Senin, 21 April 2014

Skripsi Hukum: UPAYA PEMERINTAH MEMINIMALISIR AKSI TERORISME MELALUI PENDEKATAN HUKUM DAN SOSIO KULTURAL DI INDONESIA

BAB I .
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang.
Terorisme di dunia bukanlah merupakan hal baru, namun menjadi actual  terutama sejak terjadinya peristiwa World Trade Centre (WTC) di New York,  Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001, dikenal sebagai “September  Kelabu”, yang memakan 3000 korban. Serangan dilakukan melalui udara, tidak  menggunakan pesawat tempur, melainkan menggunakan pesawat komersil milik  perusahaan Amerika sendiri, sehingga tidak tertangkap oleh radar Amerika Serikat.

Tiga pesawat komersil milik Amerika Serikat dibajak, dua diantaranya ditabrakkan  ke menara kembar Twin Towers World Trade Centre dan gedung Pentagon. Kejadian ini merupakan isu global yang mempengaruhi kebijakan politik  seluruh  negara-negara di dunia, sehingga menjadi titik tolak persepsi untuk  memerangi Terorisme sebagai musuh internasional. Pembunuhan massal tersebut  telah mempersatukan dunia melawan Terorisme Internasional. Terlebih lagi dengan  diikuti terjadinya Tragedi Bali I, tanggal 12 Oktober 2002 yang merupakan  tindakan teror, menimbulkan korban sipil terbesar di dunia, yaitu menewaskan 184  orang dan melukai lebih dari 300 orang.Menyadari sedemikian besarnya kerugian  yang ditimbulkan oleh suatu tindak Terorisme, serta dampak yang dirasakan secara  langsung oleh Indonesia sebagai akibat dari Tragedi Bom Bali I, merupakan  kewajiban pemerintah untuk secepatnya mengusut tuntas Tindak Pidana Terorisme  itu dengan memidana pelaku dan aktor intelektual dibalik peristiwa tersebut. Hal ini   menjadi prioritas utama dalam penegakan hukum. Untuk melakukan pengusutan,  diperlukan perangkat hukum yang mengatur tentang Tindak Pidana Terorisme.
Menyadari hal ini dan lebih didasarkan pada peraturan yang ada saat ini yaitu  Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) belum mengatur secara khusus serta  tidak cukup memadai untuk memberantas Tindak Pidana Terorisme, Pemerintah  Indonesia merasa perlu untuk membentuk Undang-Undang Pemberantasan Tindak  Pidana Terorisme, yaitu dengan menyusun Peraturan Pemerintah Pengganti  Undang-Undang (Perpu) nomor 1 tahun 2002, yang pada tanggal 4 April 2003  disahkan menjadi Undang-Undang dengan nomor 15 tahun 2003 tentang  Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
 Tindakan terorisme pada belakang ini, lebih sering dilakukan  dengan cara  tindakan peledakan bom yang banyak menelan korban dibanding terorisme melalui  cara teror psikis, sekalipun kedua tindakan terorisme merupakan tindakan yang  tidak dapat dibenarkan dan menelan korban. Dalam menghadapi ancaman maupun  perang melawan terorisme, pemerintah perlu meningkatkan kewaspadaan dengan  mengorganisir seluruh kekuatan untuk lebih efektif dan efisien, dan melakukan  peningkatan setiap saat serta secara maksimal. Bukan hanya dalam menghadapi  ancaman terorisme saja pemerintah harus lebih meningkatkan kewaspadaan, tetapi  juga pada penanggulangan dan perlindungan, teutama terhadap korban tindakan  terorisme pemerintah berkewajiban untuk memberikan penanggulangan dn  perlindungan terorganisir dan secara maksimal, baik kesejahteraan, keamanan   http://www.scribd.com/doc/4683235/terorisme-,diakses tgl 03 februari 2010,jam 10.35 WIB  maupun secara hukum, karena dengan membantu dan merehabilitasi para korban,  memperkecil rasa takut (traumatis) masyarakat disamping meningkatkan  kewaspadaan dan partisipasi masyarakat dalam melawan terorisme semakin  meningkat.
Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban manusia  serta merupakan sebuah ancaman serius terhadap kemanusiaan dan peradaban  manusia serta merupakan sebuah ancaman serius terhadap keutuhan dan kedaulatan  suatu Negara. Terorisme pada saat sekarang bukan saja  merupakan sesuatu  kejahatan local atau nasional, tetapi sudah merupakan suatu kejahatan transnasional  bahkan internasional. Terorisme yang sudah menjadi suatu kejahatan yang bersifat  internasional, banyak menimbulkan ancaman atau bahaya terhadap keamanan,  perdamaian dan sangat merugikan kesejahteraan masyarakat dan bangsa.
Tindakan terorisme merupakan suatu tindakan yang terencana, terorganisir dan  berlaku dimana saja dan kepada siapa saja. Tindakan teror bisa dilakukan dengan  berbagai macam cara sesuai kehendak yang melakukan, yakni teror yang berakibat  fisik dan/atau non fisik (psikis). Tindakan teror fisik biasanya berakibat pada fisik  (badan) seseorang bahkan sampai pada kematian, seperti pemukulan/pengeroyokan,  pembunuhan, peledakan bom dan lainnya. Non fisik (psikis) bisa dilakukan dengan  penyebaran isu, ancaman, penyendaraan, menakut-nakuti dan sebagainya. Akibat  dari tindakan teror, kondisi korban teror mengakibatkan orang atau kelompok orang  menjadi merasa tidak aman dan dalam kondisi rasa takut (traumatis). Selain  berakibat pada orang atau kelompok orang, bahkan dapat berdampak/berakibat luas   pada kehidupan ekonomi, politik dan kedaulatan suatu Negara. Tindakan terorisme  yang sulit terdeteksi dan berdampak sangat besar itu, harus mendapat solusi  pencegahan dan penanggulangannya serius baik oleh pemerintah maupun  masyarakat.
 Terorisme yang bersifat internasional merupakan kejahatan yang  terorganisasi,  sehingga pemerintah dan bangsa Indonesia wajib meningkatkan  kewaspadaan dan bekerja sama memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik  Indonesia.Pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia tidak semata-mata  merupakan masalah hukum dan penegakan hukum melainkan juga merupakan  masalah sosial, budaya, ekonomi yang berkaitan erat dengan masalah ketahanan  bangsa sehingga kebijakan dan langkah pencegahan dan pemberantasannyapun  ditujukan untuk memelihara keseimbangan dalam kewajiban melindungi kedaulatan  negara, hak asasi korban dan saksi, serta hak asasi tersangka/terdakwa.
  Mudzakkir,2008,Pengkajian Hukum tentang Perlindungan Hukum bagi korban Terorisme, Badan  Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI,Jakarta, hlm. 6-7 .
Aksi  terorisme dapat dilakukan oleh individu, sekelompok orang atau Negara sebagai  alternatif dari pernyataan perang secara terbuka. Negara yang mendukung  kekerasan terhadap penduduk sipil menggunakn istilah positif untuk kombatan  mereka, misalnya antara lain paramiliter, pejuang kebebasan atau patriot. Kekerasan  yang dilakukan oleh kombatan Negara, bagaimanapun lebih diterima dari pada yang  dilakukan oleh ” teroris ” yang mana tidak mematuhi hukum perang dan karenanya  tidak dapat dibenarkan melakukan kekerasan. Negara yang terlibat dalam  peperangan juga sering melakukan kekerasan terhadap penduduk sipil dan tidak  diberi label sebagai teroris. Lalu kemudian muncul istilah State Terorism, namun   http://www.TERORISME/TERORISME/perpu1_02.htm,diakses  tgl 09 Februari 2010,jam  19.45WIB  mayoritas membedakan antara kekerasan yang dilakukan oleh negara dengan  terorisme, hanyalah sebatas bahwa aksi terorisme dilakukan secara acak, tidak  mengenal kompromi, korban bisa saja militer atau sipil, pria, wanita, tua, muda  bahkan anak-anak, kaya miskin, siapapun dapat diserang. Kebanyakan dari definisi  terorisme yang ada menjelaskan empat macam kriteria, antara lain target, tujuan,  motivasi dan legitmasi dari aksi terorisme tersebut. Maka    dikatakan secara  sederhana bahwa aksi-aksi terorisme dilatarbelakangi oleh motif-motif tertentu  seperti motif perang suci, motif ekonomi, motif balas dendam dan motif-motif  berdasarkan aliaran kepercayaan tertentu. Patut disadari bahwa terorisme bukan  suatu ideologi atau nilai-nilai tertentu dalam ajaran agama. Ia sekedar strategi,  instrumen atau alat untuk mencapai tujuan . Oleh karena itu tidak ada terorisme  untuk terorisme, kecuali mungkin karena motif-motif kegilaan.
  http://www.TERORISME/UPAYA PENCEGAHAN AKSI TERORISME MELALUI  PENDEKATAN HUKUM « Politik, Sosial, Budaya Dan Gerakan Mahasiswa.htm,diakses tgl 03 februari  2010,jam 10.35WIB Indonesia  tergolong negara yang sering menjadi sasaran aksi terorisme. Dapat dilihat, sudah  beberapa kali terjadi aksi terorisme yang menewaskan puluhan atau bahkan ratusan  nyawa. Pada saat ini, sasaran teroris yang terakhir kali adalah Hotel Ritz Carlton  dan JW Marriott. Besar kemungkinan akan ada aksi-aksi berikutnya di masa yang  akan datang. Uniknya, pihak yang melancarkan aksi teror ini tidak pernah secara  eksplisit menyatakan motif di balik aksi mereka. Hal inilah yang menjadikan  pekerjaan pemerintah relatif lebih sulit, sebab untuk menekan potensi terorisme,  mau tak mau langkah pertama adalah menemukan alasan di balik aksi tersebut.
Setiap aksi terorisme disertai oleh alasan yang kuat, sebab aksi ini disertai dengan  pengorbanan materi dan nyawa. Jadi, mustahil bila aksi ini hanya iseng-iseng dari   kelompok tertentu.Terdapat dua alasan utama yang mendasari munculnya aksi  terorisme. Pertama, dorongan ideologi. Maka berwujud pada kebencian terhadap  pihak yang menindas kelompok mereka, serta pihak-pihak yang menghalangi usaha  mereka untuk mencapai tujuan. Adapun arti ideologi dalam kehidupan mereka,  sehingga nyawapun rela dikorbankan guna mencapai tujuan yang diinginkan.
Parahnya, gerakan ini bukan hanya berskala nasional, tapi sudah berskala  internasional. Misalnya, kebencian Usama Bin Laden, yang mengaku mewakili  umat Islam, terhadap Amerika Serikat (AS) mendorongnya untuk  mengumandangkan perang bagi apapun dan siapapun yang berbau AS. Perang ini  dilancarkan ke seluruh  dunia melalui jaringanjaringan yang tersebar di sejumlah negara.Bila demikian halnya, maka tugas  pemerintah adalah memperketat keamanan, terutama yang menyangkut sasaran aksi  terorisme ini. Selain dorongan ideologi, aksi terorisme dapat pula terjadi karena  alasan ekonomi. Tekanan ekonomi yang dialami oleh teroris, terutama bagi orang  yang melakukan bom bunuh diri, bisa menjadi latar belakang dipilihnya jalan untuk  mengakhiri hidup.Mengetahui bahwa  modus operandi dari aksi-aksi terorisme  adalah bom bunuh diri. Orang-orang yang melakukan aksi bom bunuh diri, terlebih  dahulu didoktrin dengan ajaran-ajaran yang membenarkan aksi tersebut. Peranan  orang yang melakukan bom bunuh diri ini sangatlah penting, sebab merekalah yang  berkorban paling besar. Bila jaringan ini tidak bisa merekrut orang-orang yang  bersedia melakukan aksi tersebut, niscaya eksistensinya akan lenyap. Namun,  alasan ekonomi ini tidak selalu berbentuk tekanan yang dialami oleh pelaku,  terutama yang melakukan bunuh diri, melainkan dapat pula berupa kesedihan   terhadap masihnya banyak orang-orang yang hidup di bawah garis kemiskinan. Ini  dianggap sebagai kegagalan pemerintah, yang menganut sistem ekonomi, yang  tampaknya tidak membuat rakyat sejahtera. Latar belakang tersebut merupakan  salah satu alasan gerakan teroris berbalik melawan pihak-pihak yang menyebabkan  ketertindasan rakyat. Diakui, tidak bisa meredam potensi yang pertama, tapi kita  tetap bisa meredam potensi yang kedua. Caranya adalah dengan meningkatkan  kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Ini memang menjadi tugas berat  pemerintah, untuk mengangkat 32,5 juta rakyat Indonesia yag hidup di bawah garis  kemiskinan menuju kehidupan yang layak. Apabila tetap diakui, terorisme belum  tentu selesai bila urusan ekonomi sudah terpenuhi, tapi paling tidak salah satu  potensinya sudah diminimalkan.

  Terorisme sebagai suatu fenomena kehidupan,  nampaknya tidak dapat begitu saja ditanggulangi dengan kebijakan penal. Hal ini  karena, terorisme terkait dengan kepercayaan/ideology, latar belakang pemahaman  politik dan pemaknaan atas ketidakadilan sosio-ekonomik baik local maupun  internasional. Oleh karena itu, perlu sebuah pendekatan kebijakan criminal yang  integral dalam arti baik penal maupun nonpenal sekaligus.  Oleh karena itu,  tertangkapnya para teroris tersebut maka telah terungkap fakta yang jelas dimana terorisme local telah mempunyai hubungan erat dengan jaringan terorisme global.
Download lengkap Versi Word

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi