh anaknya dengan tidak memberi susunya  (pasal 338, 340 KUHP).
4.  Delik dolus dan delik culpa (doluese en culpose delicten) a.  Delik dolus, yaitu delik yang memuat unsur-unsur kesengajaan, atau delikdelik yang oleh pembentuk undang-undang dipersyaratkan bahwa delikdelik tersebut harus dilakukan “dengan sengaja”. Contoh : delik yang  diatur dalam pasal 187, 197, 245, 263, 310, 338 KUHP.
 b. Delik culpa, yaitu delik yang memuat kealpaan sebagai salah satu  unsurnya, atau menurut Lamintang (1197 ; 214) adalah delik-delik yang  cukup terjadi “dengan tidak sengaja” agar pelakunya dapat dihukum.
Contoh : delik yang diatur dalam apdal 195, 197, 201, 203, 231 ayat (4),  395 dan 360 KUHP.
5.  Delik tunggal dan delik berganda (enkevoudigde en samengestelde delicten) a.  Delik tunggal, yaitu delik yang cukup dilakukan dengan perbuatan satu  kali, atau delik-delik yang pelakunya sudah dapat dihukum dengan satu  kali saja melakukan tindakan yang dilarang oleh undang-undang.
b.  Delik berganda, yaitu delik yang baru merupakan delik, apabila dilakukan  beberapa kali perbuatan. Contoh : delik yang diatur dalam pasal 481  KUHP tentang penadahan sebagai kebiasaan.
6.  Delik yang berlangsung terus dan delik yang tidak berlangsung terus Delik yang berlangsung terus adalah delik yang mempunyai ciri, bahwa  keadaan terlarang itu berlangsung terus. Contohnya delik yang diatur dalam  pasal 333 KUHP tentang merampas kemerdekaan orang lain.
7.  Delik aduan dan delik biasa/bukan aduan Delik aduan, yaitu delik yang hanya dapat dituntut karena adanya  pengaduan dari pihak yang dirugikan. Delik-delik seperti ini misalnya delik yang  diatur dalam pasal 310 KUHP dan seterusnya tentang penghinaan, pasal 284  tentang perzinahan, dan sebagainya. Delik aduan menurut sifatnya dapat  dibedakan atas delik aduan absolut dan delik aduan relatif. Delik aduan absolut   misalnya delik yang diatur dalam pasal 284, 310, 332 KUHP. Delik aduan relatif  misalnya delik yang diatur dalam pasal 367 tentang pencurian dalam keluarga.
8.  Delik sederhana dan delik yang ada pemberatannya a.   Delik sederhana adalah delik-delik dalam bentuknya yang pokok seperti  dirumuskan dalam undang-undang. Misalnya delik yang diatur dalam  pasal 362 KUHP tentang pencurian.
b.  Delik dengan pemberatan adalah delik-delik dalam bentuk yang pokok,  yang karena di dalamnya terdapat keadan-keadaan yang memberatkan,  maka hukuman yang diancamkan menjadi diperberat. Contohnya delik  yang diatur dalam paal 365 KUHP.
2.  Pengertian Pencemaran Nama Baik Pencemaran nama baik/penghinaan/fitnah yang disebarkan secara tertulis  dikenal sebagai libel, sedangkan yang diucapkan disebut  slander.  KUHP  menyebutkan bahwa penghinaan/pencemaran nama baik bisa dilakukan dengan  cara lisan atau tulisan (tercetak). Adapun bentuk penghinaan dibagi dalam lima  kategori, yaitu: pencemaran, pencemaran tertulis, penghinaan ringan, fitnah, fitnah  pengaduan dan fitnah tuduhan. Hakikat penghinaan adalah menyerang  kehormatan dan nama baik seseorang, golongan, lembaga, agama, jabatan,  termasuk orang yang sudah meninggal.
21 21 Penghinaan lazimnya merupakan kasus  delik aduan. Seseorang yang nama baiknya dicemarkan bisa melakukan tuntutan  ke pengadilan sipil, dan jika menang bisa mendapat ganti rugi. Hukuman pidana  http://www.romeltea.com/2010/01/01/melawan-pers-dengan-delik-pencemaran-namabaik/, diakses pada hari Selasa 20 Oktober 2009, pukul 13.20 WIB  penjara juga bisa diterapkan kepada pihak yang melakukan pencemaran nama  baik.
22 KUHP mengatur beberapa pasal soal penghinaan. Penghinaan terhadap  Presiden dan wakil Presiden diancam oleh pasal 134, 136, 137, di mana pasalpasal ini telah dibatalkan oleh dinyatakan tidak berlaku lagi oleh MK. Penghinaan  terhadap Raja, Kepala Negara sahabat, atau Wakil Negara Asing diatur dalam  pasal 142, 143, 144. Penghinaan terhadap institusi atau badan umum (seperti  DPR, Menteri, DPR, kejaksaan, kepolisian, gubernur, bupati, camat, dan  sejenisnya) diatur dalam pasal 207, 208, dan 209. Jika penghinaan itu terjadi atas  orangnya (pejabat pada instansi negara) maka diatur dalam pasal 316. Sedangkan  penghinaan terhadap anggota masyarakat umum diatur dalam pasal 310, 311, dan  315. Selain itu, masih terdapat sejumlah pasal yang bisa dikategorikan dalam delik  penghinaan ini, yaitu pasal 317 (fitnah karena pengaduan atau pemberitahuan  palsu kepada penguasa), pasal 320 dan 321 (pencemaran atau penghinaan  terhadap seseorang yang sudah mati).
23 Menurut KUHP pencemaran nama baik harus memenuhi dua unsur, yaitu  ada tuduhan dan tuduhan dimaksudkan menjadi konsumsi publik. Dalam  penjelasannya, R. Soesilo mengatakan bahwa tuduhan ini harus dialamatkan  kepada orang-perorangan, jadi, tidak berlaku apabila yang merasa terhina ini  adalah lembaga atau instansi, namun apabila tuduhan itu dimaksudkan untuk  kepentingan umum, artinya agar tidak merugikan hak-hak orang banyak atau atas  22 Ibid 23 Ibid  dasar membela diri (berdasarkan pertimbangan hakim), maka sang penuduh tidak  dapat dihukum.
24 Ketentuan hukum penghinaan bersifat delik aduan, yakni perkara  penghinaan terjadi jika ada pihak yang mengadu. Artinya, masyarakat yang  merasa dirugikan oleh pemberitaan pers yang dianggap mencemarkan nama  baiknya atau merasa terhina dapat mengadu ke aparat hukum agar perkara bisa  diusut.
25 Kasus penghinaan terhadap Presiden, Wakil Presiden, dan Instansi Negara,  termasuk dalam delik biasa, artinya aparat hukum bisa berinisiatif melakukan  penyidikan dan pengusutan tanpa harus ada pengaduan dari pihak yang dirugikan.
Logika dari ketentuan ini adalah presiden, wakil presiden, dan instansi negara  adalah simbol negara yang harus dijaga martabatnya. Selain itu, posisi jabatannya  tidak memungkinkan mereka bertindak sebagai pengadu.
26 Oleh karena dalam KUHP sejatinya tidak didefinisikan dengan jelas apa  yang dimaksud dengan nama baik, maka sudah tentu pengertian pencemaran nama  baik pun tidak jelas didefinisikan. Hal ini mengakibatkan perkara hukum yang  terjadi seringkali merupakan penafsiran yang subyektif, 27 24 dan bukan penafsiran  objektif.
http://bh4kt1.multiply.com/journal/item/65/Pencemaran_Nama_Baik_yang_SalahKaprah, diakses pada hari Selasa 20 Oktober 2009, pukul 15.10 WIB 25 http://www.romeltea.com/2010/01/01/melawan-pers-dengan-delik-pencemaran-namabaik/, diakses pada hari Selasa 20 Oktober 2009, pukul 13.20 WIB 26 Ibid 27 Ibid  3.  Pengertian Media Massa dan Pers Media massa (mass media)  terdiri dari  dua kata yaitu “media” dan  “massa”. Penjelasan berikut ini lebih merupakan pemahaman arti kata dalam  masyarakat, bukan dari sisi etimologis, karena pengertian media dari waktu ke  waktu terus berkembang sesuai dengan perkembangan teknologi, sosial politik  dan persepsi masyarakat terhadap media.
28 Kata “media” dekat dengan pengertian “medium”, “moderat” yang berarti  tengah, sedang, pengengah, atau penghubung. Kalau mendengar kata mediasi  berarti suatu usaha untuk menengahi atau menyelesaikan masalah dengan cara  menjadi penengah atau menghubungkan satu pihak dengan pihak yang lain.
Mediator adalah orang atau pihak yang menjadi penengah dari dua sisi yang  berbeda. Kata media sebenarnya lebih dekat pengertiannya sebagai “penengah”  atau pihak yang berdiri di tengah-tengah atau “penghubung”.
29 Kata kedua yang melekat dalam kata media adalah “massa”. Kata massa  sering kali diartikan dalam dua sisi yang berbeda. Bagi kalangan yang  menghendaki suatu kemapanan, atau yang tidak menghendaki suatu perubahan,  Pengertian secara  sosial-politis, “media” kemudian bergeser menjadi suatu “tempat”, “wahana”, atau  “forum” atau lebih tepat sebagai “lembaga penengah” atau “lembaga  penghubung”, lembaga yang berada dalam posisi di tengah antara massa dan elit,  rakyat dan negara, rakyat dan pemerintah, dan sekelompok orang di satu tempat  dengan sekelompok orang di tempat lain.
28 Eric Barendt, Broadcasting Law, A Comparative Study, Clanrendoms Press, Oxford,  1993, hal.32 (dalam buku karangan Hari Wiryawan, Dasar-dasar Hukum Media, Pustaka Pelajar,  Yogyakarta, 2007, hal.54 29 Hari Wiryawan, Dasar-dasar Hukum Media, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007, hal.54  kata massa adalah sesuatu yang berkonotasi negatif. Tetapi kalangan sosialis atau  mereka yang berkepentingan terhadap massa seperti partai politik melihat massa  sebagai suatu yang positif dan bahkan memberikan penghargaan tinggi. Ungkapan  sehari-hari yang sering kita dengar “demi rakyat”, “kepentingan publik” adalah  sinonim dari kata “massa”. Kata “massa” dalam media massa sebenarnya tidak  berkonotasi negatif atau positif. Massa dalam pengertian di sini adalah sesuatu  yang tidak pribadi, sesuatu yang tidak personal, melainkan sesuatu yang  berhubungan dengan “orang banyak”.
30 Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa media massa adalah suatu lembaga  netral yang berhubungan dengan orang banyak atau lembaga yang netral bagi  semua kalangan atau masyarakat banyak. Sering kali media massa juga diartikan  sebagai penengah antara massa dan elit, forum yang menjadi perantara antara  masyarakat dan pemerintah, dan sebagainya.
31 Istilah pers, atau press berasal dari istilah Latin pressus artinya tekanan,  tertekan, terhimpit, padat.
32 30 Ibid, hal.55 31 Ibid, hal.56 32 Ensiklopedi Politik Pembangunan Pancasila Jilid 4, Yayasan Ciptaloka Caraka, Jakarta,  1984, hal.114 (dalam buku karangan Samsul Wahidin, Hukum Pers, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,  2006, hal.35)  Pers dalam kosa kata Indonesia berasal dari bahasa  Belanda yang mempunyai arti sama dengan bahasa Inggris “press”, sebagai  sebutan untuk alat cetak. Keberadaan pers dari terjemahan istilah ini pada  umumnya adalah sebagai media penghimpit atau penekan dalam masyarakat.
Maka lebih tegasnya adalah dalam fungsinya sebagai kontrol social, di mana yang  juga tidak jarang menjadi sebuah media penekanan terhadap kebijakan tertentu   yang dinilai tidak dijalankan sebagaimana mestinya oleh pihak yang seharusnya  secara lurus dapat menjalankannya.
33 Pengertian pers itu dibedakan dalam dua arti. Pers dalam arti luas adalah  media tercetak atau elektronik yang menyampaikan laporan dalam bentuk fakta,  pendapat, usulan dan gambar kepada masyarakat luas secara regular. Pers dalam  arti sempit adalah media tercetak seperti surat kabar harian, surat kabar mingguan,  majalah dan bulletin, sedangkan media elektronik meliputi radio, film dan  televisi.
34 Pengertian pers menurut UU Pers (UU No. 40 Tahun 1999) adalah  lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan  jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan  menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan  gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan  media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
Pers yang dimaksudkan dalam skripsi ini dengan demikian adalah  dalam pengertian sempit atau terbatas, yaitu media tercetak di atas kertas atau  media cetak.
35 4.  Pengertian Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers Wartawan Indonesia menyadari adanya tanggung jawab sosial serta  keberagaman mayarakat karena adanya kemerdekaan pers yang merupakan sarana  terpenuhinya hak asasi manusia untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi.
Guna menjamin tegaknya kebebasan pers serta terpenuhinya hak-hak masyarakat  33 Samsul Wahidin, Op.Cit., hal.35 34 Ibid  35 Lihat pasal 1 angka 1 UU Pers  diperlukan suatu landasan moral/etika profesi yang bisa menjadi pedoman  operasional dalam menegakkan integritas dan profesionalitas wartawan. UU Pers  menegaskan bahwa wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalitik 36 , yaitu  suatu himpunan etika profesi kewartawanan yang disepakati oleh organisasi  wartawan dan ditetapkan oleh Dewan Pers.
37 Kode Etik Jurnalitik merupakan “lilin pemandu” bagi wartawan agar tidak  terjerumus ke dalam kegagalan. Sebaliknya, Kode Etik Jurnalitik juga merupakan  acuan yang dipakai “pembaca” untuk mengukur apakah pemberitaan yang  dilakukan oleh wartawan itu menyalahi Kode Etik Jurnalitik atau tidak. Oleh UU  Pers, Kode Etik Jurnalitik ditempatkan sebagai bagian yang utuh dalam  mekanisme penyelesaian permasalahan akibat pemberitaan pers.
38 Kode Etik Jurnalistik pertama kali dikeluarkan oleh PWI (Persatuan  Wartawan Indonesia), namun ketika Indonesia memasuki era reformasi dengan  berakhirnya rezim Orde Baru, organisasi wartawan yang tadinya “tunggal”, yakni  hanya PWI, menjadi banyak. Sebelumnya, Kode Etik Jurnalitik hanya “berlaku”  bagi wartawan yang menjadi anggota PWI.  Namun dengan munculnya berbagai  organisasi wartawan selain PWI tersebut, mereka pun memandang penting adanya  Kode Etik Wartawan. Pada 6 Agustus 1999, sebanyak 24 dari 26 organisasi  wartawan berkumpul di Bandung dan menandatangani  Kode Etik Wartawan  Hal ini secara  jelas terlihat dari salah satu fungsi Dewan Pers yakni menempatkan dan  mengawasi pelaksaan Kode Etik Jurnalistik.
36 Lihat pasal 7 ayat (2) UU Pers 37 Lihat Penjelasan pasal 7 ayat (2) UU Pers 38 Hinca I.P.Panjaitan, Gunakan Hak Jawab, Hak Koreksi dan Kewajiban Koreksi Anda,  Ombudsman Memfasilitasinya, Tim Ombudsman Jawa Pos Grup, Jakarta, 2004, hal.16  Indonesia (KEWI). Sebagian besar isinya mirip dengan Kode Etik Jurnalitik PWI.
KEWI kemudian ditetapkan sebagai Kode Etik yang berlaku bagi seluruh  wartawan Indonesia. Penetapan dilakukan Dewan Pers sebagaimana diamanatkan  UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers melalui SK Dewan Pers No. 1/SK-DP/2000  tanggal 20 Juni 2000.
39 Pada tahun 2006 Kode Etik Jurnalistik itu dikembangkan dan  disempurnakan lagi sehingga berisikan 11 hal pokok.
40 Hal-hal tersebut meliputi,  wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat,  berimbang, dan tidak beritikad buruk (pasal 1). Wartawan Indonesia menempuh  cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jur nalistik (pasal 2).
Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara  berimbang, tidak mencampurkan  fakta  dan opini yang menghakimi, serta  menerapkan asas praduga tak bersalah (pasal 3). Wartawan Indonesia tidak  membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul (pasal 4). Wartawan Indonesia  tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak  menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan (pasal 5).
Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima  suap (pasal 6).Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi  narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya,  menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan  off the record sesuai dengan kesepakatan (pasal 7).
39 http://romeltea.wordpress.com/2007/10/02/kode-etik-jurnalistik-etika-profesionalwartawan/, diakses pada hari Rabu, 21 Oktober 2009, pukul 17.15 WIB 40 Lihat Kode Etik Jurnalistik  Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan  prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras,  warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa, serta tidak merendahkan martabat  orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani (pasal 8). Wartawan  Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali  untuk kepentingan publik (pasal 9).
Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita  yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca,  pendengar, dan atau pemirsa (pasal 10), dan yang terakhir, pasal 11 menyatakan  bahwa wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.
Untuk memahami secara utuh UU Pers, selain membaca secara utuh  batang tubuhnya dan penjelasannya juga harus dibaca secara utuh Kode Etik  Jurnalistik yang disusun oleh organisasi wartawan dan ditetapkan oleh Dewan  Pers, yang merupakan Kode Etik Jurnalistik yang diharuskan oleh Pers, karena  antara UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik merupakan satu keasatuan.
Apa sajakah faktor-faktor yang melatarbelakangi Indonesia memerlukan  UU Pers? Untuk menjawab pertanyaan ini, geseztgebungswissenschaft  (ilmu  perundang-undangan) mengajarkan “lihat bagian menimbang undangundangnya”. Dalam bagian konsiderans “menimbang” UU Pers terdapat 5 dasar  pertimbangan.
41 41 Lihat Konsiderans bagian Menimbang UU Pers  Pertama, karena kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan  rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan  bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, sehingga kemerdekaan  mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 UUD  1945 harus  dijamin.
Kedua, karena kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang  demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati  nurani dan hak memperoleh informasi, merupakan hak asasi manusia yang sangat  hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan  kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Ketiga, karena pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebar  informasi, dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak,  kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers  yang profesional, sehingga harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum,  serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari  manapun.
Keempat, karena pers nasional berperan ikut menjaga ketertiban dunia  yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Kelima,  karena Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan  Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun  1967 dan diubah dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 sudah tidak  sesuai dengan tuntutan perkembangan  zaman.
Selain itu, dari konsiderans “mengingat” UU Pers diketahui pula bahwa  UU Pers lahir sebagai amanat UUD 1945, khususnya Pasal 5 ayat (1), Pasal 20   ayat (1), Pasal 27, dan Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945, serta Ketetapan  Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998  tentang HAM.
42 Penjelasan Umum UU Pers menyatakan bahwa sesungguhnya UU Pers  adalah undang-undang yang mengatur dan menjamin terselenggaranya  kemerdekaan pers sebagai salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan  prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.
43 Kemerdekaan pers  dijamin sebagai hak asasi warga negara.
44 Dalam penulisan ilmiah terdapat beraneka ragam jenis penelitian. Dari  berbagai jenis penelitian, khususnya penelitian hukum, yang paling popular  dikenal adalah sebagai berikut : G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian 45 a.  Penelitian hukum normatif (yuridis normatif) atau penelitian hukum  kepustakaan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan kepustakaan atau  hanya menggunakan data sekunder belaka.
b.  Penelitian hukum empiris yang dilakukan dengan cara terutama meneliti data  primer yang diperoleh di lapangan selain juga meneliti data sekunder dari  perpustakaan.
42 Lihat Konsiderans bagian Mengingat UU Pers 43 Lihat pasal 2 UU Pers 44 Lihat pasal 4 ayat (1) UU Pers 45 Tampil Ansari Siregar, Metodologi Penelitian Hukum Penulis Skripsi, Pustaka Bangsa  Press, Medan, 2005, hal.23-24   Menurut Jhony Ibrahim, dalam kaitannya dengan penelitian normatif  (doktrinal) dapat digunakan beberapa pendekatan yang berupa : 46 1.  pendekatan perundang-undangan (statute approach)  2.  pendekatan analistis (analytical approach)  3.  pendekatan historis (historical approach)  4.  pendekatan filsafat (philosophical approach)  5.  pendekatan kasus (case approach)  Pilihan penelitian hukum tergantung dari tujuan penelitian itu sendiri.
Sesuai dengan tujuan skripsi ini, maka penelitian hukum yang digunakan adalah  penelitian hukum normatif atau disebut juga dengan studi kepustakaan (library  research).
2.  Jenis Data Jenis data yang dipakai dalan penelitian ini adalah data sekunder yang  diperoleh dari : a.  Bahan hukum primer yaitu ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundangundangan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat, baik peraturan yang  diadaptasi oleh Pemerintah Republik Indonesia, yaitu Kitab Undang-undang  Hukum Pidana (KUHP) maupun peraturan yang sedang dirancang oleh  Pemerintah Republik Indonesia.
b.  Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan hukum yang erat kaitannya dengan  bahan hukum primer seperti seminar-seminar, jurnal-jurnal hukum, majalah-46 Jhony Ibrahim, Teori dan Metodologi Peneltitian Hukum Normatif, Bayu Media,  Surabaya, 2007, hal.300  majalah, koran-koran, karya tulis ilmiah, dan beberapa sumber dari internet  yang berkaitan dengan persoalan di atas.
c.  Bahan hukum tersier yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan  keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan  hukum sekunder, seperti kamus, ensiklopedia, dan lain-lain.
2.  Metode Pengumpulan Data Dalam penulisan skripsi ini digunakan metode Library Research (penelitian kepustakaan) yaitu melakukan penelitian dengan berbagai sumber  bacaan seperti : peraturan perundang-undangan, buku-buku, majalah, internet,  pendapat sarjana, dan bahan lainnya yang sangat berkaitan dengan skripsi ini.
3.  Analisa Data Data yang diperoleh melalui studi pustaka dikumpulkan dan diurutkan,  kemudian diorganisasi dalam satu pola, kategori dan satu uraian dasar. Analisa  data dalam skripsi ini adalah analisa dengan cara kualitatif yaitu menganalisa  secara lengkap dan komprehensif keseluruhan data sekunder yang diperoleh  sehingga dapat menjawab permasalahan-permasalahan dalam skripsi ini.
H. Sistematika Penulisan Penulisan penelitian ini secara garis besar terdiri dari 5 Bab dan sub-sub  bab yang diuraikan sebagai berikut : Bab I  :  PENDAHULUAN  Bab ini berisi latar belakang masalah, perumusan masalah, keaslian  penulisan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, tinjauan kepustakaan,  metode penelitian, dan yang terakhir sistematika penulisan.
Bab II :  PENGATURAN HUKUM TERHADAP KEMERDEKAAN PERS  DI INDONESIA Bab ini berisikan mengenai peraturan-peraturan mengenai hukum  media massa di Indonesia, kemerdekaan pers pada massa orde baru  dan era reformasi, mekanisme pemberitaan pers yang sesuai dengan  prinsip keadilan dan penghormatan terhadap HAM, serta sosok pers  yang profesional, bebas, dan bertanggung jawab ditinjau dari Kode  Etik Jurnalistik dan UU Pers.
Bab III : PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP  PEMBERITAAN YANG BERINDIKASI ADANYA DELIK  PENCEMARAN NAMA BAIK  Bab ini berisikan mengenai pengaturan tindak pidana di bidang pers  dalam UU No. 40 Tahun 1999, bentuk-bentuk pencemaran nama baik  yang berhubungan dengan media massa menurut Kode Etik Jurnalistik,  UU Pers dan KUHP, serta pertanggungjawaban pidana terhadap  pemberitaan media massa yang berindikasi adanya delik pencemaran  nama baik.
 Bab IV  :  PENUTUP Bab ini berisikan mengenai kesimpulan mengenai permasalahan yang  ada, dan penulis mencoba memberikan beberapa saran kepada para  jurnalis (pers) berkaitan dengan pemberitaan di media massa, agar  terhindar dari delik pencemaran nama baik.
  

Download lengkap Versi Word

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi