BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang.
Dalam era
globalisasi, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang cukup pesat dan semakin canggih khususnya
baik di bidang transportasi, komunikasi, maupun informasi, serta semakin
meningkatnya arus globalisasi antara lain telah menyebabkan wilayah negara yang
satu dengan wilayah negara yang lain seakan-akan tanpa batas sehingga
perpindahan orang atau barang dari satu negara ke negara lain dilakukan dengan
mudah dan cepat a. Pada bidang
transportasi, yakni semakin tingginya mobilitas orang, dimana orang dengan mudah dan cepat dapat bepergian
dari satu negara ke negara lain.
.
Perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang cukup pesat dan semakin canggih tersebut sangat besar
pengaruhnya, antara lain: b. Pada bidang komunikasi dan informasi, telah
memberikan berbagai kemudahan yang
didapat oleh masyarakat, misalnya orang dapat melakukan perbuatan tertentu, tanpa harus berada di negara tempat
perbuatan tersebut dilakukan.
Segala sesuatu
dapat dilakukan dengan mudah, tanpa dibatasi waktu dan/atau tempat Kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi, di samping mempunyai dampak positif bagi
kehidupan manusia juga membawa dampak
negatif .
Melita Kristin, “Pidana Internasional-Mutual
Legal Assistance Criminal Matters”, melitanotlonely.multiply.com,
terakhir kali diakses pada 14 Oktober 2010.
Ibid.
yang dapat merugikan orang perorangan,
masyarakat, dan/atau negara.
Tidak jarang
orang-orang yang tidak bertanggung jawab melihat adanya peluang tersebut untuk
memperoleh keuntungan bagi dirinya sendiri dan/atau kelompoknya, walaupun hal
itu akan merugikan orang lain, masyarakat, dan negara. Bahkan hal tersebut mengakibatkan
sangat memungkinkan berkembangnya
kejahatan transnasional terorganisir(Organized Transnational Crimes) yang modus operandinya semakin
canggih, seperti tindak pidana korupsi, tindak
pidana terorisme, dan tindak pidana pencucian uang Mengenai kejahatan transnasional, Romli
Atmasasmita mengemukakan: Karakteristik
yang sangat menonjol dari kejahatan ini ialah memiliki mobilitas tinggi dengan jaringan organisasi yang sangat
tertutup didukung manajemen operasional
dan keuangan yang canggih. Modus operandi sedemikian hanya dapat dilaksanakan dengan baik oleh suatu organisasi
kejahatan (organized crime) .
Dengan semakin luas dan canggihnya jaringan
kejahatan yang dibentuk tentunya
berdampak pula pada semakin sukarnya melakukan upaya pencegahan dan pemberantasan kejahatan ini. Oleh karena
itu, dalam upaya mencegah dan memberantas kejahatan transnasional
terorganisasi, kerja sama di antara negaranegara, baik yang sifatnya bilateral maupun multilateral merupakan hal yang sangat penting untuk segera direalisasikan .
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pada
akhir-akhir ini banyak dimanfaatkan secara tidak bertanggung jawab oleh para
pelaku .
Ibid.
Romli Atmasasmita, Prospek Kerjasama
Regional/Internasional dalam Pemberantasan Money Laundering di Indonesia, artikel dalam
Jurnal Padjadjaran, No. 1 Tahun 1997, hal. 65.
Melita Kristin, Loc. Cit.
tindak pidana yang bersifat transnasional,
antara lain dalam upaya meloloskan diri dari tuntutan hukum atas tindak pidana
yang telah dilakukan.
Tindakan tersebut
jelas dapat mempersulit upaya penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan atau bahkan
untuk pelaksanaan putusan pengadilan.
Tindak pidana yang bersifat transnasional bahkan mengakibatkan timbulnya permasalahan hukum suatu negara
dengan negara lain sehingga upaya penanggulangan
dan pemberantasannya sulit dilakukan tanpa kerja sama dan harmonisasi kebijakan dengan negara lain Selain itu dalam Resolusi PBB No. 55/2
tersebut telah menegaskan akan perlunya
memperkuat kaidah hukum internasional untuk mendukung kepentingan nasional: to strengthen respect for the rule
of law in international as in national affairs
and, in particular, to ensure compliance by Member States with the decisions of the International Court of
Justice, in compliance with the Charter of the United Nations, in cases to which they are
parties, dan mengintensifkan upaya .
Resolusi Majelis
Umum Peserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Tahun 2000 (No. 55/2) tentang Deklarasi Milenium PBB
telah menegaskan bahwa tanggung jawab
terhadap pembangunan sosial ekonomi harus mengedepankan kerjasama antar bangsa sebagai berikut: responsibility
for managing worldwide economic and
social development, as well as threats to international peace and security, must be shared among the nations of the world
and should be exercised multilaterally.
As the most universal and most representative organization in the world, the United Nations must play the
central role.
Ibid.
bersama untuk memerangi kejahatan lintas
negara dalam segala aspek dan dimensinya
(…to intensify our efforts to fight transnational crime in all its dimensions, including trafficking as well as
smuggling in human beings and money
laundering) Kerjasama penegakan hukum
dalam hubungan internasional telah terbukti sangat menentukan keberhasilan penegakan hukum
nasional terhadap kejahatan transnasional
.
. Keberhasilan kerjasama penegakan hukum
tersebut pada umumnya tidak akan menjadi
kenyataan jika tidak ada perjanjian bilateral atau multilateral dalam penyerahan pelaku kejahatan
atau dalam kerjasama penyidikan, penuntutan
dan peradilan. Prasyarat perjanjian tersebut tidak bersifat mutlak karena tanpa ada perjanjian itupun kerjasama
penegakan hukum dapat dilaksanakan
berlandaskan asas resiprositas (timbal balik)
“Kerjasama Internasional dalam Masalah Pidana”, stredoall.blogspot.com,
terakhir kali diakses pada 14 Oktober
2010.
Pengertian istilah “transnational” atau
“transnasional” (bahasa Indonesia),
untuk pertama kali diperkenalkan oleh
Phillip C.Jessup, seorang ahli hukum internasional yang sangat terkenal dalam
lingkungan para ahli hukum sedunia. Jessup menegaskan bahwa, selain istilah hukum internasional atau international law,
digunakan istilah hukum nasional atau transnational yang dirumuskan, semua hukum yang mengatur
semua tindakan atau kejadian yang melampaui batas territorial (Dikutip dari Romli
Atmasasmita, “Tindak Pidana Narkotika Transnasional dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia (Disertasi,
1996; hal. 38)) . Pengertian istilah tersebut kemudian digunakan dalam salah satu Keputusan Kongres
PBB ke VIII, tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakuan terhadap para Pelanggar Hukum tahun
1990, dan digunakan dalam Konvensi Wina tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Lalu Lintas Ilegal Narkotika dan Psikotropika
tahun 1988.
Pengertian istilah
tersebut terakhir digunakan dalam Konvensi PBB Anti Kejahatan Transnasional Terorganisasi tahun 2000 yang diartikan,
sebagai kejahatan yang memiliki
karakteristik (1) yang di dua Negara atau lebih; (2)pelakunya atau korban
WNA; (3)sarana melampaui batas
territorial satu atau dua Negara.
.
Asas resiprositas diatur juga dalam
Undang-undang No. 1 tahun 1979 tentang Ekstradisi, Asas ini melliputi 3(tiga) hal
yaitu: (1) ada kepentingan politik yang sama (mutual interest); (2) ada keuntungan yang sama(mutual advantages), (3) ada tujuan
yang sama(mutual goals), dan penghormatan atas asas “state souvereignty”.
Implementasi asas resiprositas tidak memerlukan
suatu perjanjian(treaty) akan tetapi cukup dengan “arrangement” saja yang hanya
berlaku atas dasar “on case by case
basis”. Untuk kelancaran pelaksanaan “arrangement” ini diperlukan ketentuan yang menegaskan bahwa,
prosedur “non-treaty based” dibolehkan dan dicantumkan di dalam undang-undang payung
ekstradisi dan bantuan timbal balik dalam masalah pidana. (Dikutip dari Tiar Ramon, “Kebijakan
Hukum Kerjasama di Bidang Ekstradisi dalam Era Saat ini dikenal beberapa bentuk kerjasama
internasional dalam memberantas tindak
pidana yang tertuang di dalam berbagai perjanjian, antara lain, Perjanjian Pertukaran Informasi
(Memorandum of Understanding on Exchange
Information/MoU), Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana (Mutual Legal Assistance/MLA), Ekstradisi, dan
Perjanjian Pemindahan Terpidana
(Transfer of Sentenced Person) Hal yang
membedakan satu sama lain adalah bahwa dalam perjanjian pertukaran informasi (MoU), yang menjadi objek
kerjasama atau yang dipertukarkan adalah
informasi dalam rangka penyelidikan atau penyidikan tindak pidana. Sedangkan dalam MLA, ruang lingkup
kerjasamanya meliputi tahap penyelidikan,
penyidikan, pemeriksaan di muka persidangan hingga pelaksanaan putusan pengadilan. Sementara, perjanjian
ekstradisi lebih fokus kepada upaya menangkap
seorang tersangka atau terdakwa yang berada pada yuridiksi negara lain. Kemudian, perjanjian Transfer of
Sentenced Person meliputi pemindahan orang
yang sudah menjalani sebagian hukuman ke negara asalnya untuk menjalani sisa masa hukuman yang belum dijalaninya di
negaranya .
Download lengkap Versi Word
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi