Sabtu, 19 April 2014

Skripsi Hukum: TINJAUAN YURIDIS PERANAN BUKTI FORENSIK DAN LAPORAN INTELEJEN PADA TAHAP PENYIDIKAN TINDAK PIDANA TERORISME

BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang.
Hak untuk hidup adalah hak asasi yang paling dasar bagi seluruh manusia. Hak hidup merupakan bagian dari hak asasi yang memiliki sifat tidak dapat  ditawar lagi (non derogable rights). Artinya, hak ini mutlak harus dimiliki setiap  orang, karena tanpa adanya hak untuk hidup, maka tidak ada hak-hak asasi  lainnya. Hak tersebut juga menandakan setiap orang memiliki hak untuk hidup  dan tidak ada orang lain yang berhak untuk mengambil hak hidupnya.Salah satu  contoh penghilangan hak hidup tanpa alas hak adalah pembunuhan melalui aksi  teror. Aksi teror jelas telah melecehkan nilai kemanusiaan, martabat, dan norma  agama. Teror juga telah menunjukan gerakannya sebagai tragedi atas hak asasi  manusia.

 Bahwa tindak pidana terorisme yang selama ini terjadi telah mengganggu  keamanan dan ketertiban masyarakat serta merupakan ancaman serius terhadap  kedaulatan negara, sehingga pencegahan dan pemberantasan tindak pidana  terorisme perlu dilakukan secara berencana dan berkesinambungan guna  memelihara kehidupan yang aman, damai, dan sejahtera berdasarkan Pancasila  dan Undang-Undang Dasar  Negara Republik Indonesia Tahun 1945.  Aksi   Sriyanto dan Desiree Zuraidah, Modul Instrumen HAM Nasional: Hak Untuk Hidup, Hak  Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan Serta Hak Mengembangkan Diri (Jakarta: Departemen  Hukum dan HAM RI, Direktorat Jenderal Perlindungan HAM, 2001).
 terorisme yang terjadi di Indonesia hingga dewasa ini nampaknya juga belum bisa  teratasi secara tuntas.  Inilah salah satu permasalahan yang sedang dihadapi  pemerintah saat ini, kenyataannya sampai sekarang para pelaku aksi terror belum  bisa semuanya ditangkap bahkan sekarang aksi teror tidak hanya terjadi dikota-  kota besar melainkan sudah masuk kedaerah-daerah.
Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban  serta merupakan salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap negara  karena terorisme sudah merupakan kejahatan yang bersifat internasional yang  menimbulkan bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan  kesejahteraan masyarakat sehingga perlu dilakukan pemberantasan secara berencana dan berkesinambungan sehingga hak asasi orang banyak dapat  dilindungi dan dijunjung tinggi. Pernyataan tersebut sejalan dengan tujuan bangsa  Indonesia yang terdapat dalam Undang-undang Dasar 1945 yaitu melindungi  segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk  memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut  melaksanakan ketertiban dunia.
Aksi terorisme di Indonesia mencuat ke permukaan setelah terjadinya Bom  Bali I pada 12 Oktober 2002, Peristiwa ini tepatnya terjadi di Sari Club dan  Peddy’s Club, Kuta, Bali.
  http://www.riaupos.com/berita.php?act=full&id=4339&kat= Sebelumnya, tercatat juga beberapa aksi teror di  Indonesia antara lain kasus Bom Istiqlal pada 19 April 1999, Bom Malam Natal  pada 24 Desember 2000 yang terjadi di dua puluh tiga gereja, Bom di Bursa Efek   Jakarta pada September 2000, serta penyanderaan dan pendudukan perusahaan  Mobil Oil oleh Gerakan Aceh Merdeka pada tahun yang sama.
 Pada sebuah proses penyelesaian perkara pidana, proses pembuktian  merupakan suatu proses pencarian kebenaran materiil atas suatu peristiwa pidana.
Indonesia sebagai negara hukum (rechtstaat) memiliki kewajiban untuk  melindungi harkat dan martabat manusia. Demikian pula dalam hal perlindungan  warga negara dari tindakan terorisme. Salah satu bentuk perlindungan negara  terhadap warganya dari tindakan atau aksi terorisme adalah melalui penegakan  hukum, termasuk di dalamnya upaya menciptakan produk hukum yang sesuai.
Upaya ini diwujudkan pemerintah dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah  Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002, yang kemudian disetujui oleh  DPR menjadi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan  Tindak Pidana Terorisme.
Diperlukannya undang-undang ini karena pemerintah menyadari tindak  pidana terorisme merupakan suatu tindak pidana yang luar biasa (extraordinary  crime), sehingga membutuhkan penanganan yang luar biasa juga (extraordinary  measures). Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 ini selain mengatur aspek  materil juga mengatur aspek formil. Sehingga, undang-undang ini merupakan  undang-undang khusus (lex specialis) dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana  dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Dengan adanya undang-undang  ini diharapkan penyelesaian perkara pidana yang terkait dengan terorisme dari  aspek materil maupun formil dapat segera dilakukan.
 “Bom Bali Rencananya untuk Memperingati Setahun Bom WTC”,  http://www.kompas.com/kompas-cetak/0308/22/nasional/505322.htm, diakses 7 November   Hal ini berbeda jika dibandingkan proses penyelesaian perkara perdata yang  merupakan proses pencarian kebenaran formil. Proses pembuktian sendiri  merupakan bagian terpenting dari keseluruhan proses pemeriksaan persidangan.
Hukum acara pidana di dalam bidang pembuktian mengenal adanya Alat Bukti  dan Barang Bukti, di mana keduanya dipergunakan di dalam persidangan untuk  membuktikan tindak pidana yang didakwakan terhadap terdakwa. Alat bukti yang  sah untuk diajukan di depan persidangan, seperti yang diatur Pasal 184 Undangundang Nomor 8 tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah:  a.  keterangan saksi b.  keterangan ahli c.  surat d.  petunjuk  e.  keterangan terdakwa Pada perkembangannya, alat bukti sebagaimana yang diatur dalam  KUHAP tidak lagi dapat mengakomodir perkembangan teknologi informasi, hal  ini menimbulkan permasalahan baru. Salah satu masalah yang muncul akibat  perkembangan teknologi informasi adalah lahirnya suatu bentuk kejahatan baru  yang sering disebut dengan cybercrime, dalam istilah yang digunakan oleh Barda  Nawawi Arief disebut dengan tindak pidana mayantara. Secara garis besar  cybercrime terdiri dari dua jenis, yaitu kejahatan yang menggunakan teknologi   Undang-Undang Nomor 8 LN Nomor 76 Tahun 1981, tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP),  Pasal 1  informasi (TI) sebagai fasilitas dan kejahatan yang menjadikan sistem dan fasilitas  teknologi informasi sebagai sasaran.
Tentu saja upaya penegakan hukum tidak boleh berhenti dengan  ketidakadaan hukum yang mengatur penggunaan barang bukti maupun alat bukti  berupa informasi elektronik di dalam penyelesaian suatu peristiwa hukum. Selain  itu, proses mengajukan dan proses pembuktian alat bukti yang berupa data digital  perlu pembahasan tersendiri mengingat alat bukti dalam bentuk informasi  elektronik ini serta berkas acara pemeriksaan telah melalui proses digitalisasi  dengan proses pengetikan (typing), pemeriksaan (editing) dan penyimpanan  (storing) dengan menggunakan komputer. Namun, hasilnya tetap saja dicetak di  atas kertas (printing process). Dengan demikian, diperlukan kejelasan bagaimana  mengajukan dan melakukan proses pembuktian terhadap alat bukti yang berupa  data digital. Proses pembuktian suatu alat bukti yang berupa data digital ini juga  menyangkut aspek validasi data digital yang dijadikan alat bukti tersebut. Aspek  lain terkait adalah masalah menghadirkan alat bukti tersebut, apakah dihadirkan cukup dengan perangkat lunaknya (software) atau harus dengan perangkat  kerasnya (hardware).
Uraian dari latar belakang tersebut, menyimpulkan penulis untuk  mengetahui lebih jelas mengenai tingkat perkembangan terorisme yang terjadi di  masyarakat saat ini, dapat dikatakan kejahatan terorisme telah berkembang dalam  kuantitas maupun kualitas perbuatannya. Berdasarkan kenyataan mengenai  pentingnya penerapan hasil bukti forensik dalam mengungkapkan suatu kasus  terorisme pada tahap penyidikan sebagaimana terurai diatas, hal tersebut   melatarbelakangi penulis untuk mengangkatnya menjadi topik pembahasan dalam  penulisan skripsi dengan judul ”TINJAUAN YURIDIS PERANAN BUKTI  FORENSIK DAN LAPORAN INTELEJEN PADA TAHAP PENYIDIKAN  TINDAK PIDANA TERORISME DI KOTA MEDAN.” B.  Perumusan Masalah  Berdasarkan uraian latar belakang, maka peneliti mengidentifikasikan  permasalahan sebagai berikut: 1.  Bagaimana peranan bukti forensik dan laporan intelejen  dalam  mengungkap tindak pidana terorisme pada tahap penyidikan ditinjau  dari Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan  Tindak Pidana Terorisme dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981  tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)? 2.  Peranan Kepolisian Resort kota Medan (Unit Jatanras) dalam  mengumpulkan informasi dan keterangan lain guna melengkapi  pembuktian yang terkait tindak pidana terorisme? C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian 1.  Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dengan diadakannya penelitian ini  adalah sebagai berikut: a.  Mengkaji dan memahami secara jelas mengenai peranan bukti  forensik dalam mengungkap tindak pidana terorisme pada tahap   penyidikan ditinjau dari UU No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan  Tindak Pidana Terorisme dan UU No.8 Tahun 1981 tentang Kitab  Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
b.  Mengetahui tentang Peranan Kepolisian Resort kota Medan (Unit  Jatanras) dalam mengumpulkan informasi dan keterangan lain  guna melengkapi pembuktian yang terkait tindak pidana terorisme.
2.  Manfaat Penelitian Diharapkan karya akhir ini dapat bermanfaat dengan optimal, baik  secara akademis maupun praktis. Adapun penelitian ini memiliki manfaat  sebagai berikut : a.  Manfaat Akademis Penelitian ini ditujukan untuk menambah pengetahuan dibidang  hukum khususnya hukum pidana  baik untuk kalangan mahasiswa  sendiri atau para akademisi sebagai bibit unggul yang akan menjadi  kalangan yang berguna dan menjadi generasi penerus bangsa di  masa yang akan datang.

b.  Manfaat Praktis Diharapkan pula melalui penulisaan skripsi ini dapat bermanfaat  nantinya bagi para penegak hukum dalam upaya memberikan  proses peradilan yang baik dan tepat, sehingga tidak  mengakibatkan kerugian bagi para pihak yang mencari keadilan  dan dapat memberikan rasa keadilan yang sebesar-besarnya di  tengah masyarakat.
Download lengkap Versi Word

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi