Jumat, 04 Juli 2014

Skripsi Syariah:TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP TRADISI CALON ISTRI TINGGAL DI KEDIAMAN CALON SUAMI PASCA KHITBAH


BAB I PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah Islam adalah sebuah ajaran agama yang disyariatkan oleh Allah SWT kepada  manusia sampai akhir zaman.  Kehadiran agama Islam  yang dibawa Nabi Muhammad  SAW diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang  sejahtera lahir  dan  batin.  Dan  Islam  merupakan  suatu  ajaran  yang  bertujuan  untuk  mencapai  kemaslahatan  dan  kebahagiaan  dunia  dan  akhirat,  karena  didalamnya  terdapat  berbagai  petunjuk  tentang  bagaimana  seharusnya  manusia  itu  menyikapi  kehidupan  ini secara lebih bermakna dalam arti yang seluas-luasnya.
Agama  Islam  telah mengatur 3 (tiga) hal  yang fundamental, yaitu hubungan  manusia dengan tuhan, hubungan manusia dengan diri sendiri dan hubungan manusia  dengan sosial masyarakat.  Aspek hukum  yang mengatur hubungan manusia dengan  tuhan  disebut  ibadah,  sementara  aspek  hukum  yang  mengatur  hubungan  manusia  dengan  manusia  lain,  alam  dan  lingkungan  disebut  mua’amalah.  Sedang  bagian  muamalah  biasanya  meliputi  :  Hukum  niaga,  munakahat,  hukum  wajib,  hukum  pidana, hukum tata negara, hukum internasional, hukum acara dan lain-lain,  terakhir   Studi Islam IAIN Sunan Ampel, Pengantar Studi Islam, (Surabaya : IAIN Press,2004), h. 108   inilah yang termasuk didalamnya membahas tentang tata cara sebelum menikah yang  terdiri dari beberapa syarat dan rukun.

Jelaslah bahwa di sini Islam bukanlah agama yang hanya mengajarkan ajaranajaran  ritual  saja,  akan  tetapi  juga  mengajarka n  tata  etika  dan  moral  serta  sosial  kemasyarakatan,  yang  diantaranya  adalah  tata  cara  pernikahan  (perkawinan)  yang  sebelumnya ada tahapan-tahapannya, yaitu taaruf (mengenal) dan khitbah (pinangan).
Begitu  besar  peran  suami  istri  dalam  keluarga,  sehingga  Islam  selalu  memperhatikan  hubungan  antara  pria  dengan  seorang  wanita,  baik  sebelum  dan  sesudah terjadinya akad nikah.
Sebelum  menikah  ada  beberapa  fase-fase  yang  harus  dilalui,  yaitu  pertama  adalah  acara  taaruf,  yang  mana  dari  pihak  laki-laki  mengutus  seorang  perempuan  yang dipercaya atau orang lain yang masih menjadi mahromnya si perempuan untuk  menyelidiki perempuan yang akan dipinang tersebut. Dengan tujuan mengetahui atau  mengenal si perempuan,  apakah ia masih gadis (belum ada ikatan perkawinan  atau  tunangan  dengan  orang  lain)  ataukah  seorang  janda,  ia  cacat  ataukah  sempurna  tubuhnya,  ia  dari  keluarga  baik-baik  atau  tidak,  ia  sholehah  (berakhlak  dan  taat  menjalankan agamanya) ataukah sebaliknya serta banyak lagi hal untuk diketahui.
Kemudian setelah diketahui dan yakin terhadap keadaan perempuan tersebut  dan  layak  untuk  dinikahi  oleh  si  laki-laki  sebagaimana  yang  disabdakan  oleh  Nabi  Muhammad saw :   َ Artinya  :“  Perempuan  dinikahi  karena  empat  perkara  :  karena  hartanya,  keturunannya,  kecantikannya  dan  agamanya,  pilihlah  olehmu  karena  agamanya  niscaya engkau berbahagia”.
 Maka  diadakanlah  fase  kedua  yaitu  acara  khitbah  yang  mana  disebut  peminangan, dari pihak laki-laki ke pihak perempuan.
Adapun  khitbah  itu  adalah  peminangan  kepada  seorang  wanita  untuk  dijadikan  istri,  atau  suatu  tanda  ikatan  dari  laki-laki  kepada  perempuan  untuk  dijadikan istri dikemudian hari dengan melalui prosesi keagamaan yang sudah umum  berlaku di tengah-tengah  masyarakat,  yaitu dari pihak keluarga pria datang kepada  pihak  keluarga  wanita  untuk  mengadakan  acara  pinangan  dengan  melalui  musyawarah  dan  kesepakatan  biasanya  ditandai  pemberian  cincin  atau  lainnya,  dengan  tujuan  tidak  diperkenankan  orang  lain  melamar  atau  menikahi  perempuan  yang sudah dipinang tersebut.
Dalam  ajaran  Islam  setelah  khitbah  atau  dalam  istilah  sekarang  tunangan,  adalah  merupakan  hubungan  yang  belum  dihalalkan  untuk  bertemu  berduaan  atau   Ibnu Hajar al-Asqalani, Tarajamah Bulughul Maram, Diterj. Muh.Sjarief Sukandy, (Bandung  : al -Ma’aarif, 1986) h   Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta :  Depdikbud, 2009), h   Slamet Abidin, Fiqih Munakahat 1, (Bandung : Pustka Setia,1999), h 41   bahkan bepergian bersama-sama  sebagaimana pergaulan orang yang sudah menikah layaknya  suami  istri,  sebab  tunangan  itu  hanyalah  suatu  ikatan  janji  untuk  menuju  nikah  bukan  pernikahan,  oleh  karenanya  hal  tersebut  belumlah  sampai  pada  taraf  halal bahkan semuanya masih dikategorikan haram.
Dari  uraian  diatas  dapat  disimpulkan  bahwa  menyendiri  dengan  tunangan  hukumnya  haram.Agama  tidak  memperkenankan  melakukan  sesuatu  terhadap  pinangannya,  kecuali  melihat.  Hal  ini  dikarenakan  menyendiri  (berduaan)  dengan  pinangan  akan  menimbulkan  perbuatan  yang  dilarang  agama.  Akan  tetapi,  bila  ditemani  oleh  salah  seorang  mahramnya  guna  mencegah  terjadinya  perbuatan perbuatan maksiat, maka dibolehkan  .
Sebagaimana yang disabdakan Nabi Muhammad saw : َ “Dari Ibnu Abbas dari Nabi  saw., Beliau bersabda : “ Janganlah seorang laki -laki  bersama  dengan  seorang  perempuan,  melainkan  (hendaklah)  besertanya  (ada)  mahromnya.” (HR.Bukhori)  Khitbah hanyalah suatu ikatan janji untuk menuju jenjang pernikahan, maka  tidak  diperkenankan  sedikitpun  untuk  mengikuti  jejak  dan  aturan  pergaulan  orang   M.A.Tihami , Fiqih Munakahat, (Jakarta : Raja Grafindo perkasa, 2010), h.
 Ibnu Hajar al-Asqalani, Panduan Lengkap Masalah Fiqh, Diterj.Irfan Hakim, (Bandung : Mizan Pustaka, 2010), h.459.
 yang sudah menikah, karenanya hal tersebut belumlah sampai pada taraf halal, seperti  bepergian bersama, bersenda gurau dan lain sebagainya.
Mengenai  pergaulan  seseorang  yang  belum  melakukan  pernikahan,  yang  mana ia masih baru selesai melaksanakan peminangan, maka ada larangan-larangan  baginya  yang  menjadi  tolak  ukur  dalam  mengadakan  pergaula n  kepada  perempuan  yang  telah  dipinangnya.  Pergaulan  bagi  orang  yang  masih  dalam  tunangan  adalah  terlarang  mutlak  secara  syar’i,  untuk  berdua-duaan  tanpa  didampingi  mahram  si  perempuan yang bijaksana dan mengerti batasan-batasan agama mengenai pergaulan  antara laki-laki dan perempuan.  Sehingga keduanya diharapkan selama dalam ikatan  khitbah untuk menjaga kehormatan, kemulyaan dan harga dirinya masing-masing.
Pada  masa  tunangan  itulah  kedua  belah  pihak  memiliki  kesempatan  dan  berusaha  mengenal  calon  pasangan  hidupnya  dengan  batasan-batasan  yang  telah  diatur  oleh  Islam,  kalau  ternyata  ada  kesesuaian  maka  perkawinan  dapat  dilangsungkan,  tetapi  kalau  terdapat  ketidaksesuaian,  bolehlah  pertunangan  dapat  dibatalkan  dengan  cara  yang  arif.
 Islam  dengan  tegas  melarang  laki-laki  dan  perempuan berdua-duaan tanpa adanya mahram meskipun sudah bertunangan sampai  ada  ikatan  suami  istri.  Orang  yang  berkhalwah  (berduaan)  dikhawatirkan  mudah  melakukan sesuatu yang dilarang Allah SWT.
Namun  di  desa  Karangmangu  kecamatan  Ngambon  kabupaten  Bojonegoro,  arti  dan  realita  khitbah  (tunangan)  itu  adalah  suatu  ikatan  janji  hubungan   Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung : Mizan,1996), h.438   kebersamaan  yang  identik  dengan  kebebasan  dalam  bergaul  antara  laki-laki  dan  perempuan.
 Sehingga dengan hal tersebut (setelah khitbah) si laki-laki boleh bertemu  dengan  si  perempuan  dan  berbincang-bincang  kapan  saja  ia  suka  meskipun  tanpa  didampingi seorang mahram dari pihak perempuan, bahkan dibolehkan laki -laki itu  membawa tunangannya kemanapun ia pergi dengan leluasa.
Berdasarkan fenomena  tradisi di  desa Karangmangu itu menjadikan para lakilaki yang sudah memiliki tunangan bergaul bebas (leluasa).  Maka permasalahan yang  dikhawatirkan  terjadi  pada  saat  ini  tidak  sedikit  ikatan  khitbah  itu  menjadi  tidak  langgeng atau tidak sampai pada jenjang pernikahan.
Andaikata  itu  terjadi,  kerugianlah  bagi  pihak  perempuan  dan  keluarganya  yang  mengharapkan  peminangan  tersebut  sampai  terwujud  kepelaminan.  Sebab  sebelumnya pihak perempuan dan keluarganya pasrah dan percaya dengan si laki-laki itu  bergaul  bebas  kepada  tunangannya.  Ini  merupakan  fenomena  yang  riskan  bagi  para  orang  tua  perempuan  yang  tinggal  di  desa  tersebut,  karena  dikhawatirkan  putrinya  sudah  mendapatkan  perlakuan  yang  tidak  senonoh  dari  tunangannya,  baik  secara fisik maupun mental.
Hubungan  setelah  khitbah  di  desa  Karangmangu  itu  antara  laki-laki  dan  perempuan  membawa  dampak  yang  tidak  baik  dalam  kaca  mata  Islam,  misalnya  Wawancara dengan  ibu Wahyuti, tokoh masyarakat Karangmangu kecamatan Ngambon  (Karangmangu, 18 April 2013)   kebebasan keduanya dalam bergaul.  Bahkan,  si laki-laki diperbolehkan mengajak si  perempuan untuk tinggal di rumahnya.
 Tradisi yang ada  di desa Karangmangu antara menikah dengan khitbah tidak  mewujudkan  perbedaan  yang  signifikan,  karena  etika  setelah  khitbah  sama  dengan  menikah.  Sehingga  realita  yang  sangat  nampak  ialah  keluarga  si  perempuan  benarbenar  percaya  penuh  kepada  laki-laki  tersebut  sebagai  calon  mantunya  untuk  berhubungan (bergaul) dengan anaknya.
Fenomena-fenomena  yang  muncul  seperti  sekarang  ini  adalah  kurang  fahamnya  seseorang  atau  masyarakat  Islam  tentang  hukum  Islam  itu  sendiri.Oleh  sebab  itu,  etika  sesudah  khitbah  yang  muncul  ditengah  masyarakat   menggunakan  hukum adat yang pada dasarnya bertentangan dengan sakralitas nilai-nilai Islam.
Untuk  beradaptasi  dengan  perubahan  dan  kemajuan  dengan  perubahan  dan  kemajuan  zaman  yang  begitu  maju  pesat  serta  dalam  rangka  menyongsong  era  pos  modern,  maka  seyogyanya  para  ulama  mampu  memberikan  pengertian  dan  pembinaan kepada masyarakat agar tidak berfikir dan berpedoman pada adat  istiadat  yang bertentangan dengan kemurnian ajaran islam.
Dengan demikian, hubungan antara laki-laki dan perempuan terutama setelah  khitbah  (peminangan)  diatur  secara  terhormat  berdasarkan  kerelaan  dan  ketaatan  dalam  menjalankan  norma-norma  agama.  Karena  Allah  SWT  tidak  menjadikan  manusia  seperti  makhluk  lainnya  yang  hidup  bebas  mengikuti  nalurinya  dan   Wawancara dengan bapak Saiful, tokoh masyarakat Karangmangu kecamatan Ngambon  (Karangmangu,18 April 2013)    berhubungan antara jantan dan betina secara anargik atau tidak adanya aturan.
 Akan  tetapi,  untuk  menjaga  kehormatan  dan  martabat  manusia,  maka  Allah  SWT  mengadakan hukum yang sesuai dengan martabat tersebut.
Apa  yang  dimaksud  dengan  hal  di  atas,  menerangkan  bahwa  agama  benarbenar  menghendaki  kebahagiaan  dan  kebaikan  bagi  manusia,  dan  hampir  semua  ajarannya  membicarakan  soal  kebaikan  dan  ketidakbaikan.  Kebaikan  harus  dikerjakan dan kejahatan harus dihindarkan.  Agama Islam memang membawa ajaran  moral dan mengajarkan supaya manusia memepunyai budi pekerti luhur.
 Oleh karena itu pernikahan memberikan jalan yang aman pada naluri seksual  untuk memelihara keturunan  dengan baik dan menjaga harga diri wanita agar ia tidak  laksana rumput yang bisa dimakan oleh binatang ternak manapun seenaknya.
Dalam pandangan Islam, memuaskan naluri harus dilakukan dengan cara yang  halal (melalui pernikahan)  bukan dengan cara yang haram, dengan tegas dinyatakan  oleh  Islam  bahwa  tidak  boleh  memuaskan  naluri  seksual  dan  syahwat  melalui  cara  yang haram seperti  mendekati zina, perzinahan, memandangi lawan jenisnya dengan  motivasi  syahwat  dan  bergaul  bebas  dengan  selain  muhrimnya,  seperti  kepada  tunanganya.
 Slamet Abidin, Fiqih Munakahat 1, h.
 Harun Nasution, Islam Rasional, h.443   Sebagaimana diatur dalam al-Qur’an Surat Al-Israa’ ayat 32: “Dan janganlah kamu mendekati zina; ( zina) itu sungguh  suatu perbuatan yang  keji. dan suatu jalan yang buruk.” (Al-Israa’ ayat  32) .
 Sehingga  pergaulan  suami  istri,  oleh  Islam  diletakkan  di  bawah  naungan  keibuan  dan  kebapakan,  yang  pada  akhirnya  dapat  menumbuhkan  keturunan  yang  baik dan hasil yang memuaskan bagi kehidupan manusia.
Peraturan atau konsep hidup semacam inilah yang diridhai oleh Allah SWT  dan  diaadikan  dalam  dogma  Islam  untuk  selamanya,  dengan  motivasi  hidup  yang  bertujuan untuk mewujudkan ketentraman, kesejahteraan dan kebahagiaan bagi umat  manusia.
B.  Indentifikasi Masalah dan Batasan Masalah 1.  Identifikasi Masalah Dari latar belakang di atas, terdapat masalah yang teridentifikasi, diantaranya  sebagai berikut : a.  Deskripsi  tradisi  calon  istri  tinggal  di  kediaman  calon  suami  pasca  khitbah  b.  Latar belakang adanya tradisi calon istri tinggal di kediaman calon suami  c.  Awal munculnya tradisi calon istri tinggal di kediaman suami   Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta : Sinergi Pustaka  Indonesia,2012), h.388   d.  Hubungan pasca khitbah menurut hukum Islam  e.  Tinjauan  hukum  Islam  terhadap  tradisi  calon  istri  tinggal  di  kediaman  calon suami  pasca khitbah  2.  Batasan Masalah a.  Deskripsi  tradisi  calon  istri  tinggal  di  kediaman  calon  suami  pasca  khitbah  di  desa  Karangmangu  kecamatan  Ngambon  kabupaten  Bojonegoro.
b.  Tinjauan  hukum   Islam  terhadap  tradisi  calon  istri  tinggal  di  kediaman  calon suami pasca khitbah .
C.  Rumusan Masalah 1.  Bagaimana deskripsi tradisi calon istri tinggal di kediaman calon suami pasca  khitbah di desa Karangmangu kecamatan Ngambon kabupaten Bojonegoro ? 2.  Bagaimana  tinjauan  hukum  Islam  terhadap  tradisi  calon  istri  tinggal  di  kediaman  calon  suami  pasca  khitbah  di  desa  Karangmangu  kecamatan  Ngambon kabupaten Bojonegoro ? D.  Kajian Pustaka Kajian  pustaka  adalah  deskripsi  ringkas  tentang  kajian  atau  penelitian  yang  sudah  pernah  dilakukan  di  seputar  masalah  yang  akan  diteliti,  sehingga   terlihat  jelas  bahwa  kajian  yang  akan  dilakukan  ini  b ukan  merupakan  pengulangan atau duplikasi dari kajian atau penelitian yang telah ada 


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi