BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang.
Hak untuk hidup
adalah hak asasi yang paling dasar bagi seluruh manusia. Hak hidup merupakan
bagian dari hak asasi yang memiliki sifat tidak dapat ditawar lagi (non derogable rights). Artinya,
hak ini mutlak harus dimiliki setiap orang,
karena tanpa adanya hak untuk hidup, maka tidak ada hak-hak asasi lainnya. Hak tersebut juga menandakan setiap
orang memiliki hak untuk hidup dan tidak
ada orang lain yang berhak untuk mengambil hak hidupnya.Salah satu contoh penghilangan hak hidup tanpa alas hak
adalah pembunuhan melalui aksi teror.
Aksi teror jelas telah melecehkan nilai kemanusiaan, martabat, dan norma agama. Teror juga telah menunjukan gerakannya
sebagai tragedi atas hak asasi manusia.
Bahwa tindak pidana terorisme yang selama ini
terjadi telah mengganggu keamanan dan
ketertiban masyarakat serta merupakan ancaman serius terhadap kedaulatan negara, sehingga pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana terorisme
perlu dilakukan secara berencana dan berkesinambungan guna memelihara kehidupan yang aman, damai, dan
sejahtera berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Aksi Sriyanto dan Desiree Zuraidah, Modul
Instrumen HAM Nasional: Hak Untuk Hidup, Hak Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan Serta
Hak Mengembangkan Diri (Jakarta: Departemen Hukum dan HAM RI, Direktorat Jenderal
Perlindungan HAM, 2001).
terorisme yang terjadi di Indonesia hingga
dewasa ini nampaknya juga belum bisa teratasi
secara tuntas. Inilah salah satu permasalahan
yang sedang dihadapi pemerintah saat
ini, kenyataannya sampai sekarang para pelaku aksi terror belum bisa semuanya ditangkap bahkan sekarang aksi
teror tidak hanya terjadi dikota- kota
besar melainkan sudah masuk kedaerah-daerah.
Terorisme merupakan
kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban serta merupakan salah satu ancaman serius
terhadap kedaulatan setiap negara karena
terorisme sudah merupakan kejahatan yang bersifat internasional yang menimbulkan bahaya terhadap keamanan,
perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan
masyarakat sehingga perlu dilakukan pemberantasan secara berencana dan
berkesinambungan sehingga hak asasi orang banyak dapat dilindungi dan dijunjung tinggi. Pernyataan
tersebut sejalan dengan tujuan bangsa Indonesia
yang terdapat dalam Undang-undang Dasar 1945 yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia, dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Aksi terorisme di
Indonesia mencuat ke permukaan setelah terjadinya Bom Bali I pada 12 Oktober 2002, Peristiwa ini
tepatnya terjadi di Sari Club dan Peddy’s
Club, Kuta, Bali.
http://www.riaupos.com/berita.php?act=full&id=4339&kat=
Sebelumnya, tercatat juga beberapa aksi teror di Indonesia antara lain kasus Bom Istiqlal pada
19 April 1999, Bom Malam Natal pada 24
Desember 2000 yang terjadi di dua puluh tiga gereja, Bom di Bursa Efek Jakarta pada September 2000, serta penyanderaan
dan pendudukan perusahaan Mobil Oil oleh
Gerakan Aceh Merdeka pada tahun yang sama.
Pada sebuah proses penyelesaian perkara
pidana, proses pembuktian merupakan
suatu proses pencarian kebenaran materiil atas suatu peristiwa pidana.
Indonesia sebagai
negara hukum (rechtstaat) memiliki kewajiban untuk melindungi harkat dan martabat manusia.
Demikian pula dalam hal perlindungan warga
negara dari tindakan terorisme. Salah satu bentuk perlindungan negara terhadap warganya dari tindakan atau aksi
terorisme adalah melalui penegakan hukum,
termasuk di dalamnya upaya menciptakan produk hukum yang sesuai.
Upaya ini
diwujudkan pemerintah dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002,
yang kemudian disetujui oleh DPR menjadi
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Diperlukannya
undang-undang ini karena pemerintah menyadari tindak pidana terorisme merupakan suatu tindak pidana
yang luar biasa (extraordinary crime),
sehingga membutuhkan penanganan yang luar biasa juga (extraordinary measures). Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003
ini selain mengatur aspek materil juga
mengatur aspek formil. Sehingga, undang-undang ini merupakan undang-undang khusus (lex specialis) dari
Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Dengan adanya undang-undang ini diharapkan penyelesaian perkara pidana
yang terkait dengan terorisme dari aspek
materil maupun formil dapat segera dilakukan.
“Bom Bali Rencananya untuk Memperingati
Setahun Bom WTC”, http://www.kompas.com/kompas-cetak/0308/22/nasional/505322.htm,
diakses 7 November Hal ini berbeda jika
dibandingkan proses penyelesaian perkara perdata yang merupakan proses pencarian kebenaran formil.
Proses pembuktian sendiri merupakan
bagian terpenting dari keseluruhan proses pemeriksaan persidangan.
Hukum acara pidana
di dalam bidang pembuktian mengenal adanya Alat Bukti dan Barang Bukti, di mana keduanya
dipergunakan di dalam persidangan untuk membuktikan
tindak pidana yang didakwakan terhadap terdakwa. Alat bukti yang sah untuk diajukan di depan persidangan,
seperti yang diatur Pasal 184 Undangundang Nomor 8 tahun 1981 Tentang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) adalah: a. keterangan saksi b. keterangan ahli c. surat d.
petunjuk e. keterangan terdakwa Pada perkembangannya,
alat bukti sebagaimana yang diatur dalam KUHAP tidak lagi dapat mengakomodir
perkembangan teknologi informasi, hal ini
menimbulkan permasalahan baru. Salah satu masalah yang muncul akibat perkembangan teknologi informasi adalah
lahirnya suatu bentuk kejahatan baru yang
sering disebut dengan cybercrime, dalam istilah yang digunakan oleh Barda Nawawi Arief disebut dengan tindak pidana
mayantara. Secara garis besar cybercrime
terdiri dari dua jenis, yaitu kejahatan yang menggunakan teknologi Undang-Undang Nomor 8 LN Nomor 76 Tahun 1981,
tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Pasal
1 informasi (TI) sebagai fasilitas dan
kejahatan yang menjadikan sistem dan fasilitas teknologi informasi sebagai sasaran.
Tentu saja upaya
penegakan hukum tidak boleh berhenti dengan ketidakadaan hukum yang mengatur penggunaan
barang bukti maupun alat bukti berupa
informasi elektronik di dalam penyelesaian suatu peristiwa hukum. Selain itu, proses mengajukan dan proses pembuktian
alat bukti yang berupa data digital perlu
pembahasan tersendiri mengingat alat bukti dalam bentuk informasi elektronik ini serta berkas acara pemeriksaan
telah melalui proses digitalisasi dengan
proses pengetikan (typing), pemeriksaan (editing) dan penyimpanan (storing) dengan menggunakan komputer. Namun,
hasilnya tetap saja dicetak di atas
kertas (printing process). Dengan demikian, diperlukan kejelasan bagaimana mengajukan dan melakukan proses pembuktian
terhadap alat bukti yang berupa data
digital. Proses pembuktian suatu alat bukti yang berupa data digital ini juga menyangkut aspek validasi data digital yang
dijadikan alat bukti tersebut. Aspek lain
terkait adalah masalah menghadirkan alat bukti tersebut, apakah dihadirkan cukup
dengan perangkat lunaknya (software) atau harus dengan perangkat kerasnya (hardware).
Uraian dari latar
belakang tersebut, menyimpulkan penulis untuk mengetahui lebih jelas mengenai tingkat
perkembangan terorisme yang terjadi di masyarakat
saat ini, dapat dikatakan kejahatan terorisme telah berkembang dalam kuantitas maupun kualitas perbuatannya.
Berdasarkan kenyataan mengenai pentingnya
penerapan hasil bukti forensik dalam mengungkapkan suatu kasus terorisme pada tahap penyidikan sebagaimana
terurai diatas, hal tersebut melatarbelakangi
penulis untuk mengangkatnya menjadi topik pembahasan dalam penulisan skripsi dengan judul ”TINJAUAN YURIDIS
PERANAN BUKTI FORENSIK DAN LAPORAN
INTELEJEN PADA TAHAP PENYIDIKAN TINDAK
PIDANA TERORISME DI KOTA MEDAN.” B.
Perumusan Masalah Berdasarkan
uraian latar belakang, maka peneliti mengidentifikasikan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana peranan bukti forensik dan laporan
intelejen dalam mengungkap tindak pidana terorisme pada tahap
penyidikan ditinjau dari Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP)? 2. Peranan
Kepolisian Resort kota Medan (Unit Jatanras) dalam mengumpulkan informasi dan keterangan lain
guna melengkapi pembuktian yang terkait
tindak pidana terorisme? C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai
dengan diadakannya penelitian ini adalah
sebagai berikut: a. Mengkaji dan
memahami secara jelas mengenai peranan bukti forensik dalam mengungkap tindak pidana
terorisme pada tahap penyidikan
ditinjau dari UU No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan UU No.8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP).
b. Mengetahui tentang Peranan Kepolisian Resort
kota Medan (Unit Jatanras) dalam mengumpulkan
informasi dan keterangan lain guna
melengkapi pembuktian yang terkait tindak pidana terorisme.
2. Manfaat Penelitian Diharapkan karya akhir ini
dapat bermanfaat dengan optimal, baik secara
akademis maupun praktis. Adapun penelitian ini memiliki manfaat sebagai berikut : a. Manfaat Akademis Penelitian ini ditujukan
untuk menambah pengetahuan dibidang hukum
khususnya hukum pidana baik untuk
kalangan mahasiswa sendiri atau para
akademisi sebagai bibit unggul yang akan menjadi kalangan yang berguna dan menjadi generasi
penerus bangsa di masa yang akan datang.
b. Manfaat Praktis Diharapkan pula melalui
penulisaan skripsi ini dapat bermanfaat nantinya
bagi para penegak hukum dalam upaya memberikan proses peradilan yang baik dan tepat, sehingga
tidak mengakibatkan kerugian bagi para
pihak yang mencari keadilan dan dapat
memberikan rasa keadilan yang sebesar-besarnya di tengah masyarakat.
Download lengkap Versi Word
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi