BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Hukum Islam mengatur seluruh aspek kehidupan
manusia di dunia, baik untuk mewujudkan
kebahagaiaan di dunia maupun untuk mencari kebahagiaan di akhirat kelak.
Segi
kehidupan yang diatur oleh Allah tersebut dikelompokkan kepada dua macam. Pertama, hal-hal yang berkaitan dengan
hubungan manusia dengan Allah sebagai
pencipta (hablun mina Alla>h), aturan hal ini disebut dengan “hukum ‘ibadat”. Kedua, berkaitan dengan hubungan
antara manusia dan alamnya, atau disebut
dengan hablun mina an-na>s “hukum muamalat”.
Kedua
hubungan itu harus tetap terpelihara
agar manusia terlepas dari kehinaan, kemiskinan dan kemarahan Allah yang dinyatakan dalam firman-Nya surat
A<li ‘Imra>nayat 112. Allah berfirman
Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), Ibid., 3 2 Artinya:
“Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan
tali (perjanjian) dengan manusia, dan
mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. Yang demikian
itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat
Allah dan membunuh Para Nabi tanpa alasan yang benar. yang demikian itu disebabkan
mereka durhaka dan melampaui batas”.
Di
antara hukum Allah yang mengatur hubungan sesama manusia adalah hukum tentang waris, yaitu hukum yang mengatur
pemilikan harta yang timbul sebagai
akibat dari suatu kematian.
Hukum
waris merupakan ekspresi penting hukum
keluarga Islam, ia merupakan pengetahuan yang harus dimiliki dan diajarkan oleh manusia sebagaimana ditegaskan Nabi
Muhammad SAW: َ Artinya: Rasulullah bersabda: "Pelajarilah
Al-Qur'an dan ajarkan kepada orangorang, dan pelajarilah ilmu faraidh dan
ajarkan kepada orang-orang. Karena aku
adalah orang yang bakal direnggut(mati), sedang ilmu itu bakal diangkat." (H.R. at-Turmuz\i dari Abu>
Hurairah).
Departemen
Agama RI, Al-Qur an dan Terjemahnya, (Bandung: Juma>natul ‘Ali>-ART,
2005), Moh. Muhibbin, Abdul Wahid,
Hukum Kewarisan Islam; sebagai pembaharuan hukum positif di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), Abu> ‘Isa Muhammad ibn Sawrah, Sunan
at-Tirmiz\i, juz 4, (Beirut: Da>rul Fikr, 1994), 27-28 3 Islam
tidak menginginkan pertengkaran dan perselisihan lantaran pembagian harta warisan. Karena itulah, Islam
berkepentingan untuk mengatur agar misi ajarannya
dapat memberi rasa keadilandan kesejahteraan bagi pemeluknya.
Mengkaji dan mempelajari hukum waris Islam
berarti mengkaji separuh pengetahuan yang
dimiliki manusia yang telah dan terus hidup di tengah-tengah masyarakat muslim sejak masa awal Islam hingga abad
pertengahan, zaman modern dan kontemporer
serta di masa yang akan datang.
Sejarah
menunjukkan bahwa sepanjang sejarah hukum Islam pemikiran hukum waris Islam tidaklah berhenti, walaupun ada
yang beranggapan bahwa pintu ijtihad telah
tertutup namun sesungguhnya pemikiran hukum Islam tetap dilakukan oleh para mujtahid, para hakim dalam memutuskan
perkara mufti dalam memberikan fatwa dan
oleh ulama’-ulama’ baik klasik maupun modern.
Salah satu dari persoalan yang menjadi
perdebatan dalam pemikiran hukum Islam
adalah kewarisan beda agama, di manasalah satu dari pewaris atau ahli waris tidak beragama Islam. Problematika kewarisan
beda agama mencuat ketika relasi muslim
dan non muslim didiskusikan dan diwacanakan oleh berbagai golongan. Ada golongan yang memperbolehkan saling mewarisi
beda agama, sebagian golongan lagi
mengharamkan saling mewarisi beda agama.
Fatchur
Rahma>n, Ilmu Waris, (Bandung: PT. Alma’a>rif, 1975), 35 4 Ulama’-Ulama’
termasyhur dari golongan sahabat, tabi’i>n dan ima>m-ima>m madzhab empat yakni Ima>m Abu>
H{ani>fah, Ima>m Ma>lik, Ima>m As-Syafi’Idan Ima>m Ah}mad bin H{anbalberpendapat bahwa orang
Islam tidak dapat mempusakai orang kafir
dengan sebab apa saja. Karena itu suami muslim tidak dapat mewarisi harta istrinya yang kafir kita>biyah, kerabat muslim tidak dapat mewarisi harta peninggalan kerabatnya yang kafir dan
tuanpemilik budak yang muslim tidak dapat mewarisi harta peninggalan harta budaknya yang
muslim.
Jumhur
‘Ulama tersebut beralasan dengan h}adis\-h}adis\yang diriwayatkan oleh Usamah bin Zaid Artinya:Rasulullah bersabda:”
Seorang muslim tidak berhak menerima warisan dari seorang kafir dan seorang kafir tidak berhak
menerima warisan dari seorang muslim”
(H.R. at-Turmud}i dari ‘Usa>mah ibn Zaid).
Mereka
juga mengambil dalil dari suatu riwayat yang menerangkan bahwa ketika Abu> T}a>lib wafat ia
meninggalkan 4 orang anak laki-laki. Yakni: ‘Ali, Ja’far, ‘Uqail dan T}a>lib. ‘Ali dan Ja’far
keduanya beragama Islam sedang ‘Uqail dan T}a>lib keduanya orang kafir. Rasulullah
membagikanharta pusaka Abu> T}a>lib (yang masih Ibid., Abu> ‘Isa Muhammad ibn Sawrah, Sunan
at-Tirmiz\i,35 5 dalam kekafiran) kepada ‘Uqail dan T}a>lib,
bukan kepada ‘Ali dan Ja’far, dan seraya bersabda Artinya:Rasulullah bersabda: “Orang
Islam itu tidak boleh mewarisi orang kafir”
Imam Syafi’i secara tegas dalam kitab nya al-Umm menjelaskan bahwa tidak
boleh saling mewarisi bagi orang yang
bedaagama, berarti secara otomatis seorang muslim tidak berhak menerima harta warisan
dari pewaris karena beda agama sebagai
penghalang mendapatkan harta warisan, Imam Syafi’i berargumen dengan beberapa h}adis|,di antaranya adalah
h}adis}sebagai berikut Artinya: Rasulullah bersabda: Seorang muslim tidak
berhak menerima warisan dari seorang
kafir dan seorang kafir tidak berhak menerima warisan dari seorang muslim (HR. at-Turmud}i dari ‘Usa>mah bin
Zaid).
Imam
Syafi’i berkata h}adis\ tersebut menunjukkan apabila dua agama berbeda antara syirk dan Islam keduanya tidak berhak
saling mewarisi dari bagian harta warisan.
Fatchur
Rahman, Ilmu Waris, Abu>
Abdilla>h Muhammad ibn Idri>s, Al-Umm, juz 4, (Bairut: Darul Fikr, 1983),
75 6 Syi>’ah Ima>miyahdalam menanggapi
seorang muslim apakah berhak menerima harta
warisan non muslim apa tidak, merekamemberikan hukum seorang kafir tidak berhak menerima harta warisan dari muslim,
tetapi seorang muslim berhak dan boleh menerima
harta warisan dari pewaris yang non muslim dengan berargumen dengan sanad syekh Al-Kulaini dari Abu> Al-Aswad
Ad-Daili bahwa sesungguhnya Muaz| bin Jabal
di Yaman dan masyarakat saat itu mendatangi Mu’az| dan Mu’az| berkata: orang Yahudi telah mati sedangkan ia
meninggalkan saudara muslim, kemudian Mu’az|
berkata saya telah mendengar Rasulullah bersabda: ْ
Artinya: Rasulullah SAW bersabda: "Islam itu bertambah dan tidak
berkurang” (HR.
ِِ
Abu> Daud dari Mu’az|).
H}adi>s\
ini mengandung makna bahwa Islam menjadi sebab bertambahnya kebaikan dan tidak menjadi sebab kefakiran dan
kekurangan bagi pemeluknya.
Dalam h}adi>s\ lain disebutkan, Rasulullah
bersabda: Ibid., Muhammad bin Hasan al-H}urra 'A<<mili,
Wasa>ilussyi>’ah ila> Tahs}i>li Masa>ilisy Syari>’ah, Juz 26, Artinya: Rasulullah SAW bersabda:
”Islam itu tinggi, dan tidak ada yang lebih tinggi daripadanya”(HR. al-Bukha>ri dari
ibn ‘Abba>s).
Kemudian
Syi>’ah Ima>miyahberpendapat bahwasanya kalau pewaris muslim dan ahli warisnya kafir, maka ahli waris non
muslim tersebut tidak menerima harta warisan.
Diriwayatkan dari ‘Ali bin Ibra>himdari bapaknya dari ibn Abu> Najro>n
dari “’A<s}im bin H{umaid dari
Muh}ammad bin Qaysia berkata: Saya mendengar dari Abu> Ja’far ia berkata: Orang Yahudi dan
Nas}ra>ni tidak mempusakai pewaris muslim tapi muslim mempusakai dari pewaris Yahudi dan
Nas}ra>ni.
Diriwayatkan
oleh ‘Ali ibn Ibra>him dari bapaknya
dari Muh}ammad bin ‘Isa dari Yu>nus dari Zur’ah dari Sima>’ah ia berkata: saya bertanya kepada Abu>
Abdillah tentang seorang muslim apakah ia mewarisi dari pewaris musyrik atau tidak, ya
ia mewarisi daripewaris musyrik dan musyrik
tidak mewarisi dari muslim.
Pendapat
Imam Syafi’i dan Syi>’ah Ima>miyahtersebut dalam satu sisi sangat betentangan, akan tetapi ada kesamaan di
antara keduanya. Imam Syafi’i secara mutlak
mengatakan tidak berhak ahli waris muslim mempusakai dari pewaris yang Ibid., Muhammad bin Ya’qu>b bin Isha>q
al-Kulaini, Alfuru’ Al-Ka>fi, (tt: tt, tt), Ibid., 144 8 beragama
selain Islam, akan tetapi Syi>’ah Ima>miyahmembolehkan ahli waris muslim menerima harta warisan daripewaris non
muslim. Sedangkan keduanya sepakat
mengatakan bahwasanya non muslimtidak berhak menerima harta warisan dari pewaris yang muslim.
Persamaan dan perbedaan itulah yang menjadi
dasar mengapa penulis memilih Imam
Syafi’i dan Syi>’ah Ima>miyahsebagai perbandingan yang akan menjawab bagaimana hukum menerima harta dari pewaris
non muslim. Kajian ini sangat menarik
untuk dikaji lebih mendalam, agar tujuan dari pada pembagian harta warisan tercapai, yakni supaya tidak adanya
pertengkaran dan perselisihan antara ahli
waris serta terciptanya rasa keadilan dan kesejahteraan bagi mereka. Oleh karena itu, Penulis akan mengkaji pembahasan
tersebut dengan mengangkat judul “Studi
Komparatif Antara Imam Syafi’i dan Syi>’ah Ima>miyahtentang Hukum Menerima Harta Warisan dari pewaris non
muslim”.
B.
Identifikasi dan Batasan Masalah Dari latar belakang masalah yang telah
peneliti paparkan di atas, maka identifikasi
masalah yang peneliti peroleh adalah: 9 1. Urgensi mempelajari dan
mengajarkankewarisan Islam kepada umat manusia.
2. Pendapat Jumhu>r‘Ulama tentang hukum
menerima harta warisan dari pewaris non
muslim.
3. Rujukan Jumhu>r‘Ulama dalam memberikan
hukum mengenai penerimaan harta warisan
dari pewaris kepadaahli waris yang beda agama.
4. Pandangan Imam Syafi’i tentang hukum kewarisan
beda agama serta dasar hukumnya.
5. Pandangan Syi>’ah Ima>miyahtentang
hukum kewarisan beda agama dan dasar hukumnya.
6. Persamaan dan perbedaan antara pendapat
Imam Syafi’i dan Syi>’ah Ima>miyahtentang
hukum kewarisan beda agama.
Dari identifikasi masalah tersebut penulis
membatasi pada tiga permasalahan, yaitu:
1. Pandangan Imam Syafi’i dan Syi>’ah
Ima>miyahtentang hukum menerima harta
warisan dari pewaris non muslim.
2. Cara pengambilan hukum menurut Imam Syafi’i
dan Syi>’ah Ima>miyah dalam menanggapi kewarisan beda agama.
10 3.
Persamaan dan perbedaan pandangan Imam Syafi’i dan Syi>’ah Ima>miyah mengenai
kewarisan beda agama tersebut.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi