BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Dalam Islam, anak bukan hanya sekedar karunia
namun lebih dari itu ia juga merupakan
amanah dari Allah SWT.Setiap anak yang lahir telah melekat pada dirinya pelbagai hak yang wajib
dilindungi, baik oleh orangtuanya maupun Negara. Hal ini mengandung makna bahwa orang
tua dan negara tidak boleh menyia-nyiakannya,
terlebih menelantarkan anak. Karena mereka bukan saja menjadi aset keluarga tapi juga aset bangsa.
Keberadaan anak dalam keluarga
merupakan sesuatu yang sangat berarti.
Anak merupakan penyambung
keturunan, sebagai investasi masa depan, dan harapan untuk menjadi sandaran di kala usia
lanjut. Ia dianggap sebagai modal untuk
meningkatkan peringkat hidup sehingga dapat mengontrol status sosial orang tua.
Karena begitu besarnya nilai dan
manfaat seorang anak bagi kehidupan manusia,
baik di dunia maupun di akhirat, maka Islam memandang pentingnya menjaga kejelasan dan kemurnian keturunan atau
nasab (hifz} an-nasal) dan menjadikannya
sebagai salah satu aspek mas}lahah d}aru>riyah.
Nasab merupakan Hasanuddin, Pengangkatan Anak dan Akibat
Hukumnya Menurut Hukum Islam,h. 31.
2
sarana utama yang dijadikan Allah
sebagai pengikat kasih sayang antara anggota keluarga, karenanya ia merupakan salah satu anugerah terbesar yang dikaruniakan Allah kepada hambanya. Firman
Allah: َ
Artinya: “Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan
mushaharah dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa.”(QS.
Al-Furqan:54) Di samping itu, sejatinya
nasab merupakan hak pertama yang diterima seorang anak setelah ia dilahirkan agar
terhindar dari kehinaan, terpelihara dari kesia-siaan, dan terjauh dari celaan.
Karena dengan tetapnya hak nasab, ia akan mendapatkan hak-haknya yang lain, meliputi hak
memperoleh susuan (radla), hak
pemeliharaan (hadlanah), hak nafkah, hak perwalian serta hak kewarisannya.
Sebagai realisasinya, maka
digariskanlah lembaga perkawinan sebagai sunnah tasyri’iyyah, yang diyakini dapat
memelihara dan mempertahankan kemurnian
nasab serta menciptakan keluarga yang sakinah. Firman Allah Depag RI, Al-Quran
dan Terjemahnya, h. 364.
Makinuddin, “Kedudukan Anak Yang Lahir Dari
Nikah Tutup Malu Menurut Fiqh Dan Kompilasi
Hukum Islam”, digilib-iain sunan ampel, h. 5.
3
Artinya: "Dan di antara tanda-tandakekuasaan-Nya
ialah dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir." (QS. Ar-Rum:21) Melalui lembaga perkawinan ini, manusia
diarahkan dan dibimbing sehingga mampu
mengelola potensi syahwat secara benar dan absah yang sejalan dengan tuntunan agama.
Dengan adanya perkawinan, setiap anak yang
lahir dari tempat tidur suami, mutlak
menjadi anak sah dari suami tersebut,
tanpa memerlukan pengakuan darinya.
Dalam Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek),
perkawinan merupakan dasar terwujudnya
pertalian keluarga dan hal ini melahirkan hak dan kewajiban di antara mereka yang termasuk di dalam
lingkungan keluarga itu.
Anak yang terlahir dalam perkawinan yang sah, maka ia
mendapatkan status sebagai anak sah dan
secara otomatis memiliki hubungan keperdataan dengan ayahnya. Hal ini disebutkan dalam Pasal 250 KUHPerdata sebagai
berikut: “Tiap-tiap anak yang dilahirkan
atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya.” Namun demikian, tidak semua anak terlahir
dalam perkawinan yang sah.
Realitas sosial menunjukkan bahwa
banyak anak-anak yang terlahir di luar Depag
RI, Al-Quran dan Terjemahnya, h. 406.
Ahmad Sukardja, Menguak Permasalahan Anak
Istilhaq dalam Hukum Islam, h. 4.
Yusuf al-Qardlawi, Halal dan Haram dalam
Islam, h. 304-305 Ali Afandi, Hukum
Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, h. 138.
Subekti, Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, h. 62. 4 perkawinan yang sah.Salah satu faktor
penyebabnya adalah pesatnya perkembangan
zaman dan semakin derasnya budaya asing yang masuk ke dalam kehidupan masyarakat kita dengan membawa perubahan-perubahan yang mengarah pada pergeseran nilai-nilai pandangan
hidup serta pola pikir masyarakat, dan
mengakibatkan merosotnya penghargaan terhadap nilai-nilai agama dan moral yang merupakan pandangan hidup
tiap-tiap manusia yang seharusnya
dijunjung tinggi.
Dari sini timbul persoalan
hukumyang serius berkaitan dengan kedudukan
dan hubungan antara anak yang dilahirkan dengan ayah dan ibu biologisnya. Hukum Islam menentukan bahwa
nasab anak luar kawin atau yang disebut
dengan anak zina tidak dapat dihubungkan kepada ayahnya, karena dalam Islam perbuatan zina tidak bisa
dijadikan sebab tetapnya nasab antara anak
dan ayahnya. Ia hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Senada dengan ketentuan dalam HukumIslam,
Pasal 43 ayat (2) UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal
100 Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga
menetapkan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga ibunya.
Hal demikian tentunya menimbulkan
ketidakpastian hukum dan ketidakadilan,
terutama dirasakan pihak anak dan ibu yang melahirkannya.
Fathur Rahman, Ilmu Waris,h. 221.
5
Sedangkan lelaki yang
menghamilinya terkesan kurang mendapat akibat dan tanggung jawab atas perbuatannya yang telah
menyebabkan kelahiran anak luar kawin
tersebut.
Dalam Islam dikenal suatu lembaga
pengakuan yang memungkinkan anak zina
atau luar kawin berubah statusmenjadi anak sah dari ayah yang mengakuinya dengan syarat-syarat tertentu.
Jadi, apabila seseorang mengakui anak
zina tersebut sebagai anaknya dan tidak mengatakan bahwa anak tersebut adalah anak dari hasil hubungan zina dan tidak
diketahui dustanya, serta telah memenuhi
syarat-syarat pengakuan, maka anak tersebut dinasabkan kepadanya berikut segenap implikasi hukum yang
ditimbulkannya.
Namun, jika ia mengatakan bahwa anak tersebut
adalah hasil dari hubungan zina, maka
menurut jumhur ulama’nasab anak tersebut tidak bisa dikaitkan dengannya. Berbeda dengan pendapat
jumhur, Ishaq bin Rahawaih yang diikuti
oleh Ibnu Taimiyah mengatakan, meskipun orang yang mengakui tersebut menjelaskan bahwa anak tersebut
adalah hasil zina, nasabnya tetap dikaitkan
dengannya. Ini dimaksudkan sebagai proteksi terhadap kemaslahatan anak dan menjaga anak tersebut dari
kesia-siaan.
Dalam hal ini, penetapan nasab anak
berdasarkan pada pengakuan (ikrar).
Wahbah Zuhaily menyebutnya dengan
istilah “al-iqra>r bin-nasab” , sedangkan
Muhammad Abu Zahrah, Al-Ahwa> l
al-Syakhs}iyah, h. 454.
Muhammad Must}afa Syalabi, Ahka>m
al-Mawaris^, h. 359 Wahbah Zuhaily,
Al-Fiqh al-Isla>m wa Adillatuhu, juz X, h. 7265 6 Abu Zahrah menyebutnya dengan istilah “s#ubut
al-nasab bi al-da’wah”.
Dalam perkembangan
selanjutnya dikenal dengan istilah “istilha> q”,yakni perbuatan seseorang mengakui dan menasabkan seseorang
kepada dirinya atau pengakuan terhadap
seorang anak yang tidak memiliki bapak.
Dengan demikian, pengakuan anak dalam Hukum
Islam merupakan salah satu cara
penetapan nasab selain perkawinan yang sah dan yang disamakannya serta pembuktian (bayyinah).
Dalam hukum Perdata, anak luar kawin tidak
memiliki hubungan keperdataan baik dengan
ibu maupun dengan ayahnya, kecuali jika keduanya mengakuinya.Ini berarti bahwa untuk
menimbulkan hubungan hukum antara anak
yang lahir di luar kawin dengan ayah dan ibunya, diperlukan suatu pengakuan terlebih dahulu oleh keduanya. Hal
ini dipahami dari ketentuan Pasal 280
KUH Perdata, sebagai berikut: “Dengan pengakuan yang dilakukan terhadap seorang anak luar kawin, timbullah hubungan
perdata antara si anak dan bapak atau
ibunya.” Muhammad Abu Zahrah,
Al-Ahwa>l al-Syakhs}iyyah, h. 454.
Ahmad Sukardja, “Menguak Permasalahan Anak
Istilha>q dalam Hukum Islam”, h. 2.
Ibid.
Subekti,Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, h.69.
7
Namun, pengakuan ini hanya bisa
dilakukan terhadap anak luar kawin selain
anak hasil zina dan anak sumbang. Karena menurut Hukum Perdata, anak zina dan anak sumbang tidak dapat diakui.
Berdasarkan Pasal 272 KUH Perdata: “Kecuali
anak-anak yang dibenihkan dalam zina atau sumbang, tiap-tiap anak yang diperbuahkan di luar
perkawinan, dengan kemudian kawinnya
bapak ibunya, akan menjadi sah apabila kedua orang tua itu sebelum kawin telah mengakuinya menurut
ketentuan undang-undang atau apabila
pengakuan itu dilakukan dalam akta perkawinan sendiri .” Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa
baik Hukum Islam maupun hukum Perdata
mengenal adanya lembaga pengakuan anak meskipun dengan konsep dan cara yang berbeda. Adanya persamaan
dan perbedaan antara hukum Islam dan
hukum Perdata tentang keberadaan lembaga pengakuan anak tersebut tentunya mengakibatkan pula persamaan dan
perbedaan implikasi hukum yang ditimbulkannya.
Oleh karenanya penulistertarik untuk mengkaji salah satu implikasi hukum yang berkaitan erat dengan
pengakuan anak, yakni mengenai implikasi
hak kewarisan dengan membandingkan antara Hukum Islam dan Hukum Perdata sehingga dapat diketahui
persamaan dan perbedaannya.Penulis menuangkannya
dalam judul Implikasi Hak Kewarisan Atas Pengakuan Anak Luar Kawin (Studi Komparasi Antara Hukum Islam Dan Hukum Perdata/Burgerlijk Wetboek).
Ibid., h.68.
8
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas,
maka untuk mempermudah fokus penelitian
ini, maka akan dirumuskan dalam beberapa masalah, yakni: 1.
Bagaimana implikasi hak kewarisan atas pengakuan anak luar kawin menurut
Hukum Islam dan Hukum Perdata/Burgerlijk
Wetboek? 2. Bagaimana persamaan dan perbedaan antara
Hukum Islam dan Hukum Perdata/Burgerlijk
Wetboektentang implikasi hak kewarisan atas pengakuan anak luar kawin? C.
Kajian Pustaka Kajian pustaka
pada penelitian ini, pada dasarnya adalah untuk mendapatkan gambaran hubungan topik yang akan
diteliti dengan penelitian yang sejenis
yang mungkin dilakukan oleh peneliti lain sebelumnya, sehingga diharapkan tidak ada pengulangan materi
penelitian secara mutlak. Permasalahan tentang
anak luar kawin yang akan dikajidalam penelitian ini sebenarnya sudah ada yang membahas, yaitu: Penelitian Eka Prastyawati yang berjudul,
“StudiKomparatif Antara Hukum Islam dan
Hukum Positif Tentang Akibat Hukum Kelahiran Anak Luar Kawin”. Skripsi pada jurusan Ahwalus
Syakhsiyah fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel
Surabaya, 2008. Skripsi ini mengkajiakibat hukum kelahiran anak luar kawin dengan mengkomparasikan HukumIslam dan
Hukum Positif.
9
Peneliti berikutnya adalah
Muhammad Masyhud dengan judul penelitian, “Implikasi Kedudukan Anak Hasil Zina Terhadap
Hukum Kewarisan dan Pernikahannya
(Telaah Pemikiran Ibnu Qudamah)”, Skripsi pada jurusan Ahwalus Syakhsiyah fakultas Syariah IAIN Sunan
Ampel Surabaya, 2003.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi