BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Islam adalah sebuah
ajaran agama yang disyariatkan oleh Allah SWT kepada manusia sampai akhir zaman. Kehadiran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW diyakini dapat menjamin terwujudnya
kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan
batin. Dan Islam
merupakan suatu ajaran
yang bertujuan untuk
mencapai kemaslahatan dan
kebahagiaan dunia dan
akhirat, karena didalamnya
terdapat berbagai petunjuk
tentang bagaimana seharusnya
manusia itu menyikapi
kehidupan ini secara lebih
bermakna dalam arti yang seluas-luasnya.
Agama Islam
telah mengatur 3 (tiga) hal yang
fundamental, yaitu hubungan manusia
dengan tuhan, hubungan manusia dengan diri sendiri dan hubungan manusia dengan sosial masyarakat. Aspek hukum
yang mengatur hubungan manusia dengan tuhan
disebut ibadah, sementara
aspek hukum yang
mengatur hubungan manusia dengan
manusia lain, alam
dan lingkungan disebut
mua’amalah. Sedang bagian muamalah
biasanya meliputi :
Hukum niaga, munakahat,
hukum wajib, hukum pidana,
hukum tata negara, hukum internasional, hukum acara dan lain-lain, terakhir Studi Islam IAIN Sunan Ampel, Pengantar Studi
Islam, (Surabaya : IAIN Press,2004), h. 108 inilah yang termasuk didalamnya membahas
tentang tata cara sebelum menikah yang terdiri
dari beberapa syarat dan rukun.
Jelaslah bahwa di sini Islam
bukanlah agama yang hanya mengajarkan ajaranajaran ritual
saja, akan tetapi
juga mengajarka n tata
etika dan moral
serta sosial kemasyarakatan, yang
diantaranya adalah tata
cara pernikahan (perkawinan)
yang sebelumnya ada
tahapan-tahapannya, yaitu taaruf (mengenal) dan khitbah (pinangan).
Begitu besar
peran suami istri
dalam keluarga, sehingga
Islam selalu memperhatikan
hubungan antara pria
dengan seorang wanita,
baik sebelum dan sesudah
terjadinya akad nikah.
Sebelum menikah
ada beberapa fase-fase
yang harus dilalui,
yaitu pertama adalah
acara taaruf, yang
mana dari pihak
laki-laki mengutus seorang
perempuan yang dipercaya atau
orang lain yang masih menjadi mahromnya si perempuan untuk menyelidiki perempuan yang akan dipinang
tersebut. Dengan tujuan mengetahui atau mengenal
si perempuan, apakah ia masih gadis
(belum ada ikatan perkawinan atau tunangan
dengan orang lain)
ataukah seorang janda,
ia cacat ataukah
sempurna tubuhnya, ia
dari keluarga baik-baik
atau tidak, ia
sholehah (berakhlak dan
taat menjalankan agamanya)
ataukah sebaliknya serta banyak lagi hal untuk diketahui.
Kemudian setelah diketahui dan
yakin terhadap keadaan perempuan tersebut dan
layak untuk dinikahi
oleh si laki-laki
sebagaimana yang disabdakan
oleh Nabi Muhammad saw : َ
Artinya :“ Perempuan
dinikahi karena empat
perkara : karena
hartanya, keturunannya, kecantikannya
dan agamanya, pilihlah
olehmu karena agamanya niscaya engkau berbahagia”.
Maka
diadakanlah fase kedua
yaitu acara khitbah
yang mana disebut peminangan, dari pihak laki-laki ke pihak
perempuan.
Adapun khitbah
itu adalah peminangan
kepada seorang wanita
untuk dijadikan istri,
atau suatu tanda
ikatan dari laki-laki
kepada perempuan untuk dijadikan
istri dikemudian hari dengan melalui prosesi keagamaan yang sudah umum berlaku di tengah-tengah masyarakat,
yaitu dari pihak keluarga pria datang kepada pihak
keluarga wanita untuk
mengadakan acara pinangan
dengan melalui musyawarah
dan kesepakatan biasanya
ditandai pemberian cincin
atau lainnya, dengan
tujuan tidak diperkenankan
orang lain melamar
atau menikahi perempuan yang sudah dipinang tersebut.
Dalam ajaran
Islam setelah khitbah
atau dalam istilah
sekarang tunangan, adalah
merupakan hubungan yang
belum dihalalkan untuk
bertemu berduaan atau Ibnu
Hajar al-Asqalani, Tarajamah Bulughul Maram, Diterj. Muh.Sjarief Sukandy,
(Bandung : al -Ma’aarif, 1986) h Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Depdikbud,
2009), h Slamet Abidin, Fiqih Munakahat
1, (Bandung : Pustka Setia,1999), h 41 bahkan
bepergian bersama-sama sebagaimana pergaulan
orang yang sudah menikah layaknya
suami istri, sebab
tunangan itu hanyalah
suatu ikatan janji
untuk menuju nikah
bukan pernikahan, oleh
karenanya hal tersebut
belumlah sampai pada
taraf halal bahkan semuanya masih
dikategorikan haram.
Dari uraian
diatas dapat disimpulkan
bahwa menyendiri dengan
tunangan hukumnya haram.Agama
tidak memperkenankan melakukan
sesuatu terhadap pinangannya,
kecuali melihat. Hal
ini dikarenakan menyendiri
(berduaan) dengan pinangan
akan menimbulkan perbuatan
yang dilarang agama.
Akan tetapi, bila ditemani oleh
salah seorang mahramnya
guna mencegah terjadinya
perbuatan perbuatan maksiat, maka dibolehkan .
Sebagaimana yang disabdakan Nabi
Muhammad saw : َ “Dari
Ibnu Abbas dari Nabi saw., Beliau
bersabda : “ Janganlah seorang laki -laki bersama
dengan seorang perempuan,
melainkan (hendaklah) besertanya
(ada) mahromnya.” (HR.Bukhori) Khitbah hanyalah suatu ikatan janji untuk
menuju jenjang pernikahan, maka tidak diperkenankan
sedikitpun untuk mengikuti
jejak dan aturan
pergaulan orang M.A.Tihami , Fiqih Munakahat, (Jakarta : Raja
Grafindo perkasa, 2010), h.
Ibnu Hajar al-Asqalani, Panduan Lengkap
Masalah Fiqh, Diterj.Irfan Hakim, (Bandung : Mizan Pustaka, 2010), h.459.
yang sudah menikah, karenanya hal tersebut
belumlah sampai pada taraf halal, seperti bepergian bersama, bersenda gurau dan lain
sebagainya.
Mengenai pergaulan
seseorang yang belum
melakukan pernikahan, yang mana
ia masih baru selesai melaksanakan peminangan, maka ada larangan-larangan baginya
yang menjadi tolak
ukur dalam mengadakan
pergaula n kepada perempuan yang
telah dipinangnya. Pergaulan
bagi orang yang
masih dalam tunangan
adalah terlarang mutlak
secara syar’i, untuk
berdua-duaan tanpa didampingi
mahram si perempuan yang bijaksana dan mengerti
batasan-batasan agama mengenai pergaulan antara laki-laki dan perempuan. Sehingga keduanya diharapkan selama dalam
ikatan khitbah untuk menjaga kehormatan,
kemulyaan dan harga dirinya masing-masing.
Pada masa
tunangan itulah kedua
belah pihak memiliki
kesempatan dan berusaha
mengenal calon pasangan
hidupnya dengan batasan-batasan yang
telah diatur oleh
Islam, kalau ternyata
ada kesesuaian maka
perkawinan dapat dilangsungkan,
tetapi kalau terdapat
ketidaksesuaian, bolehlah pertunangan
dapat dibatalkan dengan
cara yang arif.
Islam
dengan tegas melarang
laki-laki dan perempuan berdua-duaan tanpa adanya mahram
meskipun sudah bertunangan sampai ada ikatan
suami istri. Orang
yang berkhalwah (berduaan)
dikhawatirkan mudah melakukan sesuatu yang dilarang Allah SWT.
Namun di
desa Karangmangu kecamatan
Ngambon kabupaten Bojonegoro, arti
dan realita khitbah
(tunangan) itu adalah
suatu ikatan janji
hubungan Harun Nasution, Islam
Rasional, (Bandung : Mizan,1996), h.438 kebersamaan
yang identik dengan
kebebasan dalam bergaul
antara laki-laki dan perempuan.
Sehingga dengan hal tersebut (setelah khitbah)
si laki-laki boleh bertemu dengan si
perempuan dan berbincang-bincang kapan
saja ia suka
meskipun tanpa didampingi seorang mahram dari pihak
perempuan, bahkan dibolehkan laki -laki itu membawa tunangannya kemanapun ia pergi dengan
leluasa.
Berdasarkan fenomena tradisi di
desa Karangmangu itu menjadikan para lakilaki yang sudah memiliki
tunangan bergaul bebas (leluasa). Maka
permasalahan yang dikhawatirkan terjadi
pada saat ini
tidak sedikit ikatan
khitbah itu menjadi
tidak langgeng atau tidak sampai
pada jenjang pernikahan.
Andaikata itu
terjadi, kerugianlah bagi
pihak perempuan dan
keluarganya yang mengharapkan
peminangan tersebut sampai
terwujud kepelaminan. Sebab sebelumnya
pihak perempuan dan keluarganya pasrah dan percaya dengan si laki-laki itu bergaul
bebas kepada tunangannya.
Ini merupakan fenomena
yang riskan bagi para orang
tua perempuan yang
tinggal di desa
tersebut, karena dikhawatirkan putrinya
sudah mendapatkan perlakuan
yang tidak senonoh
dari tunangannya, baik secara
fisik maupun mental.
Hubungan setelah
khitbah di desa
Karangmangu itu antara
laki-laki dan perempuan
membawa dampak yang
tidak baik dalam
kaca mata Islam,
misalnya Wawancara dengan ibu Wahyuti, tokoh masyarakat Karangmangu
kecamatan Ngambon (Karangmangu, 18 April
2013) kebebasan keduanya dalam
bergaul. Bahkan, si laki-laki diperbolehkan mengajak si perempuan untuk tinggal di rumahnya.
Tradisi yang ada di desa Karangmangu antara menikah dengan
khitbah tidak mewujudkan perbedaan
yang signifikan, karena
etika setelah khitbah
sama dengan menikah.
Sehingga realita yang
sangat nampak ialah
keluarga si perempuan
benarbenar percaya penuh
kepada laki-laki tersebut
sebagai calon mantunya
untuk berhubungan (bergaul)
dengan anaknya.
Fenomena-fenomena yang
muncul seperti sekarang
ini adalah kurang fahamnya
seseorang atau masyarakat
Islam tentang hukum
Islam itu sendiri.Oleh sebab
itu, etika sesudah
khitbah yang muncul
ditengah masyarakat menggunakan hukum adat yang pada dasarnya bertentangan
dengan sakralitas nilai-nilai Islam.
Untuk beradaptasi
dengan perubahan dan
kemajuan dengan perubahan
dan kemajuan zaman
yang begitu maju
pesat serta dalam
rangka menyongsong era
pos modern, maka
seyogyanya para ulama
mampu memberikan pengertian
dan pembinaan kepada masyarakat
agar tidak berfikir dan berpedoman pada adat
istiadat yang bertentangan dengan
kemurnian ajaran islam.
Dengan demikian, hubungan antara
laki-laki dan perempuan terutama setelah khitbah
(peminangan) diatur secara
terhormat berdasarkan kerelaan
dan ketaatan dalam
menjalankan norma-norma agama.
Karena Allah SWT
tidak menjadikan manusia
seperti makhluk lainnya
yang hidup bebas
mengikuti nalurinya dan Wawancara
dengan bapak Saiful, tokoh masyarakat Karangmangu kecamatan Ngambon (Karangmangu,18 April 2013) berhubungan
antara jantan dan betina secara anargik atau tidak adanya aturan.
Akan tetapi, untuk
menjaga kehormatan dan
martabat manusia, maka
Allah SWT mengadakan hukum yang sesuai dengan martabat
tersebut.
Apa yang
dimaksud dengan hal di atas,
menerangkan bahwa agama
benarbenar menghendaki kebahagiaan
dan kebaikan bagi
manusia, dan hampir
semua ajarannya membicarakan
soal kebaikan dan
ketidakbaikan. Kebaikan harus dikerjakan
dan kejahatan harus dihindarkan. Agama
Islam memang membawa ajaran moral dan
mengajarkan supaya manusia memepunyai budi pekerti luhur.
Oleh karena itu pernikahan memberikan jalan
yang aman pada naluri seksual untuk
memelihara keturunan dengan baik dan menjaga
harga diri wanita agar ia tidak laksana
rumput yang bisa dimakan oleh binatang ternak manapun seenaknya.
Dalam pandangan Islam, memuaskan
naluri harus dilakukan dengan cara yang halal
(melalui pernikahan) bukan dengan cara
yang haram, dengan tegas dinyatakan oleh Islam
bahwa tidak boleh
memuaskan naluri seksual
dan syahwat melalui
cara yang haram seperti mendekati zina, perzinahan, memandangi lawan
jenisnya dengan motivasi syahwat
dan bergaul bebas
dengan selain muhrimnya,
seperti kepada tunanganya.
Slamet Abidin, Fiqih Munakahat 1, h.
Harun Nasution, Islam Rasional, h.443 Sebagaimana diatur dalam al-Qur’an Surat
Al-Israa’ ayat 32: “Dan janganlah kamu mendekati zina; ( zina) itu sungguh suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.” (Al-Israa’
ayat 32) .
Sehingga
pergaulan suami istri,
oleh Islam diletakkan
di bawah naungan keibuan
dan kebapakan, yang
pada akhirnya dapat
menumbuhkan keturunan yang baik
dan hasil yang memuaskan bagi kehidupan manusia.
Peraturan atau konsep hidup
semacam inilah yang diridhai oleh Allah SWT dan
diaadikan dalam dogma
Islam untuk selamanya,
dengan motivasi hidup
yang bertujuan untuk mewujudkan
ketentraman, kesejahteraan dan kebahagiaan bagi umat manusia.
B. Indentifikasi Masalah dan Batasan Masalah 1. Identifikasi Masalah Dari latar belakang di
atas, terdapat masalah yang teridentifikasi, diantaranya sebagai berikut : a. Deskripsi
tradisi calon istri
tinggal di kediaman
calon suami pasca khitbah
b.
Latar belakang adanya tradisi calon istri tinggal di kediaman calon suami
c.
Awal munculnya tradisi calon istri tinggal di kediaman suami Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan
Terjemahnya, (Jakarta : Sinergi Pustaka Indonesia,2012),
h.388 d. Hubungan pasca khitbah menurut hukum Islam e.
Tinjauan hukum Islam
terhadap tradisi calon
istri tinggal di
kediaman calon suami pasca khitbah 2.
Batasan Masalah a. Deskripsi tradisi
calon istri tinggal
di kediaman calon
suami pasca khitbah
di desa Karangmangu
kecamatan Ngambon kabupaten Bojonegoro.
b. Tinjauan
hukum Islam terhadap
tradisi calon istri
tinggal di kediaman calon suami pasca khitbah .
C. Rumusan Masalah 1. Bagaimana deskripsi tradisi calon istri
tinggal di kediaman calon suami pasca khitbah
di desa Karangmangu kecamatan Ngambon kabupaten Bojonegoro ? 2. Bagaimana
tinjauan hukum Islam
terhadap tradisi calon
istri tinggal di kediaman calon
suami pasca khitbah
di desa Karangmangu
kecamatan Ngambon kabupaten
Bojonegoro ? D. Kajian Pustaka Kajian pustaka
adalah deskripsi ringkas
tentang kajian atau
penelitian yang sudah
pernah dilakukan di
seputar masalah yang
akan diteliti, sehingga terlihat
jelas bahwa kajian
yang akan dilakukan
ini b ukan merupakan pengulangan atau duplikasi dari kajian atau
penelitian yang telah ada
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi