BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Awal
abad 21 ini
prestasi pendidikan Indonesia
tertinggal jauh di bawah
negara-negara Asia lainnya, seperti Singapura, Jepang, dan Malaysia.
Bahkan
jika dilihat dari
indeks sumber daya
manusia, yang salah
satu indikatornya adalah
sektor pendidikan, posisi
Indonesia kian menurun
dari tahun ke tahun. Padahal
Indonesia kini sudah menjadi bagian dari masyarakat dunia
yang sudah tidak
bisa dihindari. Jika
tidak bisa menjadi
pemenang pilihan lain
adalah kalah. Oleh
karena itu penyiapan
sumber daya manusia yang
berkualitas, kompetitif serta
memiliki keunggulan yang
komparatif menjadi keharusan bagi
masyarat Indonesia, untuk merebut pangsa pasar dan peluang kesempatan kerja dunia yang tidak
dibatasi oleh ruang dan waktu.
Lemahnya
pendidikan juga mengakibatkan
lambanya Indonesia bangkit dari keterpurukan sektor ekonomi
yang merosot secara signifikan di tahun 1998. Namun disaat negara lain mampu
bangkitdari keterpurukan ini, Indonesia
masih belum bisa melakukan recoverydengan baik. Di mana sektor pendidikan mempunyai peran yang penting dalam
hal ini melalui peningkatan kualitas sumber
daya manusia. Hal
ini dapat dilihat dari
negara Jepang, di mana
kemajuan ekonomi yang didapatnya sekarang tidak terlepas dari peranan pendidikan. Sistem pendidikan Jepang yang baik
telah menghasilkan manusiamanusia yang berkualitas, sehingga meskipun telah
kalah pada perang dunia II, mereka
dapat bangkit, maju
dan bahkan mampu
bersaing dengan negara yang
mengalahkannya dalam perang.
Negara Asia lainnya
seperti Korea Selatan,
Taiwan, Hongkong dan
Singapura juga memperlihatkan fenomena ini,
di mana kemajuan
ekonomi yang mereka
dapat sekarang adalah
buah hasil dari tingginya
kualitas SDM dari masing-masing negara tersebut.
Indikator
lain yang menunjukkan
betapa rendahnya mutu
pendidikan di Indonesia
dapat dilihat dari
data UNESCO tahun
2000 tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development
Index), yaitu komposisi dari peringkat
pencapaian pendidikan, kesehatan danpenghasilan per kepala menunjukkan
bahwa Indeks Pengembangan
Manusia Indonesia makin menurun.
Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke- 102 pada
tahun 1996, ke-99
tahun 1997, ke-105
tahun 1998, dan
ke 109 tahun 1999,
dan menurun ke urutan 112 pada tahun 2000. Menurut survei political and
Economic Risk Consultant (PERC), kualitas
pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara Asia.
Oleh
karena itu semua anak bangsa hendaknya
mempunyai kesempatan untuk
mendapatkan pendidikan akademik
untuk memasuki perguruan
tinggi dan mendapatkan
ketrampilan untuk masuk
kepasar tenaga kerja.
Sekolah tidak hanya
sebagai formalitas untuk
mendapatkan ijazah semata,melainkan sebagai
proses penguatan kompetensi. Sekolah baik jenjang dasar,
menengah, atas dan perguruan tinggi harus mampu
mengahasilkan lulusan yang
kompetitif, cerdas serta
memiliki budhi pekerti
sesuai dengan norma-norma
sosial, agar anak
bangsa mampu menghadapi
perkembangan pasar global
yang menjadi peluang
sekaligus Dede Rosyada.
Paradigma Pendidikan Demokratis.(Jakarta: Kencana,2004), hal. 4 ancaman. Karena perkembangan pasar global
hanya mampu dihadapi dengan kualitas SDM
yang tinggi.
Pendidikan
di Indonesia memang
menghadapi dua masalah
besar, yakni persoalan
internal dan eksternal.
Secara internal sedang
dilakukan berbagai penataan
dan rekontruksi strategi
pengembangan yang jauh
lebih tepat, akurat dan
akseleratif. Secara eksternal, kemajuan zaman yang ditandai dengan penemuan-penemuan dalam sains dan
perkembangan dunia teknologi informasi
dan transportasi menjadi ancaman tersendiri bagi bangsa ini bila kita tidak siap menghadapinya.
Melihat fenomena di atas berbagai upaya untuk
meningkatkan kualitas SDM bangsa ini
melalui pendidikan telah banyak dilakukan oleh pemerintah pusat yang bekerja sama dengan pemerintah
daerah, seperti anggaran 20% dari APBN untuk
pendidikan, peningkatan kesejahteraan
guru melalui kenaikan tunjangan
profesi yang mendongkrak
kenainkan gaji pokok,
khususnya bagi guru
yang berstatus PNS,
dengan gaji minimal Rp
2 juta per
bulan. Hal ini tertera dalam
Perpers Nomor 52.
Tahun 2009 Tentang
Kenaikan Gaji Guru PNS. kucuran
dana BOS (Biaya
Operasional Sekolah) dll.
Belum lagi 8 Program
100 hari oleh Depdiknas, yaitu sebagai berikut: 1.
Internet Sekolah Penyediaan
internet secara massal di 17.500 sekolah.
2.
Kepala dan Pengawasan Sekolah Melatih sebanyak
30.000 Kepala dan
Pengawas sekolah untuk meningkatkan
penguatan kemampuan dan pengelolaan sekolah 3.
Beasiswa Perguruan Tinggi Pemberian 20.000
beasiswa PTN untuk
siswa SMA/ SMK/ MA berprestasi dan kurang mampu.
4.
Kebijakan Khusus Daaerah Terdepan Penyiapan peraturan Menteri secara khusus
untuk guru yang bertugas di daerah
terdepan / terluar.
5.
Penyempurnaan Renstra Finalisasi penyususnan
dan penyempurnaan Renstra
2010-2014 dengan merangkul semua
pemangku kepentingan 6. Budaya dan Karakter Bangsa Menyiapkan
bahan ajar untuk
pengembangan budaya dan karakter bangsa bagi peserta didik 7.
Metodologi Penelitian Tersusunya metodologi
pembelajaran bagi guru
yang menumbuhkan kreativitas dan inovasi 8.
Sinergitas lembaga Penyusunan Rodmap sinergitas lembaga
pendidikan (DepdiknasDepag) dengan
pengguna lulusan untuk
mengatasi masalah ketenagakerjaan dan terciptanya kewirausahaan Namun
yang disayangkan sampai
saat ini, masih
banyak sekali anak bangsa ini
yang tidak mendapatkan
pendidikan akademik, padahal
skill dan keterampilan adalah hak
semua anak bangsa sebagai generasi penerus (agent “Majalah Bulanan Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur”, Media,
Februari 2010.
of
change), di negara
ini hanya anak-anak
orang mampu saja
yang berkesempatan mendapatkan
pendidikan akademik. Lalu bagaimana dengan anak-anak yang orang tuanya tidak mampu menyekolahkan anaknya dengan alasan
ekonomi, apakah mereka
harus menerima nasib
dan kita hanya berpangku
tangan melihat fenomena seperti itu.
Fenomena
di atas terjadi
karena katimpangan sosial
ekonomi masih sangat tinggi di negeri ini, hingga muncul
rumus 90:10 atau 90% kekayaan di Indonesia dikuasai
oleh 10% penduduk
bangsa ini, sedangkan
10% sisanya menjadi
rebutan 90% penduduk
lainnya. Hal ini
terbukti dengan adanya gedung-gedung
pencakar langit yang
berdiri dengan keangkuhan
yang dipamerkan di kota-kota
besar di Indonesia, sepertipusat-pusat perbelanjaan dan perkantoran serta gedung-gedung lainnya.
Pusat-pusat perbelanjaan yang selalu
ramai dengan pengunjung, kafe dan restoran yang bertebaran di setiap sudut kota pun tak sepi dari pengunjung, ini
seakan-akan penduduk negeri ini hidup
sejahtera dan terjamin. Tetapi di sisi lain bila kita melihat lebih dalam lagi di pinggir-pinggir kota kita akan melihat
banyak sekali pemukiman yang tak layak
huni, di sudut
lampu merah yang
selalu ramai dengan
anak-anak kecil yang bernyanyi
dengan suara apa adanya yang mengharap kedermanan berupa uang receh dari penguna jalan.
Sebenarnya
fenomena ketimpangan sosial
ekonomi yang terjadi di negeri ini terutama
di kota-kota besar
bisa dihindari atau
diminimalisir, jika pemerintah sebagai
pemegang kekuasaan tertinggi
di negeri ini
mampu mendistribusikan kekayaan
alam ini dengan
benar dan pejabat negara
yang tidak korup. Selain itu
melihat penduduk Indonesia yang
mayoritas beragama Islam dan merupakan
penduduk muslim terbanyak di dunia, maka dana-dana sosial,
seperti Zakat, Infaq,
Shadaqah dan Wakaf
(ZISWA) dapat dimanfaatkan
dan difungsikan untuk
mengatasi permasalahan yang
sedang dihadapi oleh bangsa ini
yang sebenarnya merupakan masalah kita
bersama, karena pada
hakekatnya Islam tidak
hanya mengajarkan pada
umatnya tentang hubungan
vertikal atau dengan
sang khaliq saja, tetapi
juga secara horizontal
atau hubungan sosial
dengan sesamanya dan
alam sekitar. Islam mengajarkan
pada kita untuk berbagi rezeki yang telah diberikan-Nya kepada mereka
yang tidak mampu,
karena sesungguhnya disebagian
harta kita ada hak
orang yang tidak mampu.
Kepala
Negara Presiden Susilo
Bambang Yudoyono (SBY) menegaskan
sejarah mencatat, dalam membangun peradaban baru di Madinah, Rasulullah SAW juga menghimpun Zakat, infaq
dan Shadaqah, serta Wakaf dalam berbagai
bentuknya. Tujuannya adalah
untuk memberdayakan umat, mengentaskan kemiskinan
dan mengembangkan dakwah
Islam. “Rasulullah mewajibkan kaum aghniya, yakni orang-orang
yang memiliki kelebihan harta, untuk
meWakafkan sebagian harta yang dimilikinya.”
Menurut sebuah sumber
potensi Zakat di
Indonesia mencapai Rp 20 triliun per tahun, hasil penelitian Pusat dan
Bahasa UIN Syarif Hidayatullah dan Ford
Foundationtahun 2005 menggungkapkan, jumlah potensi filantropi (kedermawanan)
umat Islam Indonesia
mencapai Rp 19,3
triliun. Di antara Presiden
Canangkan Gerakan Nasional
Wakaf Uang (http:www.hidayatullah.com.
diakses tanggal. 01-02-2010) potensi tersebut Rp 5,1 triliun berbentuk
barang dan Rp 14,2 triliun berbentuk uang.
Serta
tanah Wakaf mencapai
268.653,67 hektar, sedangkan
menurut Mustafa Edwin
Nasution, ekonom dari
Univesitas Indonesia, potensi penghimpunan
dana dari Wakaf
uang di Indonesia,
dalam satu tahun
bisa dihimpun dana
sebanyak Rp 3
triliun, Jumlah
di atas merupakan
jumlah yang tidak
sedikit, dan apabila
dana ziswa tersebut dikelola secara professional
dan disalurkan bagi
mereka yang membutuhkan
sesuai dengan kebutuhan
mereka. Baik disalurkan
untuk pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan
usaha.
Malang
tidak ubahnya sebagaimana
kota-kota besar lainnya
di Indonesia yang
masih menyimpan banyak
masalah sosial ekonomi,
seperti kemiskinan, ketimpangan
dalam perekonomian serta
masih banyaknya anak usia sekolah
yang tidak berkesempatan
memperoleh pendidikan akademik secara formal. Dinas Pendidikan Kabapaten
Malang menyatakan angka putus sekolah di
Kabupaten Malang masih sangat tinggi. Data di Dinas Pendidikan menyebutkan
angka putus sekolah
untuk anak usia
wajib sekolah mencapai 27.220 orang. Jumlah itu berasal dari usia
7-12 tahun (2.438 orang) dan usia 13-15
tahun sebesar 24.782 orang. Kelompok usia 16-18 tahun yang tidak lagi sekolah
lebih besar lagi,
yakni mencapai 60.817
orang. Adapun usia
19-24 tahun yang tidak bersekolah
sekitar 229.360 orang.
Nuruddin Mhd.
Ali. Zakat Sebagai
Instrument Dalam Kebijakan
Fiskal. (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 2006) hal. XXIV.
Abdul
Ghofur Anshori. Hukum dan Praktek Perwakafan di Indonesia(2006: Pilar Media Yogyakarta), hal. 99 Sekalipun
Pemerintah Daerah selalu
mengupayakan berbagai solusi guna
untuk menyelesaikan masalah
yang sedang dihadapi,
te tapi itu
semua tidak cukup
tanpa ada partisipasi
dari warga malang sendiri. Kota
Malang memiliki luas
110.06 Km. persegi,
Kota dengan jumlah
penduduk sampai akhir Juni 2005 sebesar 782.110 jiwa.
Kepadatan penduduk kurang lebih 7106 jiwa
per kilometer persegi. Tersebar di 5 Kecamatan(Klojen = 125.824 jiwa, Blimbing = 167.301 jiwa, Kedungkandang =
152.285 jiwa, Sukun = 174.184 jiwa, dan
Lowokwaru = 162.516 jiwa), 57 Kelurahan,
10 Desa, 505 RW dan 3.649 RT.
Melihat penduduk Malang
Raya yang sebagian
besar beragama Islam
dan secara finansial
mereka mampu, maka
sudah dapat dipastikan bahwa potensi dana Zakat, Infaq, Shadaqah dan
Wakaf(ZISWA) cukup besar dan apabila
dikelola oleh lembaga
yang professional dan amanah
akan mampu mengatasi
permasalahan ketimpangan dan
permasalahan ekonomi lainnya.
Tentunya untuk mengoptimalkan fungsi dan
manfaat dana-dana sosial tersebut dibutuhkan suatu lembaga
yang menjadi mediator antara
yang kaya dan
yang miskin. Sehingga
ketimpangan sosial ekonomi
di negeri ini
dapat ditanggulangi. Di
Malang telah banyak
lembaga-lembaga sosial non
profit yang bergerak
dalam penghimpunan dan
pendistribusian dana umat
seperti Zakat, Infaq,
Shadaqah dan Wakaf
(ZISWA) dari muzaki
untuk disalurkan kepada
mustahiq. Salah satunya
adalah Baitul Maal
Hidayatullah (BMH) Cabang
Malang. BMH adalah
lembaga di bawah
organisasi massa Hidayatullahyang diberi
amanah untuk mengelola
dana umat dan
pada tahun 2001
BMH dikukuhkan sebagai
Lembaga Amil Zakat
Nasional melalui SK Menteri Agama
N0.538 Tahun 2001. Adapun
sebutan Baitul Maal menggambarkan idealisme
sebagaimana Baitul maal
di zaman para
Khalifah, yang menjalankan
fungsi pemerataan bagi
masyarakat. Kiprah BMH
sebagai lembaga yang consern terhadap
persoalan sosial kemasyarakatan telah dirasakan oleh
masyarakat luas hampir
diseluruh pelosok nusantara
dengan tersalurkanya puluhan milyar
rupiah. Dana tersebut
terdiri dari berbagai kalangan masyarakat baik perorangan maupun
kolektif(perusahaan dll).
Beberapa
hal yang melatarbelakangi peneliti
untuk mengadakan penelitian
di lembaga Baitul
Maal Hidayatullah Cabang
Malang antara lain, BMH telah
mempunyai 5 kantor
perwakilan dan jaringan
kerja 141 daerah tingkat II di seluruh Indonesia, BMH merupakan
Lembaga Amil Zakat tertua di Indonesia,
dengan dukungan teknologi
informasi, kini semua
kantor (pusat-regional-cabang)
telah terkoneksi secara online, membuat
pengelolaan lembaga lebih
terintegrasi, transparan dan
cepat. Secara garis
besar BMH menyalurkan dana umat yang terdiri dari Zakat,
Infaq, Shadaqah dan Wakaf (ZISWA) melalui
empat program yaitu
Dakwah, Sosial, Ekonomi dan Pendidikan. Selain
itu kemudahan bagi
muzaki atau donatur yang
bisa menyetor dana melalui bank
atau layanan jemput Zakat.
Sekalipun berstatus cabang bukan berarti BMH
CabangMalang tidak mempunyai otoritas
dalam pendayagunaan dana
ZISWA. Untuk program pendidikan
sampai saat ini
awal tahun 2010,
BMH Cabang Malang
telah mempunyai 25 Desa yang
menjadi yang menjadi binaannya, 550 Anak Asuh mulai
dari usia sekolah
SD sampai SMA,
2200 muzaki dan donatur
yang masih aktif. Serta
pengembangan Pusat Pendidikan Anak Shaleh (PPAS) dan Pengembangan
Sekolah Dhuafa (PSD)
untuk pemerataan pendidikan
di wilayah Malang
Raya bagi mereka
anak Dhuafa dan
anak Yatim. Dalam program pendidikan
BMH cabang Malang
mempunyai strategi tersendiri dalam
pengelolaan dana ISWA
untuk memperdayakan pendidikan
anak Dhuafa. Yakni
dengan cara menyalurkan
dana dari Wakaf
untuk perluasan Pesantren dan sekolah yang berada di bawah
naungan BMH cabang Malang serta pengadaan fasilitas
sekolah, sedangkan dana
Infaq dan Shadaqah difungsikan untuk biaya operasional pendidikan
anakDhuafa seperti, beasiswa untuk Anak
Asuh dan juga untuk keperluan lainnya yang sifatnya konsumtif.
Penulis tertarik
untuk meneliti lebih
dalam bagaimana BMH
Cabang Malang menghimpun
dan mendistribusikan dana
ISWA, mendayagunakan dana ISWA untuk pemberdayaan pendidikan anak
Dhuafa dan anak Yatim, serta problematika
yang di hadapi
di lapangan ketika menjalankan
programprogramnya, dan penulis akan merumuskan dalam judulskripsi
“Pengelolaan Dana ISWA
untuk Pemberdayaan Pendidikan
Anak Dhuafa”. (Studi Kasus di BMH Cabang Malang).
Hasil wawancara dengan Humam
Hidayat , Devisi Pendayagunaan BMH cabang Malang, Tanggal 20 Maret 2010 B.
Pembatasan dan Rumusan Masalah Banyak sekali hal-hal yang
perlu dikaji dari
BMH Cabang Malang, mulai dari penghimpunan dana ZISWA sampai dengan
pendistribusian danadana tersebut. Namun
agar penelitian ini
lebih terfokus pada
suatu permasalahan, sehingga
pembahasannya akan lebih mendalam, maka peneliti akan
membatasi masalah ini
pada pengelolaan dana
ISWA untuk pemberdayaan pendidikan anak Dhuafa.
Dari
pembatasan masalah di
atas, maka peneliti
dapat merumuskan masalah sebagai berikut: 1.
Bagaimana mekanisme BMH
cabang Malang dalam
penghimpunan dan pendistribusian dana ISWA? 2.
Bagaimana BMH cabang
Malang mengelola dana
ISWA untuk pemberdayaan pendidikan anak Dhuafa? 3.
Problematika apa saja
yang dihadapi BMH
cabang Malang di
lapangan dalam penghimpunan dan
pendistribusian dana ISWA?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.
Tujuan Penelitian Dari rumusan
masalah di atas,
maka tujuan peneltian ini
adalah sebagai berikut a.
Mengetahui mekanisme BMH
cabang Malang dalam
penghimpunan dan pendistribusian
dana ISWA.
b.
Mengetahui bagaimana BMH
cabang Malang mendayagunakan dana ISWA.
c.
Mengetahui problematika apa saja yang dihadapi BMH cabang Malang dalam penghimpunan dan pendistribusian dana
ISWA
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi