Jumat, 30 Mei 2014

Skripsi Ekonomi Pembangunan: ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT PENDAPATAN PEKERJA SEKTOR INFORMAL

BAB I.
PENDAHULUAN.
1.1 Latar Belakang.
Pembangunan ekonomi pada dasarnya dicerminkan oleh terjadinya perubahan  dalam aliran-aliran baru yang menyangkut arus pendapatan dan manfaat (benefit)  kepada masyarakat lokal, regional,  bahkan sampai tingkat  nasional. Program  pembangunan dapat mendatangkan dampak berupa manfaat-manfaat yang positif atau  juga berupa kemudharatan (kebanyakan) negatif kepada masyarakat, terutama kepada  mereka yang tinggal di dekat sekitar kegiatan  ekonomi sebagai penerima akibat  (dampak) dari program pembangunan yang  bersangkutan. Komunitas lokal harus  mencari/mendapat peluang agar terjadi  penyesuaian terhadap perubahan karena  keadaan baru tersebut (Ahmadi,1995).

Pembangunan dapat dikonseptualisasikan ke dalam suatu proses perbaikan yang  berkesinambungan atas suatu masyarakat atau suatu sistem sosial secara keseluruhan  menuju kehidupan yang lebih baik atau manusiawi (Iryanti, 2003). Rencana  pembangunan atau pengembangan yang biasanya dihasilkan oleh tenaga ahli atau  konsultan pada umumnya berasal dari budaya atau latar belakang sosial yang berbeda  dalam mengatasi permasalahan penting yang mereka temukan. Seyogyanya rencana  pembangunan dimulai dengan mengenali potensi  dan kebutuhan masyarakat      penerima manfaat dan penanggung risiko. Dengan demikian kegiatan pembangunan  yang mencakup perencanaan, pembiayaan, pelaksanaan dan pemantauan serta  evaluasi, akan bertitik tolak dari keinginan dan kemampuan masyarakat penerima  manfaat dan penanggung risiko itu sendiri.
Perumusan kebijakan dan pemilihan prioritas yang tajam merupakansarana untuk  mengimplementasikan  apa  yang tercantum dalam perencanaan program  pembangunan. Sasaran dari perencanaan pembangunan dapat dikelompokan atas 3  sasaran umum yaitu: (1) efisiensi, (2) keadilan dan akseptabilitas masyarakat, dan (3)  keberlanjutan (Iryanti, 2003). Pembangunan yang merupakan hasil perencanaan harus  merupakan perwujudan keadilan dan melibatkan partisipasi masyarakat, sehingga  masyarakat lokal dapat berperan aktif dalam proses perencanaan dan langkah-langkah  pengawasan.
Keberadaan dan kelangsungan kegiatan sektor informal dalam sistem ekonomi kotemporer bukanlah gejala negatif, namun lebih sebagai realitas ekonomi kerakyatan yang berperan cukup penting dalam pengembangan masyarakat dan pembangunan nasional. Setidaknya, ketika program pembangunan kurang mampu menyediakan peluang kerja bagi angkatan kerja, sektor informal dengan segala kekurangannya mampu berperan sebagai penampung dan alternatif peluang kerja bagi para pencari kerja.
Gelombang ketidakpuasan kaum miskin dan para penganggur terhadap ketidakmampuan pembangunan menyediakan peluang kerja, untuk sementara dapat diredam lantaran tersedia peluang kerja di sektor informal. Begitupun ketika  kebijakan pembangunan cenderung menguntungkan usaha skala besar, sektor  informal kendati tanpa dukungan fasilitas sepenuhnya dari negara, dapat memberikan  subsidi sebagai  penyedia barang dan jasa  yang  murah untuk mendukung      kelangsungan hidup para pekerja usaha skala besar. Bahkan, tatkala perekonomian  nasional mengalami kemunduran  akibat resesi, sektor informal mampu bertahan  tanpa membebani ekonomi nasional, sehingga roda perekonomian masyarakat tetap  bertahan.
Peran sektor informal ini telah berlangsung sejak lama dalam pasang surut  perkembangan masyarakat dan dinamika perkembangan ekonomi. Sampai saat ini,  pengertian sektor informal sering dikaitkan dengan ciri-ciri utama pengusaha dan  pelaku sektor informal, antara lain: kegiatan usaha bermodal utama pada kemandirian  rakyat, memanfaatkan teknologi sederhana, pekerjanya terutama berasal dari tenaga  kerja keluarga tanpa upah, bahan baku usaha kebanyakan memanfaatkan sumber daya  lokal, sebagian besar melayani kebutuhan rakyat kelas menengah ke bawah,  pendidikan dan kualitas sumber daya pelaku tergolong rendah.
Meskipun pertumbuhan ekonomi selama pembangunan jangka panjang pertama  berkisar antara 5-8 persen per tahun, proporsi pekerja sektor informal, khususnya di  perkotaan cenderung meningkat. Pada tahun 1971 proporsi pekerja sektor informal  terhadap jumlah angkatan kerja di kota mencapai sekitar 25 persen. Angka ini  meningkat menjadi sekitar 36 persen pada tahun 1980 dan menjadi 42 persen pada  tahun 1990. Sedangkan pada tahun 2000 angka tersebut menjadi sekitar 65 persen.
Hal ini menunjukkan bahwa sektor informal masih cukup dominan menyerap  angkatan kerja khususnya di perkotaan. Selain itu perkembangan ekonomi belum  dapat mengatasi persoalan klasik keterbatasan peluang kerja.
    Di satu segi sektor informal masih memegang peranan penting menampung  angkatan kerja, terutama angkatan kerja muda yang masih belum berpengalaman atau  angkatan kerja yang pertama kali masuk pasar kerja. Keadaan ini dapat mempunyai  dampak positif mengurangi tingkat pengangguran terbuka. Tetapi di segi lain  menunjukkan gejala tingkat produktivitas yang rendah, karena masih menggunakan  alat-alat tradisional dengan tingkat pendidikan serta keterampilan yang relatif rendah.
Mengingat peran sektor informal yang cukup positif dalam proses pembangunan,  sudah sewajarnya nasib para pekerjanya dipikirkan. Beberapa kebijakan, baik  langsung maupun tidak, untuk membantu pengembangan masyarakat melalui  pembinaan kegiatan usaha pekerja di sektor informal memang sudah dilakukan.
Namun ada kecenderungan kegiatan ekonomi di sektor informal dan nasib pekerja  sektor informal belum banyak mengalami perubahan. Tanpa bermaksud mengurangi  arti pentingnya kebijakan yang telah ada, kebijakan yang biasa diberikan kepada  pengusaha besar mungkin dapat dikurangi, kemudian prioritas diberikan pada  kegiatan sektor informal dan memihak pada kepentingan masyarakat.
Sektor informal dalam penelitian ini dianggap sebagai akibat dari situasi  pertumbuhan kesempatan kerja negara sedang berkembang; mereka yang memasuki  kegiatan berskala kecil ini khususnya di kota, terutama bertujuan untuk mencari  kesempatan kerja dan menciptakan pendapatan. Mereka yang terlibat dalam sektor ini  pada umumnya miskin, berpendidikan sangat rendah, tidak terampil, dan kebanyakan  para migran. Dengan kata lain, sektor informal di kota harus dipandang sebagai unitunit usaha berskala kecil yang terlibat dalam produksi dan distribusi barang-barang      dan jasa yang masih dalam suatu proses evolusi untuk menjelma sebagai sekelompok  perusahaan berskala kecil dengan masukan-masukan modal (capital) dan pengelolaan  (managerial) yang lebih besar (Sjaifudin, 1995).
Akumulasi penduduk di kota-kota besar seperti halnya di Indonesia tersebut  sering tidak diikuti dengan penyediaan kesempatan kerja formal yang luas. Hal ini  memposisikan penduduk yang tidak mampu berkompetisi disektor formal, seperti  penduduk dengan tingkat pendidikan dan keterampilan yang  rendah, cenderung  masuk ke sektor informal. Mereka bekerja seadanya, pada lapangan usaha apa saja,  tentunya jenis pekerjaan yang tidak membutuhkan keterampilan dan pendidikan  tinggi (Sjaifudin, 1995; Widianto, 2003).
Selanjutnya Maloney (1995) lebih jauh menjelaskan bahwa tingginya penduduk  yang bekerja di sektor informal, terutama di kota-kota besar dan menengah,  merupakan akibat dari urbanisasi semu (pseudo urbanization), yakni urbanisasi yang  tidak diikuti dengan perkembangan ekonomi (industrialization)  dan kesempatan  kerja. Masalah yang muncul dari fenomena tersebut adalah penganggur terbuka,  setengah penganggur, dan tenaga kerja yang tidak dimanfaatkan secara penuh. Hal ini  tentu saja akan diikuti dengan meluasnya berbagai kegiatan usaha di sektor informal.
setidak-tidaknya sebagai kegiatan usaha alternatif agar di kota mereka tetap dapat  survive.
Dari pendapat tersebut perlu dikemukakan pula tentang kinerja usaha kecil  seperti yang digunakan oleh Sadler-Smith dkk,(2003) bahwa usaha kecil di Kerajaan  Inggris terdapat hubungan antara prilaku manajerial (berdasarkan model kompetensi),  gaya golongan pengusaha (berdasarkan teori Cavin dan Stevin) dan jenis perusahaan  (dalam bentuk kinerja pertumbuhan penjualan), begitu pula yang dikemukakan oleh  Raharjo (2003) yang mengembangkan kapasitas manajemen dan kewirausahaan pada  Usaha Kecil dan Menengah (UKM) pertanian bahwa aspek personal bersama-sama  dengan fisik, ekonomi dan lingkungan insitusi berpengaruh kewirausahaan petani.



Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi