BAB I PENDAHULUAN
A. LatarBelakang Globalisasi ekonomi telah memperluas jangkauan kegiatan ekonomi, sehingga
tidak hanya terbatas pada satu
negara saja. Konsekuensi
dari proses globalisasi
ekonomi tersebut berpengaruh
terhadap perkembangan
kepariwisataan dunia, dan
akhirnya berimplikasi pada
dunia pariwisata Indonesia.
Secara
jelas kita dapat
melihat bahwa pariwisata
itu bukanlah merupakan
suatu industri biasa seperti halnya
industri mesin, industri
meubel yang mmpunyai
pabrik dan menghasilkan barangbarang secara
langsung dapat dikonsumsi
oleh masyarakat dalam
bentuk barang-barang sebagai hasilproduksinya.
Di
Indonesia istilah pariwisata
dimulai pada awal
tahun enampuluhan. Istilah
ini semakin menjadi pembicaraan, terutama
setelah Presiden Suharto
menyampaikan kata sambutan
dalam pertemuan ramah tamah
dengan para peserta
seminar dan rapat
kerja kepariwisataan tanggal
27 Nopember 1982 di
Istana Negara.[1] Untuk
menyamakan pemahaman mengenai
istilah-istilah dan pengertian pariwisata, di
Indonesia mengacu pada
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 9 tahun
19 tentang Kepariwisataan, yang
menyatakan bahwa Pariwisata
adalah segala sesuatu
yang berhubungan dengan wisata,
termasuk pengusahaan objek
dan daya tarik
wisata serta usaha-usaha yang terkait
di bidang tersebut.
Sedangkan wisata adalah
kegiatan perjalanan atau
sebagian dari kegiatan tersebut
yang dilakukan secara
sukarela serta bersifat
sementara untuk menikmati
objek dan dayatarik wisata.
Selanjutnya
istilah industri yang
dikaitkan dengan pariwisata
memiliki makna yang
jauh berbeda dengan istilah
industri seecara umum.
Dalam pengertian klasik
industri diartikan sebagai sekelompok atau
kumpulan pabrik yang
menghasilkan produk yang sejenis
dan orang akan membayangkan proses
produksi dengan menggunakan
mesin-mesin yang menghasilkan barangbarang. Sedangkan
dalam industri pariwisata
yang dihasilkan bukan
barang sejenis, tetapi
barang dan pelayanan yang beranekaragamdengan lebih banyak menggunakan
tenagamanusia.
Weaper
dan Opperman menyatakan
industri pariwisata dapat
didefenisikan sebagai gabungan aktivitas komersial
dan industri yang
menghasilkan barang dan
jasa secara keseluruhan
atau sebagian dikonsumsi oleh
turis. Industri pariwisata
terdiri dari perusahaan-perusahan antara
lain: agen perjalanan wisata, maskapai penerbangan, kereta api, taksi,
hotel, penginapan, restoran, rumah makan,
kedai makanan/minuman, perusahaan
cindera mata, bank,
penukaran uang, angkutan
di lokasiwisata, sewaan sepeda, pusatpembelanjaan, pengusahaobjek wisata.
Perusahaan-perusahaan tersebut
menghasilkan jasa atau
produk yang berbeda
satu sama lainnya.
Perbedaan tersebuttidak
hanyadalamproduk yang dihasilkan, tetapidalamskalaperusahaan, lokasi tempat
kedudukan, letak geografis, fungsi, bentuk organisasi yang mengelola,dan
metode atau cara pemasarannya.[2]
Masing-masing perusahaan menghasilkan produk
yang berbeda dan
saling melengkapiyang dinikmatiwisatawan dalamsuatu paket.
Dari
begitu beragamnya produk
wisata yang dihasilkan
usaha pariwisata, pada
dasarnya dapat dikelompokkan ke
dalam tujuh komponen
utama yaitu: daya
tarik, fasilitas penginapan/pemondokkan, fasilitas
makanan dan minuman,
fasilitas pendukung dan
hiburan, fasilitaspengangkutan/transportasidan prasaranalain.
Sebagai
produk jasa, maka
produk pariwisata memiliki
karakteristik jasa secara
umum yaitu tidak tangible, tidak terpisahkan, beragam,
dan perishability. Dikatakan tidak tangible
karena tidak dapat dilihat,
dan dirasakan sebelum
produk itu dibeli.
Tidak terpisahkan artinya
dihasilkan dan digunakan pada
saat yang bersamaan
dengan perkataan lain
tidak dapat dipisahkannya antara produsen dan
konsumen. Beragam artinya
produknya beraneka ragam,
sebab sangat tergantung kepada siapa
yang menghasilkannya. Perishability, artinya
tidak dapat disimpan
untuk dinikmati padawaktu yang
akan datang.
Sedangkan
secara khusus produk
pariwisata memiliki karakteristik tidak
dapat dipindahkan, peranan
perantara tidak diperlukan, tidak dapat ditimbun, tidak memiliki standar,
permintaan sangat dipengaruhi oleh musim,
calon konsumen tidak
dapat mencoba sebelum
membeli, sangat tergantung
kepadatenagamanusia.[3] Keinginan
pengembangan pariwisata di
Indonesia terutama didasarkan
kepada beberapa faktor antara lain:
pertama, Indonesia mempunyai
potensi kepariwisataan yang
begitu banyak, sehingga mempunyai peluang
yang besar untuk
mendatangkan wisatawan; kedua,
prospek pariwisata yang tetap
memperlihatkan
kecenderungan meningkat secara
konsisten; ketiga, makin
berkurangnya peran minyak
dalam menghasilkan devisa.
Di samping itu
kita ketahui bersama
bahwa dalam pembangunan ekonomi
di masa lalu
menekankan pada pengembangan industri-industri yang mengandalkan sumber daya impor,
sehingga melahirkan industri-industri yang memiliki kandungan impor yang
relatif tinggi (sekitar
60 – 80
%). Dengan demikian,
maka manfaat ekonomi
yang dihasilkan industritersebutjugalebih besar jatuh kemasyarakatluar
negeri.
Industri
pariwisata Indonesia berkembang
cukup pesat selama
beberapa tahun terakhir.
Jumlah kunjungan wisata mancanegara
ke Indonesia meningkat
dari 2.177.566 orang
pada tahun 19 menjadi
5.153.620 orang pada
tahun 2001. Sejalan
dengan itu pada
periode yang sama
jumlah penerimaan devisa dari
pariwisata juga meningkat
cukup pesat yaitu
mencapai 150 persen.
Dinas Pariwisata tahun
1999 mempunyai target
bahwa pada tahun
2009 pariwisata sebagai
penghasil devisa utama melalui kunjungan wisatawan mancanegara dengan
penerimaan devisa sekitar US$ 30 milliar.
Bagi
Indonesia, industri pariwisata
merupakan suatu komoditi
prospektif yang dipandang mempunyai peranan
penting dalam pembangunan
nasional, sehingga tidak
mengherankan apabila Indonesia menaruh
perhatian khusus kepada
industni pariwisata. Hal
ini lebih diperkuat
dengan adanya kenyataan bahwa
Indonesia memiliki potensi alam
dan kebudayaan yang cukup besar
yang dapat dijadikan modal bagi pengembangan industni pariwisatanya.
Salah satu tujuan pengembangan kepariwisataan
di Indonesia adalah
untuk meningkatkan pendapatan
devisa pada khususnya
dan pendapatan negara dan masyarakat pada umumnya, perluasan kesempatan serta lapangan kerja dan mendorong kegiatan-kegiatan industri-industri penunjang
dan industri-industri sampingan
lainnya.
Peluang tersebutdidukung oleh kondisi-kondisialamiah
seperti:letak dan keadaan geografis(lautan dan daratan sekitar khatulistiwa),
lapisan tanah yang subur dan panoramis (akibat ekologi geologis), sertaberbagaifloradan
faunayang memperkayaisidaratan dan lautannya.
BillFaulkner menyebutkan bahwaada5 aspek
potensipariwisataIndonesiayaitu[4]: 1.
Warisan budayayang kaya 2.
Bentang alamyang indah 3.
Letak dekatpasar pertumbuhan Asia 4.
Penduduk potensial(jumlah &mampu) 5. Tenagakerja(jumlah dan murah) Pengembangan
industri pariwisata di Indonesia masuk dalam skala prioritas khususnya bagi
daerahdaerah yang miskin
akan sumber daya
alam. Sesuai dengan
pernyataan. International Union
of Official Travel Organization
(IUOTO) dalam konferensi
di Roma tahun
1963 bahwa pariwisata adalah penting bukan
sajasebagaisumber devisa, tetapijugasebagaifaktor yang menentukan lokasi industri dan
dalam perkembangan daerah-daerah yang
miskin dalam sumber-sumber alam. [5]
Ini menunjukkan bahwa pariwisata
sebagai industri jasa
mempunyai andil besar
dalam mendistribusikan pembangunan kedaerah-daerah yang belumberkembang.
Dalam orde reformasi ini, lahirnya UU No. 22
Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 merupakan momentum awal
yang sangat tepat
bagi daerah untuk
lebih mandiri dalam
menggali dan mengembangkan potensi-potensi yang
dimilikinya. Kemandirian daerah
ini terwujud dalam pemberian kewenangan
yang cukup besar
meliputi kewenangan
dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali
kewenangan dalam bidang
politik luar negeri,
pertahanan keamanan, peradilan,
moneter dan fiskal, agama, sertakewenangan dalambidang.
[6] Penyerahan kewenangan
tersebut disertai juga
dengan penyerahan dan
pengalihan pembiayaan, sarana
dan prasarana serta
sumber daya manusia
sesuai dengan kewenangan
yang diserahkan tersebut.
Merupakan konsekuensi logis bagi daerah dengan adanya penerapan otonomi daerah
maka segalasesuatu yang bersifatoperasionaldilimpahkan kepadadaerah.
[7] Sehubungan dengan
penerapan otonomi daerah
maka segala sesuatu
yang menyangkut pengembangan industri
pariwisata meliputi pembiayaan,
perizinan, perencanaan, pelaksanaan
dan evaluasi menjadi wewenang daerah untuk menyelenggarakannya. Dengan
demikian masing-masing daerah dituntut untuk lebih mandiri dalam mengembangkan
obyek dan potensi wisatanya, termasuk pembiayaan promosinya.
[8] Sumber-sumber penerimaan
daerah dalam pelaksanaan
desentralisasi berasal dan
pendapatan asli daerah, dana
perimbangan, penerimaan daerah
dan lain-lain yang
merupakan penerimaan yang sah.
[9] Sumber
pendapatan asli daerah
(PAD) merupakan sumber keuangan daerah yang digali
dan dalam wilayah daerah yang bersangkutan terdiri dari hasil pajak
daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan dan lain-lain pendapatan aslidaerah yang sah.
[10] Dilihat
dari sisi PAD maka ada beberapa
daerah di Indonesia yang miskin akan sumber
daya alam sehingga tidak dapat
mengandalkan PAD-nya dari
hasil sumber daya
alam. Oleh karenanya pengembangan industri
pariwisata suatu daerah
menjadi alasan utama
sebagai salah satu
upaya meningkatkan PADmelaluipemanfaatan potensi-potensidaerah setempat.
Pada
tahun 1997, industri
pariwisata Indonesia diperkirakan menghasilkan pajak
tidak langsung sejumlah 8,7%
dari keseluruhan nilai pajak
tidak langsung dan diperkirakan
pada tahun 2007
akan meningkat sebesar 9,6%
dan total keseluruhan.[11] Data
tersebut menunjukkan bahwa
industri pariwisataIndonesiamemberikan kontribusiyang cukup besar
dibidang perpajakan.
Sektor
pajak mempunyai peranan
penting dalam budget
negara.
[12] Pajak
merupakan sumber penerimaan negara
yang dipergunakan untuk
membiayai pengeluaran-pengeluaran rutin
negara, juga dipergunakan untuk membiayai pembangunan nasional. Oleh
karenanya, kontribusi pajak bagi pembangunan
diharapkan tidak saja
mendorong pembangunan satu
wilayah saja, akan
tempi juga dapatmendorong pembangunan
secarameratasampaididaerah-daerah terpencildiIndonesia.
Dalam
ruang lingkup daerah,
kontribusi industri pariwisata
di bidang perpajakan
diharapkan semakin
meningkat dengan jalan
melakukan pengembangan dan
pendayagunaan potensi-potensi pariwisata daerah.
Hanya saja pungutan
pajak tersebut harus
dilakukan secara bijaksana,
artinya pungutan pajak harus
tetap berpegang pada
prinsip keadilan, kepastian
hukum dan kesederhanaan.
Dalam menuju
kemandirian daerah, potensi
industri pariwisata daerah
yang dikelola dan dikembangkan dengan
baik akan meningkatkan penerimaan
di bidang perpajakan.
Dalam hal ini kontribusi pajak
dan industri pariwisata
daerah selain sebagai
sumber PAD, juga
dimaksudkan untuk membiayaipembangunan daerah.
[13] Pada dasarnya pengembangan industri
pariwisata suatu daerah berkaitan erat dengan pembangunan perekonomian daerah
tersebut. Dampak positif
yang secara langsung
dapat dirasakan oleh masyarakat daerah
setempat adalah pada
adanya perluasan lapangan
kerja secara regional.
Ini merupakan akibat dari
industri pariwisata yang
berkembang dengan baik. Misalnya
dengan dibangunnya sarana prasarana
di daerah tersebut
maka tenaga kerja
akan banyak tersedot
dalam proyek-proyek sepertipembangkittenagalistrik, jembatan, perhotelan
dan lain sebagainya.
[14] Untuk
mengembangkan industri pariwisata
suatu daerah diperlukan
strategi-strategi tertentu maupun kebijakan-kebijakan baru
di bidang kepariwisataan. Sebuah
gagasan menarik dari
Sri Sultan Hamengkubuwono Xyang menyodorkan konsep kebijakan
pariwisataborderless, yaitu suatu konsep
pengembangan pariwisata yang
tidak hanya terpaku
pada satu obyek
untuk satu wilayah, sedangkan pola
distribusinya harus makin
dikembangkan dengan tidak
melihat batas geografis wilayah.
[15] Menurut
Dahliana Hasan (2008),
gagasan tersebut memberi
angin segar bagi
dunia kepariwisataan di Indonesia
terlebih dengan diterapkannya sistem
otonomi daerah. Paling
tidak kebijakan baru tersebut menjadi
salah satu alternatif
yang dapat dipergunakan untuk
mengembangkan dan mendayagunakan potensi-potensi wisata
daerah melalui program
kerjasama antar daerah.
Namun demikian yang perlu
mendapat perhatian di
sini bahwa penerapan
program kerjasama tersebut jangan sampai
menimbulkan konflik yang
justru berdampak merugikan,
sehingga tujuan dan pengembangan pariwisatadaerah
menjaditidak tercapai.
Demikian
juga yang dilakukan
pemerintah daerah Kabupaten
Lamongan yang berupaya membangun pariwisata
di daerah Lamongan
sebagai sarana untuk
mengembangkan dan membangun
perekonomian daerahnya guna meningkatkan pendapatan daerah. Lamongan memiliki sejumlah
obyek wisata menarik. Di daerah pantai
terdapat obyek wisata Monumen Van
der Wijck, Waduk Gondang, dan
Wisata Bahari Lamongan
(WBL). Gua Maharani
terletak di Kecamatan Paciran, di
tepi jalur utama
pantura, merupakan gua
kapur yang sangat
indah. Tak jauh
dari Gua Maharani, terdapat
Makam Sunan Drajat
dan Makam Sunan
Sendang Duwur, yakni
penyebar agama Islam di
Pulau Jawa. Kedua
makam tersebut memiliki
arsitektur yang sangat
dipengaruhi oleh Majapahit. Di
dekat kompleks makam
terdapat Museum Sunan
Drajat. Dari beberapa
obyek wisata tersebut, tiga
di antaranya yaitu
Wisata Bahari Lamongan
dan Gua Maharani
(WBL dan Mazoola), Makan Sunan
Drajat, dan Waduk Gondang menjadi
komoditi utama di sector pariwisata bagipemasukan Kabupaten
Lamongan.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi