Jumat, 04 Juli 2014

Skripsi Syariah:ANALISIS YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN PUTUSAN PENGADILAN TINGGI AGAMA SURABAYA NOMOR 340 PDT G 2010 TENTANG KETERANGAN SAKSI DALAM PEMBUKTIAN PERKARA CERAI GUGAT


BAB I  PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah Sudah  menjadi  sunnatullah,  bahwa  kehidupan  di  muka  bumi  ini  diciptakan  berpasang-pasangan,  seperti  halnya  Allah  SWT  menciptakan  lakilaki dan perempuan yang saling membutuhkan satu dengan yang lainnya, karena  manusia merupakan  makhluk sosial.  Dalam melangsungkan  hidupnya pastinya  manusia mempunyai hasrat untuk hidup sejahtera dan bahagia baik dalam masa  muda  ataupun  hari  tuanya,  untuk  melengkapi  itu  semua  maka  manusia  butuh  pendamping  hidup  yang  disebut  tali  cinta  dalam  suatu  ikatan  yang  secara  harfiyah disebut perkawinan.
Perkawinan ialah suatu ikatan lahir batin antara laki-laki  dan perempuan  sebagai  suami  istri  dengan  tujuan  membentuk  keluarga  (rumah  tangga)  yang  bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.
 Tujuan perkawinan  adalah  mewujudkan  kehidupan  rumah  tangga  yang  sakinah,  mawaddah,  wa rahmah. Allah SWT berfirman dalam surat al-Rum ayat 21yang berbunyi: Undang-undang Republik Indonesia No.1Tahun 1974 tentang Perkawinan, 5.
 Artinya:  “Dan  diantara  tanda-tanda  kekuasaan  Allah  ialah  Dia  menciptakan  untukmu  istri-istri  dari  jenismu  sendiri,  supaya  kamu  cenderung  dan  merasa  tentram  kepadanya,  dan  dijadikan-Nya  diantara  kamu  rasa  kasih  sayang.

Sesungguhnya  pada  yang  demikian  itu  benar-benar  terdapat  tanda-tanda  bagi  kaum yang berfikir.”  Adakalanya  suatu  perkawinan  tidak  dapat  mencapai  tujuan  dari  perkawinan  itu  sendiri.  Terkadang  dalam  perjalannya  seringkali  terjadi  percekcokan,  pertengkaran,  ataupun  ketidakharmonisan  hubungan  suami  istri  yang tidak bisa dirukunkan lagi, bahkan  seringkali hal demikian berujung pada  perceraian.  Sungguhpun  talaq  (perceraian)  itu  dibolehkan  dalam  Islam,  tetapi  Rasulullah SAW menjulukinya sebagai perbuatan halal yang dibenci Allah.
Di negara hukum seperti  Indonesia, perceraian tidak serta merta begitu  saja  bisa  dilakukan.  Ada  beberapa  ketentuan  atau  kaidah  hukum  yang  harus  ditaati oleh setiap anggota masyarakat.  Tentunya diperlukan juga suatu badan  peradilan  yang  berfungsi  melaksanakan  kekuasaan  kehakiman  untuk  menegakkan hukum dan keadilan. Sebagaimana telah disebutkan dalam Pasal  Undang-Undang Nomor 1Tahun 1974, bahwa perceraian hanya dapat dilakukan  di depan sidang pengadilan, setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan  tidak  berhasil  mendamaikan  kedua  belah  pihak.  Jika  pihak  yang  berperkara  adalah orang Islam, tentunya yang berwenang menyelesaikan perkara perceraian  ialah Pengadilan Agama.
 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Surabaya: Mahkota, 1989), 572.
 Pihak yang  dilanggar haknya dalam perkara perdata disebut penggugat,  yang mengajukan gugatan terhadap pihak yang melanggar sebagai tergugat ke  pengadilan,  dengan  mengemukakan  alasan-alasannya  atau  peristiwa  yang  menjadi  sengketa  (posita)  dan  disertai  dengan  apa  yang  menjadi  tuntutan  pengguat (petitum).
 Agar tuntutan penggugat  dapat dikabulkan oleh pengadilan, maka pihak  penggugat  harus  membuktikan  peristiwa-peristiwa  yang  dikemukakan  dalam  gugatan,  kecuali  pihak  lawannya  (tergugat)  terus  terang  mengakui  kebenaran  peristiwa-peristiwa tersebut.  Pada Pasal  163H.I.R  yang berbunyi  “Barangsiapa yang  mengatakan  ia  mempunyai  hak,  atau  ia  menyebutkan  suatu  perbuatan  untuk  menguatkan  haknya  itu,  atau  untuk  membantah  hak  orang  lain,  maka  orang  itu  harus  membuktikan  adanya  hak  itu  atau  adanya  kejadian  itu” dijelaskan  bahwa  apabila  dalam  suatu  perkara  dalil-dalil  gugatan  penggugat  dibantah  oleh  tergugat,  maka  pihak  penggugat  wajib  membuktikan  dalildalilnya dan pihak tergugat wajib membuktikan bantahannya.
Pasal 164H.I.R menyebutkan bahwa  “maka yang disebut alat-alat bukti,  yaitu:  bukti  dengan  surat,  bukti  dengan  saksi,  persangkaan-persangkaan,  pengakuan,  sumpah  di  dalam  segala  hal  dengan  memperhatikan  aturan-aturan  yang ditetapkan dalam pasal-pasal yang berikut”  dan Pasal 1866KUHPdt yang   Gatot  Supramono,  Hukum  Acara  Pembuktian  di  Peradilan  Agama,  (Bandung  :  Penerbit  Alumni,  1993), 14.
 R. Soesilo.  RIB/HIR Dengan Penjelasannya, (Bogor: Politea, 1995), 121.
 berbunyi  “alat-alat  bukti  terdiri  atas:  bukti  tulisan,  bukti  dengan  saksi-saksi,  persangkaan-persangkaan, pengakuan, dan sumpah”.
Penulis  dalam  skripsi  ini  mencoba  membahas  lebih  dalam  tentang  alat  bukti yang berupa “keterangan  saksi  dalam  perkara cerai gugat” dalam hukum  acara persidangan di pengadilan.
Pada  dasarnya,  pembuktian  dengan saksi  baru  diperlukan  apabila  bukti  dengan surat atau tulisan tidak ada atau kurang lengkap untuk mendukung dan  menguatkan kebenaran dalil-dalil yang menjadi dasar pendirian masing-masing  pihak.
 Keterangan saksi  dapat dijadikan  sebagai alat  bukti yang sah menurut  hukum  sebagaimana  yang  disebutkan  dalam  Pasal  164 H.I.R  adalah  terbatas  pada peristiwa-peristiwa yang  dialami, dilihat atau didengar  sendiri  dan harus  pula disertai alasan-alasan bagaimana diketahuinya peristiwa yang diterangkan  oleh saksi-saksi tersebut.
 Kesaksian dalam hukum Islam mendapatkan prioritas utama yang sangat  menentukan  dalam  proses  hukum  yang  berlangsung.  Oleh  sebab  itulah  dalam  tinjauan  hukum  Islam  kesediaan  menjadi  saksi  dan  mengemukakan  kesaksian  suatu  peristiwa  hukumnya  adalah  fardlu  kifayah  dan  hukum  yang  mewajibkannya adalah sebagaimana firman Allah SWT dalam  surat al-Baqa>rah  ayat 283:  Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta:  Kencana, 2000), h.248.
 Ibid, 249.
Artinya:  “... dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan  barang  siapa  yang  menyembunyikannya,  maka  sesungguhnya  ia  adalah  orang  yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”  Petikan  ayat  di  atas  dapat  ditarik  kesimpulan  bahwa  kesaksian  hukumnya  wajib,  oleh  karena  itu  barang  siapa  menemui  peristiwa  yang  ia  saksikan  sendiri  dan  didasari  oleh  pikiran  dan  perasaannya,  maka  menyembunyikan  kesaksian  dapat  diibaratkan  memenjarakan  kesaksian  itu  dalam hatinya, yang demikian itu  dapat mengantarkan seseorang  berdusta dan  berdosa.
Persyaratan  persaksian  di  Pengadilan,  dalam  hukum  Islam  sangat  berpengaruh  pada  sah  dan  tidaknya  saksi  itu  untuk  diajukan  di  depan  pengadilan,  karena  dalam  hukum  Islam,  setiap  peristiwa  hukum  yang  disengketakan  dalam  masalah  perdata  atau  pidana  di  Pengadilan,  harus  menyertakan  alat  bukti  yang  dapat  dipercaya  dan  dipertanggung  jawabkan  kesaksiannya.  Oleh  karena  itu  syarat-syarat  sebagai  saksi  dalam  hukum  Islam  ditentukan  dengan  ketentuan-ketentuan  yang  disesuaikan  dengan  kasus  yang  dipersengketakan atau peristiwa hukum yang terjadi.
Ketentuan  yang  berhubungan  dengan  jumlah  saksi  (bilangan  saksi)  itu  sangat  berpengaruh  dan  menentukan  kekuatan  dan  legalitas  saksi  dalam  memberikan  keterangan  di  depan  pengadilan.  Oleh  karena  itu  diterima  atau   Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 50.
 tidaknya  suatu  kesaksian  saksi  dalam  proses  pemeriksaan  perkara  di  depan  pengadilan  juga  ditentukan  oleh  jumlah  saksi  yang  diajukan  oleh  pihak-pihak  yang bersengketa.
Keterangan  variasi  jumlah  saksi  dalam  hukum  Islam,  banyak  kita  temukan  dasar  hukum  yang  menyangkut  tentang  jumlah  saksi.  Saksi  itu  terkadang  dua  orang  saksi  laki-laki,  kadang  seorang  laki-laki  dua  orang  perempuan,  kadang-kadang  tiga  orang  saksi.
 Ketentuan  ini  didasarkan  pada  surat al-Baqa>rah ayat 282 yang berbunyi Artinya:  “...dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki  (diantara kamu), jika tidak ada dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang lakilaki dua orang perempuan.”  Dari  dasar  hukum  di  atas  jelas  bahwa  persyaratan  persaksian  yang  mencakup ketentuan-ketentuan tentang jumlah saksi yang dijadikan sebagai alat  pembuktian di depan pengadilan.
Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, saksi mempunyai persyaratanpersyaratan yang harus  dipenuhi, baik syarat-syarat  umum berupa  syarat yang  harus terwujud pada diri saksi dalam semua kasus, maupun syarat-syarat khusus  yang  mencakup  ketentuan  tentang  jumlah  dan  jenis  kelamin  saksi  dalam   Dr.  H. Roihan  A.  Rasyis,  S.H.,  M.A,  Hukum Acara  Peradilan  Agama  (Jakarta:  PT  Raja  Grafindo, 2007), 162.
 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 49.
 masalah-masalah atau perkara tertentu, berbeda antara satu kasus dengan kasus  lainnya.
Pasal  169R.I.B/H.I.R  menyebutkan  keterangan dari  seorang saksi  saja,  dengan  tidak  ada  suatu  alat  bukti  yang  lain,  di  dalam  hukum  tidak  dapat  dipercaya. Hal ini semua tidak berarti, bahwa keterangan seorang saksi itu tidak  berati  sama  sekali.  Kalau  menurut  pertimbangan  hakim  keterangan  seorang  saksi saja itu dapat dipercaya, maka secara dihubungkan bersama-sama dengan alat  bukti  lain yang sah, dapat  dijadikan bukti yang lengkap, artinya apabila di  samping penyaksian seorang saksi itu ada alat bukti yang lain, misalnya suatu  persangkaan  atau  sumpah  tambahan  maka  hakim  boleh  memperhatikan  keterangan  saksi  tunggal  itu.
 Ini  berarti  keterangan  seorang  saksi  diperbolehkan sesuai pertimbangan hakim, namun keterangan seorang saksi saja, tanpa suatu alat bukti yang lain di muka pengadilan tidak boleh dipercaya sesuai  Pasal 1904Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
 Penelitian  ini  penulis  meneliti  suatu  perkara  cerai  gugat  yang  ada  di  Pengadilan  Agama Situbondo.  Alasan  perceraian  yang  didalihkan  dalam  surat  gugatannya  pada pokoknya penggugat dan  tergugat  sering bertengkar, apalagi  antara  penggugat  dan  tergugat  sebagai  suami  isteri  terus  menerus  terjadi   R. Soesilo, RIB/HIR Dengan Penjelasan, 123-124.
 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,  429.
 perselisihan  dan  pertengkaran.  Namun,  surat  gugatan  dari  penggugat  ini  dibantah oleh pihak tergugat.
Pada  akhirnya  Pengadilan  Agama  Situbondo  mengkabulkan  gugatan penggugat,  meskipun  dalil  gugatan  penggugat  dibantah  oleh  tergugat.
Pengadilan  Agama  Situbondo  beralasan  bahwa  penggugat  tidak  perlu  harus  membuktikan  kebenaran  seluruh  dalil  permohonannya.  Hal  ini  menjadikan  tergugat  keberatan  dengan  keputusan  Pengadilan  Agama  Situbondo  dan  mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Agama Surabaya.
 Pasca pengajuan ke Pengadilan Tinggi  Agama Surabaya, yang kemudian  memeriksa  dan  mengadili  permohonan  banding  tersebut,  dalam  putusannya  Pengadilan  Tinggi  Agama  Surabaya  menerima  permohonan  banding  pembanding  dan  membatalkan  putusan  Pengadilan  Agama  Situbondo  dengan  alasan.  Majelis  hakim  Pengadilan  Tinggi  Agama  Surabaya  menyatakan  tidak  sependapat  dengan  pertimbangan  dan  alasan-alasan  Pengadilan  Agama  situbondo, terutama dalam hal perpecahan rumah tangga yang  ditandai dengan  perselisihan  dan  pertengkaran  yang  merujuk  Pasal  19 huruf  (f)  Peraturan  Pemerintah  Nomor  9 Tahun  1975  jo.  Pasal  116 huruf  (f)  Kompilasi  Hukum  Islam.  Alasan  berikutnya  bahwa  saksi  penggugat/terbanding  adalah  ibu  kandung/orang tua penggugat/terbanding yang menjadi saksi satu-satunya. Yang   Salinan Putusan nomor: 202/Pdt.G/2010/PA. Sit  terakhir  adalah  karena  unus  testis  nullus  testis,  sehingga  dalil-dalil  gugatan  penggugat/terbanding tidak terbukti.
 Beberapa keterangan di atas, kiranya jelas bahwa ada perbedaan persepsi  antara Pengadilan  Agama Situbondo dan  Pengadilan Tinggi Agama  Surabaya.
Pengadilan  Agama  Situbondo  hanya  melihat  ada  atau  tidaknya  unsur  perselisihan  dan  pertengkaran  antara  penggugat/terbanding  dan  tergugat/pembanding  dan  apakah  masih  memungkinkan  untuk  dirukunkan  kembali  atau  tidak.  Sedangkan  Pengadilan  Tinggi  Agama  Surabaya  lebih  mempertimbangkan  kebenaran  dalil  penggugat/terbanding  berdasarkan  pembuktian  (keterangan  seorang  saksi  dari  penggugat/terbanding  yaitu  ibu  kandungya  sendiri).  Apalagi  salah  satu  pihak  tidak  menginginkan  perceraian  dalam  hal  ini  adalah  tergugat/pembanding.  Dalam  skripsi  ini  penulis  lebih  memfokuskan  mengenai  keterangan  saksi  dalam  pembuktian  perkara  cerai  gugat.
Pemaparan  di  atas  timbul  suatu  permasalahan  apa  dasar  hukum  hakim  Pengadilan  Tinggi  Agama  Surabaya  dalam  pembatalan  putusan  nomor  340/Pdt.G/2010tentang keterangan  kesaksian dalam pembuktian  perkara cerai  gugat?  bagaimana  analisis  yuridis  terhadap  Pembatalan  putusan  Pengadilan  Tinggi  Agama  Surabaya  nomor  340/Pdt.G/2010 tentang  keterangan  kesaksian  dalam  pembuktian  perkara  cerai  gugat?  Beberapa  hal  inilah  yang  kemudian   Salinan Putusan nomor: 340/Pdt.G/2010/PTA.Sby   mendorong  penulis  untuk  mengkaji  dan  menganalisis  dalam  skripsi  yang  diformulasikan  dalam  sebuah  judul  ”Analisis  Yuridis  Terhadap  Pembatalan  Putusan  Pengadilan  Tinggi  Agama  Surabaya  Nomor  340/pdt.g/2010 Tentang  Keterangan Saksi dalam Pembuktian Perkara Cerai Gugat” 


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi