BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Menurut fitrahnya,
manusia dilengkapi Allah
SWT dengan kecenderungan seks (libido seksualitas), oleh
karena itu Allah SWT menyediakan wadah
yang legal untuk terselenggaranya penyaluran tersebut yang sesuai dengan derajat
kemanusiaan dengan malakukan
perkawinan/pernikahan, akan tetapi perkawinan tidaklah
semata-mata dimaksudkan untuk
menunaikan hasrat biologis tersebut. Kalau hanya itu, tujuan
perkawinan memilki nilai yang sama dengan
perkawinan yang dianut biologi, yaitu
mempertemukan jantan dan betina untuk sekedar
memenuhi kebutuhan reproduksi
generasi. Perkawinan yang diajarkan
Islam meliputi multi aspek.
Perkawinan
merupakan sunnatullah yang
umum berlaku pada
semua makhluk Tuhan, baik pada
manusia, hewan maupun tumbuhan.
Perkawinan pula merupakan suatu
cara yang dipilih
Allah SWT sebagai
jalan manusia untuk beranak,
berkembang biak, demi kelestarian hidupnya.
Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam (Bandung : CV. Pustaka Setia, Cet.
I, 2000), 15.
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah juz 6 (Bandung :
Al-ma’arif, 1990), 9.
Perkawinan
yang di maksud dalam
undang-undang nomor 1 tahun 1974 pasal
1, adalah ikatan
lahir batin antara
seorang pria dan
seorang wanita sebagai
suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sedangkan
dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI) pasal 1 juga
menyebutkan, bahwa
perkawinan menurut hukum
Islam adalah pernikahan, yaitu
akad yang sangat
kuat atau mitsaaqan
ghalidzan untuk menaati
perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah.
Islam sebagai agama yang berpegang teguh pada keadilan dan p ersamaan serta
penebar “Rahmatan lil
„Alamin” (rahmat bagi
alam semesta), salah
satu bentuknya adalah ajaran
tentang perkawinan, agar manusia tidak seperti makhluk lainnya dengan bebas mengikuti nalurinya, tanpa ada suatu aturan. Sebab dengan adanya
jalan perkawinan diharapkan bisa
terwujud rumah tangga yang sakinah, mawadah wa rahmah. Sesuai dalam KHI pasal 3,
yaitu : perkawinan bertujuan untuk
mewujudkan kehidupan rumah
tangga yang sakinah,
mawadah dan rahmah.
Allah SWT berfirman dalam surat
ar-Rum ayat 21, yang berbunyi : Undang-Undang
Perkawinan No. 1 Tahun 1974 (Jakarta : WIPRES, 2007), 2.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) (Bandung : Nuansa
Aulia, 2011), 2.
Artinya : Dan di
antara tanda-tanda kekuasaan-Nya
ialah Dia menciptakan
untukmu istri-istri dari
jenismu sendiri, supaya
kamu cenderung dan
merasa tentram kepadanya,
dan dijadikan-Nya di
antaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada
yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berfikir.
Pandangan
Islam di samping
perkawinan itu sebagai
perbuatan ibadah, perkawinan juga merupakan sunah Allah dan
sunah Rasul. Sunnah Allah, berarti: menurut qudrat
dan iradat Allah
dalam penciptaan alam
ini, sedangkan sunnah Rasul
berarti suatu tradisi
yang telah ditetapkan
oleh Rasul untuk
dirinya dan untuk
umatnya.
Sebagai
umat (pengikut) Nabi
yang taat, seyogyanya
kita mengikuti jejak beliau.
Pengingkaran terhadap sunnah beliau
beresiko lepas dari kumpulan umat
beliau.
Seperti sabda Nabi Muhammad saw
dalam hadisnya : Artinya : Dari Anas ibn Malik r.a. (katanya), setelah memuji
Allah dan menyanjung-Nya Nabi Muhammad
saw. bersabda, akan tetapi aku melakukan shalat, tidur, puasa Depag RI,Al-Qur‟an dan
Terjemahya (Bandung : Jumatul Ali, 2005), 367.
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di
Indonesia : Antara Fiqh Munakahat dan UndangUndang Perkawinan (Jakarta :
Kencana, Cet. 3, 2009), 41.
berbuka,
serta menikahi wanita.
Barang siapa yang
tidak menyukai sunnahku maka ia bukan termasuk ummatku.
Di
antara beberapa syarat
dan rukun perkawinan
adalah akad nikah.
Masing-masing pihak
yang akan melakukan
akad nikah haruslah
orang yang mempunyai kecakapan penuh, yaitu sehat
akalnya, dewasa (baligh). Karena akad nikah merupakan
suatu yang sangat
urgen dalam suatu
perkawinan, serta awal pembentukan kebahagiaan
dalam rumah tangga
serta masyarakat pada umumnya.
Penentuan
batas umur untuk
melangsungkan perkawinan sangatlah penting sebab perkawinan sebagai suatu
perjanjian perikat an sebagai suami istri harus dilakukan bagi yang sudah cukup matang,
baik dari segi biologis maupun dari psikologis,
serta telah dewasa
yang ditandai dengan
kemandirian dalam bidang
ekonomi, akan muncul
dorongan untuk menjalin
ikatan dengan lawan jenisnya, sebagai
implikasi dari gejolak rasa senang
yang kalau tidak terkontrol akan menimbulkan
ekses-ekses negatif, dengan
berkembangnya perzinaan serta rusaknya
tatanan sosial.
Hal ini
sangat penting untuk
mewujudkan nuansa pernikahan
lebih harmonis dan terhindar dari
gejala-gejala negatif seperti pertengkaran, perceraian dan sebagainya.
Imam Muslim ibn Hajaj Al-qusyairi
an-naisabury, Shahih Muslim, Juz 5, 12.
Alhamdani, Risalah Nikah Hukum Perkawinan
(Jakarta : Pustaka Amani, Cet. III, 1989), 57.
Di
Indonesia sendiri, telah
ditentukan batas usia
dewasa untuk calon mempelai, yaitu dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
pasal 7 ayat 1 yang berbunyi : perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria
sudah mencapai umur 19 (sembilan belas)
tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
KHI mempertegas
persyaratan yang terdapat
dalam UU perkawinan dengan
rumusan sebagai berikut
: untuk kemaslahatan
keluarga dan rumah tangga,
perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang di tetapkan dalam pasal 7
Undang-undang No. 1 Tahun 1974, yakni calon suami
sekurang-kurangnya berumur 19
tahun dan calon
istri sekurangkurangnya berumur
16 tahun.
Sedanggkan di KUH Perdata,
menyebutkan di buku ke satu pasal 29 yaitu :
seorang jejaka yang
belum mencapai umur
genap 18 (delapan
belas) tahun, sepertipun
seorang gadis yang
belum mencapai umur
genap 15 (lima
belas) tahun, tak
diperbolehkan mengikat dirinya
dalam perkawinan. Sementara
itu, dalam hal
adanya alasan-alasan yang
penting. Presiden berkuasa
meniadakan larangan ini dengan
memberikan dispensasi.
Meski demikian, kenyataan di
masyarakat masih terjadi perkawinan pada anak di
bawah umur. Berawal dari situlah
undang-undang memberikan peluang untuk terjadinya perkawinan di usia muda.
Bagi
calon mempelai yang
belum memenuhi syarat
umur atau menyimpang
dari pasal 7
ayat 1 tersebut
dapat meminta dispensasi
nikah Pengadilan Agama.
Sesuai dengan apa
yang disebutkan di
pasal 7 ayat
2 UU perkawian No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi
: dalam hal penyimpangan terhadap pasal 7 ayat (1) dapat meminta dispensasi
kepada pengadilan atau pejabat lain yang
ditunjuk oleh kedua orang tua pihak laki-laki dan wanita.
Semua ketentuan
undang-undang dan KHI
mengenai usia perkawinan tersebut,
kurang diperhatikan oleh
Kepala Desa Bareng
Kec. Sekar Kab.
Bojonegoro. Karena dia membuat sebuah kebijakan di mana kebijakan tersebut tidak sesuai dengan ketentuan hukum di negara
ini.
Kebijakan yang
dibuat Kepala Desa
Bareng adalah sebuah
kebijakan penambahan usia nikah kepada
calon pasangan suami istri
yang akan menikah, tetapi
mereka terkendala dengan
umur yang belum
mencukupi. Maka dengan kebijakan
penambahan usia nikah
tersebut, para pasangan
yang akan menikah tapi
terkendala umur yang
belum mencukupi, bisa
me nikah secara resmi
dan dicatat di KUA.
Padahal para calon pasangan
itu sebenarnya belum
boleh melaksanakan perkawinan
karena belum cukup
umur kecuali mendapat
dispensasi dari Pengadilan Agama setempat berupa izin untuk
menikah meskipun belum cukup umur.
Kepala Desa Bareng membuat kebijakan
penambahan usia nikah kepada calon pasangan
suami istri tersebut,
bertujuan untuk membantu
warganya yang ingin
menikah tapi terkendala umur agar
bisa lan gsung menikah di
KUA tanpa menunggu dispensasi
nikah dari Pengadilan Agama setempat.
Kepala Desa
Bareng sendiri mengakui
bahwa kebijakan tersebut
adalah kebijakan yang salah, tapi
dia berpandangan bahwa dia akan lebih salah lagi jika dia
membiarkan mereka itu
kumpul sebelum menikah,
dan itu lebih
berbahaya lagi. Dia
membuat kebijakan tersebut
karena apa yang
dikehendaki oleh para orang
tua yang mendesak untuk segera menikahkan anaknya.
Berawal dari
situlah, bagaimana cara
dia menolong warganya.
Dan itu pun di benak dia tidak ada sebuah niat
selain takut kalau mereka kumpul kebo, akan
jauh lebih baik
jika mereka dinikahkan
meskipun belum cukup
umur dengan cara
ditambahkan usianya agar
mencapai batas yang
ditetapkan oleh Undang-undang, agar dapat menikah tanpa mengajukan
ke Pengadilan Agama.
Tidak semudah itu dia memberikan
kebijakan tersebut, harus melihat dari beberapa aspek
yang harus terpenuhi.
Salah sat unya menurut
dia jika mereka dilihat
dari pisik sudah
besar dan sangat
memungkinkan untuk menikah,
se rta dari segi sosial ekonominya sudah dirasa mampu,
maka dia akan mau me nolong dan membantu
mereka untuk memberikan
tambahan usia, dan
itupun hanya di kisaran
usia 15 tahun lebih. Jika di usia 14 tahun ke bawah dia tidak berani untuk menambahkan
usia mereka dan
tetap harus mengajukan
ke Pengadilan Agama terlebih dahulu. Jadi, alasan dia membuat kebijakan tersebut
semata-mata hanya ingin menolong,
meskipun kebijakannya tersebut
betentangan dengan Undang undang perkawinan dan KHI.
Dengan adanya keterangan di atas,
penulis beranggapan bahwa apa yang dilakukan
Kepala Desa Bareng
Kec. Sekar Kab.
Bojonegoro dengan membuat kebijakan
tersebut merupakan hal
yang bertentangan dengan
Undang-Undang Perkawinan No.
1 Tahun 1974
dan KHI. Sehingga
menggugah penulis untuk meneliti lebih
lanjut secara mendalam
mengenai permasalahan tersebut .
Berkaitan dengan
hal itu, penulis
membuat judul “Analisis
Yuridis terhadap kebijakan
Kepala Desa yang menambah usia
Nikah bagi Calon Suami
Istri yang belum cukup umur di
Desa Bareng Kec. Sekar Kab. Bojonegoro”.
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar
belakang masalah yang telah dipaparkan di
atas, maka dapat diidentifikasi
masalah yang penulis sampaikan, yaitu: 1. Pengertian nikah di bawah umur menurut hukum
Islam dan Undang-undang perkawinan.
2. Faktor
yang membuat calon pasangan suami
istri ingin menikah ketika belum cukup umur.
3.
Penyebab terjadinya
kebijakan kepala desa yang
menambah usia nikah
bagi calon suami istri
yang belum cukup umur di
Desa Bareng Kec. Sekar
Kab.
Bojonegoro.
4. Pandangan
masyarakat, tokoh agama
serta tokoh masyarakat
Desa Bareng Kec. Sekar Kab. Bojonegoro tentang kebijakan
tersebut.
5. Praktek
penambahan usia nikah
yang dilakukan kepala
desa kepada warga nya
yang ingin menikah di kala belum cukup umur.
6. Analisis
yuridis terhadap kebijakan kepala
desa yang menambah usia
nikah bagi calon
suami istri yang
belum cukup umur
di Desa Bareng
Kec. Sekar Kab. Bojonegoro.
C. Batasan Masalah Dari berbagai
masalah yang ada
pada praktek nikah
di bawah umur
di atas, penulis akan membatasi
masalah tersebut hanya dalam dua hal,
yaitu : 1. Penyebab terjadinya kebijakan
kepala desa yang menambah usia
nikah bagi calon pasangan
suami istri yang
belum cukup umur
di Desa Bareng
Kec.
Sekar Kab. Bojonegoro.
2. Analisis
yuridis terhadap kebijakan kepala
desa yang menambah usia
nikah bagi calon
suami istri yang belum cukup umur di Desa Bareng Kec. Sekar Kab. Bojonegoro D.
Rumusan Masalah Berdasarkan
batasan masalah di
atas, maka akan
di rumuskan menjadi dua hal yaitu : 1. Mengapa terjadi kebijakan kepala desa yang
menambah usia nikah bagi calon suami istri
yang belum cukup
umur di Desa
Bareng Kec. Sekar
Kab.
Bojonegoro? 2. Bagaimana analisis yuridis
terhadap kebijakan kepala
desa yang menambah usia
nikah bagi calon
suami istri yang
belum cukup umur
di Desa Bareng Kec. Sekar Kab. Bojonegoro? E. Kajian Pustaka Kajian pustaka
adalah deskripsi ringkas
tentang kajian/penelitian yang sudah pernah
dilakukan di seputar
masalah yang akan
diteliti sehingga terlihat jelas
bahwa kajian yang
akan dilakukan ini
tidak merupakan pengulang an
atau duplikasi dari
kajian/penelitian yang telah
ada. Berdasarkan deskripsi
tersebut, posisi penelitian yang
akan dilakukan harus dijelaskan.
Permasalahan
mengenai perkawinan yang
di lakukan seseorang
yang belum cukup
umur dan dispensasi
kawin ada beberapa
skripsi yang membahasnya
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi