BAB I.
PENDAHULUAN.
1.1. Latar Belakang.
Bagi suatu negara yang sedang
berkembang, pembangunan ekonomi merupakan
instrumen utama untuk mencapai cita-cita nasionalnya. Ada berbagai indikator yang digunakan untuk mengukur keberhasilan
pembangunan ini diantaranya adalah
pertumbuhan ekonomi yang diukur dengan Produk Domestik Bruto (PDB). Disetiap negara dan lembaga
internasional seperti Bank Dunia, Bank
Pembangunan Asia (ADB), IMF dan UNDP, menggunakan PDB sebagai indikator untuk mengukur tingkat pembangunan
ekonomi suatu negara. Secara teoritis,
dapat dikatakan bahwa makin maju pembangunan ekonomi suatu negara makin besar PDB-nya (baik secara total maupun
per kapita) sehingga kesejahteraan
masyarakat semakin meningkat dengan asumsi pertumbuhannya lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan
penduduk. Namun demikian indikator ini
bukanlah alat ukur yang terbaik, karena kesejahteraan masyarakat juga ditentukan oleh persoalan distribusinya.
Melalui indikator pertumbuhan
ekonomi ini, Indonesia dicatat oleh Bank Dunia dalam sebuah kajiannya yang diterbitkan
dalam buku berjudul The East Asian
Miracle, Economic, Growth and Public Policy, September 1993, sebagai kelompok negara yang memiliki keajaiban
pertumbuhan, bahkan oleh IMF pada saat
itu diramalkan akan menjadi negara industri baru di Asia Tenggara. Hal ini dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi
Indonesia yang tercatat cukup menakjubkan
sampai dengan tahun 1996. PDB riil yang dicapai selama tahun 1969-1996, melesat dari Rp 49,445 miliar di
tahun 1969 menjadi Rp 298,030 miliar di
tahun 1996, sehingga terjadi pertumbuhan rata-rata 6,87% per tahun (Alkadri,1999). Selain pertumbuhan yang
dinilai ajaib, perekonomian Indonesia juga
diwarnai oleh transformasi struktur ekonomi dilihat dari konstribusi masingmasing
sektor terhadap PDB dimana sektor industri manufaktur berperan lebih besar dari sektor pertanian. Transformasi ini
membawa implikasi ke berbagi bidang
kegiatan ekonomi lainnya seperti sumber daya manusia, upah tenaga kerja, ekspor dan impor, investasi asing dan
penyedian infrastruktur serta tuntutan terhadap
iklim ekonomi yang lebih baik.
Peningkatan kontribusi sektor manufaktur
ini konsisiten dengan perubahan perjalanan kontribusi ekspor Indonesia, dimana kontribusi ekspor sektor
pertanian terhadap PDB menurun dari waktu
ke waktu dan peran sektor industri pengolahan meningkat. Namun perubahan-perubahan ini belum mampu memberikan
peluang yang cukup untuk meningkatkan
peran tenaga kerja dalam sektor perekonomian yang dominan ini (manufaktur) sebagai penyedia kesempatan
kerja. Di tahun 1996, dari 80.638.955 orang
angkatan kerja usia 15 tahun keatas yang bekerja, kontribusi sektor manufaktur hanya menyerap sebesar 13%
sedangkan sektor pertanian 42,31% (Latif
Kharie, 1999).
Aktivitas ekspor-impor ini
merupakan cermin dari perdagangan internasional.
Selama dua puluh lima tahun pertama pembangunan Indonesia, perhatian dipusatkan kepada penciptaan
swasembada di bidang sandang dan pangan
hingga telah melewati substitusi impor, yang mengarah kepada praktek proteksi yang berlebihan terhadap kegiatan
ekonomi dalam negeri. Sekarang harus memasuki
pasar internasional untuk melanjutkan pertumbuhannya. Dalam konteks inilah perdagangan internasional yang mengarah pada liberalisasi
perdagangan dengan lalu lintas produk, jasa dan investasi suatu negara menjadi tidak dapat dibatasi ruang geraknya. Hal ini
membawa konsekuensi perlunya penataan
sektor ekonomi untuk orientasi ekspor dalam situasi tingkat persaingan yang semakin ketat.
Salah satu model yang dikembangkan
oleh Charles P. Kindleberger (1983) mengenai
pertumbuhan ekonomi dan perdagangan
internasional adalah bahwa perdagangan
luar negeri merupakan sektor yang memimpin. Artinya pertumbuhan ekonomi meningkat karena perluasan perdagangan
internasional. Robert Baldwin (1956)
menganalisis pertumbuhan ekonomi yang dipimpin oleh sektor primer dan Bela Balassa (1971) menganalisis efek ekspor
terhadap pertumbuhan ekonomi di negara-negara
berkembang. Dari sini dapat menggambarkan bahwa, disamping peran pemerintah melalui anggaran (APBN)
sebagai penggerak utama perekonomian,
peran ekspor tidak kecil artinya bagi kegiatan ekonomi nasional.
Sejak adanya deregulasi
perdagangan pada tahun 1985, yang berupa pemangkasan berbagai hambatan birokrasi/izin untuk pencapaian
efisiensi perdagangan dan orientasi
ekspor, telah memberikan dampak
perubahan kinerja perekonomian Indonesia.
Perubahan ini ditandai dengan bergairahnya komoditi non migas untuk diekspor yang ditandai dengan pergeseran
struktur ekspor dari migas ke non migas
mulai dari tahun 1987 dan perubahan struktur ekonomi dari dominasi peran sektor pertanian ke sektor industri
manufaktur. Nilai ekspor non migas meningkat dari US$ 8.580 juta tahun 1987 menjadi US$
23.296 juta pada tahun 1992, atau hampir
tiga kali lipat dalam waktu lima tahun saja, dan menjadi US$ 34.954 juta di tahun 1995, atau hampir empat kali lipat
dalam waktu delapan tahun (Hg.Suseno
TW,1996-144). Namun peningkatan ini juga diiringi oleh kenaikan impor yang melebihi ekspor, hal ini dapat
dilihat pada kurun waktu sebelum krisis ekonomi
di Indonesia. Sejak tahun 1985-1996 ekspor Indonesia tumbuh lambat, rata-rata sebesar 10,14% dibandingkan dengan
impornya, rata-rata sebesar 12,45% per
tahun (Anang Muftiadi dkk, 1999). Dilihat dari klasifikasi barang ekonomi yang diimpor, komponen terbesar adalah
bahan baku dan penolong yang digunakan
sebagai bahan baku industri. Transaksi perdagangan internasional ini terekam dalam neraca pembayaran yang jika
terjadi impor melebihi ekspor maka ada
sejumlah aliran dana ke luar negeri. Artinya sumber-sumber pembiayaan dari luar negeri yang selama ini menutup kebutuhan
investasi semakin berkurang.
Pertumbuhan ekonomi suatu bangsa,
menurut Simon Kuznets, tidak saja ditandai
oleh kemampuan meningkatkan produksi per orang tetapi sebagian besar akan dibarengi oleh perubahaban struktur
pranata sosial. Perubahan struktur ekonomi
berwujud pergeseran dari struktur agraris ke non agraris (industrialisasi).
Disamping itu juga pergeseran
kedudukan kelompok ekonomi, seperti status pekerjaan maupun tingkat pendapatan, demikian
juga perubahan dalam distribusi barang
dan jasa. Industrialisasi merupakan salah satu tahapan perkembangan ekonomi yang dianggap penting untuk
mempercepat kemajuan ekonomi suatu bangsa.
Industrialisasi merupakan proses perubahan struktur ekonomi dari struktur ekonomi pertanian atau agraris ke
struktur ekonomi industri.
Industri manufaktur Indonesia
memainkan peranan penting sejak kita menyadari
jika tidak bisa mengendalkan ekspor sector migas. Ekspor industri manufaktur menyumbang sekitar 85% ekspor
nonmigas dan sekitar 67% total ekspor
Indonesia selama 1994-2001. Bahkan kontribusi ekspor industri ini telah melampaui ekspor sektor pertanian dan migas
sejak awal dasawarsa 1990-an.
Dengan kata lain,industri
manufaktur menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia. Perkembangan ekspor nonmigas sepanjang tahun
2004 ekspor cenderung melonjak tajam.
Apakah peningkatan di tahun-tahun berikutnya akan terus berlanjut di tengah daya saing Indonesia
yang masih rendah.
Pada saat-saat sekarang ini,
perbaikan ekspor yang ditempuh pemerintah bukan menghadapi tantangan tetapi ekspor Indonesia
menghadapi persoalan rendahnya daya
saing produk Indonesia di pasar internasional seperti yang dikemukakan Menteri Perdagangan Marie
Pangestu(2005).
Sedangkan rendahnya daya saing
dipengaruhi oleh lemahnya nilai tukar rupiah,
ekonomi biaya tinggi, minimnya prasarana dan tidak adanya investasi baru. Bagaimana mencapai peningkatan ekspor sesuai yang ditargetkan tergantung pada masalah daya saing yang harus
segera dihilangkan. Namun, daya saing
bukan persoalan yang mudah dihapuskan begitu saja. Nilai tukar rupiah rentan terguncang.
Faktor-faktor eksternal di dalam
negeri seperti politik, keamanan bisa dengan
mudah melemahkan nilai tukar dalam sekejap, disamping pengaruh nilai mata uang dollar.
Namun yang sangat dianggap
menjadi momok bagi dunia usaha adalah ekonomi biaya tinggi. Agar ekspor meningkat supaya
pertumbuhan ekonomi meningkat adalah
target objektif dari pemerintah. Akan tetapi tantangannya ekonomi biaya tinggi harus dihilangkan. Arus barang berjalan
lancar, pajak dan urusan kepabeanan
tidak membebani eksportir.
Di samping itu, para eksportir juga sangat mengharapkan iklim usaha yang
kondusif dan masalah perpajakan bisa
dibenahi. Restitusi PPN dipercepat dan keutuhan
pengembaliannya bisa terjadi begitu juga pelayanan administrasi PPh.
Dalam persoalan ekspor impor,
masalah yang sangat perlu diperhatikan adalah masalah perpajakan terutama masalah Pajak
Pertambahan Nilai (PPN). Pajak Pertambahan Nilai atau lebih tepatnya Pajak
penjualan, yang dikenal dalam berbagai
nama dengan maksud senada, apabila ditelusuri melalui jalur sejarahnya, sudah dikenal sejak berabad-abad yang lalu.
Secara meluas Pajak Penjualan
diterapkan di Eropa pada pertengahan abad berikutnya, terutama di Spanyol diterapakan
dengan nama “alcabala” dalam abad ke-14
dan kemudian diterapkan di beberapa negara lain yang berada di bawah pengaruhnya. Pemerintah Kerajaan Spanyol
berusaha menerapkan Pajak Penjualan
dengan tarif 10% (the“tenth penny”) di
Belanda selaku salah satu propinsinya,
yang berakibat membawa ke arah revolusi yang melahirkan kemerdekaan Belanda.
Restitusi diartikan sebagai
pengembalian PPN (pajak pertambahan nilai) karena jumlah pajak masukan (pembelian)
melebihi pajak keluaran (penjualan).
Umumnya, perusahaan yang
berorientasi ekspor yang akan memohon restitusi, sebab dalam upaya mengalakkan ekspor dan juga
supaya barang Indonesia lebih kompetitif
di luar negeri, pemerintah mengizinkan penjualan ekspor tidak perlu dilakukan pemungutan PPN.
Berdasarkan permasalahan di atas,
maka penulis mencoba menelusuri dari
masalah Pengaruh Nilai Restitusi PPN dan Penanaman Modal (Investasi) terhadap
Ekspor Sektor Industri di Sumatera Utara..
1.2.Perumusan Masalah 1.
Bagaimana pengaruh nilai Restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap nilai ekspor sektor industri di
Sumatera Utara.
2. Bagaimana pengaruh Penanaman Modal Asing
(PMA) terhadap nilai ekspor sektor
industri di Sumatera Utara.
3. Bagaimana pengaruh Penanaman Modal Dalam
Negeri (PMDN) terhadap nilai ekspor
sektor industri di Sumatera Utara.
1.3. Hipotesis Berdasarkan
permasalahan di atas, maka hipotesa adalah sebagai berikut: 1. Nilai Restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
mempunyai pengaruh positif terhadap
nilai ekspor sektor industri di Sumatera Utara.
2. Penanaman Modal Asing (PMA) mempunyai
pengaruh positif terhadap nilai ekspor
sektor industri di Sumatera Utara.
3. Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) mempunyai
pengaruh positif terhadap nilai ekspor
sektor industri di Sumatera Utara.
1.4. Tujuan Penelitian Yang
merupakan tujuan dari penelitian ini adalah: 1.
Untuk mengetahui besarnya pengaruh nilai Restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap nilai ekspor sektor di
Sumatera Utara.
2. Untuk mengetahui besarnya pengaruh Penanaman
Modal Asing (PMA) terhadap nilai ekspor
sektor industri di Sumatera Utara.
3. Untuk mengetahui besarnya pengaruh Penanaman
Modal Dalam Negeri (PMDN) terhadap nilai
ekspor industri di Sumatera Utara.
1.5. Manfaat Penelitian Manfaat yang akan di dapat dari penelitian ini
adalah: 1. Untuk melengkapi hasil-hasil
penelitian yang telah ada, khususnya tentang
ekspor impor di daerah Sumatera Utara.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi
salah satu masukan untuk kebijaksanaan
perdagangan antar negara.
3. Untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan
penulis dan pembaca yang kiranya dapat
berguna di kemudian hari.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi