BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Islam merupakan
aturan yang sesuai
dengan fitrah diciptakannya manusia
dan sejalan dengan
kepentingan kehidupannya. Islam
memperhatikan moralitas manusia
memelihara kebersihan masyarakat, serta tidak mentoleransi timbulnya
materealisme yang mendorong
terjadinya kerusakan akhlak
dalam masyarakat .
Allah menciptakan
laki-laki dan perempuan
sehingga mereka dapat berhubungan
satu sama lain, sehingga mencintai menghasilkan keturunan serta hidup
dalam kedamaian sesuai
dengan perintah Allah
SWT dan petunjuk
dari Rasul-Nya. Sebagaimana
Allah berfirman dalam
Al-Qur’an surat ar-Rum
ayat 21: Artinya: Dan
di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
Musfir Aj-Jahrni, Poligami dari berbagai Persepsi, (Jakarta:Gema Insani
Press,1997), 66.
Tim Disbintalad, Al-Qur’an Terjemah Indonesia,
(Jakarta:Sari Agung, 1995), 796.
Secara
realita perkawinan adalah
bertemunya dua makhluk
lawan jenis yang mempunyai kepentingan dan pandangan hidup
yang sejalan. Sedang tujuan perkawinan
itu adalah agar manusia mempunyai kehidupan yang bahagia dunia akhirat,
atau dengan kata
lain perkawinan bertujuan
untuk mewujudkan kehidupan
rumah tangga yang
sakinah, mawadah warahmah.
Seiring dengan tujuan
tersebut, dapat diartikan
juga agar perkawinan
menjadi kekal abadi sehingga tidak
putus begitu saja.
Pondasi untuk membentuk
dan membina kelangsungan
keluarga demikian itu
adalah adanya ikatan
lahir batin antara seorang
suami dan seorang
isteri. Hukum mengharapkan
itu semua terwujud apabila dilaksanakan berdasarkan hukum yang
berlaku .
Menurut Undang-Undang
Nomor 1 tahun
1974 pasal 1,
perkawinan adalah “ikatan
lahir batin antara
seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami
isteri dengan tujuan
membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa” .
Dengan pasal ini dapat dilihat tujuan pernikahan
itu sendiri yaitu
untuk membentuk kelurga
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa . Rumusan
tersebut mengandung harapan
bahwa dengan melangsungkan
pernikahan akan diperoleh
suatu kebahagiaan, baik materiil
maupun spiritual.
Titik Triwulan dan Trianto, Poligami Perspektif Perikatan Nikah, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007), 5.
Department agama RI,
Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Dalam Lingkup Peradilan Agama, Undang-Undang Perkawinan, 131.
Asmin, Status Perkawinan Antara Agama,
(Jakarta: PT. Dian Rakyat, 1986), 20.
Sebagaimana dalam Undang - Undang Perkawinan
disebutkan pada pasal 2 ayat (2):
tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Sedangkan di
dalam kompilasi Hukum
Islam juga disebutkan, pada pasal 6 ayat (2): “perkawinan yang
dilakukan di luar pengawasan pegawai pencatat
nikah tidak mempunyai kekuatan hukum”. Kemudian pasal 7 ayat (1) menyatakan : “perkawinan hanya dapat
dibuktikan dengan akta nikah” .
Demikianlah untuk
melangsungkan perkawinan harus
dilaksanakan menurut tata
cara yang ditetapkan
oleh peraturan Perundang-undang yang berlaku. Apabila
tidak dilakukan demikian,
banyak orang yang
menyebut perkawinan itu
hanya di bawah
tangan atau perkawinan
sirri . Secara
agama perkawinan ini sah, akan
tetapi tidak mempunyai kekuatan hukum, karena tidak memiliki
bukti-bukti perkawinan yang
sah menurut peraturan
perundangundangan yang berlaku .
Satu hal,
jalur nikah sirri
telah menjadi pilihan
bagi mereka yang bermaksud untuk
beristeri lebih dari
satu orang (poligami).
Dari nikah sirri inilah kemudian
mereka lanjutkan kepada
permintaan untuk ditetapkan pernikahannya dengan melalui jalur itsbat
nikah poligami. Jalur ini mereka pilih Abdurrahman, Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia,
(Jakarta: Akademika Pressindo,
2001), 114.
Amir
Nuruddin Dan Azhari
Akmal Tarigan, Hukum
Perdata Islam Di
Indonesia, (Jakarta: Pernada Media, 2004), 124.
Jaih
Mubarok, Modernisasi Hukum
Perkawinan di Indonesia,
(Bandung: Pustaka Bani Quraisy),
87. dibandingkan
dengan melaksanakan prosedur
poligami menurut ketentuan Undang-Undang
Perkawinan. Oleh karena itu perlu
dipikirkan dan dikaji secara mendalam sebelum
dan atau dalam
menetapkan kebijakan penegakan
hukum dalam memberikan
alternatif penyelesaian permasalahan
kebutuhan dan kepastian hukum terhadap nikah siri melalui
Itsbat nikah poligami.
Banyak permasalahan
yang bisa muncul
dari adanya itsbat
nikah poligami, misalnya
mengenai status baru
bagi isteri maupun
anak hasil nikah sirri ataupun
isteri dan anak-anak
yang dinikahi secara
sah sebelumnya (isteri pertama). Maka
Pengadilan Agama dalam
mengambil keputusan terhadap permohonan
itsbat nikah poligami isteri
poligami yang diajukan ke Pengadilan Agama harus
menerima, memeriksa, menimbang,
memberi keputusan dalam menyelesaikan perkara
yang diajukannya dengan
pertimbangan yang matang dan kajian mendalam, Pengadilan Agama harus
banyak belajar dari kasus-kasus yang
telah ada, sesuai fakta kejadian dan demi keadilan dimasyarakat.
Pada buku
PTA (Pedoman Tehnis
Administrasi) dan TPA
(Tehnis Peradilan Agama) 2008, bahwa Pekawinan yang tidak
dicatatkan oleh Pegawai Pencatat Nikah
(PPN) berindikasikan penyelundupan
hukum untuk mempermudah
poligami tanpa prosedur
hukum, dan manjadi
masalah dalam status,
hak-hak waris atau
hak-hak lain atas
kebendaan. Maka Pengadilan Agama
harus lebih bijak
dalam memeriksa dan
memutus permohonan Itsbat nikah
poligami, ini dengan
tujuan agar proses
Itsbat nikah poligami
tidak dijadikan sebagai alat
untuk melegalkan perbuatan penyelundupan hukum.
Adanya Itsbat nikah poligami
adalah bagai pisau bermata dua, disatu sisi adanya
itsbat nikah poligami
adalah untuk membantu
masyarakat dalam menyelesaikan
permasalahan nikah sirinya,
akan tetapi disisi
lain juga berpeluang
untuk membuka berkembangnya
praktek nikah siri,
karena seolaholah nikah
siri bisa disepelekan,
yang apabila butuh
dan ingin tinggal mensahkan
perkawinannya ke Pengadilan
Agama dengan mengajukan Permohonan
Itsbat nikah poligami, akhirnya
status pernikahannya pun menjadi sah dimata
Negara. Maka bagi
para hakim akan
menjadi pekerjaan rumah tersendiri, apakah
dengan mengitsbatkan Nikah
tersebut akan membawa
lebih banyak kebaikan atau justru
mendatangkan madharat bagi semua pihak
dalam keluarga tersebut .
Pernikahan seperti
ini kurang memberikan
perlindungan hukum, khususnya
kalau Peneliti mangacu terhadap pasal 49
ayat (2) pasal 50 dan pasal 51 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia (HAM) khususnya
yang terkait dengan
kedudukan perempuan dalam profesinya,
sebagai fungsi reproduksi,
kepemilikan dan pengelolaan
harta dan seterusnya. Di samping itu bilamana terjadi
tindak kekerasan, maka dalam nikah Department
agama RI, Undang-Undang Perkawinan, 131.
siri juga rentan terjadi hal yang kontradiktif
dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 23
tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Munculnya status baru bagi
isteri maupun anak hasil nikah
sirri dengan adanya itsbat nikah poligami akan menjadi persoalan tersendiri bagi yang
lain (isteri dan anak-anak yang dinikahi
secara sah, isteri atau anak-anak suami yang berpoligami.
Oleh karena itu
dalam mengambil sikap
terhadap permohonan itsbat
nikah poligami isteri
poligami yang diajukan
ke Pengadilan Agama, Pengadilan
Agama tersebut akan
menerima, memeriksa dan
mengadili serta menyelesaikan
perkara yang diajukannya
dengan pertimbangan dan
kajian mendalam kasus
perkasus, sesuai fakta
kejadian dan demi
keadilan di masyarakat.
Tampaknya jalur
nikah sirri akan
menjadi pilihan bagi
mereka yang bermaksud beristeri lebih dari satu orang melalui cara pengesahan
Nikah (itsbat nikah poligami),
dibandingkan dengan prosedur
poligami menurut ketentuan Undang-Undang Perkawinan. Oleh karena itu
perlu dipikirkan dan dikaji secara mendalam sebelum
dan atau dalam
menetapkan kebijakan penegakan
hukum dalam memberikan
alternative penyelesaian permasalahan
kebutuhan dan kepastian
hukum terhadap Nikah
Sirri melalui Itsbat
nikah poligami. Dalam upaya untuk
menghindari tumbuhnya kecenderungan
jatuhnya pada pilihan pengajuan itsbat nikah poligami yang menjurus
pada poligami tersebut.
Dari
fenomena di atas
peneliti berkeinginan meneliti
permasalahan tersebut yang ada di
kota Mojokerto dengan judul ”Itsbat Nikah Poligami dalam Perspektif
Perlindungan Hak Perempuan
dan Hak Anak
(Studi Kasus Putusan Itsbat
Nikah Poligami Pengadilan
Agama Mojokerto Nomor 0370/Pdt.G/2012/PA.Mr.)”.
B. Identifikasi Masalah Sesuai dengan
latar belakang masalah
yang telah dikemukakan sebelumnya, maka penulis mengidentifikasi
permasalahan sebagai berikut: 1. Hal-hal
yang melatarbelakangi itsbat nikah poligami 2.
Peran hukum dalam itsbat nikah poligami 3. Pertimbangan
hukum yang dipakai
hakim dalam memutus
perkara itsbat nikah poligami 4.
Implikasi itsbat nikah poligami terhadap perempuan dan anak C.
Batasan Masalah Selanjutnya
dari beberapa masalah
yang telah berhasil
diidentifikasi, maka penulis
membatasi permasalahan pada: 1.
Dasar pertimbangan Hakim
dalam memutuskankan itsbat
nikah poligami perkara Nomor :
0370/Pdt.G/2012/PA.Mr.
2. Implikasi
putusan itsbat nikah
poligami terhadap perlindungan
Hak Perempuan dan Hak Anak.
D.
Rumusan Masalah Berdasarkan
latar belakang dan
kenyataan di atas,
maka pokok permasalahan
yang dibahas dalam
penelitian ini dapat
dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana
dasar pertimbangan Hakim
dalam memutuskan itsbat
poligami perkara Nomor :
0370/Pdt.G/2012/PA.Mr.? 2.
Bagaimana implikasi putusan
itsbat nikah poligami
terhadap perlindungan hak Perempuan dan hak Anak?
E. Kajian Pustaka Penelitian yang
membahas mengenai masalah
itsbat nikah poligami maupun poligami
sudah banyak yang
membahas dari berbagai
aneka sudut pandang. Penelitian-penelitian tersebut adalah
sebagai berikut: 1. Karya skripsi
yang ditulis oleh
Mas’ud dengan judul
“Studi analisis terhadap
kasus itsbat nikah
poligami karena izin
poligami : studi
kasus perkara Nomor
302/pdt.G/2005/PA Mlg”.
Dalam
karya tulis ini
penulis menjelaskan, bahwa
Pengadilan Agama Malang
mengkatagorikan Itsbat nikah poligami
dalam perkara Contentius itu tidak
relevan, maka putusan tersebut
tersebut seharusnya diputus
secara volenteir. Sedangkan
Dasar hukum yang
digunakan hakim dalam
menetapkan kasus Itsbat
nikah Mas’ud, Studi Analisis Terhadap Kasus Itsbat Nikah Poligami Karena Izin Poligami : Studi Kasus Perkara Nomor 302/Pdt.G/2005/PA Mlg,
Skripsi pada Jurusan Ahwalus
Syakhsiyyah, Fakultas IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2005.
poligami
Karena Poligami: Pertama,
Perkawinan yang memenuhi persyaratan
menurut ketentuan hukum
islam yakni dengan
adanya calon mempelai
laki-laki dan mempelai
perempuan, wali dari
calon mempelai perempuan,
dua orang saksi
dan ijab qabul
berdasarkan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang tahun
1974. Kedua, bahwa
di dalam perkawinan
yang dilakukan secara siri sehingga
melahirkan seorang anak, untuk mendapatkan kepastian,
kekuatan hukum yang
jelas, yang menjadi
salah satu aspek
di kabulkannya permohonan istbat.
2. Karya skripsi yang ditulis oleh Siti Fatimah dengan judul
“Status anak dari perkawinan akibat
penolakan itsbat nikah
poligami menurut UNDANGUNDANG
perkawinan Nomor 1
tahun 1974 :
studi kasus Pengadilan Agama
Malang”.
Dalam
karya ilmiah disini
anak membutuhkan status yang jelas di mata hukum maka upaya hukum yang
harus ditempuh orang tua yaitu
dengan melaksanakan Akad
nikah baru (Perkawinan
yang sah) baik itu menurut hukum
Islam maupun menurut hukum positif setelah itu dapat
dilakukannya adopsi ini
dilakukan semata-mata untuk
meneruskan keturunan dan arena permohonan itsbatnya ditolak oleh
Pengadilan Agama, maka dapat mengajukan
kasasi ke Mahkamah Agung.
Siti Fatimah, Status Anak dari Perkawinan
Akibat Penolakan Itsbat Nikah
Poligami Menurut Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1
Tahun 1974 :
Studi Kasus PA
Mlg, Skripsi pada
Jurusan Ahwalus Syakhsiyyah,
Fakultas IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2005.
3.
Karya skripsi yang
ditulis oleh L.
Qodri Shiddiq dengan
judul “Proses pelaksanaan
itsbat nikah poligami
di Pengadilan Agama
Sumenep” membahas tentang
faktor-faktor penetapan itsbat
nikah poligami adalah kelalaian
petugas pencatat nikah
kecamatan, petugas KUA,
modin berjumlah 284,
perkawinan dibawah tangan
berjumlah 241, perkawinan diserahkan
kepada kepala desa
berjumlah 441, perkawinan
sebelum Undang-Undang Nomor
1 tahun 1974
yang berjumlah 231
buah perkara.
Pelaksanaan itsbat nikah
poligami di Pengadilan Agama Sumenep
meliputi 4 tahapan
yaitu: pengajuan permohonan,
pemeriksaan, pembuktian dan penetapan
itsbat nikah poligami semua prosesi
tersebut telah sesuai dengan hukum acara
perdata. Selain itu dari aspek hukum acara islam pelaksanaan ini
pun tidak bertentangan
bahkan hakim dalam
menetapkan putusannya senantiasa
berdasar pada hukum
syar’i. Para hakim
senantiasa berijtihad dalam
memutuskan perkara yang
tidak diatur dalam
perundang-undangan positif yaitu
dengan menggali hukum-hukum Islam
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi