Rabu, 28 Mei 2014

Skripsi Ekonomi Pembangunan: PENGARUH NILAI RESTITUSI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PENANAMAN MODAL (INVESTASI) TERHADAP EKSPOR SEKTOR INDUSTRI

BAB I.
PENDAHULUAN.
1.1. Latar Belakang.
Bagi suatu negara yang sedang berkembang, pembangunan ekonomi  merupakan instrumen utama untuk mencapai cita-cita nasionalnya. Ada berbagai  indikator yang digunakan untuk mengukur keberhasilan pembangunan ini  diantaranya adalah pertumbuhan ekonomi yang diukur dengan Produk Domestik  Bruto (PDB). Disetiap negara dan lembaga internasional seperti Bank Dunia,  Bank Pembangunan Asia (ADB), IMF dan UNDP, menggunakan PDB sebagai  indikator untuk mengukur tingkat pembangunan ekonomi suatu negara. Secara  teoritis, dapat dikatakan bahwa makin maju pembangunan ekonomi suatu negara  makin besar PDB-nya (baik secara total maupun per kapita) sehingga  kesejahteraan masyarakat semakin meningkat dengan asumsi pertumbuhannya  lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk. Namun demikian  indikator ini bukanlah alat ukur yang terbaik, karena kesejahteraan masyarakat  juga ditentukan oleh persoalan distribusinya.

Melalui indikator pertumbuhan ekonomi ini, Indonesia dicatat oleh Bank  Dunia dalam sebuah kajiannya yang diterbitkan dalam buku berjudul The East  Asian Miracle, Economic, Growth and Public Policy, September 1993, sebagai  kelompok negara yang memiliki keajaiban pertumbuhan, bahkan oleh IMF pada  saat itu diramalkan akan menjadi negara industri baru di Asia Tenggara. Hal ini  dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tercatat cukup  menakjubkan sampai dengan tahun 1996. PDB riil yang dicapai selama tahun    1969-1996, melesat dari Rp 49,445 miliar di tahun 1969 menjadi Rp 298,030  miliar di tahun 1996, sehingga terjadi pertumbuhan rata-rata 6,87% per tahun  (Alkadri,1999). Selain pertumbuhan yang dinilai ajaib, perekonomian Indonesia  juga diwarnai oleh transformasi struktur ekonomi dilihat dari konstribusi masingmasing sektor terhadap PDB dimana sektor industri manufaktur berperan lebih  besar dari sektor pertanian. Transformasi ini membawa implikasi ke berbagi  bidang kegiatan ekonomi lainnya seperti sumber daya manusia, upah tenaga kerja,  ekspor dan impor, investasi asing dan penyedian infrastruktur serta tuntutan  terhadap iklim ekonomi yang lebih baik.  Peningkatan kontribusi sektor  manufaktur ini konsisiten dengan perubahan perjalanan kontribusi ekspor  Indonesia, dimana kontribusi ekspor sektor pertanian terhadap PDB menurun dari  waktu ke waktu dan peran sektor industri pengolahan meningkat. Namun  perubahan-perubahan ini belum mampu memberikan peluang yang cukup untuk  meningkatkan peran tenaga kerja dalam sektor perekonomian yang dominan ini  (manufaktur) sebagai penyedia kesempatan kerja. Di tahun 1996, dari 80.638.955  orang angkatan kerja usia 15 tahun keatas yang bekerja, kontribusi sektor  manufaktur hanya menyerap sebesar 13% sedangkan sektor pertanian 42,31%  (Latif Kharie, 1999).
Aktivitas ekspor-impor ini merupakan cermin dari perdagangan  internasional. Selama dua puluh lima tahun pertama pembangunan Indonesia,  perhatian dipusatkan kepada penciptaan swasembada di bidang sandang dan  pangan hingga telah melewati substitusi impor, yang mengarah kepada praktek  proteksi yang berlebihan terhadap kegiatan ekonomi dalam negeri. Sekarang harus  memasuki pasar internasional untuk melanjutkan pertumbuhannya.  Dalam    konteks inilah perdagangan  internasional yang mengarah pada liberalisasi perdagangan dengan lalu lintas produk, jasa dan investasi suatu negara menjadi  tidak dapat dibatasi ruang geraknya. Hal ini membawa konsekuensi perlunya  penataan sektor ekonomi untuk orientasi ekspor dalam situasi tingkat persaingan  yang semakin ketat.
Salah satu model yang dikembangkan oleh Charles P. Kindleberger (1983)  mengenai pertumbuhan ekonomi dan perdagangan  internasional adalah bahwa  perdagangan luar negeri merupakan sektor yang memimpin. Artinya pertumbuhan  ekonomi meningkat karena perluasan perdagangan internasional. Robert Baldwin  (1956) menganalisis pertumbuhan ekonomi yang dipimpin oleh sektor primer dan  Bela Balassa (1971) menganalisis efek ekspor terhadap pertumbuhan ekonomi di  negara-negara berkembang. Dari sini dapat menggambarkan bahwa, disamping  peran pemerintah melalui anggaran (APBN) sebagai penggerak utama  perekonomian, peran ekspor tidak kecil artinya bagi kegiatan ekonomi nasional.
Sejak adanya deregulasi perdagangan pada tahun 1985, yang berupa pemangkasan  berbagai hambatan birokrasi/izin untuk pencapaian efisiensi perdagangan dan  orientasi ekspor,  telah memberikan dampak perubahan kinerja perekonomian  Indonesia. Perubahan ini ditandai dengan bergairahnya komoditi non migas untuk  diekspor yang ditandai dengan pergeseran struktur ekspor dari migas ke non  migas mulai dari tahun 1987 dan perubahan struktur ekonomi dari dominasi peran  sektor pertanian ke sektor industri manufaktur. Nilai ekspor non migas meningkat  dari US$ 8.580 juta tahun 1987 menjadi US$ 23.296 juta pada tahun 1992, atau  hampir tiga kali lipat dalam waktu lima tahun saja, dan menjadi US$ 34.954 juta  di tahun 1995, atau hampir empat kali lipat dalam waktu delapan tahun    (Hg.Suseno TW,1996-144). Namun peningkatan ini juga diiringi oleh kenaikan  impor yang melebihi ekspor, hal ini dapat dilihat pada kurun waktu sebelum krisis  ekonomi di Indonesia. Sejak tahun 1985-1996 ekspor Indonesia tumbuh lambat,  rata-rata sebesar 10,14% dibandingkan dengan impornya, rata-rata sebesar  12,45% per tahun (Anang Muftiadi dkk, 1999). Dilihat dari klasifikasi barang  ekonomi yang diimpor, komponen terbesar adalah bahan baku dan penolong yang  digunakan sebagai bahan baku industri. Transaksi perdagangan internasional ini  terekam dalam neraca pembayaran yang jika terjadi impor melebihi ekspor maka  ada sejumlah aliran dana ke luar negeri. Artinya sumber-sumber pembiayaan dari  luar negeri yang selama ini menutup kebutuhan investasi semakin berkurang.
Pertumbuhan ekonomi suatu bangsa, menurut Simon Kuznets, tidak saja  ditandai oleh kemampuan meningkatkan produksi per orang tetapi sebagian besar  akan dibarengi oleh perubahaban struktur pranata sosial. Perubahan struktur  ekonomi berwujud pergeseran dari struktur agraris ke non agraris (industrialisasi).
Disamping itu juga pergeseran kedudukan kelompok ekonomi, seperti status  pekerjaan maupun tingkat pendapatan, demikian juga perubahan dalam distribusi  barang dan jasa. Industrialisasi merupakan salah satu tahapan perkembangan  ekonomi yang dianggap penting untuk mempercepat kemajuan ekonomi suatu  bangsa. Industrialisasi merupakan proses perubahan struktur ekonomi dari  struktur ekonomi pertanian atau agraris ke struktur ekonomi industri.
Industri manufaktur Indonesia memainkan peranan penting sejak kita  menyadari jika tidak bisa mengendalkan ekspor sector migas. Ekspor industri  manufaktur menyumbang sekitar 85% ekspor nonmigas dan sekitar 67% total  ekspor Indonesia selama 1994-2001. Bahkan kontribusi ekspor industri ini telah    melampaui ekspor sektor pertanian dan migas sejak awal dasawarsa 1990-an.
Dengan kata lain,industri manufaktur menopang pertumbuhan ekonomi  Indonesia.  Perkembangan ekspor nonmigas sepanjang tahun 2004 ekspor  cenderung melonjak tajam. Apakah peningkatan di tahun-tahun berikutnya akan  terus berlanjut di tengah daya saing Indonesia yang masih rendah.
Pada saat-saat sekarang ini, perbaikan ekspor yang ditempuh pemerintah  bukan menghadapi tantangan tetapi ekspor Indonesia menghadapi persoalan  rendahnya daya saing produk Indonesia di pasar internasional seperti yang  dikemukakan Menteri Perdagangan Marie Pangestu(2005).
Sedangkan rendahnya daya saing dipengaruhi oleh lemahnya nilai tukar  rupiah, ekonomi biaya tinggi, minimnya prasarana dan tidak adanya investasi  baru. Bagaimana mencapai peningkatan  ekspor sesuai yang ditargetkan  tergantung pada masalah daya saing yang harus segera dihilangkan. Namun, daya  saing bukan persoalan yang mudah dihapuskan begitu saja. Nilai tukar rupiah  rentan terguncang.
Faktor-faktor eksternal di dalam negeri seperti politik, keamanan bisa  dengan mudah melemahkan nilai tukar dalam sekejap, disamping pengaruh nilai  mata uang dollar.
Namun yang sangat dianggap menjadi momok bagi dunia usaha adalah ekonomi  biaya tinggi. Agar ekspor meningkat supaya pertumbuhan ekonomi meningkat  adalah target objektif dari pemerintah. Akan tetapi tantangannya ekonomi biaya  tinggi harus dihilangkan. Arus barang berjalan lancar, pajak dan urusan  kepabeanan tidak membebani eksportir.
  Di samping itu, para eksportir juga sangat mengharapkan iklim usaha yang  kondusif dan masalah perpajakan bisa dibenahi. Restitusi PPN dipercepat dan  keutuhan pengembaliannya bisa terjadi begitu juga pelayanan administrasi PPh.
Dalam persoalan ekspor impor, masalah yang sangat perlu diperhatikan adalah  masalah perpajakan terutama masalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN).  Pajak  Pertambahan Nilai atau lebih tepatnya Pajak penjualan, yang dikenal dalam  berbagai nama dengan maksud senada, apabila ditelusuri melalui jalur sejarahnya,  sudah dikenal sejak berabad-abad yang lalu.
Secara meluas Pajak Penjualan diterapkan di Eropa pada pertengahan abad  berikutnya, terutama di Spanyol diterapakan dengan nama “alcabala” dalam abad  ke-14 dan kemudian diterapkan di beberapa negara lain yang berada di bawah  pengaruhnya. Pemerintah Kerajaan Spanyol berusaha menerapkan Pajak  Penjualan dengan tarif 10%  (the“tenth penny”) di Belanda selaku salah satu  propinsinya, yang berakibat membawa ke arah revolusi yang melahirkan  kemerdekaan Belanda.
Restitusi diartikan sebagai pengembalian PPN (pajak pertambahan nilai)  karena jumlah pajak masukan (pembelian) melebihi pajak keluaran (penjualan).
Umumnya, perusahaan yang berorientasi ekspor yang akan memohon restitusi,  sebab dalam upaya mengalakkan ekspor dan juga supaya barang Indonesia lebih  kompetitif di luar negeri, pemerintah mengizinkan penjualan ekspor tidak perlu  dilakukan pemungutan PPN.
Berdasarkan permasalahan di atas, maka penulis mencoba menelusuri  dari masalah Pengaruh Nilai Restitusi PPN dan Penanaman Modal (Investasi) terhadap Ekspor Sektor Industri di Sumatera Utara..
  1.2.Perumusan Masalah 1.  Bagaimana pengaruh nilai Restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN)  terhadap nilai ekspor sektor industri di Sumatera Utara.
2.  Bagaimana pengaruh Penanaman Modal Asing (PMA) terhadap nilai  ekspor sektor industri di Sumatera Utara.
3.  Bagaimana pengaruh Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) terhadap  nilai ekspor sektor industri di Sumatera Utara.
1.3. Hipotesis Berdasarkan permasalahan di atas, maka hipotesa adalah sebagai berikut: 1.  Nilai Restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) mempunyai pengaruh  positif terhadap nilai ekspor sektor industri di Sumatera Utara.
2.  Penanaman Modal Asing (PMA) mempunyai pengaruh positif terhadap  nilai ekspor sektor industri di Sumatera Utara.
3.  Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) mempunyai pengaruh positif  terhadap nilai ekspor sektor industri di Sumatera Utara.
1.4. Tujuan Penelitian Yang merupakan tujuan dari penelitian ini adalah: 1.  Untuk mengetahui besarnya pengaruh nilai Restitusi Pajak Pertambahan  Nilai (PPN) terhadap nilai ekspor sektor di Sumatera Utara.
2.  Untuk mengetahui besarnya pengaruh Penanaman Modal Asing (PMA)  terhadap nilai ekspor sektor industri di Sumatera Utara.
3.  Untuk mengetahui besarnya pengaruh Penanaman Modal Dalam Negeri  (PMDN) terhadap nilai ekspor industri di Sumatera Utara.
  1.5. Manfaat Penelitian Manfaat yang akan di dapat dari penelitian ini adalah: 1.  Untuk melengkapi hasil-hasil penelitian yang telah ada, khususnya  tentang ekspor impor di daerah Sumatera Utara.
2.  Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu masukan untuk  kebijaksanaan perdagangan antar negara.
3.  Untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan penulis dan pembaca yang  kiranya dapat berguna di kemudian hari.

  

Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi