BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Allah SWT
telah menciptakan makhluk
hidup itu berpasang-pasangan yaitu jantan dan
betina, laki-laki dan
perempuan. Tetapi manusia
tidak sama dalam
hal menyalurkan insting
seksualnya dengan makhluk
lainnya, yang bebas
mengikuti nalurinya tanpa aturan.
Untuk menjaga kehormatan dan mertabat manusia maka Allah memberikan
jalan yang terhormat
berdasarkan kerelaan dalam
suatu ikatan yang disebut dengan
pernikahan atau perkawinan.
Pernikahan inilah yang
diridhoi Allah dan
diabadikan dalam Islam
untuk selamanya.
Perkawinan
merupakan suatu perbuatan
yang diperintahkan oleh
Allah kepada ummat
manusia, perintah tersebut dijelaskan dalam firman-Nya surat an-Nu>r
ayat 32: “Dan kawinkanlah
orang-orang yang sedirian diantara kamu,
dan orang-orang yang layak
(berkawin) dari hamba-hamba
sahayamu yang lelaki
dan hamba-hamba sahayamu
yang perempuan. jika
mereka miskin Allah
akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas
(pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.” Slamet
Abidin dan H Aminuddin, Fiqih Munakahat 1, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), Departemen
Agama RI, al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Bandung:
Jumanatul „Ali-Art, 2005), 1
Perkawinan menurut Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 ialah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.
Sedangkan
dalam pengertian populernya perkawinan
adalah akad yang
memberikan faedah hukum
kebolehan mengadakan hubungan antara pria dan wanita dengan
pemenuhan kewajiban masing-masing.
Sebagai ummat
Islam, perkawinan haruslah
dilaksanakan dengan memenuhi seluruh
rukun dan syarat
yang sudah ditentukan.
Perkawinan yang tidak
dapat memenuhi syarat
dan rukunya menjadikan
perkawinan tersebut tidak
sah menurut hukum.
Prinsip-prinsip perkawinan
merurut hukum Islam
dan peraturan perundangundangan tentang
perkawinan yang berlaku
di Indonesia terdir i
dari beberapa asas, diantaranya asas
kesukarelaan, asas persetujuan,
dan asas kebebasan
memilih pasangan. Di dalam asas
kebebasan memilih pasangan mengandung
arti bahwa setiap orang berhak untuk
memilih pasangan menentukan bahwa setiap orang berhak untuk memilih pasangan
perkawinannya secara bebas
asalkan sesuai syariat
Islam , yaitu tidak melanggar ketentuan perkawinan menurut
hukum Islam .
Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan
Pasal 1, (Tangerang Selatan: SL Media,t.t), H.M.A.
Tihami dan Sohari
Sahrani, Fikih Munakahat,
Kajian Fikih Nikah
Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), Soemiyati,
Hukum Perkawinan Islam
dan UUP (UU
No. 1/1974), cet.
6 (Yogyakarta: Liberty, 2007), 5-6 Perkawinan
menurut hukum adat tidak hanya semata-mata berarti suatu ikatan antara
seorang pria dan
wanita sebagai suami
istri untuk maksud
mendapatkan keturunan dan membangun serta membina kehidupan keluarga
rumah tangga, tetapi juga berarti suatu
hubungan yang menyangkut para
anggota keluarga pihak laki-laki dan
keluarga pihak perempuan.
Terjadinya perkawinan, berarti
berlakunya ikatan kekerabatan
untuk saling membantu
dan menunjang hubungan
kekerabatan yang rukun dan damai.
Indonesia
merupakan negara yang terdiri dari bermacam-macam suku
bangsa, tiap suku
bangsa mempunyai sistem
perkawinan adat yang
berbeda. Sistem perkawinan menurut hukum adat tersebut ada
tiga, pertama endogami, dalam sistem ini orang hanya diperbolehkan kawin dengan
seorang dari suku keluarganya sendiri.
Kedua exogami, dalam sistem ini
orang diharuskan kawin dengan orang di luar suku keluarganya.
Ketiga eleutherogami, sistem ini tidak mengenal larangan-larangan atau keharusan-keharusan seperti
halnya dalam sistem
endogami ataupun exogami, larangan-larangan yang
terdapat dalam sistem
ini adalah larangan-larangan yang bertalian dengan
ikatan kekeluargaan.
Dari
ketiga sistem perkawinan
tersebut, masyarakat kenagarian
Sipangkur menganut sistem eksogami. Masyarakat kenagarian Sipangkur mewajibkan
atau mengharuskan kawin
dengan orang di
luar suku keluarganya.
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat,
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990), Surojo
Wignjodipuro, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: CV Haji Masagung, 1992), 132 Wilayah pemerintahan kenagarian
Sipangkur terdiri dari beberapa
suku antara lain, suku Melayu dikepalai
oleh seorang Ninik Mamak atau Kepala Kaum bergelar Datuk
Penghulu Mudo, suku
Saligandi dikepalai oleh
seorang Ninik Mamak
atau Kepala Kaum bergelar
Datuk Paduko Rajo, suku Mandahiling
dikepalai oleh seorang Ninik Mamak atau
Kepala Kaum bergelar Datuk Marajo, suku Kaluai dikepalai oleh seorang Ninik Mamak atau Kepala Kaum bergelar
Datuk Rajo Penghulu. Suku -suku tersebut diatas
berasal atau pecahan
suku tert ua di
Alam Minangkabau yaitu
Bodi, Caniago, Koto, Piliang.
Memang dalam satu Nagari
haruslah ada empat buah suku menurut peraturan
di dalam tata
negara Minangkabau seperti
disebutkan di dalam kata adat;
Nagari bakaampek suku,
Ampek suku nan
sekoto, (Nagari berkeempat suku, empat suku yang sekoto).
Diberlakukanya
kewajiban menikah eksogami
dalam adat Minangkabau khususnya
dalam wilayah kenagarian
Sipangkur dan pada
umumnya di Alam Minangkabau sesuai
dengan adat istiadat
yang telah disepakati
oleh Sesepuh Adat (Ninik
Mamak) secara bersama dalam musyawarah
adat setempat dan juga legendalegenda yang sampai sekarang masih sangat
dipercayai oleh masyarakat minang.
Sampai
sekarang peraturan adat
terkait kewajiban menikah
eksogami tetap dipegang
teguh oleh masyarakat
Minangkabau di Nagari
Sipangkur, karena jika Surat
Keterangan Wali Nagari Sipangkur Nomor: 471/15/Ket/NSP-2012 Cahirul
Anwar, Hukum Adat
Indonesia Meninjau Hukum
Adat Minangkabau, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), M.
Rasyid Datuk Paduko
Rajo dari Suku
Saligandi, Wawancara, Sipangkur
30 Oktober 2012 aturan ini
dilanggar maka meraka
akan mendapat hukuman.
Hukuman yang dijatuhkan
masyarakat adat dan agama, walau
tak pernah diundangkan sangat berat dan
kadangkala jauh lebih
berat dari pada
hukuman yang dijatuhkan
Pengadilan Agama maupun
Pengadilan Negara. Hukuman
itu tidak kentara
dalam bentuk pengucilan dan pengasingan dari pergaulan
masyarakat Minang.
Agama
Islam merupakan agama
mayoritas di Minangkabau,
sebagaimana pepatah mereka,
Adat basandi syarak,
Syarak basandi Kitabullah.
Maksudnya, sumber dasar
dari adat ialah
hukum Islam, hukum
Islam sumber dasarnya
alQur‟an.
Di dalam Islam
sendiri tentunya tidak dijumpai adanya kewajiban menikah secara
eksogami sebagaimana yang
terjadi di dalam
masyarakat Nagari Sipangkur.
Namun ada
ketentuan dalam adat Minangkabau khususnya
di wilayah kenagarian Sipangkur yang
memberikan syarat-syarat perkawinan
selain syarat-syarat yang terdapat
dalam hukum Islam . Syarat -syarat itu antara lain: a.
Kedua calon mempelai harus beragama Islam .
b. Kedua calon mempelai
tidak sedarah atau
tidak berasal dari
suku yang sama, kecuali
pesukuan itu berasal dari Nagari atau luhak yang lain.
c. Kedua calon mempelai dapat saling menghormati
dan menghargai orang tua dan keluarga
kedua belah pihak.
Ibid A.
A. Navis, Alam Terkembang Jadi Guru, (Jakarta: Pustaka Grafitipers, 1986), M.
Rasyid Datuk Paduko
Rajo dari Suku
Saligandi, Wawancara, Sipangkur
30 Oktober 2012 d. Calon
suami (marapulai) harus
sudah mempunyai sumber penghasilan
untuk dapat menjamin kehidupan
keluarganya.
Perkawinan yang
dilakukan tanpa memenuhi
semua syarat diatas
dianggap perkawinan sumbang,
atau perkawinan yang
tidak memenuhi syarat
menurut adat Minang.
Yang membuat
sedikit perbedaan dengan
syarat perkawinan dalam
hukum Islam bahwa dalam adat Minang itu kedua calon
mempelai harus tidak sedarah atau tidak berasal
dari suku yang
sama, kecuali pesukuan
itu berasal dari
Nagari atau luhak yang lain dalam arti lain, ketentuan ini
mensyaratkan menikah secara eksogami.
Dan ini
tentunya harus dikaji
lebih lanjut karena
Islam tidak menghendaki
adanya pemaksaan dalam
perkawinan dan perkawinan
itu harus berdasarkan
atas asas kesukarelaan.
Selain
itu, aturan menikah
eksogami ini menyebabkan
semakin kecil kesempatan untuk memilih pasangan. Hal ini berakibat makin lama, makin sulit
bagi muda-mudi mencari
pasangan dalam lingkungan
masyarakatnya sendiri. Dan tentunya aturan
ini bertentangan dengan
asas kebebasan memilih
pasangan dalam agama
Islam . Akibatnya banyak yang
kawin ke luar Nagari, bahkan sudah ada
yang sampai ke luar negeri.
Namun demikian,
tradisi kewajiban menikah
eksogami pada masyarakat Sipangkur
yang mayoritas beragama
Islam bertentangan dengan
agama Islam atau Soemiyati,
Hukum Perkawinan Islam dan UUP (UU No. 1/1974), 5-6 tidak,
perlu dilakukan penelitian
lebih lanjut. Adapun
faktor pemilihan Nagari Sipangkur dijadikan
lokasi penelitian diantaranya:
Pertama, di Sipangkur
masih banyak terdapat
ulama, penghulu adat,
dan pemuka-pemuka adat
yang ahli dalam bidang
adat tersebut. Kedua, masyarakat Sipangkur masih patuh dalam menjalankan adat,
dalam artian setiap
pihak yang akan
menikah masih diperhitungkan apakah mereka sesuku atau tidak.
Berdasarkan latar
belakang masalah tersebut,
penyusun tertarik untuk membahas lebih
lanjut dalam skripsi
yang berjudul “Tinjauan
Hukum Islam Terhadap Kewajiban
Menikah Eksogami Dalam Adat Minangkabau Di
Nagari Sipangkur Kecamatan Tiumang Kabupaten Dharmasraya Sumatera Barat”.
B. Identifikasi Dan Batasan Masalah Berdasarkan latar
belakang yang telah
penulis paparkan di
atas, maka dapat ditulis
identifikasi masalah sebagai berikut: 1.
Perkawinan dalam hukum Islam 2.
Rukun dan syarat perkawinan dalam hukum Islam 3. Prinsip-prinsip perkawinan dalam hukum Islam 4. Kewajiban menikah dalam hukum Islam 5. Perkawinan dalam adat Minangkabau 6. Syarat-syarat perkawinan dalam adat
Minangkabau 7. Sistem perkawinan adat
Minangkabau 8. Kewajiban menikah
eksogami dalam adat Minangkabau 9. Faktor-faktor yang melatar belakangi tradisi
kewajiban menikah eksogami dalam adat
Minangkabau 10. Kewajiban menikah
eksogami di Nagari Sipangkur 11.
Sanksi adat terhadap
pelanggaran kewajiban menikah
eksogami dalam adat Minangkabau
di Nagari Sipangkur Melihat luasnya pembahasan
mengenai kewajiban menikah
eksogami dalam identifikasi masalah di atas, maka penulis
membatasi masalah dalam pembahasan ini, dengan:
1. Sebab
diwajibkannya menikah eksogami
dalam Adat Minangkabau
Di Nagari Sipangkur Kecamatan
Tiumang Kabupaten Dharmasraya Sumatera Barat 2.
Ketentuan kewajiban menikah
eksogami dalam Adat
Minangkabau Di Nagari Sipangkur Kecamatan Tiumang Kabupaten
Dharmasraya Sumatera Barat 3.
Tinjauan hukum Islam
terhadap kewajiban menikah
eksogami dalam Adat Minangkabau Di
Nagari Sipangkur Kecamatan
Tiumang Kabupaten Dharmasraya Sumatera Barat
C. Rumusan Masalah 1. Bagaimana latar belakang munculnya kewajiban
menikah eksogami dalam Adat Minangkabau
di Nagari Sipangkur Kecamatan Tiumang Kabupaten Dharmasraya Sumatera Barat? 2.
Bagaimana ketentuan kewajiban menikah eksogami dalam Adat Minangkabau di
Nagari
Sipangkur Kecamatan Tiumang
Kabupaten Dharmasraya Sumatera Barat? 3.
Bagaimana tinjauan hukum Islam
terhadap kewajiban menikah eksogami dalam Adat
Minangkabau di Nagari
Sipangkur Kecamatan Tiumang
Kabupaten Dharmasraya Sumatera
Barat?
D. Kajian Pustaka Kajian pustaka bertujuan untuk
menarik perbedaan mendasar antara penelitian yang
dilakukan dengan kajian
atau penelitian yang
pernah dilakukan sebelumnnya.
Melalui penelusuran data yang
telah dilakukan, terdapat beberapa karya ilmiyah yang berhubungan dengan kewajiban menikah eksogami,
diantaranya: 1. Buku dengan
judul “Alam Terkembang
Jadi Guru; Adat
dan Kebudayaan Minangkabau”
karangan A. A. Navis, diterbitkan oleh Pustaka Grafitipers tahun 1986,
yang menjelaskan tentang
bentuk-bentuk perkawinan dalam
masyarakat adat Minangkabau.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi