BAB I .
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang.
Terorisme di dunia
bukanlah merupakan hal baru, namun menjadi actual terutama sejak terjadinya peristiwa World
Trade Centre (WTC) di New York, Amerika
Serikat pada tanggal 11 September 2001, dikenal sebagai “September Kelabu”, yang memakan 3000 korban. Serangan
dilakukan melalui udara, tidak menggunakan
pesawat tempur, melainkan menggunakan pesawat komersil milik perusahaan Amerika sendiri, sehingga tidak
tertangkap oleh radar Amerika Serikat.
Tiga pesawat
komersil milik Amerika Serikat dibajak, dua diantaranya ditabrakkan ke menara kembar Twin Towers World Trade
Centre dan gedung Pentagon. Kejadian ini
merupakan isu global yang mempengaruhi kebijakan politik seluruh
negara-negara di dunia, sehingga menjadi titik tolak persepsi untuk memerangi Terorisme sebagai musuh
internasional. Pembunuhan massal tersebut telah mempersatukan dunia melawan Terorisme
Internasional. Terlebih lagi dengan diikuti
terjadinya Tragedi Bali I, tanggal 12 Oktober 2002 yang merupakan tindakan teror, menimbulkan korban sipil
terbesar di dunia, yaitu menewaskan 184 orang
dan melukai lebih dari 300 orang.Menyadari sedemikian besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh suatu tindak Terorisme,
serta dampak yang dirasakan secara langsung
oleh Indonesia sebagai akibat dari Tragedi Bom Bali I, merupakan kewajiban pemerintah untuk secepatnya mengusut
tuntas Tindak Pidana Terorisme itu
dengan memidana pelaku dan aktor intelektual dibalik peristiwa tersebut. Hal
ini menjadi prioritas utama dalam
penegakan hukum. Untuk melakukan pengusutan, diperlukan perangkat hukum yang mengatur
tentang Tindak Pidana Terorisme.
Menyadari hal ini
dan lebih didasarkan pada peraturan yang ada saat ini yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) belum
mengatur secara khusus serta tidak cukup
memadai untuk memberantas Tindak Pidana Terorisme, Pemerintah Indonesia merasa perlu untuk membentuk
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme, yaitu dengan menyusun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) nomor 1 tahun 2002, yang
pada tanggal 4 April 2003 disahkan
menjadi Undang-Undang dengan nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Tindakan terorisme pada belakang ini, lebih
sering dilakukan dengan cara tindakan peledakan bom yang banyak menelan
korban dibanding terorisme melalui cara
teror psikis, sekalipun kedua tindakan terorisme merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan dan menelan korban.
Dalam menghadapi ancaman maupun perang
melawan terorisme, pemerintah perlu meningkatkan kewaspadaan dengan mengorganisir seluruh kekuatan untuk lebih
efektif dan efisien, dan melakukan peningkatan
setiap saat serta secara maksimal. Bukan hanya dalam menghadapi ancaman terorisme saja pemerintah harus lebih
meningkatkan kewaspadaan, tetapi juga
pada penanggulangan dan perlindungan, teutama terhadap korban tindakan terorisme pemerintah berkewajiban untuk
memberikan penanggulangan dn perlindungan
terorganisir dan secara maksimal, baik kesejahteraan, keamanan http://www.scribd.com/doc/4683235/terorisme-,diakses
tgl 03 februari 2010,jam 10.35 WIB maupun
secara hukum, karena dengan membantu dan merehabilitasi para korban, memperkecil rasa takut (traumatis) masyarakat
disamping meningkatkan kewaspadaan dan
partisipasi masyarakat dalam melawan terorisme semakin meningkat.
Terorisme merupakan
kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban manusia serta merupakan sebuah ancaman serius terhadap
kemanusiaan dan peradaban manusia serta
merupakan sebuah ancaman serius terhadap keutuhan dan kedaulatan suatu Negara. Terorisme pada saat sekarang
bukan saja merupakan sesuatu kejahatan local atau nasional, tetapi sudah
merupakan suatu kejahatan transnasional bahkan
internasional. Terorisme yang sudah menjadi suatu kejahatan yang bersifat internasional, banyak menimbulkan ancaman atau
bahaya terhadap keamanan, perdamaian dan
sangat merugikan kesejahteraan masyarakat dan bangsa.
Tindakan terorisme
merupakan suatu tindakan yang terencana, terorganisir dan berlaku dimana saja dan kepada siapa saja.
Tindakan teror bisa dilakukan dengan berbagai
macam cara sesuai kehendak yang melakukan, yakni teror yang berakibat fisik dan/atau non fisik (psikis). Tindakan
teror fisik biasanya berakibat pada fisik (badan) seseorang bahkan sampai pada kematian,
seperti pemukulan/pengeroyokan, pembunuhan,
peledakan bom dan lainnya. Non fisik (psikis) bisa dilakukan dengan penyebaran isu, ancaman, penyendaraan,
menakut-nakuti dan sebagainya. Akibat dari
tindakan teror, kondisi korban teror mengakibatkan orang atau kelompok orang menjadi merasa tidak aman dan dalam kondisi
rasa takut (traumatis). Selain berakibat
pada orang atau kelompok orang, bahkan dapat berdampak/berakibat luas pada kehidupan ekonomi, politik dan
kedaulatan suatu Negara. Tindakan terorisme yang sulit terdeteksi dan berdampak sangat
besar itu, harus mendapat solusi pencegahan
dan penanggulangannya serius baik oleh pemerintah maupun masyarakat.
Terorisme yang bersifat internasional
merupakan kejahatan yang terorganisasi, sehingga pemerintah dan bangsa Indonesia
wajib meningkatkan kewaspadaan dan
bekerja sama memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.Pemberantasan tindak pidana
terorisme di Indonesia tidak semata-mata merupakan masalah hukum dan penegakan hukum
melainkan juga merupakan masalah sosial,
budaya, ekonomi yang berkaitan erat dengan masalah ketahanan bangsa sehingga kebijakan dan langkah
pencegahan dan pemberantasannyapun ditujukan
untuk memelihara keseimbangan dalam kewajiban melindungi kedaulatan negara, hak asasi korban dan saksi, serta hak
asasi tersangka/terdakwa.
Mudzakkir,2008,Pengkajian
Hukum tentang Perlindungan Hukum bagi korban Terorisme, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan
Hak Asasi Manusia RI,Jakarta, hlm. 6-7 .
Aksi terorisme dapat dilakukan oleh individu,
sekelompok orang atau Negara sebagai alternatif
dari pernyataan perang secara terbuka. Negara yang mendukung kekerasan terhadap penduduk sipil menggunakn
istilah positif untuk kombatan mereka,
misalnya antara lain paramiliter, pejuang kebebasan atau patriot. Kekerasan yang dilakukan oleh kombatan Negara,
bagaimanapun lebih diterima dari pada yang dilakukan oleh ” teroris ” yang mana tidak
mematuhi hukum perang dan karenanya tidak
dapat dibenarkan melakukan kekerasan. Negara yang terlibat dalam peperangan juga sering melakukan kekerasan
terhadap penduduk sipil dan tidak diberi
label sebagai teroris. Lalu kemudian muncul istilah State Terorism, namun http://www.TERORISME/TERORISME/perpu1_02.htm,diakses tgl 09 Februari 2010,jam 19.45WIB
mayoritas membedakan antara kekerasan yang dilakukan oleh negara dengan terorisme, hanyalah sebatas bahwa aksi
terorisme dilakukan secara acak, tidak mengenal
kompromi, korban bisa saja militer atau sipil, pria, wanita, tua, muda bahkan anak-anak, kaya miskin, siapapun dapat
diserang. Kebanyakan dari definisi terorisme
yang ada menjelaskan empat macam kriteria, antara lain target, tujuan, motivasi dan legitmasi dari aksi terorisme
tersebut. Maka dikatakan secara sederhana bahwa aksi-aksi terorisme
dilatarbelakangi oleh motif-motif tertentu seperti motif perang suci, motif ekonomi,
motif balas dendam dan motif-motif berdasarkan
aliaran kepercayaan tertentu. Patut disadari bahwa terorisme bukan suatu ideologi atau nilai-nilai tertentu dalam
ajaran agama. Ia sekedar strategi, instrumen
atau alat untuk mencapai tujuan . Oleh karena itu tidak ada terorisme untuk terorisme, kecuali mungkin karena
motif-motif kegilaan.
http://www.TERORISME/UPAYA PENCEGAHAN AKSI
TERORISME MELALUI PENDEKATAN HUKUM «
Politik, Sosial, Budaya Dan Gerakan Mahasiswa.htm,diakses tgl 03 februari 2010,jam 10.35WIB Indonesia tergolong negara yang sering menjadi sasaran
aksi terorisme. Dapat dilihat, sudah beberapa
kali terjadi aksi terorisme yang menewaskan puluhan atau bahkan ratusan nyawa. Pada saat ini, sasaran teroris yang
terakhir kali adalah Hotel Ritz Carlton dan
JW Marriott. Besar kemungkinan akan ada aksi-aksi berikutnya di masa yang akan datang. Uniknya, pihak yang melancarkan
aksi teror ini tidak pernah secara eksplisit
menyatakan motif di balik aksi mereka. Hal inilah yang menjadikan pekerjaan pemerintah relatif lebih sulit,
sebab untuk menekan potensi terorisme, mau
tak mau langkah pertama adalah menemukan alasan di balik aksi tersebut.
Setiap aksi
terorisme disertai oleh alasan yang kuat, sebab aksi ini disertai dengan pengorbanan materi dan nyawa. Jadi, mustahil
bila aksi ini hanya iseng-iseng dari kelompok
tertentu.Terdapat dua alasan utama yang mendasari munculnya aksi terorisme. Pertama, dorongan ideologi. Maka
berwujud pada kebencian terhadap pihak
yang menindas kelompok mereka, serta pihak-pihak yang menghalangi usaha mereka untuk mencapai tujuan. Adapun arti
ideologi dalam kehidupan mereka, sehingga
nyawapun rela dikorbankan guna mencapai tujuan yang diinginkan.
Parahnya, gerakan
ini bukan hanya berskala nasional, tapi sudah berskala internasional. Misalnya, kebencian Usama Bin
Laden, yang mengaku mewakili umat Islam,
terhadap Amerika Serikat (AS) mendorongnya untuk mengumandangkan perang bagi apapun dan
siapapun yang berbau AS. Perang ini dilancarkan
ke seluruh dunia melalui
jaringanjaringan yang tersebar di sejumlah negara.Bila demikian halnya, maka
tugas pemerintah adalah memperketat
keamanan, terutama yang menyangkut sasaran aksi terorisme ini. Selain dorongan ideologi, aksi
terorisme dapat pula terjadi karena alasan
ekonomi. Tekanan ekonomi yang dialami oleh teroris, terutama bagi orang yang melakukan bom bunuh diri, bisa menjadi
latar belakang dipilihnya jalan untuk mengakhiri
hidup.Mengetahui bahwa modus operandi
dari aksi-aksi terorisme adalah bom
bunuh diri. Orang-orang yang melakukan aksi bom bunuh diri, terlebih dahulu didoktrin dengan ajaran-ajaran yang
membenarkan aksi tersebut. Peranan orang
yang melakukan bom bunuh diri ini sangatlah penting, sebab merekalah yang berkorban paling besar. Bila jaringan ini
tidak bisa merekrut orang-orang yang bersedia
melakukan aksi tersebut, niscaya eksistensinya akan lenyap. Namun, alasan ekonomi ini tidak selalu berbentuk
tekanan yang dialami oleh pelaku, terutama
yang melakukan bunuh diri, melainkan dapat pula berupa kesedihan terhadap masihnya banyak orang-orang yang
hidup di bawah garis kemiskinan. Ini dianggap
sebagai kegagalan pemerintah, yang menganut sistem ekonomi, yang tampaknya tidak membuat rakyat sejahtera.
Latar belakang tersebut merupakan salah
satu alasan gerakan teroris berbalik melawan pihak-pihak yang menyebabkan ketertindasan rakyat. Diakui, tidak bisa
meredam potensi yang pertama, tapi kita tetap
bisa meredam potensi yang kedua. Caranya adalah dengan meningkatkan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Ini
memang menjadi tugas berat pemerintah,
untuk mengangkat 32,5 juta rakyat Indonesia yag hidup di bawah garis kemiskinan menuju kehidupan yang layak.
Apabila tetap diakui, terorisme belum tentu
selesai bila urusan ekonomi sudah terpenuhi, tapi paling tidak salah satu potensinya sudah diminimalkan.
Terorisme sebagai suatu fenomena kehidupan, nampaknya tidak dapat begitu saja
ditanggulangi dengan kebijakan penal. Hal ini karena, terorisme terkait dengan
kepercayaan/ideology, latar belakang pemahaman politik dan pemaknaan atas ketidakadilan
sosio-ekonomik baik local maupun internasional.
Oleh karena itu, perlu sebuah pendekatan kebijakan criminal yang integral dalam arti baik penal maupun nonpenal
sekaligus. Oleh karena itu, tertangkapnya para teroris tersebut maka telah
terungkap fakta yang jelas dimana terorisme local telah mempunyai hubungan erat
dengan jaringan terorisme global.
Download lengkap Versi Word
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi