Sabtu, 19 April 2014

Skripsi Hukum: TINJAUAN KRIMINOLOGIS DAN HUKUM PIDANA TERHADAP PERANAN KEPOLISIAN DALAM MENANGANI PELAKU TINDAK PIDANA AKIBAT PENGARUH NARKOBA SUNTIK

BAB I .
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang.
Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum. Undang-undang Dasar 1945 menetapkan bahwa Negara Republik Indonesia itu  suatu negara hukum (rechstsaat) dibuktikan dari ketentuan dalam Pembukaan,  Batang Tubuh, dan Penjelasan Undang-undang Dasar 1945.  Masalah Penggunaan Narkoba Suntik (IDU’s) menurut asumsi umum serta  beberapa hasil pengamatan menunjukan sebab terjadinya tindakan kriminalitas,  masalah ini merupakan realita sosial yang selalu menarik dan menuntut perhatian  Ide negara hukum,  terkait dengan konsep the rule of law dalam istilah Inggris yang dikembangkan  oleh A.V. Dicey. Tiga ciri penting setiap negara hukum atau yang disebutnya  dengan istilah the rule of law oleh A.V. Dicey, yaitu: 1) supremacy of law; 2)  equality before the law; 3) due process of law.

Dalam Amandemen Undang-undang Dasar 1945, teori equality before the  law termaktub dalam Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan “Segala warga Negara  bersamaan kedudukannya  di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib  menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Teori dan  konsep equality before the law seperti yang dianut oleh Pasal 27 (1) Amandemen  Undang-undang Dasar 1945 tersebut menjadi dasar perlindungan bagi warga  negara agar diperlakukan sama di hadapan hukum dan pemerintahan.
 Ismail Suny, Mekanisme Demokrasi Pancasila, Jakarta, Aksara Baru, 1981, hlm.
 yang serius dari masyarakat umum maupun pihak Kepolisian dalam rangka  menciptakan suasana keamanan dan ketertiban di masyarakat yang kondusif.
Sebenarnya  Narkoba,Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) bukanlah  barang baru bagi umat manusia,sejak jaman dulu manusia sudah mengenal  NAPZA yang digunakan untuk penghilang rasa sakit (anastesi) ataupun untuk  keperluan pengobatan (Kedokteran) lainnya.
Di Indonesia telah ada Undang-Undang yang mengatur tentang  penggunaan NAPZA (Undang Undang No.5 Tahun 1997), dimana penggunaan  NAPZA diluar yang telah ditentukan adalah dilarang dan dapat dikenakan sanksi  pidana. Karena penggunaan NAPZA khususnya yang digunakan dengan cara  disuntikkan kedalam tubuh yang dapat menimbulkan adiksi (ketagihan) dan  dependensi (ketergantungan). Penyalahgunaan jenis NAPZA ini dapat berakibat  fatal,dimana kefatalan dalam penyalahgunaan NAPZA jenis suntik (IDU’s) akan  menimbulkan gangguan mental organik yang disebabkan langsung oleh NAPZA jenis suntik (IDU’s) pada neuro transmitter sel-sel saraf pusat (otak) dan lama  kelamaan seseorang akan merasa ketagihan dan tanpa disadari akan bertambah  dosis,sampai pada dosis keracunan,mabuk dan katagihan (Sakaw). Keadaan  Sakaw tersebut yang sering kali memicu dilakukannya tindakan pidana untuk  memenuhi kebutuhan akan NAPZA. Pada tingkat kecanduan inilah akan muncul  berbagai macam permasalahan, khususnya yang disebabkan oleh perilaku  pengguna Narkoba suntik untuk memenuhi kebutuhannya akan Narkoba. Tidak  jarang mereka melakukan tindak pidana berupa pencurian, penipuan dan   kejahatan lain untuk mendapatkan uang yang akan digunakan untuk membeli  Narkoba.
Selama ini tampaknya Negara juga hanya melihat penguna Napza sebagai  penerima vonis untuk menjalani hukuman di penjara. Selanjutnya apa yang  pengguna Napza dapatkan? Kebanyakan diantara mereka kemudian dipaksa untuk  bertahan di tengah rimba penjara yang sangat keras. Tidak heran apabila kondisi  di dalam penjara juga kerap membuat kecanduan pengguna Napza semakin parah,  karena di dalam penjara kebanyakan pengguna juga masih bisa mendapatkan  Narkoba. Hal semacam ini dapat dikatakan merupakan dampak dari kebijakan  praktis dan pragmatis yang cenderung mengkriminalkan pengguna Napza dan  sekedar ditujukan untuk membuat efek jera bagi sebagian kalangan pengguna  Napza. Menjebloskan pengguna Napza ke dalam penjara sebagai solusi untuk  membuat mereka pulih jelas merupakan pilihan yang sia-sia.
Kecanduan Napza adalah sebuah penyakit progresif yang berdampak  secara fisik, psikis, sosial dan spiritual. Namun pada suatu titik tertentu, penyakit  ini dapat disembuhkan melalui intervensi yang efektif. Hal ini misalkan diperkuat  oleh argumentasi World Health Organization (WHO), yang menyebutkan bahwa  ketergantungan Narkoba  merupakan sebuah penyakit atau “disease entitiy”.
Dalam International classification of diseases and health related problem-tenth  revision, 1992 (ICD-10), kecanduan Napza digolongkan dalam “Mental and  Behavioral disorders due psychoactive substance abuse ”.
  http://commonroom.info/2010/analitik-menggelitik-penanggulangan-hiv-aids-dan-napza-diindonesia-oleh-ginan-koesmayadi-rumah-cemara/  Semenjak di terapkan UU Narkoba dan Psikotropika tahun 1997, dalam  pelaksanaan UU tersebut  telah menempatkan pengguna napza sebagai pelaku  kriminal.  Penegakkan hukum bagi pengguna napza dalam kurun waktu 10 tahun  terakhir, tentunya telah terdapat konsekwensi bagi pengguna napza itu sendiri  maupun lingkungan masyarakat disekitarnya. Penegakkan hukum bagi pengguna  napza di harapkan dapat membuat efek jera bagi pelaku penyalahgunaan napza  tersebut. Hal ini bagi pelaksana hukum  harus menjalankan amanah UU tersebut  serta mendapat dukungan dari semua pihak, mengingat UU telah menyatakan hal  tersebut. Tentunya, pelaksanaan penegakkan hukum tersebut harus sesuai dengan  isi hukum maupun tata laksana hukum itu sendiri, termasuk didalamnya adalah  para perangkat pelaksana hukumnya. Namun, pada kenyataanya, pelaksanaaan  penegakkan hukum bagi pengguna napza, telah terdapat ketimpangan yang cukup  berarti. Permasalahan-permasalahan yang baru timbul dalam penegakkan hukum  tersebut.
 Dalam penegakkan hukum bagi pengguna napza seringkali para pelaksana  hukum belum sepenuhnya mengoptimalisasikan isi tata laksana hukum maupun  penegakkan prosedur hukum. Sehingga, permasalahan-permasalahan Hak Asasi  Manusia (HAM) bagi pengguna napza sebagai warga Negara tidak terpenuhi  dalam koridor hukum tersebut. Seperti halnya tertera dalam UU tersebut bahwa  pengguna napza dapat menerima sanksi vonis rehabilitasi, akan tetapi hingga kini  ketetapan hukum tersebut hampir tidak pernah di dapatkan oleh pengguna napza   http://health.groups.yahoo.com/group/methadone-indonesia/message/5  ketika berhadapan dengan hukum. Pada akhirnya, proses hukuman pemenjaraan  seringkali diterima  Dari pelaksanaan UU tersebut, Negara telah berhasil menyumbangkan  hunian terbesar narapidana kasus napza sejumlah 110,000 WNI. Dari jumlah  tersebut 70 persennya adalah pengguna napza. Prosentase pelanggaran kasus  napza dibanding pelanggaran kasus lain terus naik dari 10.6% pada tahun 2002  menjadi 28.4% pada tahun 2006. Disisi lain, proses hukum dengan pemenjaraan  pengguna napza berdampak pada multi faktor. Terdapat tiga bagian dari factorfaktor tersebut. Pada awal proses hukuman, faktor HAM bagi pengguna napza  seringkali belum terpenuhi dengan tidak terdapatnya prosedur hukum yang sesuai  dengan aturan yang berlaku. Sehingga, seringkali di temui pelangaran-pelangaran  HAM pada saat penyidikan maupun penyelidikan yang di sertai dengan  kekerasan, pemerasan dan pelecehan seksual. Sedangkan pada bagian selanjutnya,  dalam menjalani proses hukuman, belum terdapatnya faktor layanan-layanan  kesehatan yang memadai dalam mengakomodir permasalahan pengguna napza,  mengingat dampak dari penggunaan napza sangat berpengaruh pada kesehatan  pengguna napza itu sendiri. Disamping itu, perilaku pengguna napza yang sulit  melepas ketergantungannya, di penjara pun mereka dapat menggunakan napza.
.
 Bagi pengguna napza suntik, permasalahan timbul ketika perilaku tersebut  tidak didukung dengan media pendukung akses layanan kesehatan , maka tingkat  permasalahan penggunaan napza pun sering kali terjadi dan menjadikan hal  tersebut sebagai penyumbang HIV yang cukup signifikan dari pengguna napza   http://health.groups.yahoo.com/group/methadone-indonesia/message/5  http://health.groups.yahoo.com/group/methadone-indonesia/message/5  suntik. Sedangkan pada bagian terakhir, dampak pemenjaraan ketika setelah  mengalami proses hukuman adalah semakin meningkatnya angka kriminalitas  yang di lakukan oleh pengguna napza. Hal ini terjadi, dengan pertimbangan pada  saat pengguna napza menjalani proses hukuman, pencampuran dengan narapidana  kasus lain yang memungkinkan pengguna napza tersebut mendapatkan ilmu yang  di dapatnya sewaktu di dalam penjara untuk dapat menjadi lebih ahli dari  sebelumnya. Sementara itu, disisi lain, dampak psikologis dan sosial penerimaan  pengguna napza di tengah masyarakat sangat berpengaruh dengan semakin  tingginya stigma dan diskriminasi yang di alami pengguna napza tersebut.

Pelaksanaan UU tersebut telah berdampak pada hampir seluruh aspek  kehidupan masyarakat Indonesia, permasalahan tersebut tidak hanya terjadi pada  pengguna napza. Turunan kebijakan napza yang berada pada tatanan system  birokrasi pemerintahan maupun pada aturan-aturan yang telah ada di masyarakat,  semakin memperburuk keadaan di lingkungan masyarakat itu sendiri. Kebijakan  di sector pendidikan maupun di lapangan pekerjaan telah menempatkan aturanaturannya yang belum mengakomodir permasalahan pengguna napza. Sehingga  yang terjadi adalah pemenuhan hak bagi pengguna napza pada sector tersebut  seringkali tidak terpenuhi. Begitu juga pada aspek kesehatan, dampak-dampak  yang timbul akibat penggunaan napza , hingga saat ini, masih terdapat kontroversi  dalam penangganannya yang berhubungan dengan penegakkan hukum. Sehingga  dampak kesehatan bagi pengguna napza telah merembet hingga ke permasalahan  masyarakat maupun dipemerintahan.
Download lengkap Versi Word

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi