BAB I .
PENDAHULUAN .
1.1. Latar Belakang Masalah .
Pada masa sekarang ini
desentralisasi dipandang sebagai suatu alat kebijakan yang efektif dalam menanganisejumlah masalah
berkaitan dengan stabilitas dan pertumbuhan
ekonomi di dalam suatu negara demokrasi. Dalam MartinezVazquez dan McNab (2001)
Brennan dan Buchanan (1980) menyatakan bahwa desentralisasi dipandang sebagai upaya untuk
membedakan dengan rezim penguasa
sebelumnya yang dianggap terlalu sentralistis sehingga tidak memberikan kesempatan kepada daerah untuk
berkembang. Hal itu tidak terlepas dari
kegagalan dari sejumlah birokrasi yang sentralistis dibawah rejim pemerintahan sebelumnya di negara berkembang
yang mengalami transisi demokrasi.
Tailant (1994) menyatakan bahwa
desentralisasi dipandang sebagai bentuk pelimpahan
otoritas fiskal dari pemerintahpusat kepada pemerintah daerah. Isu di banyak negara bukan lagi apakah akan
melaksanakan desentralisasi, namun bagaimana
bentuk desentralisasi yang terbaik. Hal ini menunjukkan desentralisasi telah menjadi pilihan bagi banyak
negarasebagai bagian dari kebijakan ekonomi pemerintah.
Meski demikian,
desentralisasi tidaklah menjamin keberhasilan suatu pemerintahan. Peraturan dan hukum di tingkat
daerah dan pusat yang berjalannya seiring
lebih mudah dikatakan daripada dilaksanakan. Begitu pula sentimen separatisme yang seringkali membayangiupaya
desentralisasi. Banyak upaya desentralisasi
di berbagai negara yang mengalami kegagalan. Sumber kegagalan desentralisasi beragam.Namun, kegagalannya
seringkali dikaitkan dengan masalah
ekonomi, yaitu ketimpangan pendapatan, sumberdaya, dan kesempatan ekonomi di berbagai daerah. Selain itu, tidak
sejalannya sistem perpajakan dan terbelakangnya
hukum yang mengatur kontrak, serta lemahnya pengakuan hak milik (property rights) turut mendorong
kegagalan itu, pada keadaan itu, sistem fiskal
dipandang sebagai sumber pemecahan masalah (Bird dan Wallich, 1994).
Kebijakan desentralisasi telah
menjadi pilihan baik di negara maju maupun negara berkembang dalam menjalankan kebijakan
ekonominya (MartinezVazquezdan McNab, 2001), tidak terkecuali di Indonesia.
Semangat untuk melakukan otonomi daerah
telah ditunjukkan oleh pemerintah sejak tahun 1992 dengan dikeluarkannya PP No. 45 Tahun 1992
tentang penyelenggaraan otonomi daerah
dengan titik berat pada daerah tingkat II. Hal tersebut diikuti dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Dalam Negeri
(Kepmendagri) No. 105 Tahun 1994 yaitu
tentang penunjukan 26 daerah tingkat II sebagai proyek percontohan otonomi daerah yang tersebar di 26 propinsi di
seluruh Indonesia (Koen, et al., 2001;
xvi) Pada tanggal
1 Januari 2001
merupakan awal penerapan
kebijakan desentralisasi fiskal
di Indonesia. Kebijakan tersebut mengacu pada UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah dan UU
No. 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan
Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Bagi Propinsi Jawa Tengah, otonomi daerah merupakan tantangan
yang tidak ringan karena otonomi daerah
yang didasari atas kesadaran bahwa peluang bagi daerah untuk membuktikan kemandiriannya. Hal ini berarti
otonomi daerah tidak dapat dipandang
sebagai sebuah kegagalan. Otonomi daerah harus diarahkan pada keberhasilannya dengan dukungan pendanaan yang
memadai melalui perimbangan keuangan
antara pusat dan daerah. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah daerah tidak dapat dipungkirilagi
harus menitikberatkan pada peningkatan
kualitas pelayanan pada masyarakat. Maka melalui pengolaan keuangan daerah, selain bertujuan untuk
meningkatkan peran sertanya dalam pembangunan,
juga ditujukan bagi peningkatan mutu pelayanan kepada masyarakat.
Salah satu
argumen dalam pelaksanaan
otonomi daerah adalah
pemerintah daerah harus memiliki
sumber-sumber keuangan yang memadai untuk membiayai penyelenggaraan otonominya. Kapasitas keuangan
pemerintah daerah akan menentukan
kemampuan pemerintah daerah dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahannya (Suwandi, 2000). Rendahnya
kemampuan keuangan daerah akan sering
menimbulkan siklus negatif, yaiturendahnya tingkat pelayanan masyarakat yang pada gilirannya akan mengundang campur
tangan pusat, atau bahkan dapat menyebabkan
dialihkannya sebagian fungsi-fungsi pemerintah daerah ke tingkat pemerintahan yang lebih atas.
Sebagai konsekuensi
atas pelaksanaan UU No. 22 dan UU No. 25 Tahun 1999 adalah bahwa daerah harus mampu
mengembangkan otonomi daerah secara luas,
nyata, dan bertanggung jawab dalam memberdayakan masyarakat, lembaga ekonomi, politik, hukum, serta seluruh potensi
masyarakat dalam wadah NKRI.
Di sisi lain kemampuan keuangan
pemerintah daerah masih sangat tergantung pada penerimaan yang berasal dari pemerintah
pusat. Oleh karena itu, dalam rangka
desentralisasi kepada setiap daerah dituntut untuk dapat membiayai diri melalui sumber-sumber keuangan yang
dikuasainya. Peran pemerintah daerah dalam
menggali dan mengembangkan berbagai potensi daerah sebagai sumber penerimaan daerah akan sangat menentukan
keberhasilan pelaksanaan tugas pemerintahan,
pembangunan, dan pelayanan masyarakat di daerah (Halim, 2001).
Hal tersebut
dapat dilihat dari Propinsi Jawa
Tengah yang memilki 35 Daerah Tingkat II
yang terdiri dari 29 Kabupaten dan 6 Kota memiliki penerimaan dan pengeluaran keuangan
pemerintahan yang masing-masing berbeda
antara daerah satu dengan daerahlainnya, yang mana setiap pengeluaran pemerintah yang dilakukan berdasarkan
kepemilikan pendapatan yang berupa penerimaan
dari potensi-potensi daerah, atau yang lebih dikenal dengan Pendapatan Asli Daerah yang antara lain
komponen komponennya terdiri dari penerimaan
pajak dan retribusi daerah, penerimaan laba Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan penerimaan lain-lainnya yang
sah. Akan tetapi ada fakta bahwa daerah
tidak akan mampu membiayai pengeluarannya baik itu pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan jika
hanya menggandalkan dari sektor Pendapatan
Asli Daerah, oleh karena itu pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan untuk pemberian bantuan dalam
keuangan pemerintah daerah dengan dana
perimbangan. Dana perimbangan tersebut diberikan sesuai dengan potensi daerah masing-masing atau arti lainnyadaerah
yang satu tidak sama dengan daerah
lainnya, makin besar potensi daerah tersebut maka semakin besar dana perimbangan yang diberikan untuk melakukan
pengeluarannya yang kita ketahui berupa
pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan, seperti contohnya adalah Kabupaten Cilacap yang merupakan Kota
yang memiliki sumber daya alam berupa
minyak yang cukup banyak mempunyai tingkat pengeluaran pemerintah sebesar Rp. 155.838.063.000 dengan
tingkat PAD sebesar Rp.
19.278.951.000 mendapatkan dana
perimbangan sebesar Rp. 129.825.315.000.
Hal tersebut kita bandingkan
dengan Kabupaten Sragen yang memiliki pengeluaran
pemerintah sebesar Rp. 23.317.371.000 dengan jumlah PADnya sebesar Rp. 8.876.265.000 dan dana
perimbangannya sebesar Rp. 84.922.556.000, yang mana Kabupaten Sragen ini tidak memiliki
potensi daerah yang besar atau dalam
arti lainnya tidak memilki sumber daya alam yang potensial, selain itu jumlah penduduknya juga terpaut jauh, apabila
di Kabupaten Cilacap memiliki jumlah
penduduk sebesar 1.608.488 jiwa di Kabupaten Sragen hanya sebesar 844.893 jiwa.
Berdasarkan latar belakang
masalah diatas, maka dapat diduga ada beberapa faktor yang mempengaruhi nilai pengeluaran
pemerintah 35 Kabupaten dan Kota di
Propinsi Jawa Tengah. Beberapa variabel tersebut diduga mempunyai pengaruh signifikan terhadap nilai pengeluaran
pemerintah. Sehubungan dengan hal tersebut maka penulis dalam penulisan skripsi ini
memilih judul ANALISIS PENGELUARAN
PEMERINTAH DAERAH DI PROPINSI JAWA TENGAH
PERIODE TAHUN ANGGARAN 2000-2002. Adapun variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Pengeluaran Pemerintah, PAD, Dana Perimbangan
dan Jumlah Penduduk.
1.2. Rumusan Masalah Dalam pemecahan suatu masalah, mengetahui
rumusan masalah merupakan suatu langkah
yang harus dilakukan, langkah tersebut sangat penting sebagai landasan dalam menyikapi permasalahan tersebut
dimasa yang akan datang, baik untuk
mengantisipasi ataupun mengendalikan. Dari latar belakang yang telah dikemukakan di atas, dapat dikemukakan
masalah, yaitu: 1. Seberapa besar pengaruh tingkat PAD dalam
menentukan besaran nilai pengeluaran
pemerintah di Propinsi Jawa Tengah.
2. Seberapa besar pengaruh Dana Perimbangan
dalam menentukan besaran nilai pengeluaran
pemerintah di Propinsi Jawa Tengah .
3. Seberapa besar pengaruh Jumlah Penduduk dalam
menentukan besaran nilai pengeluaran
pemerintah di Propinsi Jawa Tengah.
1.3. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: 1.
Untuk menganalisa pengaruh PAD dalam menentukan besaran nilai pengeluaran pemerintah di Propinsi Jawa Tengah
tahun anggaran 2000-2002.
2. Untuk menganalisa pengaruh Dana Perimbangan
dalam menentukan besaran nilai pengeluaran
pemerintah di Propinsi Jawa Tengah tahun anggaran 2000-2002.
3. Untuk menganalisa pengaruh pengaruh Jumlah
Penduduk dalam menentukan besaran nilai
pengeluaran pemerintah di Propinsi Jawa Tengah tahun anggaran 2000-2002.
1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan
manfaat yakni memberikan informasi dan
gambaran kepada pembaca mengenai seberapa besar pengaruh dari variabel-fiskal dan non-fiskal, yaitu variabel
PAD, Dana Perimbangan, dan Jumlah
Penduduk dalam menentukan besaran nilai pengeluaran pemerintah di 29 Kabupaten dan 6 Kota di daerah Jawa Tengah
pada periode Januari 2000 sampai dengan
Desember 2002, dan dapat dijadikan sebagai bahan informasi untuk penelitian selanjutnya.
Selain itu, penelitian ini juga
diharapkan dapat berguna sebagai langkah pertimbangan bagi pemerintah daerahuntuk
mengambil keputusan tentang langkah yang
diambil dalam menentukan kebijakan fiskalnya ( keuangan ). Bagi penulis penelitian ini merupakan kesempatan
untuk mengaplikasikan ilmu yang sudah
diperoleh dibanku kuliah serta sebagai prasyarat untuk mendapat gelar Sarjana Ekonomi di Fakultas Ekonomi
Universitas Islam Indonesia.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi