Jumat, 04 Juli 2014

Skripsi Syariah:ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP HIBAH OLEH PEWARIS PADA SAAT SAKIT YANG DISETUJUI OLEH SEBAGIAN AHLI WARIS (STUDI KASUS DI DESA PEGIRIAN KECAMATAN SEMAMPIR SURABAYA)


BAB I  PENDAHULUAN  
A. Latar Belakang  Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah SWT untuk  kepentingan, keselamatan kebahagiaan dan kesejahteraan umat manusia lahir  dan batin. Oleh karena itu Islam sanggup mengantar dan memberikan  keselamatan secara utuh, memiliki ajaran yang sangat lengkap mencakup  segala aspek kehidupan termasuk didalamnya masalah hibah. Karena hibah  atau pemberian merupakan bentuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah  SWT. Dalam rangka mempersempit kesenjangan sosial serta menumbuhkan  kesetiakawanan dan kepedulian sosial.
Hibah, shadaqah dan hadiah dilihat dari aspek vertical (hubungan  manusia dengan Tuhan) mempunyai dimensi taqarrub, artinya ia dapat  meningkatkan keimanan dan ketaqwaan seseorang, semakin kuat dan  memperkokoh keimanan dan ketaqwaan.
  Menurut tuntunan Islam hibah  merupakan perbuatan baik, oleh sebab itu pelaksanaan hibah seyogyanya  dilandasi rasa kasih sayang, bertujuan baik dan benar. Disamping itu barangbarang yang dihibahkan adalah barang yang halal dan setelah hibah diterima    Chuzaimah T. Yanggo, A. Hafiz Anshary, Problematika Hukum Islam III, (Jakarta: LSIK,,  1995), 81.

1    oleh penerima hibah tidak dikhawatirkanmenimbulkan malapetaka baik bagi  pemberi maupun penerima hibah.
  Dilihat dari sudut hibah juga mempunyai aspek horizontal (hubungan  antara manusia dan lingkungannya) yaitu dapat berfungsi sebagai upaya  mengurangi kesenjangan antara si kaya dan si miskin serta menghilangkan  kecemburuan sosial. Oleh sebab itu syariat Islam pada hakikatnya membawa  ajaran yang bukan hanya mengenai satu segi, tetapi mengenai berbagai segi  kehidupan manusia.
  Allah SWT telah mensyari’atkan hibah, karena hibah juga bisa  menjinakkan hati dan meneguhkan kecintaan diantara manusia sebagaimana  sabda Rasul.
 ( Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a bahwa Rasulullah bersabdah : saling  memberi hadiahlah kamu sekalian, niscaya kamu akan saling mencintai”  (HR. al-Bukha>ri).
  Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992), 372.
  Suparman Usman, Hukum Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), 17.
  al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Beirut: Da>r  al-Fikr, 2000), 333.
  Islam mengajarkan agar manusia hidup dalam bermasyarakat  dianjurkan untuk memberikan sebagian dari hartanya sebagai bagian dari  amalan ibadah, sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah
Artinya:  “Dan berikanlah harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anakanak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan  orang-orang yang meminta-minta. (QS. al-Baqarah: 177).
  Selain itu Allah jugaberfirman dalam surat al-Ma>idah ayat 2  menganjurkan kepada manusia untuk saling tolong menolong dalam hal  kebaikan dan taqwa, serta melarang tolong menolong dalam hal perbuatan  dosa dan permusuhan.
  Artinya:  “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan  dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
  Departemen Agama, al-Qur’an al-Kar>im dan Terjemahnya,(Semarang: PT. Karya Toha  Putra, 1996), 43.
  Ibid., 156.
  dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksaNya. (QS. al-Ma>idah ayat 2) Hibah berbeda dengan pemberian biasa, sebab hibah mempunyai arti  yang lebih sempit yaitu pemberian atashak milik penuh dari objek tertentu  tanpa penggantian kerugian apapun. Hibah bisa juga terjadi khiyar dan  syuf’ah. Dan disyaratkan agar imbalan itu diketahui. Bila tidak, maka hibah  itu batal. Hibah mutlak tidak menghendaki imbalan, baik yang semisal, atau  yang lebih rendah, atau yang lebih tinggi darinya.
Pengertian secara luas, hibah mempunyai beberapa pengertian atau  istilah yang meliputi:   1.  Al-Ibraa’  :  Menghibahkan hutang kepada orang yang berhutang.
2.  Al-Sadaqah  :  Pemberian harta kepada orang lai tanpa mengganti  dan hal ini dilakukan semata ingin memperoleh  ganjaran (pahala) dari Allah SWT..
3.  Al-Hadiyah  :  Pemberian dimana si penerima merasa terikat untuk  membalasnya.
4.  Al-‘Athiyyah  :  Hibah ketika sakit membawa kematian.
Sedangkan dalam syara’, hibah berarti akad yang pokok persoalannya  pemberian harta milik seseorang kepada orang lain diwaktu masih hidup  tanpa adanya imbalan. Apabila seseorang memberikan hartanya kepada orang    Abdul Rahman Ghazaly, dkk, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana, 2010), 159.
  lain untuk di manfaatkan tetapi tidak diberikan kepadanya hak kepemilikan,  maka hal itu disebut Ijarah (pinjaman).
  Demikian pula apabila seseorang memberikan apa yang bukan harta,  seperti khamr atau bangkai, hal seperti ini tidak layak untuk dijadikan  sebagai hadiah dan pemberian seperti itu bukanlah hadiah. Apabila hak  kepemilikan itu belum terselenggara diwaktu pemberinya masih hidup, akan  tetapi diberikan sesudah mati maka itu adalah wasiat. Apabila pemberian itu  disertai dengan imbalan, maka itu adalah penjualan dan kepadanya berlaku  hukum jual beli. Yakni bahwa hibah itu dimiliki semata-mata hanya setelah  terjadinya akad, sesudah itu tidak dilaksankan tasharruf penghibah kecuali  atas izin dari orang yang diberi hibah.
  Pada Kompilasi Hukum Islam Buku II Pasal 213 tentang hibah  menyatakan bahwa hibah yang diberikan pada saat pemberi hibah dalam  keadaan sakit yang dekat dengan  kematian, maka harus mendapat  persetujuan ahli warisnya.
   Dengan berjalannya waktu pada zaman sekarang  banyak terjadi masalah-masalah yang timbul dari suatu hibah, salah satunya  adalah masalah hibah pada saat sakit yang disetujui oleh sebagian ahli waris  yang ada di Desa Pegirian Kecamatan Semampir Surabaya.
  Abdul Rahman Ghazaly, dkk, Fiqh Muamalat, 158.
  Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 14, (Bandung: al-Ma’arif, 1996), 167.
   Kompilasi Hukum Islam, (Surabaya: Arkola, tth), 251.
  Peristiwa ini berawal dari H. Slamet yang mempunyai usaha kayu  glondongan di Desa Pegirian Kecamatan Semampir Surabaya. Pada saat itu  H. Slamet memperkerjakan 8 pekerja dan termasuk salah satunya ialah  Khotib yang tidak lain adalah tetanggadari H. Slamet. Di samping sebagai  pekerja dan tetangga dari H. Slamet, Khotib juga menjadi orang kepercayaan  H. Slamet.
   Kemudian H. Slamet membeli sepasang ayam serama seharga ± Rp.
2.000.000,- dan sepasang ayam kate seharga±Rp. 300.000,- sekaligus untuk  memenuhi permintaan sang buah hatinya yang bernama Saddam Husain saat  itu berumur 5 tahun yang meminta dibelikan ayam-ayam tersebut untuk  dipelihara di samping gudang kayunya.
Beberapa bulan kemudian akhirnya ayam serama dan ayam katenya  tidak pernah dirawat oleh H. Slamet sebagai mana mestinya, lantaran sang  buah hatinya yaitu Saddam Husain mulai bosan. Berselang waktu kemudian  perawatan serta pemeliharaan ayam serama dan ayam kate tersebut oleh H.
Slamet dipasrahkan kepada Khotib sebagai kulinya H. Slamet, jika Khotib  tidak ada maka pemeliharaan ayamnya terkadang dirawat oleh anaknya H.
Slamet yang bernama Amiruddin. Untuk pemiliharaan ayam serama dan  ayam kate berbeda dengan ayam-ayam pada umumnya, sebab ayam serama     M. Said dan Fauzi, Wawancara, Pegirian 14 Juni 2013.
   Amiruddin, Wawancara, Pegirian 14 Juni 2013.
  dan ayam kate termasuk jenis ayam hias. Dalam pemeliharaan tersebut  membutuhkan perawatan yang khusus, seperti sangkar, makanan dan  kebersihannya.
   Berdasarkan pemeliharaan harga jual ayam serama dan ayam kate  tidak sedikit orang yang ingin memelihara dan mengembangbiakkan ayam  serama dan ayam kate termasuk keluargadari H. Slamet. Sesaat setelah 1  tahun lamanya maka ayam serama dan ayam katenya berkembangbiak  menjadi 2 pasangan ayam serama dan 3 pasangan ayam kate.
   Kemudian pada saat itu juga H. Slamet menderita penyakit Diabetes  dan Liver yang dalam bahasa kedokterannya disebut KomplikasNurul Abit  Darmawan, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Hibah Seluruh Harta Kepada Anak  Angkat di Desa Jogoloyo Kecamatan Sumobito Kabupaten Jombang(Skripsi  Syariah Jurusan Ahwal As Syakhsiyah, 2013i. Pada umumnya orang yang  menderita penyakit komplikasi tersebut, kemungkinan untuk bisa bertahan  hidup relatif kecil meskipun hidup dan mati tetap berada ditangan Allah  SWT.
Lalu H. Slamet berniat untuk menghibahkan peliharaan ayam serama  dan ayam katenya kepada Khotib, karena melihat kondisi H. Slamet yang  semakin parah sehingga H. Slamet tidak bisa menjalani usaha kayunya secara  maksimal. Menanggapi dari keinginan H. Slamet untuk menghibahkan ayam     Ibid.,     Ibid.,    serama dan ayam kate yang dipeliharanya, maka H. Slamet menghibahkan  ayam kate dan ayam seramanya kepada Khotib pada saat opname di RS. AlIrsyad Surabaya. Dalam penghibahan tersebut tanpa adanya saksi dan tidak  diketahui oleh ahli waris H. Slamet. Proses penghibahan tersebut, hanya ada  kedua belah pihak saja yakni H. Slamet sebagai pemberi hibah dan Khotib  orang yang menerima hibah.
   Setelah proses penghibahan selesai, kemudian Khotib bermusyawarah  dengan keluarga, dalam hal ini istri H. Slamet yang bernama Hj. Khodijah  dan sepupu H. Slamet yang bernama Romli. Pada musyawarah tersebut telah  mencapai mufakat bahwa ayam serama dan ayam katenya dihibahkan kepada  Khotib meskipun tanpa ada sepengetahuan dan persetujuan ahli waris yang  lainnya.
   Kemudian berselang waktu 2 hari H. Slamet meninggal dunia akibat  penyakit yang dideritanya di RS. Al-Irsyad Surabaya. Mendengar berita  demikian anak sulungnya H. Slamet yang bernama Amiruddin pulang  kerumah setelah mengikuti pertandingan kompetisi sepakbola sampai selesai  yang diadakan di daerah pulau Bawean, kemudian sang ibunya mengatakan  kepada Amiruddin, bahwa ayam serama dan ayam kate beserta sangkarnya  telah dihibahkan oleh ayahnya kepadaKhotib, mendengar berita demikian     Khotib, Wawancara, Pegirian 14 Juni 2013.
   Romli, Wawancara, Pegirian 15 Juni 2013.
  akhirnya Amiruddin tidak menyetujuinya dengan apa yang telah dihibahkan  oleh ayahnya tersebut dengan alasan bahwa ayam serama dan ayam kate  beserta sangkarnya berharga relatif mahal.
   Dari uraian peristiwa di atas, timbul permasalahan, ketika proses  penghibahan tidak dihadiri oleh saksi dan sebagian ahli waris, maka hal ini  berseberangan dengan ketentuan yang terformulasi dalam Kompilasi Hukum  Islam yang tertuang dalam Pasal 213 yang menyatakan : Hibah yang  diberikan pada saat pemberi hibah dalam keadaan sakit yang dekat dengan  kematian, maka harus mendapat persetujuan dari ahli warisnya.
Dalam peristiwa di atas sebagian dari ahli waris tidak setuju dengan  proses penghibahan tersebut. Berangkat dari permasalahan di atas, maka  penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan membahasnya dalam skripsi  dengan judul :  “Analisis Hukum Islam Terhadap Hibah Oleh Pewaris pada Saat  Sakit yang Disetujui Oleh Sebagian Ahli Waris” (Studi Kasus di Desa  Pegirian Kecamatan Semampir Surabaya).


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi