BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Masyarakat jawa mempunyai beberapa aturan yang
berkenaan dengan masalah kekeluargaan
dalamrangka menyongsong lahirnya generasi penerus.
Diantara aturan itu sedikit
banyak mengikuti aturan yang diajarkan dalam Islam dan ajaran yang dibawa agama Hindu dan Budha. Hal
itu wajar saja, karena jika kita tengok
sejarah masyarakat jawa pada masa silamsebelum Islamdatang dengan ajaran yang benar, masyarakat jawa telah
terbiasa dalamkehidupan yang mengikuti ajaran-ajaran
terdahulu,yaituanimismedan dinamisme yang dibawa oleh agama Hindu dan Budha. Karena Islamdatang setelah
agama Hindu dan Budha, maka yang diterapkan
oleh para wali yang membawa risalah tersebut lebih banyak mengikuti arus dari pada melawan arus.
Pengislaman di Jawa terjadi
secara damai karena metode yang dipakai oleh para wali dalamberdakwah menggunakan metode
yang sangat akomodatif dan lentur, yakni
dengan menggunakan unsur-unsur budaya lama(Hinduismedan Budhisme), tetapi secara tidak langsung
memasukkan nilai-nilai Islam ke dalam unsur-unsur
lamaitu. Mereka sangat tekun dan memahamikondisi sosiokultural masyarakat Jawa. Sebagai contoh dari cara
kerja metode ini antara lain dalambidang ritual, pembakaran kemenyan yang semula
menjadi sarana dalampenyembahan terhadap para dewa, tetap dipakai oleh Sunan
Kalijaga dengan pemahaman sebatas sebagai
pengharumruangan ketika seorang muslimberdoa sehingga doa akan bisa khusyuk, masih banyak lagi upaya mengambil
unsur-unsur budaya lama dengan memasukkan
nilai-nilai ajaran Islam.
Hasil yang dicapai oleh para wali,disamping
mengislamkan masyarakat lapisan bawah,
para tokoh masyarakat, juga tokoh
penting lapisan atas yang kemudian
diikuti oleh anak negeri yang ada dalam pengaruh kekuasaannya. Di antara faktor-faktor penyebab keberhasilan mereka, di
samping keuletan, kejujuran dan sifat-sifat
keutamaan lain yang mereka miliki adalah Islam merupakan agama yang mempunyai upacara agama yang lebih sederhana
dibanding dengan agama Hindu yang lebih
menekankan aspek sosial. Metode pengIslaman sangat mudah, yaitu orang hanya diminta untuk penyaksian dengan
kalimat syahadat. Corak Islam yang dikembangkan
di Jawa lebih mengarah pada pendekatan sufistik yang cenderung identik dengan paham mistik agama sebelumnya.
Pada umunya dapat dikatakan bahwa
daerah-daerah yang paling sedikit diHindu-Budha-kan, disitulah yang paling
dapat di Islamkan secara mendalam.
Demikian pula sebaliknya, di
daerah-daerah yang paling meresap dan intensif keHindu-Budha-annya, maka paling
dangkal corak keislamannya. Para wali justru berdakwah di pulau Jawa, satu masyarakat yang
pengaruh Hindu-Budha-nya paling mendalam
dan paling sulit berasimilasi. Karena itu, tidak mengherankan jika dalam dakwahnya, para wali masih berupaya
meninggalkan corak Islam yang sinkretis, kejawaan, ke-Hindu-Budha-an. Pembenahan kearah
Islam murni,menurut Nurcholis Madjid,
terhalang penjajahan. Umat hanyadiarahkan untuk berjuang dan berjuang melawan orang-orang barat itu sehingga umat
Islam Indonesia dan jawa khususnya Ridin
Sofwan dkk, Merumuskan Kembali Interelasi Islam-Jawa(Yogyakarta: Gama Media,
2004), 5 Soebardi, The Place Of Islâ:
Studies in Indonesian Histor (Australia: Pitman Publishing ltd, 1976), 40.
belum sempat menciptakan peradaban, belum
sempat membenahi ke dalam. Di sisi lain,
sebagai akibat dari corak agama Islam ketika itu yang terlampau bercorak tasawuf, khususnya yang dikembangkan oleh
Sunan Kalijaga, penduduk jawa kurang mengindahkan
syari`at Islam, apalagi dengan munculnya Syekh Lemah Abang (Siti Jenar) dengan ajarannya tentang Wahdatul Wujud, merangsang munculnya masyarakat Islam abangan yang berperilaku
bid`ah .
Franz Magnis Suseno menilai bahwa
budaya memiliki ciri khas yang lentur dan
terbuka. Walaupun suatu saat terpengaruh unsur kebudayaan lain, tetapi kebudayaan jawa masih dapat dipertahankan
keasliannya. Dengan demikian inti budaya
jawa tidak larut dalam Hinduisme dan budhisme, tetapi justru unsur dua budaya itu dapat “dijawakan” hal ini terjadi
karena nilai budaya jawa pra Hindu yang animistis
dan magis sejalan dengan Hinduisme dan budhisme yang bercorak religius magis. Namun suatu budaya jawa yang animistis
magis bertemu dengan unsur budaya Islam
yang monotheistis, terjadilah pergumulan yang menghasilkan jawa Islam yang sinkretis dan Islam yang puritan.
Di kalangan jawa Islam inilah tumbuh dan
berkembangnya perpaduan budaya jawa Islam, yang memiliki bagian luar budaya itu menggunakan simbol Islam, tetapiruh
budayanya adalah jawa sinkretis (Islam
digambarkan sebagai wadah, sedangkan isinya adalah jawa) .
Berbagai macam kesenian
tradisional yang ada di Jawa pada umumnya menggambarkan sifat dan karakteristik
pendudukdimana kesenian itu berada. Selain itu juga tentang upacara adat dalam menghadapi
siklus kehidupan, mulai dari Ridin
Sofwan, Ibid., 10.
Amin, Darori, Islam dan Kebudayaan Jawa,
(Yogyakarta: Gama Gramedia, 2002), 278.
upacara kelahiran sampai pada upacara
kematian, semua dilaksanakan dengan aturan-aturan
yang sudah menjadi warisan dari nenek moyang mereka.
Mengenai upacara kelahiran ini,
sayangnya belum ada aturan-aturan yang pasti
memuat secara kronologis tentang tata cara upacara untuk dijadikan pedoman dalam setiap pelaksanaannya. Namun, di
masyarakat Jawa banyak sekali yang melaksanakan
upacara ini karena sudah menjadi suatu adat yang harus dilaksanakan dalam kehidupan yang dijalani.
Upacara sebelum kelahiran dalam
masa mengandung tujuh bulan biasa disebut
dengan “tingkeban”. Dan dalam tradisi tingkeban ini masih ada
perbedaanperbedaan antara daerah yang satu dengan daerah yang lain karena
intensitas pengaruh budaya luar antara
daerah yang satu dengan daerah yang lain berbeda .
Pada zaman dahulu perbedaan itu
tidak saja terlihat antar daerah tetapi juga antara kelompok masyarakat itu sendiri.
Upacara tingkeban merupakan tata
nilai kehidupan didalam masyarakat jawa karena
sebagai tindak lanjut dari upacara perkawinan adat jawa. Hampir setiap orang tua yang akan mempunyai seorang putra
atauputri tidak terlepas dari upacara adat yang berlaku. Meskipun masyarakat
berkali-berkali menyaksikan upacara tingkeban, tetapi mereka masih kurang dapat memahami arti
dan makna upacara tersebut, sehingga
upacara tingkeban tidak lebih dari ritualitas yang terjadi dalam masyarakat untuk mengumumkan umur kandungan sebagai
sambutan kelahiran anak.
Pelaksanaan tata cara sebelum
melahirkan anak dalam praktek upacara tingkeban
ini diselingi dengan berbagaiajaran agama Hindu dan Budha serta kepercayaan-kepercayaan yang ada dalam
masyarakat Jawa sendiri. Padahal dalam Sutrisno
Sastro Utomo, Upacara Daur Hidup Adat Jawa, (Semarang: Effhar Offset, 2005), 3.
ajaran Islam telah diajarkan agar berhati-hati
dalam melakukan suatu hal yang masih berbau
syirik.
Adat merupakan suatu fenomena
yang hidup dan ditaati oleh masyarakat yang
aman, tentram dan sejahtera. Sama halnya dengan tradisi tingkeban yang merupakan bagian upacara adat jawa yang masih
berlaku pada masyarakat Mojokerto. Hal
tersebut adalah salah satucontoh tradisi kebudayaan nasional yang masih berlaku dan berkembang di tengah-tengah
masyarakat Jawa.
Meskipun semua tindakan-tindakan
masyarakat tersebut ada yang berdasarkan
nilai-nilai ajaran Islam tetapi kebiasaan terhadap penyelenggaraan upacara tingkeban pada umumnya tidak
berdasarkan pada ketentuan ajaran Islam, dan walaupun dalam hukum fikih tidak ada
larangan terhadaptradisi tingkeban tersebut.
Dengan demikian peneliti menganggap itu merupakan suatu masalah yang penting untuk dipahami, karena tata cara
upacara tingkeban yang biasa dilakukan oleh
masyarakat Gebangsari Kecamatan Jatirejo kabupaten Mojokerto kadangkadang tidak
sesuai dengan hukum dalam ajaranIslam, padahal dilihat dari segi lain tidak menutup kemungkinan akan adanya
relevansi yang erat terhadap ajaran nilainilai Islam dan hukum Islam dalam
proses pelaksanaannya.
Adanya tradisi atau kebiasaan
yang masih banyak mengandung mitos-mitos unsur Budhisme dan Hinduisme yang bercorak
religius magis, akan tetapi pelaku tradisi
tersebut tidak lain adalah seorang muslim yang dalam beragama selalu berpedoman pada al-Qur’an dan hadits. Sehingga
dari kedua hal tersebut tidak menutup
kemungkinan saling berkronfrontasi, maka peneliti tertarik ingin mengetahui lebih jauh apa yang melatar
belakangi kebiasaan atau tradisi tingkeban sehingga dilakukan oleh masyarakat
Gebangsari, kemudian dikorelasikan dengan nilai-nilai ajaran dan hukum Islam, sehingga
peneliti mengambil judul “Relevansi Tradisi
Tingkeban Pada Upacara Ketujuh Dari Umur Kandungan Terhadap Hukum Islam(Kasus di Desa Gebangsari Kecamatan
Jatirejo Kabupaten Mojokerto)”.
B. Rumusan masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, maka
timbul pertanyaan-pertanyaan sebagai
berikut: 1. Apa makna tradisi tingkeban pada upacara
ketujuh dari umur kandungan bagi masyarakat
Jawa khususnya masyarakat Gebangsari Kecamatan Jatirejo Kabupaten Mojokerto? 2.
Bagaimana relevansi tradisi tingkeban terhadap hukum Islam?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh
peneliti dalam penulisan skripsi ini antara
lain adalah: 1. Untuk mengetahui makna filosofis tradisi
tingkeban yang terjadi di masyarakat Gebangsari
Kecamatan Jatirejo Kabupaten Mojokerto.
2. Untuk mengetahui relevansi upacara adat Jawa
terhadap hukum Islam, khususnya tradisi
tingkeban serta untuk mengetahuimana adat yang sesuai dengan hukum Islam dan yang tidak sesuai dengan ajaran
hukum Islam.
Sedangkan untuk kegunaan
penelitian ini, diharapkan agar bisa memberikan kontribusi pengetahuan dan akan bermanfaat
bagi: 1.
Masyarakat Kampus, khususnya bagi pengembangan keilmuan di bidang hukum Islam dan hukum adat yang ada di Fakultas
Syari’ah Jurusan Al-ahwal AlSyakhsiyah.
2.
Masyarakat Jawa, khususnya masyarakatGebangsari yang dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan masukan dalam
penelitian tentang tradisi tingkeban ini serta memberikan pengetahuan bahwa tradisi
tingkeban bukan sebuah ritual adat biasa
yang hanya dilaksanakan tetapijuga dapat mengetahui makna tradisi tingkeban.
3. Peneliti sendiri, diharapkan dengan
penelitian ini akan menambah pengetahuan, kemampuan dan pengalaman bagi peneliti,
sehingga dapat mengamalkan dan mengembangkan
di tengah-tengah masyarakat.
D. Batasan Masalah Penulis membatasi Masyarakat Jawa yang
dijadikan objek penelitian dalam penulisan
skripsi ini adalah khususnya masyarakat yang ada di desa Gebangsari Kecamatan Jatirejo Kabupaten Mojokerto, karena
dalam masyarakat tersebut masih banyak
yang melaksanakan tradisi tingkeban.
Hukum Islam yang akan dikaji
dalam penulisan skripsi ini adalah hukum yang ada kaitannya dengan suatu adat
istiadat,dimana banyak sekaliadat di negara Indonesia khususnya masyarakat Jawa yang tidak
sesuai dengan ajaran agama Islam.
Karena masuknya agama Islam di
Indonesia setelah adanya ajaran Hindu dan Budha yang sudah menjadi adat dan kepercayaan secara
turun temurun, sehingga tidak menutup
kemungkinan dalam pelaksanaan adat tersebut masih tersimpan unsur-unsur dan mitos-mitos religius magis yang
bertentangan dengan ajaran Islam.
E. Definisi Operasional Untuk mempermudah dan memperjelas pokok
bahasan, maka penulis memberikan
definisi operasional yang akan dipergunakan dalam penulisan ini, yaitu: 1. Relevansi
adalah hubungan atau
keterkaitan antara dua hal yang sama maupun berbeda
.
2. Tradisi ialah kebiasaan yang
dilakukan berulang kali secara turun-temurun; adat kebiasaan
.
3.Tingkebandisebut juga dengan
mitoniialah selamatan pada waktu usia kandungan
mencapai tujuh bulan dengan harapan agar selamat dalam melahirkan dan tidak ada kesulitan .
4. Upacara ketujuh
dari umur kandungan adalah
Upacara yang dilaksanakan pada bulan
ketujuh apabila dari kandungan seorang wanita berumur tujuh bulan dan penyelenggaraannya harus menurut peraturan
adat yang berlaku .
F. Sistematika Pembahasan Untuk memperoleh gambaran yang jelas dan
menyeluruh dalam isi penelitian ini,
maka secara global dapat dilihat padasistematika pembahasan dibawah ini : BAB I: Pendahuluan, yang didalamnyamemuat
latar belakang masalah, batasan masalah,
rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi