Jumat, 04 Juli 2014

Skripsi Syariah: TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG UANG PANAIK (UANG BELANJA) DALAM PERKAWINAN ADAT SUKU BUGIS MAKASSAR KELURAHAN UNTIA KECAMATAN BIRINGKANAYA KOTA MAKASSAR


BAB I  PENDAHULUAN  
A.  Latar Belakang Masalah  Perkawinan merupakan salah satuunsur yang sangat penting dalam  kehidupan manusia. Perkawinan merupakan unsur yang akan meneruskan  kelangsungan kehidupan manusia dan masyarakat di bumi ini, perkawinan  menyebabkan adanya keturunan dan keturunan akan menimbulkan keluarga yang  nantinya akan berkembang menjadi kerabat dan masyarakat, oleh karena itu  keberadaan ikatan sebuah perkawinan perlu dilestarikan demi tercapai tujuan  yang dimaksudkan dalam perkawinan itu sendiri.
Adapun dalam perkawinan terdapat bebarapa unsur yang harus terpenuhi  demi kelancaran perkawinan tersebut, diantaranya adalah rukun dan syarat.
Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang  menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum.
Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya  merupakan sesuatu yang harus terpenuhi.

Dalam suatu acara perkawinan umpamanya rukun dan syaratnya tidak  boleh tertinggal, dalam arti perkawinan tidak sah bila keduanya tidak ada atau  tidak lengkap. Keduanya mengandung arti yang berbeda dari segi bahwa rukun  itu adalah sesuatu yang berada di dalam hakikat dan merupakan bagian atau  unsur yang mengujudkannya, sedangkan syarat adalah sesuatu yang berada di  2  luarnya dan tidak merupakan unsurnya. Syarat itu ada yang berkaitan dengan  rukun dalam arti syarat yang berlaku untuk setiap unsur yang menjadi rukun.
Ada pula syarat itu berdiri sendiri dalam arti tidak merupakan criteria dari unsurunsur rukun.
Dalam hal hukum perkawinan, dalam menempatkan mana yang rukun dan  mana yang syarat terdapat perbedaan di kalangan ulama yang perbedaan ini tidak  bersifat substansial. Perbedaan di antara perndapat tersebut disebabkan oleh  karena berbeda dalam melihat focus perkawinan itu. Semua ulama sependapat  dalam dalam hal-hal yang terlibat dan yang harus ada dalam suatu perkawinan  adalah: akad perkawinan, laki-laki yang akan kawin, perempuan yang akan  kawin, wali dari mempelai perempuan, saksi yang akan menyaksikan akad  perkawinan, dan mahar atau maskawin.
 Berdasarkan penjelasan tersebut di atas maka rukun perkawinan secara  lengkap adalah sebagai berikut:  a.  Calon mempelai laki-laki;  b.  Calon mempelai perempuan;  c.  Wali dari mempelai perempuan;  d.  Dua orang saksi;  e.  Ijabdan qabul.
 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan  Undang-Undang Perkawinan,(Jakarta: Kencana, 2006), 59-61  3  Mahar yang harus ada dalam setiap perkawinan tidak termasuk ke dalam  rukun, karena mahar tersebut tidak mesti disebut dalam akar perkawinan dan  tidak mesti diserahkan pada waktu akad itu berlangsung. Dengan demikian,  maka mahar itu termasuk ke dalam syarat perkawinan.
Dari penjelasan tersebut di atas dapat di tarik kesimpulan bahwa hukum  pemberian mahar oleh calon suami kepada calon istri adalah wajib, dengan arti  laki-laki yang mengawini seorang perempuan wajib menyerahkan mahar kepada  istrinya itu dan berdosa suami yang tidak menyerahkan mahar kepada istrinya.
Dasar wajibnya menyerahkan mahar itu di tetapkan dalam Al-Qur’an  Surah An-nisa’ ayat 4 yang berbunyi  Artinya: "Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu  nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka  menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati,  Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi  baik akibatnya.
 Langkah awal dari perkawinan adalah menentukan dan memilih jodoh  yang akan hidup bersama dalam perkawinan. Dalam pilihan itu dikemukakan  beberapa alternatif atau kriteria  untuk dijadikan dasar pilihan. Setelah   Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 115  4  mendapatkan jodoh sesuai dengan pilihan dan petunjuk agama, tahap selanjutnya  menyampaikan kehendak atau melamar jodoh yang telah didapatkan itu.
Akibat dari suatu pertunangan adalah satu pihak terikat perjanjian  dengan pihak lain. Akibat hukum lainyang timbul disebabkan pertunangan  tersebut adalah keharusan memberikan hadiah-hadia yang mana berbeda-beda  menurut adat setempat. Bilamana tidak ada pemberian hadiah maka pertunangan  dibatalkan.
 Begitupun yang terjadi dalam perkawinan adat suku bugis  Makassar.
Perkawinan adat dalam suku Bugis Makassar disebut pa’bungtingan.
Pa’bungtingan merupakan ritual yang sangat sakral dimana ritual tersebut harus  dijalani oleh semua orang. Seorang gadis yang telah menginjak usia dewasa  seharusnya sudah menikah. Jika tidak demikian maka akan mmenjadi bahan  pembicaraan dikalangan masyarakat luas, sehingga terkadang orang tua  mendesak si gadis untuk menikah dengan calon suami pilihan mereka.
Sebelum prosesi pa’bungtingan dilaksanakan, ada beberapa tahap yang  harus dilalui oleh calon mempelai laki-laki. Salah satu diantaranya adalah assuro.
Assuroadalah proses peminangan dari pihak keluarga calon mempelai laki-laki  kepada pihak calon mempelai wanita, sekaligus penentuan pemberian uang   Teer Haar, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1987), 167  5  panaik yang akan diberikan oleh calon mempelai laki-laki kepada pihak keluarga  calon mempelai wanita apabila lamaran tersebut diterima.
 Uang panaikadalah sejumlah uang yang wajib diserahkan oleh calon  mempelai suami kepada pihak keluarga calon istri, yang akan digunakan sebagai  biaya dalam resepsi perkawinan dan belum termasuk mahar.
 Masyarakat suku Bugis Makassar dan ksusunya bagi masyarakat Kel.
Untia Kec. Biringkanaya menganggap bahwa pemberian Uang panaikdalam  perkawinan adat mereka adalah suatu kewajiban yang tidak bisa diabaikan.
Tidak ada Uang panaikberarti tidak ada perkawinan.
 Masyarakat Kel. Untia Kec. Biringkanaya beranggapan bahwa kewajiban  atau keharusan memberikan uang panaiksama seperti kewajiban memberikan  mahar. Hal ini terjadi karena antara uang panaikdan mahar adalah merupakan  satu kesatua yang tidak dapat dipisahkan. Seorang calon suami yang  memberikan uang panaikkepada pihak keluarga calon istri bukan berarti secara  langsung telah memberikan mahar. Karena uang panaiktersebut belum termasuk  mahar. Sehingga jika uang panaiktidak ada maka perkawinan pun tidak akan  pernah terjadi.
 Jika dalam perkawinan adat suku lain uang panaiktersebut diberikan  kepada calon istri, sebaliknya dalam perkawinan adat suku bugis Makassar. Istri   Hasnah, Wawancara,kel. Untia , 28 Oktober 2011.
6  justru tidak tahu menahu dan tidak ikutcampur dalam proses pemberian dan  penentuan uang panaik. Karena yang sangat berperan dalam proses tersebut  justru orang yang dituakan dari pihak keluarga calon istri. Uang panaiktersebut  tidak akan diberikan kepada calon istri sedikit pun. Karena uang panaiktersebut  khsusus digunakan untuk biaya resepsi perkawinan.
 Uang panaikyang diberikan oleh calon suami jumlahnya lebih banyak  daripada mahar. Adapun kisaran jumlah uang panaikdimulai dari 25 juta, 50 dan  bahkan ratusan juta. Hal ini dapat dilihat ketika prosesi akad nikah yang hanya  menyebutkan mahar dalam jumlah yang kecil.
 Terkadang karena tingginya uang panaikyang dipatok oleh pihak  keluarga calon istri, sehingga dalam kenyataannya banyak pemuda yang gagal  menikah karena ketidakmampuannya memenuhi “uang panaik”yang dipatok,  sementara pemuda dan si gadis telah lama menjalin hubungan yang serius. Dari  sinilah terkadang muncul apa yang disebut silariang atau kawin lari.
Adapun penyebab tingginya jumlah uang panaiktersebut disebabkan  karena beberapa faktor diantaranya: Status sosial calon istri. Semakin kaya  wanita yang akan dinikahi, maka semakin banyak pula uang panaikyang harus  diberikan oleh calon suami kepada pihak keluarga calon istri.
Faktor lain yang mempengaruhi tingginya jumlah uang panaikyang harus  dikeluarkan adalah tinggi rendahnya jenjang pendidikan calon istri. Semakin   
7  tinggi tingkat pendidikan seorang perempuan maka semakin banyak pula uang  panaik yang harus diberikan dan jika tidak memberikan uang panaikdalam  jumlah yang banyak maka akan mendapatkan hinaan dari masyarakat. Karena  masyarakat Kel. Untia Kec. Biringkanaya beranggapan bahwa keberhasilan  mematok uang panaikdengan harga yang tinggi aladah suatu kehormatan  tersendiri. Karena tingginya uang panaikakan berdampak pada kemeriahan,  kemegahan dan banyaknya tamu undangan dalam perkawinan tersebut.
 Kebiasaan inilah yang berlaku pada masyarakat suku Bugis Makassar di  kelurahan Untia kecamatan Biringkanaya kota Makassar sejak lama dan turun  menurun dari satu periode ke periode selanjutnya sampai sekarang.
 Pada hakikatnya dalam hukum perkawinan islam tidak ada kewajiban  untuk memberikan uang panaik, kewajiban yang ada dalam perkawinan Islam  hanya memberikan mahar kepada calon istri. Oleh karena itu penulis tertarik  untuk menulis skripsi yang berjudul " Tinjauan Hukum Islam Tentang “Uang  panaik” (uang belanja) Dalam Perkawinan Adat Suku Bugis Makassar Kelurahan  Untia Kecamatan Biringkanaya Kota Makassar.
B.  Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah  Dari latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka identifikasi  masalah penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.  Sejarah pemberian uang panaik;  Hasnah, Wawancara,kel. Untia , 28 Oktober 2011.

8  2.  Penjelasan tentang uang panaik; 3.  Proses pemberian uang panaik; 4.  Posisi uang panaik dalam persyaratan;  5.  Pentingnya uang panaik; 6.  Kegunaan uang panaik; 7.  Orang yang berhak menerima uang panaik; 8.  Dampak tingginya uang panaik; 9.  Akibat tidak mampu memberikan uang panaik; Berdasarkan identifikasi masalah tersebut diatas, maka penelitian ini  membatasi masalah yakni: Bagaimana perihal pemberian uang panaikdalam  perkawinan adat suku Bugis Makassar kel. Untia kec. Biringkanaya kota  Makassar.
C.  Rumusan Masalah Setelah mencermati permasalahanyang berkaitan dengan perihal uang  panaik, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:  1.  Bagaimana kedudukan dan akibat hukum uang panaik dalam perkawinan  adat suku Bugis Makassar Kel. Untia Kec. Biringkanaya Kota Makassar?  2.  Bagaimana tinjauan hukum Islam tentang uang panaikdalam perkawinan  Adat Suku Bugis Makassar Kel. Untia Kec. Biringkanaya Kota Makassar?  9  
D. Kajian Pustaka  Kajian pustaka adalah deskripsi tentang kajian atau penelitian yang sudah  pernah dilakukan, sehingga terlihat jelas bahwa kajian ini bukan pengulangan  atau duplikasi dari kajian terdahulu. Secara langsung penulis tidak menemukan  kajian atau penelitian yang bersinggungan langsung dengan perihal pemberian  uang panaikkhsusnya pada masyarakat Bugis Makassar. Akan tetapi pemberian  uang panaikini terdapat pula diberbagai masyarakat adat di Indonesia. Seperti di  Kalimantan uang panaikdisebut dengan istilah uang jujur. Sehingga penulis  mengkaitkannya dalam kajian pustaka ini.
Berdasarkan temuan penulis ada beberapa penelitian yang serupa dengan  skripsi ini yaitu:  1.  Buku yang dikarang oleh A. Rachman dan Aminah Hamzah,“Adat dan  Upacara Perkawinan Daerah SulawesiSelatan. Buku ini membahas tentang  perkawinan daerah Sulawesi Selatan diantaranya suku Bugis, Makassar,  Mandar, dan Tanah Toraja. Secara umum dalam buku ini dibahas mengenai  adat dan upacara sebelum perkawinansampai adat dan upacara setelah  perkawinan. (Makassar, 2006)  2.  Skripsi yang disusun oleh Akhmad Affandi yang berjudul “Tinjauan hukum  Islam terhadap tradisi "jujuran" dan implikasinya dalam perkawinan adat  patrilineal”. Penelitian ini menitik beratkan pada implikasi dari pemberian  10  “jujur” yang berdampak pada putusnya hubungan istri dari keluarganya.
(IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2005)  3.  Skripsi yang disusun oleh Sa’diyah yang berjudul “Motivasi calon istri  memberikan dana kepada calon suami sebagai jujurandi kota banjarmasin”.
Penelitian ini lebih fokus kepada motivasi seorang calon istri untuk  memberikan jujuranbaik itu setengah atau seluruh dari nilai uang jujuran.
(IAIN Antasari Banjarmasin, 2007)  4.  Skripsi yang disusun oleh Hilmiyani yang berjudul “Tinjauan hukum Islam  terhadap persepsi masyarakat tentang pemberian uang  jujuran  dalam  perkawinan adat banjar didesa batu balian kec. simpang empat kab. banjar  kalsel”. Penelitian ini menitik beratkanpada persepsi masyarakat Banjar di  Desa Batu Balian Kec. Simpang Empat Kab. Banjar Kalsel mengenai  pemberian Uang Jujuran dalam perkawinan adat setempat. (IAIN Sunan  Ampel Surabaya, 2010)
an>Tu� G e (>� ��  Setelah mengetahui masalah yang akandibahas tentunya tidak terlepas  dari tujuan diadakannya penelitian terhadap Putusan Pengadilan Agama Malang  Nomor: 0457/Pdt. G/2011/PA. Mlg tentang Sisa Harta Waris yang Diberikan  kepada Lembaga Amil, Zakat, Infak dan Sedekah. Agar tidak menyimpang dari  rumusan masalah yang diutarakan diatas maka tujuan penelitian ini adalah:  1.  Untuk mengetahui Apa Pertimbangan hukum Hakim dalam menetapkan sisa  harta waris yang diberikan kepada Lembaga Amil, Zakat, Infak dan Sedekah.
 2.  Untuk mengetahui Bagaimana Analisis terhadap Pertimbangan hukum  Hakim dalam menetapkan sisa harta waris yang diberikan kepada Lembaga  Amil, Zakat, Infak dan Sedekah.
 F.  Kegunaan Hasil Penelitian  Penelitian ini diharapkan mempunyai suatu kegunaan yang sekurangkurangnya dapat difungsikan dalam 2 aspek (aspek teoritis dan aspek praktis),  yaitu:  10  1. Aspek teoritis, hasil penelitian ini dapat menambah khazanah keilmuan yaitu  untuk dijadikan bahan acuan dalam rangka mengembangkan teori hukum  kekeluargaan khususnya hukum waris Islam.
 2. Aspek praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan dan  pedoman bagi para masyarakat khususnya para tokoh agama, ulama dan  praktisi hukum dalam rangka programpembinaan serta pemantapan  kehidupan beragama khususnya hukum kewarisan Islam sesuai dengan ajaran  Islam, serta sebagai motivator bagi penulis secara pribadi untuk lebih giat  dalam mengembangkan keilmuan dan lebih berkarya khususnya di bidang  hukum 


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi