Sabtu, 05 Juli 2014

Skripsi Syariah: IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR KAWIN (STUDI KOMPARASI ANTARA HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERDATA BARAT (BURGERLIJK WETBOEK)


BAB I  PENDAHULUAN  
A. Latar Belakang Masalah  Dalam Islam, anak bukan hanya sekedar karunia namun lebih dari itu ia  juga merupakan amanah dari Allah SWT.Setiap anak yang lahir telah melekat  pada dirinya pelbagai hak yang wajib dilindungi, baik oleh orangtuanya maupun  Negara. Hal ini mengandung makna bahwa orang tua dan negara tidak boleh  menyia-nyiakannya, terlebih menelantarkan anak. Karena mereka bukan saja  menjadi aset keluarga tapi juga aset bangsa.
Keberadaan anak dalam keluarga merupakan sesuatu yang sangat berarti.
Anak merupakan penyambung keturunan, sebagai investasi masa depan, dan  harapan untuk menjadi sandaran di kala usia lanjut. Ia dianggap sebagai modal  untuk meningkatkan peringkat hidup sehingga dapat mengontrol status sosial  orang tua.
Karena begitu besarnya nilai dan manfaat seorang anak bagi kehidupan  manusia, baik di dunia maupun di akhirat, maka Islam memandang pentingnya  menjaga kejelasan dan kemurnian keturunan atau nasab (hifz} an-nasal) dan  menjadikannya sebagai salah satu aspek mas}lahah d}aru>riyah.

 Nasab merupakan   Hasanuddin, Pengangkatan Anak dan Akibat Hukumnya Menurut Hukum Islam,h. 31.
2   sarana utama yang dijadikan Allah sebagai pengikat kasih sayang antara anggota  keluarga, karenanya ia merupakan  salah satu anugerah terbesar yang  dikaruniakan Allah kepada hambanya. Firman Allah:  َ Artinya: “Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu Dia  jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu  Maha Kuasa.”(QS. Al-Furqan:54)  Di samping itu, sejatinya nasab merupakan hak pertama yang diterima  seorang anak setelah ia dilahirkan agar terhindar dari kehinaan, terpelihara dari  kesia-siaan, dan terjauh dari celaan.
 Karena dengan tetapnya hak nasab, ia akan  mendapatkan hak-haknya yang lain, meliputi hak memperoleh susuan (radla),  hak pemeliharaan (hadlanah), hak nafkah, hak perwalian serta hak kewarisannya.
Sebagai realisasinya, maka digariskanlah lembaga perkawinan sebagai  sunnah tasyri’iyyah, yang diyakini dapat memelihara dan mempertahankan  kemurnian nasab serta menciptakan keluarga yang sakinah. Firman Allah Depag RI, Al-Quran dan Terjemahnya, h. 364.
 Makinuddin, “Kedudukan Anak Yang Lahir Dari Nikah Tutup Malu Menurut Fiqh Dan  Kompilasi Hukum Islam”, digilib-iain sunan ampel, h. 5.
3   Artinya:  "Dan di antara tanda-tandakekuasaan-Nya ialah dia  menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung  dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan  sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda  bagi kaum yang berfikir." (QS. Ar-Rum:21)  Melalui lembaga perkawinan ini, manusia diarahkan dan dibimbing  sehingga mampu mengelola potensi syahwat secara benar dan absah yang sejalan  dengan tuntunan agama.
 Dengan adanya perkawinan, setiap anak yang lahir dari  tempat tidur suami, mutlak menjadi  anak sah dari suami tersebut, tanpa  memerlukan pengakuan darinya.
 Dalam Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), perkawinan merupakan  dasar terwujudnya pertalian keluarga dan hal ini melahirkan hak dan kewajiban  di antara mereka yang termasuk di dalam lingkungan keluarga itu.
 Anak yang  terlahir dalam perkawinan yang sah, maka ia mendapatkan status sebagai anak  sah dan secara otomatis memiliki hubungan keperdataan dengan ayahnya. Hal ini  disebutkan dalam Pasal 250 KUHPerdata sebagai berikut: “Tiap-tiap anak yang  dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami  sebagai bapaknya.”  Namun demikian, tidak semua anak terlahir dalam perkawinan yang sah.
Realitas sosial menunjukkan bahwa banyak anak-anak yang terlahir di luar   Depag RI, Al-Quran dan Terjemahnya, h. 406.
 Ahmad Sukardja, Menguak Permasalahan Anak Istilhaq dalam Hukum Islam,  h. 4.
 Yusuf al-Qardlawi, Halal dan Haram dalam Islam, h. 304-305   Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, h. 138.
 Subekti, Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, h. 62.   4   perkawinan yang sah.Salah satu faktor penyebabnya adalah pesatnya  perkembangan zaman dan semakin derasnya budaya asing yang masuk ke dalam  kehidupan masyarakat kita dengan  membawa perubahan-perubahan yang  mengarah pada pergeseran nilai-nilai pandangan hidup serta pola pikir  masyarakat, dan mengakibatkan merosotnya penghargaan terhadap nilai-nilai  agama dan moral yang merupakan pandangan hidup tiap-tiap manusia yang  seharusnya dijunjung tinggi.
Dari sini timbul persoalan hukumyang serius berkaitan dengan  kedudukan dan hubungan antara anak yang dilahirkan dengan ayah dan ibu  biologisnya. Hukum Islam menentukan bahwa nasab anak luar kawin atau yang  disebut dengan anak zina tidak dapat dihubungkan kepada ayahnya, karena  dalam Islam perbuatan zina tidak bisa dijadikan sebab tetapnya nasab antara  anak dan ayahnya. Ia hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan  keluarga ibunya.
 Senada dengan ketentuan dalam HukumIslam, Pasal 43 ayat (2) UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 100 Kompilasi  Hukum Islam (KHI) juga menetapkan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan  hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Hal demikian tentunya menimbulkan ketidakpastian hukum dan  ketidakadilan, terutama dirasakan pihak anak dan ibu yang melahirkannya.
 Fathur Rahman, Ilmu Waris,h. 221.
5   Sedangkan lelaki yang menghamilinya terkesan kurang mendapat akibat dan  tanggung jawab atas perbuatannya yang telah menyebabkan kelahiran anak luar  kawin tersebut.
Dalam Islam dikenal suatu lembaga pengakuan yang memungkinkan anak  zina atau luar kawin berubah statusmenjadi anak sah dari ayah yang  mengakuinya dengan syarat-syarat tertentu. Jadi, apabila seseorang mengakui  anak zina tersebut sebagai anaknya dan tidak mengatakan bahwa anak tersebut  adalah anak dari hasil hubungan zina dan tidak diketahui dustanya, serta telah  memenuhi syarat-syarat pengakuan, maka anak tersebut dinasabkan kepadanya  berikut segenap implikasi hukum yang ditimbulkannya.
 Namun, jika ia mengatakan bahwa anak tersebut adalah hasil dari  hubungan zina, maka menurut jumhur ulama’nasab anak tersebut tidak bisa  dikaitkan dengannya. Berbeda dengan pendapat jumhur, Ishaq bin Rahawaih  yang diikuti oleh Ibnu Taimiyah mengatakan, meskipun orang yang mengakui  tersebut menjelaskan bahwa anak tersebut adalah hasil zina, nasabnya tetap  dikaitkan dengannya. Ini dimaksudkan sebagai proteksi terhadap kemaslahatan  anak dan menjaga anak tersebut dari kesia-siaan.
 Dalam hal ini, penetapan nasab anak berdasarkan pada pengakuan (ikrar).
Wahbah Zuhaily menyebutnya dengan istilah “al-iqra>r bin-nasab”  , sedangkan   Muhammad Abu Zahrah, Al-Ahwa> l al-Syakhs}iyah, h. 454.
 Muhammad Must}afa Syalabi, Ahka>m al-Mawaris^, h. 359   Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh al-Isla>m wa Adillatuhu, juz X, h. 7265  6   Abu Zahrah menyebutnya dengan istilah “s#ubut al-nasab bi al-da’wah”.
 Dalam  perkembangan selanjutnya dikenal dengan istilah “istilha> q”,yakni perbuatan  seseorang mengakui dan menasabkan seseorang kepada dirinya atau pengakuan  terhadap seorang anak yang tidak memiliki bapak.
 Dengan demikian, pengakuan anak dalam Hukum Islam merupakan salah  satu cara penetapan nasab selain perkawinan yang sah dan yang disamakannya  serta pembuktian (bayyinah).
 Dalam hukum Perdata, anak luar kawin tidak memiliki hubungan  keperdataan baik dengan ibu maupun dengan ayahnya, kecuali jika keduanya  mengakuinya.Ini berarti bahwa untuk menimbulkan hubungan hukum antara  anak yang lahir di luar kawin dengan ayah dan ibunya, diperlukan suatu  pengakuan terlebih dahulu oleh keduanya. Hal ini dipahami dari ketentuan Pasal  280 KUH Perdata, sebagai berikut: “Dengan pengakuan yang dilakukan terhadap  seorang anak luar kawin, timbullah hubungan perdata antara si anak dan bapak  atau ibunya.”   Muhammad Abu Zahrah, Al-Ahwa>l al-Syakhs}iyyah, h. 454.
 Ahmad Sukardja, “Menguak Permasalahan Anak Istilha>q dalam Hukum Islam”, h. 2.
 Ibid.
 Subekti,Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, h.69.
7   Namun, pengakuan ini hanya bisa dilakukan terhadap anak luar kawin  selain anak hasil zina dan anak sumbang. Karena menurut Hukum Perdata, anak  zina dan anak sumbang tidak dapat diakui. Berdasarkan Pasal 272 KUH Perdata:  “Kecuali anak-anak yang dibenihkan dalam zina atau sumbang,  tiap-tiap anak yang diperbuahkan di luar perkawinan, dengan kemudian  kawinnya bapak ibunya, akan menjadi sah apabila kedua orang tua itu  sebelum kawin telah mengakuinya menurut ketentuan undang-undang  atau apabila pengakuan itu dilakukan dalam akta perkawinan sendiri .”  Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa baik Hukum Islam maupun  hukum Perdata mengenal adanya lembaga pengakuan anak meskipun dengan  konsep dan cara yang berbeda. Adanya persamaan dan perbedaan antara hukum  Islam dan hukum Perdata tentang keberadaan lembaga pengakuan anak tersebut  tentunya mengakibatkan pula persamaan dan perbedaan implikasi hukum yang  ditimbulkannya. Oleh karenanya penulistertarik untuk mengkaji salah satu  implikasi hukum yang berkaitan erat dengan pengakuan anak, yakni mengenai  implikasi hak kewarisan dengan membandingkan antara Hukum Islam dan  Hukum Perdata sehingga dapat diketahui persamaan dan perbedaannya.Penulis  menuangkannya dalam judul Implikasi Hak Kewarisan Atas Pengakuan Anak  Luar Kawin (Studi Komparasi  Antara Hukum Islam Dan Hukum  Perdata/Burgerlijk Wetboek).
 Ibid., h.68.
8   B.  Rumusan Masalah  Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka untuk mempermudah  fokus penelitian ini, maka akan dirumuskan dalam beberapa masalah, yakni:  1.  Bagaimana implikasi hak kewarisan atas pengakuan anak luar kawin menurut  Hukum Islam dan Hukum Perdata/Burgerlijk Wetboek?  2.  Bagaimana persamaan dan perbedaan antara Hukum Islam dan Hukum  Perdata/Burgerlijk Wetboektentang implikasi hak kewarisan atas pengakuan  anak luar kawin?  C.  Kajian Pustaka  Kajian pustaka pada penelitian ini, pada dasarnya adalah untuk  mendapatkan gambaran hubungan topik yang akan diteliti dengan penelitian  yang sejenis yang mungkin dilakukan oleh peneliti lain sebelumnya, sehingga  diharapkan tidak ada pengulangan materi penelitian secara mutlak. Permasalahan  tentang anak luar kawin yang akan dikajidalam penelitian ini sebenarnya sudah  ada yang membahas, yaitu:  Penelitian Eka Prastyawati yang berjudul, “StudiKomparatif Antara  Hukum Islam dan Hukum Positif Tentang Akibat Hukum Kelahiran Anak Luar  Kawin”. Skripsi pada jurusan Ahwalus Syakhsiyah fakultas Syariah IAIN Sunan  Ampel Surabaya, 2008. Skripsi ini mengkajiakibat hukum kelahiran anak luar  kawin dengan mengkomparasikan HukumIslam dan Hukum Positif.
9   Peneliti berikutnya adalah Muhammad Masyhud dengan judul penelitian,  “Implikasi Kedudukan Anak Hasil Zina Terhadap Hukum Kewarisan dan  Pernikahannya (Telaah Pemikiran Ibnu Qudamah)”, Skripsi pada jurusan  Ahwalus Syakhsiyah fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2003.


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi