Jumat, 04 Juli 2014

Skripsi Syariah:TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP KEWAJIBAN MENIKAH EKSOGAMI DALAM ADAT MINANGKABAU DI NAGARI SIPANGKUR KECAMATAN TIUMANG KABUPATEN DHARMASRAYA SUMATERA BARAT


BAB I PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah Allah  SWT  telah  menciptakan  makhluk  hidup  itu  berpasang-pasangan  yaitu  jantan  dan  betina,  laki-laki  dan  perempuan.  Tetapi  manusia  tidak  sama  dalam  hal  menyalurkan  insting  seksualnya  dengan  makhluk  lainnya,  yang  bebas  mengikuti  nalurinya tanpa aturan. Untuk menjaga kehormatan dan mertabat manusia maka Allah  memberikan  jalan  yang  terhormat  berdasarkan  kerelaan  dalam  suatu  ikatan  yang  disebut  dengan  pernikahan  atau  perkawinan.  Pernikahan  inilah  yang  diridhoi  Allah  dan  diabadikan  dalam  Islam  untuk  selamanya.
 Perkawinan  merupakan  suatu  perbuatan  yang  diperintahkan  oleh  Allah  kepada  ummat  manusia,  perintah  tersebut  dijelaskan dalam firman-Nya surat an-Nu>r ayat 32:  “Dan kawinkanlah orang-orang  yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang  yang  layak  (berkawin)  dari  hamba-hamba  sahayamu  yang  lelaki  dan  hamba-hamba  sahayamu  yang  perempuan.  jika  mereka  miskin  Allah  akan  memampukan  mereka  dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.”   Slamet Abidin dan H Aminuddin, Fiqih Munakahat 1, (Bandung: Pustaka Setia, 1999),  Departemen  Agama  RI,  al-Quran  dan  Terjemahannya,  (Bandung:  Jumanatul  „Ali-Art,  2005),  1   Perkawinan menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor  1 Tahun 1974  ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri  dengan  tujuan  membentuk  keluarga  (rumah  tangga)  yang  bahagia  dan  kekal  berdasarkan  Ketuhanan  Yang  Maha  Esa.

 Sedangkan  dalam  pengertian  populernya  perkawinan  adalah  akad  yang  memberikan  faedah  hukum  kebolehan  mengadakan  hubungan antara pria dan wanita dengan pemenuhan kewajiban masing-masing.
Sebagai  ummat  Islam,  perkawinan  haruslah  dilaksanakan  dengan  memenuhi  seluruh  rukun  dan  syarat  yang  sudah  ditentukan.   Perkawinan  yang  tidak  dapat  memenuhi  syarat  dan  rukunya  menjadikan  perkawinan  tersebut  tidak  sah  menurut  hukum.
 Prinsip-prinsip  perkawinan  merurut  hukum  Islam  dan  peraturan  perundangundangan  tentang  perkawinan  yang  berlaku  di  Indonesia  terdir i  dari  beberapa  asas,  diantaranya  asas  kesukarelaan,  asas  persetujuan,  dan  asas  kebebasan  memilih  pasangan. Di dalam asas kebebasan memilih pasangan  mengandung arti bahwa setiap  orang berhak untuk memilih pasangan menentukan bahwa setiap orang berhak untuk memilih  pasangan  perkawinannya   secara  bebas  asalkan  sesuai  syariat  Islam ,  yaitu  tidak melanggar ketentuan perkawinan menurut hukum Islam .
  Undang-undang  Republik  Indonesia  Nomor  1  Tahun  1974  Tentang  Perkawinan  Pasal  1,  (Tangerang Selatan: SL Media,t.t),   H.M.A.  Tihami  dan  Sohari  Sahrani,  Fikih  Munakahat,  Kajian  Fikih  Nikah  Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010),   Soemiyati,  Hukum  Perkawinan  Islam  dan  UUP  (UU  No.  1/1974),  cet.  6  (Yogyakarta:  Liberty, 2007), 5-6   Perkawinan  menurut hukum adat tidak hanya semata-mata  berarti suatu ikatan  antara  seorang  pria  dan  wanita  sebagai  suami  istri  untuk  maksud  mendapatkan  keturunan dan  membangun serta membina kehidupan keluarga rumah tangga, tetapi  juga berarti suatu hubungan  yang menyangkut para anggota  keluarga pihak laki-laki  dan  keluarga  pihak  perempuan.  Terjadinya  perkawinan,  berarti  berlakunya  ikatan  kekerabatan  untuk  saling  membantu  dan  menunjang  hubungan  kekerabatan  yang  rukun dan damai.
 Indonesia  merupakan  negara  yang terdiri dari  bermacam-macam  suku  bangsa,  tiap  suku  bangsa  mempunyai  sistem  perkawinan  adat  yang  berbeda.  Sistem  perkawinan menurut hukum adat tersebut ada tiga, pertama  endogami, dalam sistem  ini orang hanya diperbolehkan kawin dengan seorang   dari suku keluarganya sendiri.
Kedua exogami, dalam sistem ini orang diharuskan kawin dengan orang di luar suku  keluarganya.  Ketiga eleutherogami, sistem ini tidak mengenal larangan-larangan  atau  keharusan-keharusan  seperti  halnya  dalam  sistem  endogami  ataupun  exogami,  larangan-larangan  yang  terdapat  dalam  sistem  ini  adalah  larangan-larangan  yang  bertalian  dengan  ikatan  kekeluargaan.
 Dari  ketiga  sistem  perkawinan  tersebut,  masyarakat kenagarian Sipangkur menganut sistem eksogami. Masyarakat kenagarian Sipangkur  mewajibkan  atau  mengharuskan  kawin  dengan  orang  di  luar  suku  keluarganya.
 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990),  Surojo Wignjodipuro, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: CV Haji Masagung,  1992), 132   Wilayah pemerintahan  kenagarian  Sipangkur terdiri dari  beberapa suku antara  lain, suku Melayu dikepalai oleh seorang Ninik Mamak atau Kepala Kaum bergelar  Datuk  Penghulu  Mudo,  suku  Saligandi  dikepalai  oleh  seorang  Ninik  Mamak  atau  Kepala Kaum bergelar Datuk  Paduko Rajo, suku Mandahiling dikepalai oleh seorang  Ninik Mamak atau Kepala Kaum bergelar Datuk Marajo, suku Kaluai dikepalai oleh  seorang Ninik Mamak atau Kepala Kaum bergelar Datuk Rajo Penghulu. Suku -suku  tersebut  diatas  berasal  atau  pecahan  suku  tert ua  di  Alam  Minangkabau  yaitu  Bodi,  Caniago, Koto, Piliang.
 Memang dalam satu  Nagari  haruslah ada empat buah suku  menurut  peraturan  di  dalam  tata  negara  Minangkabau  seperti  disebutkan  di  dalam  kata  adat;  Nagari  bakaampek  suku,  Ampek  suku  nan  sekoto,  (Nagari  berkeempat  suku, empat suku yang sekoto).
 Diberlakukanya  kewajiban  menikah  eksogami  dalam  adat  Minangkabau  khususnya  dalam  wilayah  kenagarian  Sipangkur  dan  pada  umumnya  di  Alam  Minangkabau  sesuai  dengan  adat  istiadat  yang  telah  disepakati  oleh  Sesepuh  Adat  (Ninik Mamak) secara bersama  dalam musyawarah adat setempat dan juga legendalegenda yang sampai sekarang masih sangat dipercayai oleh masyarakat minang.
 Sampai  sekarang  peraturan  adat  terkait  kewajiban  menikah  eksogami  tetap  dipegang  teguh  oleh  masyarakat  Minangkabau  di  Nagari  Sipangkur,  karena  jika   Surat Keterangan Wali Nagari Sipangkur Nomor: 471/15/Ket/NSP-2012   Cahirul  Anwar,  Hukum  Adat  Indonesia  Meninjau  Hukum  Adat  Minangkabau,  (Jakarta:  Rineka Cipta, 1997),   M.  Rasyid  Datuk  Paduko  Rajo  dari  Suku  Saligandi,  Wawancara,  Sipangkur  30  Oktober  2012   aturan  ini  dilanggar  maka  meraka  akan  mendapat  hukuman.  Hukuman  yang  dijatuhkan  masyarakat adat dan  agama, walau tak pernah diundangkan  sangat berat  dan  kadangkala  jauh  lebih  berat  dari  pada  hukuman  yang  dijatuhkan  Pengadilan  Agama  maupun  Pengadilan  Negara.  Hukuman  itu  tidak  kentara  dalam  bentuk  pengucilan dan pengasingan dari pergaulan masyarakat Minang.
 Agama  Islam  merupakan  agama  mayoritas  di  Minangkabau,  sebagaimana  pepatah  mereka,  Adat  basandi  syarak,  Syarak  basandi  Kitabullah.  Maksudnya,  sumber  dasar  dari  adat  ialah  hukum  Islam,  hukum  Islam  sumber  dasarnya  alQuran.
 Di dalam Islam  sendiri tentunya tidak dijumpai adanya kewajiban menikah  secara  eksogami  sebagaimana  yang  terjadi  di  dalam  masyarakat  Nagari  Sipangkur.
Namun  ada  ketentuan  dalam  adat  Minangkabau  khususnya  di  wilayah  kenagarian Sipangkur  yang  memberikan  syarat-syarat  perkawinan  selain  syarat-syarat  yang  terdapat dalam hukum Islam . Syarat -syarat itu antara lain:  a.  Kedua calon mempelai harus beragama Islam .
b.  Kedua  calon  mempelai  tidak  sedarah  atau  tidak  berasal  dari  suku  yang  sama,  kecuali pesukuan itu berasal dari Nagari atau luhak yang lain.
c.  Kedua calon mempelai dapat saling menghormati dan menghargai orang tua dan  keluarga kedua belah pihak.
 Ibid  A. A. Navis, Alam Terkembang Jadi Guru, (Jakarta: Pustaka Grafitipers, 1986),   M.  Rasyid  Datuk  Paduko  Rajo  dari  Suku  Saligandi,  Wawancara,  Sipangkur  30  Oktober  2012   d.  Calon  suami  (marapulai)  harus  sudah  mempunyai  sumber  penghasilan  untuk  dapat menjamin kehidupan keluarganya.
Perkawinan  yang  dilakukan  tanpa  memenuhi  semua  syarat  diatas  dianggap  perkawinan  sumbang,  atau  perkawinan  yang  tidak  memenuhi  syarat  menurut  adat  Minang.
Yang  membuat  sedikit  perbedaan  dengan  syarat  perkawinan  dalam  hukum  Islam  bahwa dalam adat Minang itu kedua calon mempelai harus tidak sedarah atau  tidak  berasal  dari  suku  yang  sama,  kecuali  pesukuan  itu  berasal  dari  Nagari  atau  luhak yang lain dalam arti lain, ketentuan ini mensyaratkan menikah secara eksogami.
Dan  ini  tentunya  harus  dikaji  lebih  lanjut  karena  Islam  tidak  menghendaki  adanya  pemaksaan  dalam  perkawinan  dan  perkawinan  itu  harus  berdasarkan  atas  asas  kesukarelaan.
 Selain  itu,  aturan  menikah  eksogami  ini  menyebabkan  semakin   kecil  kesempatan untuk memilih pasangan.  Hal ini berakibat makin lama, makin sulit bagi  muda-mudi  mencari  pasangan  dalam  lingkungan  masyarakatnya  sendiri.  Dan  tentunya  aturan  ini  bertentangan  dengan  asas  kebebasan  memilih  pasangan  dalam  agama  Islam .  Akibatnya banyak yang kawin ke luar  Nagari, bahkan sudah ada yang  sampai ke luar negeri.
Namun  demikian,  tradisi  kewajiban  menikah  eksogami  pada  masyarakat  Sipangkur  yang  mayoritas  beragama  Islam  bertentangan  dengan  agama  Islam  atau   Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan UUP (UU No. 1/1974), 5-6   tidak,  perlu  dilakukan  penelitian  lebih  lanjut.  Adapun  faktor  pemilihan  Nagari Sipangkur  dijadikan  lokasi  penelitian  diantaranya:  Pertama,  di  Sipangkur  masih  banyak  terdapat  ulama,  penghulu  adat,  dan  pemuka-pemuka  adat  yang  ahli  dalam  bidang adat tersebut. Kedua, masyarakat Sipangkur masih patuh dalam menjalankan  adat,  dalam  artian  setiap  pihak  yang  akan  menikah  masih  diperhitungkan  apakah  mereka sesuku atau tidak.
Berdasarkan  latar  belakang  masalah  tersebut,  penyusun  tertarik  untuk  membahas  lebih  lanjut  dalam  skripsi  yang  berjudul  “Tinjauan  Hukum  Islam Terhadap Kewajiban Menikah Eksogami Dalam Adat Minangkabau Di  Nagari Sipangkur Kecamatan Tiumang Kabupaten Dharmasraya Sumatera Barat”.
B.  Identifikasi Dan Batasan Masalah Berdasarkan  latar  belakang  yang  telah  penulis  paparkan  di  atas,  maka  dapat  ditulis identifikasi masalah sebagai berikut: 1.  Perkawinan dalam hukum Islam 2.  Rukun dan syarat perkawinan dalam hukum Islam 3.  Prinsip-prinsip perkawinan dalam hukum Islam 4.  Kewajiban menikah dalam hukum Islam 5.  Perkawinan dalam adat Minangkabau 6.  Syarat-syarat perkawinan dalam adat Minangkabau 7.  Sistem perkawinan adat Minangkabau 8.  Kewajiban menikah eksogami dalam adat Minangkabau   9.  Faktor-faktor yang melatar belakangi tradisi kewajiban menikah eksogami dalam  adat Minangkabau 10.  Kewajiban menikah eksogami di Nagari Sipangkur 11.  Sanksi  adat  terhadap  pelanggaran  kewajiban  menikah  eksogami  dalam  adat  Minangkabau di Nagari Sipangkur Melihat  luasnya  pembahasan  mengenai  kewajiban  menikah  eksogami  dalam  identifikasi masalah di atas, maka penulis membatasi masalah dalam pembahasan ini,  dengan: 1.  Sebab  diwajibkannya  menikah  eksogami  dalam  Adat  Minangkabau  Di  Nagari Sipangkur Kecamatan Tiumang Kabupaten Dharmasraya Sumatera Barat 2.  Ketentuan  kewajiban  menikah  eksogami  dalam  Adat  Minangkabau  Di  Nagari Sipangkur Kecamatan Tiumang Kabupaten Dharmasraya Sumatera Barat 3.  Tinjauan  hukum  Islam  terhadap  kewajiban  menikah  eksogami  dalam  Adat  Minangkabau  Di  Nagari  Sipangkur  Kecamatan  Tiumang  Kabupaten  Dharmasraya Sumatera Barat
C.  Rumusan Masalah 1.  Bagaimana latar belakang munculnya kewajiban menikah eksogami dalam Adat  Minangkabau di Nagari Sipangkur Kecamatan Tiumang Kabupaten Dharmasraya  Sumatera Barat?   2.  Bagaimana ketentuan kewajiban menikah eksogami dalam Adat Minangkabau di  Nagari  Sipangkur  Kecamatan  Tiumang  Kabupaten  Dharmasraya  Sumatera  Barat? 3.  Bagaimana tinjauan  hukum  Islam  terhadap kewajiban menikah eksogami dalam  Adat  Minangkabau  di  Nagari  Sipangkur  Kecamatan  Tiumang  Kabupaten  Dharmasraya Sumatera Barat?
D.  Kajian Pustaka Kajian pustaka bertujuan untuk menarik perbedaan mendasar antara penelitian  yang  dilakukan  dengan  kajian  atau  penelitian  yang  pernah  dilakukan  sebelumnnya.
Melalui penelusuran data yang telah dilakukan, terdapat beberapa karya ilmiyah yang  berhubungan dengan kewajiban menikah eksogami, diantaranya: 1.  Buku  dengan  judul  “Alam  Terkembang  Jadi  Guru;  Adat  dan  Kebudayaan  Minangkabau”  karangan A. A. Navis, diterbitkan oleh Pustaka Grafitipers tahun  1986,  yang  menjelaskan  tentang  bentuk-bentuk  perkawinan  dalam  masyarakat  adat Minangkabau.


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi