Senin, 07 April 2014

Skripsi Hukum: TINJAUAN YURIDIS MENGENAI TINDAK PIDANA PEMILU DAN PROSES PENYELESAIAN PERKARANYA DALAM PERSFEKTIF UU NO. 10 TAHUN 2008 TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DPR, DPD DAN DPRD



BABI  PENDAHULUAN 
A.  Latar Belakang
 Pemilu 2009 adalah pemilu yang di awal persiapan perhelatannya telah  melahirkan banyak kontroversi di publik. Banyak fenomena yang mengusik atau  mungkin bisa dikatakan anomali. Tidak berhenti sampai di situ, produk calon  legislatif yang dimunculkan dari tiap partai politik belakangan juga menuai banyak  kritikan dan cercaan. Proses rekruitmen bakal calon yang tidak jelas, jumlah partai  politik yang banyak (44 partai politik), kurang matangnya persiapan pemerintah  dalam proses penyelenggaraan pemilu serta minimnya sosialisasi tentang tata cara dan  aturan Pemilu, adanya peraturan mengenai  parliament threshold, menjadikan  banyaknya kasus-kasus pelanggaran Pemilu yang terjadi di pemilu 2009 1 Banyaknya fenomena pelanggaran yang terjadi di dalam Pemilu 2009,  misalnya penggelembungan suara caleg salah satu partai politik, pencontrengan yang  dilakukan lebih dari 1 (satu) kali sampai money politic yang dilakukan salah satu  caleg untuk mencari simpati rakyat. Diantara sekian banyak kasus pelanggaran Pemilu  yang terjadi hampir di seluruh Indonesia, yang sangat urgent dan menjadi pembahasan  apalagi untuk persiapan Pemilu Presiden yang akan dating adalah masalah DPT  (Daftar Pemilih Tetap). Masalah DPT ini menjadikan Pemilu 2009 sebagai Pemilu  paling buruk dibandingkan Pemilu 1999 dan 2004. Itu karena angka golput mencatat  rekor tertinggi dalam sejarah Pemilu di Indonesia. Angka golput diperkirakan  mencapai 30% dan angka pemilih yang tidak masuk DPT sekitar 10-12%, sehingga  jika ditotal, angka pemilih yang tidak menggunakan hak pilih mencapai 40% lebih.

.
1 Umar Syadat Hasibuan, Unsophisticated Politicians di Parlemen, harian Waspada, edisi  Kamis 30 April 2009, hal. 8.
 DPT tidak akurat, buruknya persiapan, serta rendahnya sosialiasi merupakan factor  penyebab melambungnya angka golput 2 Kisruh masalah DPT akhirnya masuk ke wilayah politik DPR. Hak angket  digunakan untuk membedah kesemrawutan daftar tersebut. Sebanyak 22 anggota  DPR dari enam fraksi menggunakan hak konstitusional mereka untuk  mempersoalkan kesemrawutan DPT (Daftar Pemilih Tetap). Mereka menilai bahwa  pemerintah ikut bertanggung jawab atas hilangnya hak pilih warga negara dalam  pemilu legislatif 9 April 2009 yang lalu. Langkah politik DPR ini sangat masuk akal  manakala langkah hukum atas hilangnya hak pilih warga negara belum menemukan  salurannya. Pengaduan warga negara ke kepolisian belum mendapatkan tanggapan  memadai. Padahal, hilangnya hak pilih warga negara adalah pelanggaran hak asasi  manusia yang diatur dalam Konstitusi UUD 1945 dan Kovenan Internasional Hak  Sipil dan Politik .
3 Kecurangan Pemilu melalui manipulasi DPT atau electoral fraud merupakan  pelanggaran HAM Pasal 25 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik. Hal ini  adalah indikasi pengurangan integritas masyarakat. Suatu hal kritis yang telah  memaksa BAWASLU (Badan Pengawas Pemilu) menyatakan perlunya suatu  .
Adalah suatu kenyataan bahwa hingga kini belum ada pihak yang bertanggung  jawab atas kesemrawutan DPT (Daftar Pemilih Tetap). Komisi Pemilihan Umum  yang kewenangannya turun dari konstitusi menolak untuk bertanggung jawab,  sementara Departemen Dalam Negeri menimpakan tanggung jawab kepada KPU.
Pada akhirnya, rakyat ditempatkan sebagai pihak yang ikut bersalah karena tidak mau  mengecek Daftar Pemilih Sementara (DPS) serta aktif mendaftarkan diri.
2 Khofifah Indar Parawansa, Pencerdasan Demokrasi, Harian Seputar Indonesia, Edisi Senin,  27 April 2009, hal. 4.
3 Isu DPT Masuk Parlemen, Tajuk Rencana, Harian Kompas, Edisi Rabu, 29 April 2009, hal.
6.
 pemungutan suara ulang. Kecuarangan tersebut sudah tidak mungkin dipermaklumkan  sebagai kesalahan yang tidak bisa dihindari. Kelemahan administrasi penyelenggaraan  Pemilu sudah semakin terlihat sebagai bentuk lain dari strategi pemenangan dengan  medium pemilu.
4 Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka penulis merasa tertarik untuk  mengangkat pembahasan mengenai masalah ini dalam sebuah skripsi, khususnya  pertanggungjawaban pidana kasus-kasus pidana yang terjadi dalam proses Pemilihan  Umum, baik berdasarkan KUHP maupun UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu.
Sebagaimana diketahui, beberapa kasus yang terjadi di Pemilu khususnya masalah  DPT,  seakan membawa kita masuk dalam kehidupan tanpa negara (stateless). KPU  dan Departemen Dalam Negeri sebagai pihak yang bertanggung jawab atas DPT  tidak mau mengakui DPT bermasalah itu. Bahkan, mereka saling lempar tanggung  jawab satu ama lian. Sama dengan kasus Pilgub Jatim, kasus DPT Pemilu 2009 juga  tak ditangani serius oleh pihak kepolisian. Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir  tunggal undang-undang juga tidak mampu berbuat apa-apa.
B. Rumusan Permasalahan Rumusan permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah : 1.  Bagaimana mekanisme pertanggung jawaban dan penyelesaian tindak pidana  pemilu dalam KUHP.
2. Bagaimana mekanisme pertanggung jawaban dan penyelesaian tindak pidana  pemilu dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu.
4 Agung Putri, Terulangnya Pemilu Manipulatif, Harian Kompas, Edisi Sabtu, 18 April 2009,  hal. 6.
 C. Tujuan  dan Manfaat Penulisan Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka tujuan penulisan skripsi ini secara  singkat, adalah sebagai berikut:  1.   Untuk mengetahui mekanisme  pertanggung jawaban  dan penyelesaian tindak  pidana pemilu dalam KUHP.
2. Untuk mengetahui mekanisme  pertanggung jawaban dan penyelesaian tindak  pidana pemilu dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu.
Selanjutnya, penulisan skripsi ini juga diharapkan bermanfaat untuk : 1.  Manfaat secara teoritis Penulis berharap kiranya penulisan skripsi ini dapat bermanfaat untuk dapat  memberikan masukan sekaligus menambah khasanah ilmu pengetahuan dan  literature dalam dunia akademis, khususnya tentang hal-hal yang berhubungan  dengan mekanisme pertanggung jawaban dan penyelesaian tindak pidana pemilu yang diatur dalam KUHP dan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu.
2. Manfaat secara praktis Secara praktis penulis berharap agar penulisan skripsi ini dapat memberi  pengetahuan kepada masyarakat tentang mekanisme pertanggung jawaban dan  penyelesaian tindak pidana pemilu yang diatur dalam KUHP dan UU No. 10  Tahun 2008 tentang Pemilu, sehingga dapat memberikan pembelajaran politik  bagi masyarakat. Sehingga untuk pemilu selanjutnya tidak akan ada lagi terjadi  berbagai pelanggaran yang menimbulkan kerugian masyarakat untuk menyalurkan  aspirasinya.
 D. Keaslian Penulisan.
Pembahasan skripsi ini dengan judul: “TINJAUAN YURIDIS MENGENAI  TINDAK PIDANA PEMILU DAN PROSES PENYELESAIAN PERKARANYA  DALAM PERSFEKTIF UU NO. 10 TAHUN 2008 TENTANG PEMILIHAN  UMUM ANGGOTA DPR, DPD DAN DPRD”, adalah masalah yang sebenarnya  sudah sering kita dengar, dimana seringkali terjadi  berbagai pelanggaran yang  terindikasi sebagai tindak pidana di dalam Pemilu legislatif 9 April 2009 yang lalu,  padahal keseluruhan mekanisme pada dasarnya sudah diatur di dalam UU No. 10  Tahun 2009 tentang Pemilu.
Permasalahan yang dibahas di dalam skripsi ini adalah murni hasil pemikiran  dari penulis yang dikaitkan dengan teori-teori hukum yang berlaku maupun dengan  doktrin-doktrin yang ada, dalam rangka melengkapi tugas dan memenuhi syarat guna  memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum ,  dan apabila ternyata di kemudian hari terdapat judul dan permasalahan yang sama,  maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap skripsi ini.
E.  Tinjauan Kepustakaan 1.  Pengertian Pemilihan Umum Pemilihan Umum, selanjutnya disebut Pemilu, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,  dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia  berdasarkan Pancasila dan  Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
5 5 Pasal 1 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu.
 Pemilu dilaksanakan secara efektif dan efisien berdasarkan asas langsung,  umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, 6 bertujuan untuk memilih anggota DPR, DPRD  tingkat propinsi, DPRD tingkat kabupaten/kota dan anggota DPD (Dewan Perwakilan  Daerah).
7 Pemilu dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali. Adapun t ahapan  penyelenggaraan Pemilu meliputi :  8 Peserta Pemilu adalah Partai Politik.
a). pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih; b). pendaftaran Peserta Pemilu; c). penetapan Peserta Pemilu; d). penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan; e). pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota; f).  masa kampanye; g). masa tenang; h). pemungutan dan penghitungan suara; i).  penetapan hasil Pemilu; dan j).  pengucapan sumpah/janji anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD  kabupaten/kota.
9 Partai politik dapat menjadi Peserta  Pemilu setelah memenuhi persyaratan : 10 c).  memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah kabupaten/kota di provinsi  yang bersangkutan; a).  berstatus badan hukum sesuai dengan Undang-Undang tentang Partai Politik; b). memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah provinsi; 6 Pasal 2 UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu.
7 Pasal 1 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu.
8 Pasal 4 ayat (1) dan (2) UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu.
9 Pasal 7 UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu.
10 Pasal 8 UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu.
 d). menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan  perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat; e). memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000 (satu  perseribu) dari jumlah Penduduk pada setiap kepengurusan partai politik  sebagaimana dimaksud pada huruf b dan huruf c yang dibuktikan dengan  kepemilikan kartu tanda anggota; f). mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan sebagaimana pada huruf b dan huruf  c; dan g) . mengajukan nama dan tanda gambar partai politik kepada KPU.
2.  Pengertian Komisi Pemilihan Umum (KPU) Secara institusional, KPU yang ada sekarang merupakan KPU ketiga yang  dibentuk setelah Pemilu demokratis sejak reformasi 1998. KPU pertama (1999-2001)  dibentuk dengan Keppres No 16 Tahun 1999 yang berisikan 53 orang anggota yang  berasal dari unsur pemerintah dan Partai Politik dan dilantik oleh Presiden BJ  Habibie. KPU kedua (2001-2007) dibentuk dengan Keppres No 10 Tahun 2001 yang  berisikan 11 orang anggota yang berasal dari unsur akademis dan LSM dan dilantik  oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada tanggal 11 April 2001. KPU  ketiga (2007-2012) dibentuk berdasarkan Keppres No 101/P/2007 yang berisikan 7  orang anggota yang berasal dari anggota KPU Provinsi, akademisi, peneliti dan  birokrat dilantik tanggal 23 Oktober 2007 minus Syamsulbahri yang urung dilantik  Presiden karena masalah hukum Untuk menghadapi pelaksanaan Pemilihan Umum 2009, image KPU harus  diubah sehingga KPU dapat berfungsi secara efektif dan mampu memfasilitasi  pelaksanaan Pemilu yang jujur dan adil. Terlaksananya Pemilu yang jujur dan adil   tersebut merupakan faktor penting bagi terpilihnya wakil rakyat yang lebih  berkualitas, dan mampu menyuarakan aspirasi rakyat. Sebagai anggota KPU,  integritas moral sebagai pelaksana pemilu sangat penting, selain menjadi motor  penggerak KPU juga membuat KPU lebih kredibel di mata masyarakat karena  didukung oleh personal yang jujur dan adil. Tepat 3 (tiga) tahun setelah berakhirnya  penyelenggaraan Pemilu 2004, muncul pemikiran di kalangan pemerintah dan DPR  untuk meningkatkan kualitas pemilihan umum, salah satunya kualitas penyelenggara  Pemilu. Sebagai penyelenggara pemilu, KPU dituntut independen dan non-partisan.
Untuk itu atas usul insiatif DPR-RI menyusun dan bersama pemerintah  mensyahkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu.
Sebelumnya keberadaan penyelenggara Pemilu terdapat dalam Pasal 22-E Undangundang Dasar Tahun 1945 dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang  Pemilu DPR, DPD dan DPRD, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang  Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu  diatur mengenai penyelenggara Pemilihan Umum yang dilaksanakan oleh suatu  Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Sifat  nasional mencerminkan bahwa wilayah kerja dan tanggung jawab KPU sebagai  penyelenggara Pemilihan Umum mencakup seluruh wilayah Negara Kesatuan  Republik Indonesia. Sifat tetap menunjukkan KPU sebagai lembaga yang  menjalankan tugas secara berkesinambungan meskipun dibatasi oleh masa jabatan  tertentu. Sifat mandiri menegaskan KPU dalam menyelenggarakan Pemilihan Umum  bebas dari pengaruh pihak mana pun.
Perubahan penting dalam undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang  Penyelenggara Pemilu, meliputi  pengaturan mengenai lembaga penyelenggara   Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,  dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; Pemilihan Umum Presiden dan Wakil  Presiden; serta Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang  sebelumnya diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan kemudian  disempurnakan dalam 1 (satu) undang-undang secara lebih komprehensif.
Dalam undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu  diatur mengenai KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagai lembaga  penyelenggara pemilihan umum yang permanen dan Bawaslu sebagai lembaga  pengawas Pemilu. KPU dalam menjalankan tugasnya bertanggung jawab sesuai  dengan peraturan perundang-undangan serta dalam hal penyelenggaraan seluruh  tahapan pemilihan umum dan tugas lainnya. KPU memberikan laporan Presiden  kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu juga  mengatur kedudukan panitia pemilihan yang meliputi PPK, PPS, KPPS dan PPLN  serta KPPSLN yang merupakan penyelenggara Pemilihan Umum yang bersifat ad  hoc. Panitia tersebut mempunyai peranan penting dalam pelaksanaan semua tahapan  penyelenggaraan Pemilihan Umum dalam rangka mengawal terwujudnya Pemilihan  Umum secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Dalam rangka mewujudkan KPU dan Bawaslu yang memiliki integritas dan  kredibilitas sebagai Penyelenggara Pemilu, disusun dan ditetapkan Kode Etik  Penyelenggara Pemilu. Agar Kode Etik Penyelenggara Pemilu dapat diterapkan dalam  penyelenggaraan Pemilihan Umum, dibentuk Dewan Kehormatan KPU, KPU  Provinsi, dan Bawaslu.  Di dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang  Pemilu DPR, DPD dan DPRD, jumlah anggota KPU adalah 11 orang. Dengan  diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara   Pemilu, jumlah anggota KPU berkurang menjadi 7 orang. Pengurangan jumlah  anggota KPU dari 11 orang menjadi 7 orang tidak mengubah secara mendasar  pembagian tugas, fungsi, wewenang dan kewajiban KPU dalam merencanakan dan  melaksanakan tahap-tahap, jadwal dan mekanisme Pemilu DPR, DPD, DPRD, Pemilu  Presiden/Wakil Presiden dan Pemilu Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah.
Menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara  Pemilu, komposisi keanggotaan KPU harus memperhatikan keterwakilan perempuan  sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen). Masa keanggotaan KPU 5 (lima) tahun  terhitung sejak pengucapan sumpah/janji.
3.  Pengertian Tindak Pidana Dalam kitab undang-undang hukum pidana yang berlaku sekarang  diadakan dua macam pembagian tindak pidana, yaitu kejahatan yang ditempatkan  dalam Buku ke II dan pelanggaran yang ditempatkan dalam Buku ke III.
Ternyata dalam KUHP, tiada satu Pasal pun yang memberikan dasar  pembagian tersebut, walaupun pada bab-bab dari buku I selalu ditemukan  penggunaan istilah tindak pidana, kejahatan atau pelanggaran. Kiranya cirri-ciri  pembedaan itu terletak pada penilaian-kesadaran hukum pada umumnya dengan  penekanan (stressing)  kepada delik hukum (rechts-delichten)  dan delik undangundang (wet-delichten).
Beberapa sarjana mengemukakan sebagai dasar pembagian tersebut bahwa  delik hukum sudah sejak semula dapat dirasakan sebagai tindakan yang bertentangan  dengan hukum sebelum pembuat undang-undang menyatakan dalam undang-undang.
Sedangkan delik undang-undang baru dipandang/dirasakan sebagai tindakan yang  bertentangan dengan hukum, setelah ditentukan dalam undang-undang.
 Sebagai contoh dari delik hukum antara lain adalah pengkhianatan,  pembunuhan, pencurian, perkosaan, penghinaan dan sebagainya, dan contoh dari delik  undang-undang antara lain adalah pelanggaran, peraturan lalu lintas di jalan, peraturan  pendirian perusahaan, peraturan pengendalian harga dan lain sebagainya. Sarjana lain  yaitu VOS tidak dapat menyetujui bilamana dikatakan bahwa dasar pembagian  pelanggaran adalah karena sebelumnya tindakan-tindakan tersebut tidak dirasakan  sebagai hal yang melanggar kesopanan atau tak dapat dibenarkan oleh masyarakat  (zedelijk of maatschappelijk ongeoorloofd), karena : a.  ada pelanggaran yang diatur dalam Pasal-Pasal 489, 490 KUHP yang justru dapat  dirasakan sebagai yang tidak dapat dibenarkan oleh masyarakat dan  b.  ada beberapa kejahatan seperti Pasal 396 (merugikan kreditur) yang justru dapat  dirasakan sebelumnya sebagai tindakan yang melanggar kesopanan.
Dasar  pembedaan lainnya dari kejahatan dan pelanggaran yang  dikemukakan adalah pada berat/ringannya pidana yang diancamkan. Seyogyanya  untuk kejahatan diancamkan pidana yang berat seperti pidana mati atau  penjara/tutupan. Ternyata pendapat ini menemui kesulitan karena pidana kurungan  dan denda diancamkan, baik pada kejahatan maupun pelanggaran.
Dari sudut pemidanaan, pembagian kejahatan sebagai delik hukum atau  pelanggaran sebagai delik undang-undang, tidak banyak faedahnya sebagai pedoman.
Demikian pula dari sudut ketentuan berat/ringannya ancaman pidana terhadapnya,  seperti yang dikemukakan di atas, sulit untuk dipedomani. Dalam penerapan hukum  positif tiada yang merupakan suatu kesulitan, karena dengan penempatan kejahatan  dalam buku kedua dan pelanggaran dalam buku ketiga, sudah cukup sebagai pedoman  untuk menentukan apakah sesuatu tindakan merupakan kejahatan atau pelanggaran.
 Mengenai tindak pidana yang diatur dalam perundang-undangan lainnya  setingkat dengan KUHP telah ditentukan apakah ia merupakan kejahatan atau  pelanggaran. Sedangkan tindak pidana yang diatur dalam peraturan yang lebih rendah  tingkatannya (peraturan pemerintah, peraturan-peraturan gubernur/kepala daerah dan  sebagainya) pada umumnya merupakan pelanggaran.
Kegunaan pembedaan kejahatan terhadap pelanggaran, kita temukan  dalam sistematika KUHP yang merupakan “buku induk” bagi semua perundangundangan hukum pidana.
Sedangkan istilah tindak pidana merupakan salah satu terjemahan dari  bahasa Belanda yaitu “Het Strafbare feit” yang setelah diterjemahkan dalam bahasa  Indonesia berarti : a.  Perbuatan yang dapat/boleh dihukum b.  Peristiwa pidana c.  Perbuatan pidana dan  d.  Tindak pidana Beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para sarjana mengenai istilah  “Het Strafbare feit” antara lain  11 Simon merumuskan “Een Strafbaar feit” adalah suatu  handeling (tindakan/perbuatan) yang diancam dengan pidana oleh undang-undang,  bertentangan dengan hukum (onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan (schuld)  oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab. Kemudian beliau membaginya  dalam dua golongan unsur, yaitu : unsur-unsur objektif yang berupa tindakan yang  dilarang/diharuskan, akibat keadaan/masalah tertentu, dan unsur subjektif yang  :  a.  Rumusan Simon 11 SR. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya, Alumni Ahaem –  Petehaem, Jakarta, 1996, hal. 117.
 berupa kesalahan  (schuld)  dan kemampuan bertanggung jawab  (toerekeningsvatbaar) dari petindak.
b.  Rumusan Van Hammel Van Hammel merumuskan “Strafbaar feit” itu sama dengan yang dirumuskan  oleh Simon, hanya ditambah dengan kalimat “tindakan mana bersifat dapat  dipidana”.
c.  Rumusan VOS VOS merumuskan “Strafbaar feit” adalah suatu kelakukan (gedraging) manusia  yang dilarang dan oleh undang-undang diancam dengan pidana.
d.  Rumusan Pompe Pompe merumuskan “Strafbaar feit”  adalah suatu pelanggaran kaidah  (penggangguan ketertiban hukum), terhadap mana pelaku mempunyai kesalahan  untuk mana pemidanaan adalah wajar untuk menyelenggarakan ketertiban hukum  dan menjamin kesejahteraan umum.
Para sarjana Indonesia juga telah memberikan definisi mengenai tindak  pidana ini, yaitu  12 Setelah melihat pendapat beberapa ahli mengenai pengertian tindak  pidana, maka selanjutnya dapat dikatakan bahwa tindak pidana adalah terdiri dari dua  :  a.  Karni mendefinisikan tindak pidana sebagai perbuatan yang boleh dihukum.
b. R. Tresna mendefinisikan tindak pidana sebagai peristiwa pidana.
c.  Moeljatno mendefinisikan tindak pidana sebagai perbuatan pidana.
d.  Wirdjnono Prodjodikoro mendefinisikan tindak pidana sebagai suatu perbuatan  yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana dan pelaku itu dapat dikatakan  merupakan “subjek” tindak pidana.
12 Ibid, Hal. 204-206.
 suku kata yaitu tindak dan pidana. Istilah tindak dan pidana adalah merupakan  singkatan dari tindakan dan penindak. Artinya ada orang yang melakukan suatu  tindakan, sedangkan orang yang melakukan tindakan itu dinamakan penindak.
Mungkin suatu tindakan dapat dilakukan oleh siapa saja, tetapi dalam banyak hal  suatu tindakan tertentu hanya mungkin dilakukan oleh seseorang dari suatu golongan  jensi kelamin saja, atau seseorang dari suatu golongan yang bekerja pada  negara/pemerintah (pegawai negeri, militer, nakhoda dan sebagainya) atau seseorang  dari golongan lainnya. Jadi status/kualifikasi seseorang petindak harus ditentukan  apakah ia salah seorang dari “barang siapa”, atau seseorang dari suatu golongan  tertentu. Bahwa jika ternyata petindak itu tidak hanya orang (natuurlijk-persoon) saja  melainkan juga mungkin berbentuk badan hukum  13 Setiap tindakan yang bertentangan dengan hukum atau tidak sesuai dengan  hukum, menyerang kepentingan masyarakat atau individu yang dilindungi hukum,  tidak disenangi oleh orang atau masyarakat, baik yang langsung atau tidak langsung  terkena tindakan tersebut. Pada umumnya untuk menyelesaikan setiap tindakan yang  sudah dipandang merugikan kepentingan umum di samping kepentingan  perseorangan, dikehendaki turun tangannya penguasa. Apabila penguasa tidak turun  tangan, maka tindakan-tindakan tersebut akan merupakan sumber kekacauan yang tak  akan habis-habisnya. Demi menjamin keamanan, ketertiban dan kesejahteraan dalam  masyarakat, perlu ditentukan mengenai tindakan-tindakan yang dilarang atau yang  diharuskan. Sedangkan pelanggaran kepada ketentuan tersebut diancam dengan  pidana. Singkatnya perlu ditentukan tindakan-tindakan apa saja yang dilarang atau  diharuskan dan ditentukan ancaman pidananya dalam perundang-undangan .
14 .
13 Ibid, Hal. 209.
14 Ibid, Hal. 210.
 F.  Metode Penelitian 1.  Sifat/Bentuk Penelitian Dalam penulisan skripsi ini, penulis mempergunakan dan melakukan  pengumpulan data-data untuk mendukung dan melengkapi penulisan skripsi ini  dengan cara Library Research (penelitian kepustakaan). Selanjutnya penelitian yang  dilakukan adalah penelitian hukum normatif. Langkah pertama dilakukan penelitian  hukum normatif yang didasarkan pada bahan hukum sekunder yaitu inventarisasi  peraturan-peraturan yang berkaitan dengan mekanisme penyelesaian tindak pidana  Pemilu menurut KUHP dan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu. Selain itu  dipergunakan juga bahan-bahan tertulis lainnya yang berkaitan dengan persoalan ini.
Penelitian bertujuan menemukan landasan hukum yang jelas dalam  meletakkan persoalan ini dalam perspektif hukum pidana khususnya yang berkaitan  dengan mekanisme penyelesaian tindak pidana Pemilu menurut KUHP dan UU No.
10 Tahun 2008 tentang Pemilu.
2.  D a t a Data yang diteliti adalah data sekunder yang terdiri dari :  a.  Bahan/sumber primer berupa peraturan perundang-undangan, buku, kertas  kerja.
b.  Bahan/sumber skunder berupa bahan acuan lainnya yang berisikan informasi  yang mendukung penulisan skripsi ini, seperti tulisan-tulisan, surat kabar,  internet dan sebagainya.
3. Teknik Pengumpulan Data Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi, maka  penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan, yaitu  mempelajari dan menganalisa secara sistematis buku-buku, majalah-majalah, surat   kabar, peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan lain yang berhubungan  dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini. Analissi data yang digunakan dalam  skripsi ini adalah analisis kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun  secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan  masalah yang akan dibahas.
G. Sistematika Penulisan Untuk lebih mempertegas penguraian isi dari skripsi ini, serta untuk lebih  mengarahkan pembaca, maka berikut di bawah ini penulis membuat sistematika  penulisan/gambaran isi skripsi ini sebagai berikut : BAB I  PENDAHULUAN Pada bab ini merupakan bab pendahuluan yang menguraikan mengenai  hal-hal yang berkaitan dengan Latar Belakang, Perumusan Masalah,  Keaslian Penulisan, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Tinjauan  Kepustakaan yang diakhiri dengan Metode Penelitian dan Sistematika  Penulisan.
BAB  II  BENTUK-BENTUK TINDAK PIDANA PEMILIHAN UMUM DI  INDONESIA Pada bab ini akan dibahas hal-hal yang berkaitan dengan bentuk-bentuk  tindak pidana Pemilihan Umum berdasarkan peraturan perundangundangan yang ada di Indonesia, baik yang diatur di dalam Kitab  Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun di dalam UU No. 10  Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum  BAB III  MEKANISME PENYELESAIAN TINDAK PIDANA PEMILIHAN  UMUM DI INDONESIA Pada bab ini akan dibahas hal-hal yang berkaitan dengan mekanisme  penyelesaian tindak pidana pemilihan umum di Indonesia baik  berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun di  dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum, serta diakhiri  dengan kasus-kasus Tindak Pidana Pemilihan Umum yang pernah terjadi  di Indonesia.
Pada bab ini juga akan dibahas hal-hal yang berkaitan dengan analisa  mengenai tindak pidana Pemilihan Umum yang pernah terjadi di  Indonesia berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di  Indonesia baik yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum  Pidana (KUHP) maupun di dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang  Pemilihan Umum BAB IV  KESIMPULAN DAN SARAN Pada Bab ini dibahas mengenai kesimpulan dan saran sebagai hasil dari  pembahasan dan penguraian skripsi ini secara keseluruhan.
  

Download lengkap Versi Word

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi