BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Perkembangan media massa di Indonesia dewasa ini berjalan sangat
cepat, baik dalam penggunaan teknologi
komunikasi maupun penguasaan perangkat lunaknya,
sejalan dengan perkembangan media massa di dunia. Berita yang disiarkan di Eropa atau Amerika Serikat dapat
langsung diterima di Indonesia, baik
melalui radio, televisi, maupun internet.
Pers, baik cetak
maupun elektronik merupakan instrumen dalam tatanan hidup bermasyarakat yang sangat vital bagi
peningkatan kualitas kehidupan warganya.
Pers juga merupakan refleksi jati diri masyarakat di samping fungsinya sebagai media informasi dan komunikasi, karena
apa yang dituangkan di dalam sajian pers
hakekatnya adalah denyut kehidupan masyarakat di mana pers berada.
1 Pers merupakan
institusi sosial kemasyarakatan yang berfungsi sebagai media kontrol sosial, pembentukan opini dan
media edukasi yang eksistensinya dijamin
berdasarkan konstitusi.
2 1 Samsul Wahidin,
Hukum Pers, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006, hal.1 2 Ibid, hal.3 Pergeseran antara pers dengan
masyarakat dapat terjadi sebagai akibat
sajian yang dianggap merugikan oleh seseorang atau golongan tertentu. Hal ini menuntut satu
penyelesaian yang adil dan dapat diterima oleh pihak terkait.
Fenomena mengenai pergeseran dimaksud
mengemuka dalam bentuk tuntutan hukum
masyarakat terhadap pers, tindakan main hakim sendiri terhadap wartawan dan sebagainya. Kesemuanya itu
menunjukkan betapa penting untuk menciptakan
penyelesaian yang adil ketika terjadi persengketaan antara pers dengan masyarakat.
Ancaman hukum yang
paling sering dihadapi media atau wartawan adalah menyangkut pasal-pasal penghinaan atau
pencemaran nama baik. KUHP sejatinya tidak
mendefinisikan dengan jelas apa yang dimaksud dengan penghinaan, akibatnya perkara hukum yang terjadi seringkali
merupakan penafsiran yang subyektif.
Seseorang dengan mudah bisa menuduh pers telah menghina atau mencemarkan nama baiknya, jika ia tidak suka
dengan cara pers memberitakan dirinya.
Hal ini menyebabkan pasal-pasal penghinaan (dan penghasutan) sering disebut sebagai “ranjau” bagi pers, karena
mudah sekali dikenakan untuk menuntut
pers atau wartawan.
3 Masalah
kemerdekaan pers di tanah air, baik di era orde baru maupun di era reformasi sebenarnya bukan lagi merupakan
suatu persoalan, karena di dalam konstitusi
maupun peraturan perundang-undangan sudah sepenuhnya memberikan legalitas atas eksistensi pers bebas berkenaan
dengan tugas-tugas jurnalistiknya.
Jika ditilik lebih
jauh, sebagian besar sengketa pemberitaan pers yang berujung ke pengadilan senantiasa berhubungan dengan
kepentingan publik. Bagi pers, itu pilihan
yang sulit dihindarkan. Dengan demikian, pemberitaan yang mengundang 3 http://www.romeltea.com/2010/01/01/melawan-pers-dengan-delik-pencemaran-namabaik/,
diakses pada hari Selasa 20 Oktober 2009, pukul 13.20 WIB kontrol sosial semacam itu merupakan amanat
yang harus diemban pers, seperti ditegaskan
dalam pasal 3 UU Pers (UU No. 40 Tahun 1999), yakni pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi,
pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.
4 Fungsi kontrol
sosial itulah yang membuat pers harus bersinggungan dengan kepentingan dan nama baik tokoh publik,
baik tokoh itu duduk di lembaga pemerintahan
maupun lembaga bisnis. Pemberitaan pers tersebut kemudian berubah menjadi perkara hukum, jika para tokoh
publik itu merasa terusik diri dan kepentingannya.
5 Sebagai contoh
adalah kasus yang menimpa majalah Tempo versus Tomy Winatame, yang menjatuhkan hukuman satu tahun
penjara bagi Bambang Harymurti, Pemimpin
Redaksi Majalah Berita Mingguan Tempo dalam kasus pencemaran nama baik. Menurut pengamat dan
praktisi hukum, Todung Mulya Lubis,
keputusan menghukum Bambang Harymurti satu tahun penjara, adalah tindakan membunuh kebebasan pers di Indonesia.
Keputusan sama sekali tidak mempertimbangkan
Undang-undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik.
6 4 Lihat UU Pers Pemenjaraan
wartawan dalam masa reformasi ini dianggap memasung kreatifitas pekerja pers, dan merupakan
ancaman terhadap kebebasan berekspresi sebagaimana
dijamin dalam konstitusi dan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Digunakannya pasal-pasal KUHP terhadap
para jurnalis, menunjukkan aparat hukum
menganggap UU Pers tidak ada.
5 http://lawskripsi.com/index.php?option=com_content&view=article&id=106&Itemid=1
06, diakses pada hari Rabu, 21Oktober 2009, pukul 11.20 WIB 6 Ibid Wartawan memiliki kebebasan yang disebut
kebebasan pers, yakni kebebasan mencari,
memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
UU No. 40 Tahun
1999 tentang Pers menyebutkan, kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, bahkan pers
nasional tidak dikenakan penyensoran,
pembredelan, atau pelarangan penyiaran (Pasal 4 ayat 1 dan 2).
Pihak yang mencoba
menghalangi kemerdekaan pers dapat dipidana penjara maksimal dua tahun atau denda maksimal Rp 500
juta (Pasal 18 ayat 1).
7 7 Lihat UU Pers Selain
itu, jika wartawan ingin menegakkan citra dan posisi mereka sebagai kaum profesional, maka mereka harus
memberi perhatian penuh terhadap Kode
Etik Jurnalistik. Kode Etik Jurnalistik itu harus diawasi secara internal oleh pemilik atau manajemen redaksi masing-masing
media massa. Di lain pihak, kebebasan
pers menimbulkan persoalan krusial tentang sejauh mana dapat diterimanya pembatasan terhadap kebebasan pers
(restriksi) menjadi suatu pemikiran
paradoksal (artinya terjadinya pertentangan antara prinsip kebebasan pers dengan prinsip persaman di depan hukum
serta prinsip negara demokrasi yang
berdasarkan hukum), apakah akan dianut kebebasan pers secara murni/mutlak ataukah pers yang akan tetap
berada dalam batasan hukum positif (hukum
yang saat ini sedang berlaku). Indikasinya banyak kasus yang bermunculan dan diajukan ke tingkat peradilan
formal yang pada intinya berhadapan
dengan insan pers terkait dengan kasus pencemaran nama baik/penghinaan.
Oleh sebab itu penulis ingin melakukan
penelitian terhadap hal tersebut yang
kemudian akan dituangkan dalam bentuk skripsi dengan judul “TINJAUAN ATAS PEMBERITAAN YANG BERINDIKASI ADANYA DELIK
PENCEMARAN NAMA BAIK OLEH MEDIA MASSA
DALAM PERSPEKTIF KODE ETIK JURNALISTIK
DAN UU PERS”.
Salah satu alasan
penulis mengambil judul tersebut adalah karena dalam pemberitaan pers sering kali digunakan sebagai
alat untuk memfitnah atau menghina
seseorang atau institusi dan tidak mempunyai nilai berita, dan di dalam pemberitaan tersebut terdapat unsur
kesengajaan dan unsur kesalahan yang memenuhi
unsur-unsur tindak pidana. Jadi, yang perlu ditekankan disini adalah hukum tetap harus diberlakukan terhadap pihak
manapun yang dengan sengaja melakukan
penghinaan atau fitnah dengan menggunakan pemberitaan pers sebagai sarana.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar
belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan skripsi ini antara
lain : 1. Bagaimanakah pengaturan hukum
terhadap kemerdekaan pers di Indonesia ? 2. Bagaimanakah pertanggungjawaban
pidana yang dapat diberikan kepada media
massa terhadap pemberitaan yang berindikasi adanya delik pencemaran nama baik ditinjau dari Kode Etik Jurnalistik
dan UU Pers, serta kaitannya dengan
pertanggungjawaban dalam hukum pidana ? C. Keaslian Penulisan Berdasarkan pemeriksaan
yang telah dilakukan oleh penulis di lingkungan Fakultas Hukum , diketahui bahwa penulisan
tentang “Tinjauan Atas Pemberitaan yang
Berindikasi Adanya Delik Pencemaran Nama
Baik Oleh Media Massa dalam Perspektif Kode Etik Jurnalistik Dan UU Pers”
belum pernah ditulis sebelumnya. Dengan demikian dilihat dari permasalahan serta tujuan yang ingin dicapai
dalam penulisan ini, maka dapat dikatakan
bahwa skripsi ini adalah karya penulis yang asli dan sesuai dengan asasasas
keilmuan yang jujur, rasional dan terbuka.
Skripsi ini juga
didasarkan pada referensi dari buku-buku, informasi media cetak dan elektronik. Semuanya merupakan
implikasi etis dari proses menemukan kebenaran
ilmiah, sehingga penulisan skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.
D. Tujuan Penulisan
Berdasarkan uraian yang terdapat dalam rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini
antara lain : 1. Untuk mengetahui
pengaturan hukum terhadap kemerdekaan pers di Indonesia.
2. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana
yang dapat diberikan kepada media massa
terhadap pemberitaan yang berindikasi adanya delik pencemaran nama baik ditinjau dari Kode Etik Jurnalistik
dan UU Pers, serta kaitannya dengan
pertanggungjawaban dalam hukum pidana.
E.
Manfaat Penulisan Penulisan skripsi ini mempunyai manfaat teoritis dan
manfaat praktis.
Adapun kedua manfaat
tersebut adalah sebagai berikut : 1.
Manfaat Teoritis Penulis berharap kiranya penulisan skripsi ini dapat
bermanfaat untuk dapat memberikan
masukan sekaligus menambah khasanah ilmu pengetahuan dan literatur dalam dunia akademis tentang hal-hal
yang berhubungan dengan pemberitaan yang
berindikasi adanya delik pencemaran nama baik oleh media massa dalam perspektif Kode Etik Jurnalistik
dan UU Pers.
2. Manfaat Praktis Secara
praktis penulis berharap agar penulisan skripsi ini dapat memberi pengetahuan tentang pemberitaan yang
berindikasi adanya delik pencemaran nama
baik oleh media massa dalam perspektif Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers.
Di negara
demokrasi, pers mempunyai pengaruh yang cukup signifikan di tengah masyarakat. Informasi yang disampaikannya
dapat mempengaruhi individu atau kelompok,
secara langsung ataupun tidak langsung. Selain sebagai media untuk memberi informasi bagi publik dan menjadi
wahana pendidikan bagi masyarakat, pers
juga berfungi melakukan kontrol sosial, tidak hanya terhadap perilaku aparat negara, tapi juga masyarakat. Peran besar ini
memang membutuhkan sejumlah pra syarat,
di antaranya adalah ruang kebebasan yang memadai sehingga pers bisa menjalankan fungsinya secara maksimal tentu
saja selain kode etik yang membuatnya
harus tetap profesional. Untuk mendukung profesionalisme ini juga dibutuhkan peraturan yang akan menjadi
umbrella provision (payung hukum) terhadap
semua hal yang berhubungan dengan jurnalistik (pers).
F. Tinjauan Kepustakaan 5. Pengertian Delik Delik sering juga disebut
“peristiwa pidana” ataupun “strafbaar feit”.
Dalam Bahasa
Belanda dipakai dua istilah, yaitu kadang-kadang dipakai istilah “strafbaar feit”, tetapi kadang-kadang juga
dipakai istilah “delict”. Dipakainya istilah “feit” dengan alasan bahwa istilah itu tidak
hanya meliputi perbuatan (handelen),
tetapi juga pengabaian (nalaten).
8 Dalam Bahasa
Indonesia terdapat beberapa terjemahan-terjemahan dari “strafbaar feit” itu. Di samping terjemahan
seperti “peritiwa pidana”, ada juga terjemahan-terjemahan
seperti “perbuatan yang dapat dihukum”, “tindak pidana”, ”perbuatan yang boleh dihukum”, “pelanggaran
pidana” maupun “perbuatan pidana.” 9 Utrecht
memakai istilah “peristiwa pidana”, alasannya karena istilah “peristiwa” itu meliputi suatu pebuatan
(handelen) atau suatu melalaikan (nalaten) maupun akibatnya (= keadaan yang
ditimbulkan oleh karena perbuatan atau melalaikan
itu). “Peristiwa pidana” itu adalah suatu peristiwa hukum (rechtsfeit), yaitu suatu peristiwa kemasyarakatan yang
membawa akibat yang diatur oleh hukum.
10 8 Andi Hamzah,
Asas-asas Hukum Pidana Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hal.87 9
Ibid 10 E. Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Ichtiar Baru, Jakarta,
1959, hal.284 Menurut Vos peristiwa
pidana adalah suatu kelakuan manusia (menselijke gedraging)
yang oleh peraturan perundang-undangan diberi hukuman; jadi kelakuan manusia yang pada umumnya dilarang
dan diancam dengan hukuman.
11 a. suatu kelakuan mansuia Dalam definisi Vos ini
dapat dilihat anasir-anasir sebagai berikut : Akibat anasir ini adalah hal
peristiwa dan pembuat tidak dapat dipisahkan yang satu dari yang lain.
b. suatu kelakuan manusia yang oleh peraturan
perundang-undangan (pasal 1 ayat 1 KUHP)
dilarang umum dan diancam dengan hukuman. Kelakuan yang bersangkutan harus dilarang dan diancam dengan
hukuman, jadi tidak semua kelakuan
manusia yang melanggar ketertiban hukum adalah suatu peristiwa pidana.
Pompe mengemukakan
dua gambaran, yaitu suatu gambaran teoritis tentang “peristiwa pidana” dan suatu gambaran
menurut hukum positif, yakni suatu wettelijke definitie (definisi menurut
undang-undang), tentang peristiwa pidana
itu. Gambaran teoritis itu, bahwa suatu peristiwa pidana adalah suatu pelanggaran kaidah (= pelanggaran tata hukum),
yang diadakan karena kesalahan pelanggar,
dan yang harus diberi hukuman untuk dapat mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum.
12 11 Vos, Leer
Boek v/h Ned, Strafrecht, hal 1 (dalam buku karangan E.Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, Penerbitan
Universitas Padjajaran, Bandung, 1958, hal.253) 12 Pompe, Leer Boek v/h Ned,
Starfrecht, hal 1 (dalam buku karangan E.Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I,
Penerbitan Universitas Padjajaran, Bandung, 1958, hal.253) Menurut gambaran teoritis ini maka
anasir-anasir peristiwa pidana adalah : a. suatu kelakuan yang bertentangan dengan
(melawan) hukum (onrechtmatig atau wederrechtelijk) b. suatu kelakuan yang diadakan karena pelanggar
bersalah (aan schuld te wijten) c. suatu kelakuan yang dapat dihukum (strafbaar)
Menurut hukum positif, maka peristiwa pidana itu suatu peristiwa yang oleh undang-indang ditentukan sebagai suatu
peristiwa yang menyebabkan dijatuhkan hukuman. Gambaran menurut hukum
positif ini memuat dua hal yang menarik
perhatian. Perlu ditegaskan kata “undang-undang”. Penegasan ini sesuai dengan pasal 1 ayat 1 KUHP. Di samping itu,
Pompe membuat kesimpulan bahwa menurut
hukum positif baik anasir melawan hukum maupun anasir bersalah bukanlah suatu anasir mutlak dari peristiwa
pidana.
13 1. oleh hukum diancam dengan hukuman; Simons
membuat definisi tentang peristiwa pidana yaitu “eene strafbaar gestelde, onrechtmatige, met schuld in verband
staande handeling van een toerekeningsvatbaar
persoon”, yang berarti suatu perbuatan yang : 2. bertentangan dengan hukum; 3. dilakukan oleh seseorang yang bersalah; 4. orang itu boleh dianggap bertanggung jawab
atas perbuatannya.
14 13 Ibidhal.254 14 Simons, Leer Boek v/h Ned, Strafrecht, hal
1 (dalam buku karangan E.Utrecht, Rangkaian
Sari Kuliah Hukum Pidana I, Penerbitan Universitas Padjajaran, Bandung, 1958, hal.256) Delik mempunyai sifat melarang atau
mengharuskan suatu perbuatan tertentu
dengan ancaman pidana kepada barang siapa melakukannya, dan delik itu harus ditujukan kepada : a. memperkosa suatu kepentingan hukum atau
menusuk suatu kepentingan hukum, seperti
pembunuhan, pencurian, dan sebagainya; b.
membahayakan suatu kepentingan hukum (gevaarzettingsdelicten) yang dibedakan
menjadi : b.1. concrete gevaarzettingsdelicten, misalnya kejahatan yang
membahayakan keamanan umum bagi orang
atau barang pasal 187, pemalsuan surat pasal 263 KUHP yang menimbulkan suatu ketakutan ataupun
kemungkinan kerugian; b.2. abstracte
gevaarzettingsdelicten, misalnya dalam penghasutan, sumpah palsu dan sebagainya yang juga diatur dalam
KUHP.
15 Kepentingan
hukum yang dimaksud meliputi kepentingan negara, kepentingan masyarakat, dan kepentingan
individu, dengan diperinci lebih lanjut dalam
arti setiap kepentingan yang tersimpul kepentingan hukum individu, masyarakat dan negara. Hubungan antara sifat
delik yang demikian itu dan kepentingan
hukum yang dilindungi, maka yang dapat menjadi subjek delik pada umumnya adalah manusia (een natuurlijk person).
16 1. Terdapatnya rumusan yang dimulai dengan “hij
die…” di dalam peraturan perundang-undangan
pada umumnya, yang berarti tidak lain adalah manusia.
Vos memberikan tiga
alasan mengapa hanya manusia yang dapat menjadi subjek delik, yaitu : 15 Bambang Poernomo,
Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Yogyakarta, 1992, hal. 92 16 Ibid 6.
Jenis-jenis pidana pokok hanya dapat dijalankan tidak lain daripada
manusia.
7. Di dalam hukum pidana berlaku asas kesalahan
bagi seorang manusia pr ibadi.
17 Perkembangan di
dalam perundang-undangan hukum pidana baru ternyata bagi badan hukum (rechtpersoon) dapat juga
dipidana dengan penetapan sebagai tindakan,
dan dalam undang-undang fiskal dapat dipidana badan hukum dengan reele executie atas harta kekayaannya. Pada
waktu sekarang ini hanya undangundang di luar KUHP yang membuat ketentuan
tentang dapat dipidananya badan hukum,
dan mungkin di kemudian hari keadaan demikian dapat berubah. Di dalam KUHP ada ketentuan yang dapat
memperdayakan pendapat karena pasal 59 dan
169 itu menentukan badan hukum (perkumpulan) sebagai subjek hukum yang dapat dikenai pidana, namun kesan yang
demikian itu ternyata tertuju kepada manusianya
yang ikut perkumpulan yang dimaksudkan untuk dipidana.
18 a. yang paling lazim menyebutkan rumusan dengan
cara menerangkan isi delik dan
keterangan itu dapat dijabarkan menjadi unsur-unsur perbuatan yang dapat dipidana, seperti misalnya psal 279, 281, 286,
242, dan sebagainya dari KUHP; Jonkers
mengenal 4 jenis metode rumusan delik di dalam undang-undang, yang terdiri atas : b. dengan cara menerangkan unsur-unsur dan
memberikan pensifatan (kualifikasi),
seperti misalnya pemalsuan pasal 263, pencurian pasal 362 KUHP; 17 Vos, Leer Boek v/h Ned, Strafrecht,
hal.36 (dalam buku karangan Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia,
Yogyakarta, 1992, hal.93) 18 Bambang Poernomo, Op.Cit., hal.93 c.
cara yang jarang dipakai adalah hanya memberikan pensifatan kualifikasi
saja seperti misalnya penganiayaan pasal
351, pembunuhan pasal 338 KUHP; d.
kadang kala undang-undang merumuskan ancaman pidananya saja untuk peraturan-peraturan yang masih akan dibuat
kemudian seperti misalnya pasal 521 dan
122 ayat (1) KUHP.
19 Secara umum
delik (tindak pidana) dapat dibagi sebagai berikut : 20 1. Kejahatan dan pelanggaran KUHP membedakan
tindak pidana atas kejahatan dan pelanggaran.
Kejahatan diatur
dalam Buku II dan pelanggaran diatur dalam Buku III. Menurut M.v.T. pembagian atas dua jenis tadi
didasarkan perbedaan prinsipil. Dikatakan, bahwa kejahatan adalah
“rechtdelicten”, yaitu perbuatan-perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam undang-undang
sebagai perbuatan pidana, telah dirasakan
sebagai onrecht, sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum. Pelanggaran sebaliknya adalah
“wetsdelicten”, yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru dapat
diketahui setelah ada undang-undang yang
menentukan demikian.
2. Delik formil dan delik materil a. Delik formil adalah delik yang dianggap telah
selesai dengan hukuman oleh
undang-undang. Contohnya adalah pencurian (pasal 362 KUHP), pemalsuan surat (pasal 263 KUHP), dan
sebagainya.
19 Jonkers,
Handboek van het Ned. Indische Strafrecht, hal. 84-85 (dalam buku karangan Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana,
Ghalia Indonesia, Yogyakarta, 1992, hal.94) 20 A. Fuad Usfa dan Tongat,
Pengantar Hukum Pidana, Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, Malang, 2004, hal.40 b.
Delik materil adalah delik yang dianggap telah selesai dengan ditimbulkannya akibat yang dilarang dan
diancam dengan hukuman oleh
undang-undang. Contohnya adalah pencurian (pasal 362 KUHP), pemalsuan surat (pasal 263 KUHP), dan
sebagainya.
3. Delik commisionis, delik ommissionis, dan
delik commissionis per ommissinis
commissa a. Delik commisionis yaitu
delik yang berupa pelanggaran terhadap laranganlarangan di dalam undang-undang. Contohnya pencurian,
penggelapan, penipuan, dan sebagainya.
b. Delik ommissionis yaitu delik yang berupa
pelanggaran terhadap perintah (keharusan-keharusan)
menurut undang-undang. Contohnya tidak menghadap
sebagai saksi di muka pengadilan (pasal 522 KUHP).
c. Delik commissionis per ommissinis
commissa yaitu delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan dalam
undang-undang (delik commissionis),
tetapi melakukannya dengan cara tidak berbuat. Contoh : seorang ibu yang membunuh anaknya dengan tidak
memberi susunya (pasal 338, 340 KUHP).
4. Delik dolus dan delik culpa (doluese en
culpose delicten) a. Delik dolus, yaitu
delik yang memuat unsur-unsur kesengajaan, atau delikdelik yang oleh pembentuk
undang-undang dipersyaratkan bahwa delikdelik tersebut harus dilakukan “dengan
sengaja”. Contoh : delik yang diatur dalam
pasal 187, 197, 245, 263, 310, 338 KUHP.
b. Delik culpa, yaitu delik yang memuat
kealpaan sebagai salah satu unsurnya,
atau menurut Lamintang (1197 ; 214) adalah delik-delik yang cukup terjadi “dengan tidak sengaja” agar pelakunya
dapat dihukum.
Contoh : delik yang
diatur dalam apdal 195, 197, 201, 203, 231 ayat (4), 395 dan 360 KUHP.
5. Delik tunggal dan delik berganda
(enkevoudigde en samengestelde delicten) a.
Delik tunggal, yaitu delik yang cukup dilakukan dengan perbuatan satu kali, atau delik-delik yang pelakunya sudah
dapat dihukum dengan satu kali saja
melakukan tindakan yang dilarang oleh undang-undang.
b. Delik berganda, yaitu delik yang baru
merupakan delik, apabila dilakukan beberapa
kali perbuatan. Contoh : delik yang diatur dalam pasal 481 KUHP tentang penadahan sebagai kebiasaan.
6. Delik yang berlangsung terus dan delik yang
tidak berlangsung terus Delik yang berlangsung terus adalah delik yang
mempunyai ciri, bahwa keadaan terlarang
itu berlangsung terus. Contohnya delik yang diatur dalam pasal 333 KUHP tentang merampas kemerdekaan
orang lain.
7. Delik aduan dan delik biasa/bukan aduan Delik
aduan, yaitu delik yang hanya dapat dituntut karena adanya pengaduan dari pihak yang dirugikan.
Delik-delik seperti ini misalnya delik yang diatur dalam pasal 310 KUHP dan seterusnya
tentang penghinaan, pasal 284 tentang
perzinahan, dan sebagainya. Delik aduan menurut sifatnya dapat dibedakan atas delik aduan absolut dan delik aduan
relatif. Delik aduan absolut misalnya
delik yang diatur dalam pasal 284, 310, 332 KUHP. Delik aduan relatif misalnya delik yang diatur dalam pasal 367
tentang pencurian dalam keluarga.
8. Delik sederhana dan delik yang ada
pemberatannya a. Delik sederhana adalah
delik-delik dalam bentuknya yang pokok seperti dirumuskan dalam undang-undang. Misalnya delik
yang diatur dalam pasal 362 KUHP tentang
pencurian.
b. Delik dengan pemberatan adalah delik-delik
dalam bentuk yang pokok, yang karena di
dalamnya terdapat keadan-keadaan yang memberatkan, maka hukuman yang diancamkan menjadi
diperberat. Contohnya delik yang diatur
dalam paal 365 KUHP.
2. Pengertian Pencemaran Nama Baik Pencemaran
nama baik/penghinaan/fitnah yang disebarkan secara tertulis dikenal sebagai libel, sedangkan yang
diucapkan disebut slander. KUHP menyebutkan
bahwa penghinaan/pencemaran nama baik bisa dilakukan dengan cara lisan atau tulisan (tercetak). Adapun
bentuk penghinaan dibagi dalam lima kategori,
yaitu: pencemaran, pencemaran tertulis, penghinaan ringan, fitnah, fitnah pengaduan dan fitnah tuduhan. Hakikat
penghinaan adalah menyerang kehormatan
dan nama baik seseorang, golongan, lembaga, agama, jabatan, termasuk orang yang sudah meninggal.
21 21 Penghinaan
lazimnya merupakan kasus delik aduan.
Seseorang yang nama baiknya dicemarkan bisa melakukan tuntutan ke pengadilan sipil, dan jika menang bisa
mendapat ganti rugi. Hukuman pidana http://www.romeltea.com/2010/01/01/melawan-pers-dengan-delik-pencemaran-namabaik/,
diakses pada hari Selasa 20 Oktober 2009, pukul 13.20 WIB penjara juga bisa diterapkan kepada pihak
yang melakukan pencemaran nama baik.
22 KUHP mengatur
beberapa pasal soal penghinaan. Penghinaan terhadap Presiden dan wakil Presiden diancam oleh pasal
134, 136, 137, di mana pasalpasal ini telah dibatalkan oleh dinyatakan tidak
berlaku lagi oleh MK. Penghinaan terhadap
Raja, Kepala Negara sahabat, atau Wakil Negara Asing diatur dalam pasal 142, 143, 144. Penghinaan terhadap
institusi atau badan umum (seperti DPR,
Menteri, DPR, kejaksaan, kepolisian, gubernur, bupati, camat, dan sejenisnya) diatur dalam pasal 207, 208, dan
209. Jika penghinaan itu terjadi atas orangnya
(pejabat pada instansi negara) maka diatur dalam pasal 316. Sedangkan penghinaan terhadap anggota masyarakat umum
diatur dalam pasal 310, 311, dan 315.
Selain itu, masih terdapat sejumlah pasal yang bisa dikategorikan dalam delik penghinaan ini, yaitu pasal 317 (fitnah karena
pengaduan atau pemberitahuan palsu
kepada penguasa), pasal 320 dan 321 (pencemaran atau penghinaan terhadap seseorang yang sudah mati).
23 Menurut KUHP
pencemaran nama baik harus memenuhi dua unsur, yaitu ada tuduhan dan tuduhan dimaksudkan menjadi
konsumsi publik. Dalam penjelasannya, R.
Soesilo mengatakan bahwa tuduhan ini harus dialamatkan kepada orang-perorangan, jadi, tidak berlaku
apabila yang merasa terhina ini adalah
lembaga atau instansi, namun apabila tuduhan itu dimaksudkan untuk kepentingan umum, artinya agar tidak merugikan
hak-hak orang banyak atau atas 22 Ibid 23
Ibid dasar membela diri (berdasarkan
pertimbangan hakim), maka sang penuduh tidak dapat dihukum.
24 Ketentuan hukum
penghinaan bersifat delik aduan, yakni perkara penghinaan terjadi jika ada pihak yang
mengadu. Artinya, masyarakat yang merasa
dirugikan oleh pemberitaan pers yang dianggap mencemarkan nama baiknya atau merasa terhina dapat mengadu ke aparat
hukum agar perkara bisa diusut.
25 Kasus penghinaan
terhadap Presiden, Wakil Presiden, dan Instansi Negara, termasuk dalam delik biasa, artinya aparat
hukum bisa berinisiatif melakukan penyidikan
dan pengusutan tanpa harus ada pengaduan dari pihak yang dirugikan.
Logika dari
ketentuan ini adalah presiden, wakil presiden, dan instansi negara adalah simbol negara yang harus dijaga
martabatnya. Selain itu, posisi jabatannya tidak memungkinkan mereka bertindak sebagai
pengadu.
26 Oleh karena
dalam KUHP sejatinya tidak didefinisikan dengan jelas apa yang dimaksud dengan nama baik, maka sudah
tentu pengertian pencemaran nama baik
pun tidak jelas didefinisikan. Hal ini mengakibatkan perkara hukum yang terjadi seringkali merupakan penafsiran yang
subyektif, 27 24 dan bukan penafsiran objektif.
http://bh4kt1.multiply.com/journal/item/65/Pencemaran_Nama_Baik_yang_SalahKaprah,
diakses pada hari Selasa 20 Oktober 2009, pukul 15.10 WIB 25 http://www.romeltea.com/2010/01/01/melawan-pers-dengan-delik-pencemaran-namabaik/,
diakses pada hari Selasa 20 Oktober 2009, pukul 13.20 WIB 26 Ibid 27 Ibid 3.
Pengertian Media Massa dan Pers Media massa (mass media) terdiri dari
dua kata yaitu “media” dan “massa”.
Penjelasan berikut ini lebih merupakan pemahaman arti kata dalam masyarakat, bukan dari sisi etimologis, karena
pengertian media dari waktu ke waktu
terus berkembang sesuai dengan perkembangan teknologi, sosial politik dan persepsi masyarakat terhadap media.
28 Kata “media”
dekat dengan pengertian “medium”, “moderat” yang berarti tengah, sedang, pengengah, atau penghubung.
Kalau mendengar kata mediasi berarti
suatu usaha untuk menengahi atau menyelesaikan masalah dengan cara menjadi penengah atau menghubungkan satu pihak
dengan pihak yang lain.
Mediator adalah
orang atau pihak yang menjadi penengah dari dua sisi yang berbeda. Kata media sebenarnya lebih dekat
pengertiannya sebagai “penengah” atau
pihak yang berdiri di tengah-tengah atau “penghubung”.
29 Kata kedua yang
melekat dalam kata media adalah “massa”. Kata massa sering kali diartikan dalam dua sisi yang
berbeda. Bagi kalangan yang menghendaki
suatu kemapanan, atau yang tidak menghendaki suatu perubahan, Pengertian secara sosial-politis, “media” kemudian bergeser
menjadi suatu “tempat”, “wahana”, atau “forum”
atau lebih tepat sebagai “lembaga penengah” atau “lembaga penghubung”, lembaga yang berada dalam posisi
di tengah antara massa dan elit, rakyat
dan negara, rakyat dan pemerintah, dan sekelompok orang di satu tempat dengan sekelompok orang di tempat lain.
28 Eric Barendt,
Broadcasting Law, A Comparative Study, Clanrendoms Press, Oxford, 1993, hal.32 (dalam buku karangan Hari
Wiryawan, Dasar-dasar Hukum Media, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007, hal.54 29 Hari Wiryawan,
Dasar-dasar Hukum Media, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007, hal.54 kata massa adalah sesuatu yang berkonotasi
negatif. Tetapi kalangan sosialis atau mereka
yang berkepentingan terhadap massa seperti partai politik melihat massa sebagai suatu yang positif dan bahkan
memberikan penghargaan tinggi. Ungkapan sehari-hari
yang sering kita dengar “demi rakyat”, “kepentingan publik” adalah sinonim dari kata “massa”. Kata “massa” dalam
media massa sebenarnya tidak berkonotasi
negatif atau positif. Massa dalam pengertian di sini adalah sesuatu yang tidak pribadi, sesuatu yang tidak
personal, melainkan sesuatu yang berhubungan
dengan “orang banyak”.
30 Jadi dapat
ditarik kesimpulan bahwa media massa adalah suatu lembaga netral yang berhubungan dengan orang banyak
atau lembaga yang netral bagi semua
kalangan atau masyarakat banyak. Sering kali media massa juga diartikan sebagai penengah antara massa dan elit, forum
yang menjadi perantara antara masyarakat
dan pemerintah, dan sebagainya.
31 Istilah pers,
atau press berasal dari istilah Latin pressus artinya tekanan, tertekan, terhimpit, padat.
32 30 Ibid, hal.55 31
Ibid, hal.56 32 Ensiklopedi Politik Pembangunan Pancasila Jilid 4, Yayasan
Ciptaloka Caraka, Jakarta, 1984, hal.114
(dalam buku karangan Samsul Wahidin, Hukum Pers, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006, hal.35) Pers dalam kosa kata Indonesia berasal dari
bahasa Belanda yang mempunyai arti sama
dengan bahasa Inggris “press”, sebagai sebutan
untuk alat cetak. Keberadaan pers dari terjemahan istilah ini pada umumnya adalah sebagai media penghimpit atau
penekan dalam masyarakat.
Maka lebih tegasnya
adalah dalam fungsinya sebagai kontrol social, di mana yang juga tidak jarang menjadi sebuah media
penekanan terhadap kebijakan tertentu yang
dinilai tidak dijalankan sebagaimana mestinya oleh pihak yang seharusnya secara lurus dapat menjalankannya.
33 Pengertian pers
itu dibedakan dalam dua arti. Pers dalam arti luas adalah media tercetak atau elektronik yang
menyampaikan laporan dalam bentuk fakta, pendapat, usulan dan gambar kepada masyarakat
luas secara regular. Pers dalam arti
sempit adalah media tercetak seperti surat kabar harian, surat kabar mingguan, majalah dan bulletin, sedangkan media
elektronik meliputi radio, film dan televisi.
34 Pengertian pers
menurut UU Pers (UU No. 40 Tahun 1999) adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa
yang melaksanakan kegiatan jurnalistik
meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk
tulisan, suara, gambar, suara dan gambar,
serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala
jenis saluran yang tersedia.
Pers yang
dimaksudkan dalam skripsi ini dengan demikian adalah dalam pengertian sempit atau terbatas, yaitu
media tercetak di atas kertas atau media
cetak.
35 4. Pengertian Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers Wartawan
Indonesia menyadari adanya tanggung jawab sosial serta keberagaman mayarakat karena adanya
kemerdekaan pers yang merupakan sarana terpenuhinya
hak asasi manusia untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi.
Guna menjamin
tegaknya kebebasan pers serta terpenuhinya hak-hak masyarakat 33 Samsul Wahidin, Op.Cit., hal.35 34 Ibid 35 Lihat pasal 1 angka 1 UU Pers diperlukan suatu landasan moral/etika profesi
yang bisa menjadi pedoman operasional
dalam menegakkan integritas dan profesionalitas wartawan. UU Pers menegaskan bahwa wartawan memiliki dan menaati
Kode Etik Jurnalitik 36 , yaitu suatu
himpunan etika profesi kewartawanan yang disepakati oleh organisasi wartawan dan ditetapkan oleh Dewan Pers.
37 Kode Etik
Jurnalitik merupakan “lilin pemandu” bagi wartawan agar tidak terjerumus ke dalam kegagalan. Sebaliknya,
Kode Etik Jurnalitik juga merupakan acuan
yang dipakai “pembaca” untuk mengukur apakah pemberitaan yang dilakukan oleh wartawan itu menyalahi Kode
Etik Jurnalitik atau tidak. Oleh UU Pers,
Kode Etik Jurnalitik ditempatkan sebagai bagian yang utuh dalam mekanisme penyelesaian permasalahan akibat
pemberitaan pers.
38 Kode Etik
Jurnalistik pertama kali dikeluarkan oleh PWI (Persatuan Wartawan Indonesia), namun ketika Indonesia
memasuki era reformasi dengan berakhirnya
rezim Orde Baru, organisasi wartawan yang tadinya “tunggal”, yakni hanya PWI, menjadi banyak. Sebelumnya, Kode
Etik Jurnalitik hanya “berlaku” bagi
wartawan yang menjadi anggota PWI. Namun
dengan munculnya berbagai organisasi
wartawan selain PWI tersebut, mereka pun memandang penting adanya Kode Etik Wartawan. Pada 6 Agustus 1999,
sebanyak 24 dari 26 organisasi wartawan
berkumpul di Bandung dan menandatangani
Kode Etik Wartawan Hal ini secara
jelas terlihat dari salah satu fungsi
Dewan Pers yakni menempatkan dan mengawasi
pelaksaan Kode Etik Jurnalistik.
36 Lihat pasal 7
ayat (2) UU Pers 37 Lihat Penjelasan pasal 7 ayat (2) UU Pers 38 Hinca
I.P.Panjaitan, Gunakan Hak Jawab, Hak Koreksi dan Kewajiban Koreksi Anda, Ombudsman Memfasilitasinya, Tim Ombudsman Jawa
Pos Grup, Jakarta, 2004, hal.16 Indonesia
(KEWI). Sebagian besar isinya mirip dengan Kode Etik Jurnalitik PWI.
KEWI kemudian
ditetapkan sebagai Kode Etik yang berlaku bagi seluruh wartawan Indonesia. Penetapan dilakukan Dewan
Pers sebagaimana diamanatkan UU No. 40
Tahun 1999 tentang Pers melalui SK Dewan Pers No. 1/SK-DP/2000 tanggal 20 Juni 2000.
39 Pada tahun 2006
Kode Etik Jurnalistik itu dikembangkan dan disempurnakan lagi sehingga berisikan 11 hal
pokok.
40 Hal-hal tersebut
meliputi, wartawan Indonesia bersikap
independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk (pasal
1). Wartawan Indonesia menempuh cara-cara
yang profesional dalam melaksanakan tugas jur nalistik (pasal 2).
Wartawan Indonesia
selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta
dan opini yang menghakimi, serta menerapkan
asas praduga tak bersalah (pasal 3). Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan
cabul (pasal 4). Wartawan Indonesia tidak
menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku
kejahatan (pasal 5).
Wartawan Indonesia
tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap (pasal 6).Wartawan Indonesia memiliki hak
tolak untuk melindungi narasumber yang
tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar
belakang, dan off the record sesuai
dengan kesepakatan (pasal 7).
39 http://romeltea.wordpress.com/2007/10/02/kode-etik-jurnalistik-etika-profesionalwartawan/,
diakses pada hari Rabu, 21 Oktober 2009, pukul 17.15 WIB 40 Lihat Kode Etik
Jurnalistik Wartawan Indonesia tidak
menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang
atas dasar perbedaan suku, ras, warna
kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa, serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau
cacat jasmani (pasal 8). Wartawan Indonesia
menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik (pasal 9).
Wartawan Indonesia
segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan
permintaan maaf kepada pembaca, pendengar,
dan atau pemirsa (pasal 10), dan yang terakhir, pasal 11 menyatakan bahwa wartawan Indonesia melayani hak jawab
dan hak koreksi secara proporsional.
Untuk memahami
secara utuh UU Pers, selain membaca secara utuh batang tubuhnya dan penjelasannya juga harus
dibaca secara utuh Kode Etik Jurnalistik
yang disusun oleh organisasi wartawan dan ditetapkan oleh Dewan Pers, yang merupakan Kode Etik Jurnalistik
yang diharuskan oleh Pers, karena antara
UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik merupakan satu keasatuan.
Apa sajakah
faktor-faktor yang melatarbelakangi Indonesia memerlukan UU Pers? Untuk menjawab pertanyaan ini,
geseztgebungswissenschaft (ilmu perundang-undangan) mengajarkan “lihat bagian
menimbang undangundangnya”. Dalam bagian konsiderans “menimbang” UU Pers
terdapat 5 dasar pertimbangan.
41 41 Lihat
Konsiderans bagian Menimbang UU Pers Pertama,
karena kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting
untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana
tercantum dalam Pasal 28 UUD 1945
harus dijamin.
Kedua, karena
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan
pendapat sesuai dengan hati nurani dan
hak memperoleh informasi, merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan
keadilan dan kebenaran, memajukan kesejahteraan
umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Ketiga, karena pers
nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dan pembentuk opini harus dapat
melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban,
dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus mendapat
jaminan dan perlindungan hukum, serta
bebas dari campur tangan dan paksaan dari
manapun.
Keempat, karena
pers nasional berperan ikut menjaga ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial. Kelima, karena
Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1967 dan
diubah dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 sudah tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman.
Selain itu, dari
konsiderans “mengingat” UU Pers diketahui pula bahwa UU Pers lahir sebagai amanat UUD 1945,
khususnya Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat
(1), Pasal 27, dan Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945, serta Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang
HAM.
42 Penjelasan Umum
UU Pers menyatakan bahwa sesungguhnya UU Pers adalah undang-undang yang mengatur dan
menjamin terselenggaranya kemerdekaan
pers sebagai salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan
supremasi hukum.
43 Kemerdekaan pers
dijamin sebagai hak asasi warga negara.
44 Dalam penulisan
ilmiah terdapat beraneka ragam jenis penelitian. Dari berbagai jenis penelitian, khususnya
penelitian hukum, yang paling popular dikenal
adalah sebagai berikut : G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian 45 a. Penelitian hukum normatif (yuridis normatif)
atau penelitian hukum kepustakaan yang
dilakukan dengan cara meneliti bahan kepustakaan atau hanya menggunakan data sekunder belaka.
b. Penelitian hukum empiris yang dilakukan
dengan cara terutama meneliti data primer
yang diperoleh di lapangan selain juga meneliti data sekunder dari perpustakaan.
42 Lihat
Konsiderans bagian Mengingat UU Pers 43 Lihat pasal 2 UU Pers 44 Lihat pasal 4
ayat (1) UU Pers 45 Tampil Ansari Siregar, Metodologi Penelitian Hukum Penulis
Skripsi, Pustaka Bangsa Press, Medan,
2005, hal.23-24 Menurut Jhony Ibrahim,
dalam kaitannya dengan penelitian normatif (doktrinal) dapat digunakan beberapa
pendekatan yang berupa : 46 1.
pendekatan perundang-undangan (statute approach) 2.
pendekatan analistis (analytical approach) 3.
pendekatan historis (historical approach) 4.
pendekatan filsafat (philosophical approach) 5.
pendekatan kasus (case approach) Pilihan
penelitian hukum tergantung dari tujuan penelitian itu sendiri.
Sesuai dengan
tujuan skripsi ini, maka penelitian hukum yang digunakan adalah penelitian hukum normatif atau disebut juga
dengan studi kepustakaan (library research).
2. Jenis Data Jenis data yang dipakai dalan
penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari : a. Bahan hukum primer yaitu ketentuan-ketentuan
dalam peraturan perundangundangan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat, baik
peraturan yang diadaptasi oleh
Pemerintah Republik Indonesia, yaitu Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) maupun peraturan yang
sedang dirancang oleh Pemerintah
Republik Indonesia.
b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan hukum
yang erat kaitannya dengan bahan hukum
primer seperti seminar-seminar, jurnal-jurnal hukum, majalah-46 Jhony Ibrahim,
Teori dan Metodologi Peneltitian Hukum Normatif, Bayu Media, Surabaya, 2007, hal.300 majalah, koran-koran, karya tulis ilmiah, dan
beberapa sumber dari internet yang
berkaitan dengan persoalan di atas.
c. Bahan hukum tersier yaitu semua dokumen yang
berisi konsep-konsep dan keterangan-keterangan
yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus, ensiklopedia,
dan lain-lain.
2. Metode Pengumpulan Data Dalam penulisan
skripsi ini digunakan metode Library Research (penelitian kepustakaan) yaitu
melakukan penelitian dengan berbagai sumber bacaan seperti : peraturan perundang-undangan,
buku-buku, majalah, internet, pendapat
sarjana, dan bahan lainnya yang sangat berkaitan dengan skripsi ini.
3. Analisa Data Data yang diperoleh melalui
studi pustaka dikumpulkan dan diurutkan, kemudian diorganisasi dalam satu pola,
kategori dan satu uraian dasar. Analisa data
dalam skripsi ini adalah analisa dengan cara kualitatif yaitu menganalisa secara lengkap dan komprehensif keseluruhan
data sekunder yang diperoleh sehingga
dapat menjawab permasalahan-permasalahan dalam skripsi ini.
H. Sistematika
Penulisan Penulisan penelitian ini secara garis besar terdiri dari 5 Bab dan
sub-sub bab yang diuraikan sebagai
berikut : Bab I : PENDAHULUAN
Bab ini berisi latar belakang masalah, perumusan masalah, keaslian penulisan, tujuan penulisan, manfaat
penulisan, tinjauan kepustakaan, metode
penelitian, dan yang terakhir sistematika penulisan.
Bab II : PENGATURAN HUKUM TERHADAP KEMERDEKAAN PERS DI INDONESIA Bab ini berisikan mengenai
peraturan-peraturan mengenai hukum media
massa di Indonesia, kemerdekaan pers pada massa orde baru dan era reformasi, mekanisme pemberitaan pers
yang sesuai dengan prinsip keadilan dan
penghormatan terhadap HAM, serta sosok pers yang profesional, bebas, dan bertanggung jawab
ditinjau dari Kode Etik Jurnalistik dan
UU Pers.
Bab III :
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PEMBERITAAN
YANG BERINDIKASI ADANYA DELIK PENCEMARAN
NAMA BAIK Bab ini berisikan mengenai
pengaturan tindak pidana di bidang pers dalam
UU No. 40 Tahun 1999, bentuk-bentuk pencemaran nama baik yang berhubungan dengan media massa menurut
Kode Etik Jurnalistik, UU Pers dan KUHP,
serta pertanggungjawaban pidana terhadap pemberitaan media massa yang berindikasi
adanya delik pencemaran nama baik.
Bab IV
: PENUTUP Bab ini berisikan
mengenai kesimpulan mengenai permasalahan yang ada, dan penulis mencoba memberikan beberapa
saran kepada para jurnalis (pers)
berkaitan dengan pemberitaan di media massa, agar terhindar dari delik pencemaran nama baik.
Download lengkap Versi Word
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi