BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perkawinan adalah salah satu asas pokok
kehidupan yang paling utama dalam
pergaulan masyarakat yang sempurna. Banyaknya ayat al-Qur’an dan hadits menjadi bukti bahwa perkawinan adalah
hal yang sakral. Seperti pada firman
Alla>h pada surat an-Nisa> ayat 1: Artinya: “Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada
Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari
seorang diri dan darinyalah Alla>h menciptakan istrinya, dan dari keduanya Alla>h memeperkembangkan
biakkan laki-laki dan perempuan yang
banyak….” Perkawinan sendiri merupakan
ibadah yang diproyeksikan sebagai media menggapai
kebahagiaan dalam menjalani bahtera rumah tangga.
Dalam UU perkawinan juga terdapat beberapa prinsip yang
salah satunya adalah tujuan perkawinan,
yaitu membentuk keluargayang bahagia dan kekal. Untuk itu suami-istri perlu saling membantu dan
melengkapi, agar masing-masing dapat Departemen
Agama, al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 114.
Team Kodifokasi Purna Siswa 2005 M Madrasah
Hidayatul Mubtadi-en Lirboyo Kediri, Kontekstualisasi
Turats, h. 254.
1 mengembangkan kepribadiannya serta membantu
dan mencapai kesejahteraan spiritual dan
materiil.
Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan
perkawinan adalah akad yang sangat kuat
atau goli>zanuntuk mentaati perintah
Alla>h dan melaksanakannya merupakan
ibadah.
UU nomor 7 tahun 1974 tentang perkawinan menyebutkan yang dinamakan
perkawinan adalah ikatan lahir batin antar
seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sedangkan menurut Sayyid Sabiq yang dimaksud
aqad tersebut adalah untuk selamanya dan
seterusnya sampaimeninggal dunia. Dengan tujuan agar suami isteri bersama-sama dapat mewujudkan
rumah tangga sebagai tempat berlindung,
menikmati naungan kasih sayang dan dapat memelihara anakanaknya hidup dalam
pertumbuhan yang baik.
Alla>h telah menetapkan adanya
aturantermasuk perkawinan bagi manusia dengan
aturan-aturan yang tidak boleh dilanggar. Orang tidak boleh berbuat semaunya seperti binatang yang berkumpuldengan
lawan jenis hanya menurut Sudarsono,
Hukum Perkawinan Nasional, h. 7.
Amandemen UU Peradilan Agama Nomor 3 Tahun
2006, UU Peradilan Agama Nomor 7 Tahun
1989 dan Kompilasi Hukum Islam, h. 120.
Undang-Undang Perkawinan di Indonesia
dilengkapi Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Pasal1 ,h. 5.
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah Jilid 8, Penerj.
Moh. Thalib, h. 9.
seleranya, atau tumbuh-tumbuhan
yang kawin dengan perantara angin, sebagaimana
firman Alla>h: Artinya: “Dan
kami Telah meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuh-tumbuhan) dan kami turunkan hujan dari langit, lalukami
beri minum kamu dengan air itu, dan
sekali-kali bukanlah kamu yang menyimpannya.” Perkawinan adalah salah satu perjanjianyang
suci dimata Alla>h hal ini bisa kita
lihat dalam firmannya didalam Q.S. an-Nisā, ayat 21Artinya: “…Perkawinan itu adalah sesuatu perjanjian
yang suci.” Oleh karena itu Alla>h
sangat membenci perbuatan ketika ada hambanya yang memutuskan perjanjian suci tersebut atau
kata lain bercerai, hal ini tercermin
dalam salah satu hadis Nabi dari Ibnu Majah dan disahkan oleh Hakim, sabda Nabi: ِ
H.S.A. Al-Hamdani, Risalah Nikah, Penerj. Agus Salim, h. 2.
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya,
h. 392.
Ibid, h. 120.
Artinya: “Dari Ibnu Umar, dari NabiSAW. telah bersabda,
sesuatu yang h}alal yang amat dibenci
Alla>h ialah t}alaq.” Salah satu
penyebab terjadinya perceraian adalah usia pernikahan yang masih kurang mapan dalam melaksanakan
pernikahan atau yang sering disebut dengan
pernikahan usia dini. Sementara fenomena pernikahan dini di Indonesia sebenarnya sudah sejak lama dikenal
olehmasyarakat luas baik dari kebisaaan nenek
moyang mereka maupun dari Agama (Islam), yaitu melalui kebiasaaan para sahabat Rasu>lulla>h SAW. yang
banyak mempraktekkan pernikahan model ini
maupun dari Rasu>lulla>h SAW. itu sendiri yang menikahi ‘A<’isyah,
anak dari Abu> Bakar r.a. sahabat
beliau yang diketahui dari riwayat-riwayat Hisya>m ibn ‘Urwah, terlepas dari pro-kontra terhadap
kebenaran pernikahan dini Rasu>lulla>h SAW. tersebut.
Pasal 7 (tujuh) UU perkawinan
mengemukakan bahwa perkawinan hanya diizinkan
jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita 16 (enam belas) tahun. Dalam hal
penyimpangan terhadap ketentuan usia
kawin ini, dapat dimintai dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh keduaorang tua
pihak pria maupun pihak wanita.
Imam Khafid Abi Dawu>d Sulaiman Ibn Asy‘as As-Sajastani, Sunan Abi
Dawu>d juz 2, Kitab T{alaq, No. 2178,
h. 120.
Ratna Batara Munti dan Hindun Anisah, Posisi
Perempuan Dalam Hukum Islam Di Indonesia,
h. 52.
Sedangkan hal pernikahan dini
tersebut bertentangan didalam UU perlindungan
anak yang mana disebutkan dalam pasal 26 (c), bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab atas
pencegahan terjadinya perkawinan pada
usia anak-anak.
Sedangkan anak-anak yang dimaksud dalam
UndangUndang Perlindungan Anak ini di terangkan dalam pasal 1 (satu) yaitu
seorang yang berusia belum 18 (delapan
belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Jika terjadi pernikahan di bawah
umur maka akan melanggar hak anak untuk
bermain, bersekolah dan mendapatkan pendidikan yang layak serta hak untuk tumbuh kembang. Pernikahan dini juga
akan mengganggu kesehatan reproduksi
anak perempuan. Dunia kesehatan menyarankan kehamilan dan persalinan terjadi antara usia 21 (duapiluh
satu) tahun sampai 35 (tiga puluh lima)
tahun. Kehamilan dan persalinan dibawah 21 (dua puluh satu) tahun dan di atas 35 (tiga puluh lima) dikategorikan sangat
berisiko bagi perempuan.
Bila melihat pada sejarah
pembentukan UU perkawinan, yang menjadi petimbangan
batasan usia kawin tersebutadalah kematangan biologis seseorang (bukan kedewasaan). Pembatasan usia perkawinan
pada saat itu dimaksudkan untuk
mengantisipasi maraknya perkawinan pada anak-anak, yang mana isunya bergulir sejak tahun 1920-an.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak Ratna Batara Munti dan Hindun
Anisah, Posisi Perempuan Dalam Hukum Islam Di Indonesia, h. 53.
Agama Islam tidak menyebutkan
mengenai ketentuan batasan usia dewasa untuk
kawin. Jika usia dewasa dikaitkan dengan kewajiban untuk melakukan sholat, maka Islam telah menentukan aqil
baligh seseorang perempuan adalah ditandai
dengan menstruasi (biasanya diusia 13 tahun) sedang laki-laki dengan ‘mimpi basah’ (biasanya 14 tahun), namun kedua
tanda kedewasaan ini bukan isyarat
(langsung dimaknai sebagai ketentuan) yang membolehkan mereka kawin (batas usia kawin). Usia kawin itu terkait
dengan urusan sosial kemasyrakatan.
Jadi, mesti dilihat dulu apa saja
kaedah-kaedah sosial yang berlaku dalam masyarakat.
Para ulama dari empat mazh}ab sepakat mengenai
bolehnya perkawinan pasangan anak
laki-laki yang masih kecil dengan perempuan yang masih kecil pula, apabila akadnya dilakukan oleh walinya.
Tetapi ada pula sekelompok ulama, antara
lain Abu> Bakar al-Asham dan Ibnu Syubrumah yang melarang adanya perkawinan anak-anak sebelum mereka
sampai pada usia kawin: Ibnu Syubrumah berpendapat tidak diperbolehkan bagi
orang tua menikahkan anak gadisnya yang
masih dibawah umur, kecuali setelah baligh dan mendapatkan izin darinya
, mereka beralasan dengan firman Alla> HSA Al Hamdani, Risalah
Nikah,h. 77.
Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Fiqih Wanita,
Penerj. M. Abdul Ghoffar E.M, h. 402.
Artinya: “Dan ujilah anak yatim itu sampaimereka cukup
umur untuk kawin..... ” (Q.S an-Nisa’:
6) Berangkat dari keterangan di atas,
telah ditemukan suatu perkara tentang pernikahan
dini yang ada di Pengadilan Agama Jombang. Alasan mengajukan permohonan pernikahan dini ini, yaitu para
pemohon bermaksud menikahkan anak
perempuan mereka dengan seorang lelaki bujang di mana antara mereka (calon mempelai) sudah bertunangan selama satu
tahun, bahwa syarat-syarat untuk
melaksanakan pernikahan tersebutbaik menurut ketentuan hukum Islam maupun peraturan perundang-undangan yang
berlaku telah terpenuhi kecuali syarat
usia bagi anak para pemohon yang masih berusia 13 tahun 9,5 bulan atau belum mencapai usia 16 tahun sesuaidengan
bunyi pasal 7 ayat (1) UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974.
Pada permasalahan ini para
pemohon merasa bahwa jika diantara mereka tidak segera dinikahkan, maka parapemohon
sangat khawatir keduanya akan melanggar
hal-hal yang dilarang oleh Agama, terlebih lagi hubungan diantara keduanya sudah sangat akrab.
Pertimbangan para pemohon
mengenai kesiapan keduanya dalam membina rumah tangga adalah bahwasanya anakpara
pemohon berstatus perawan dan telah
akhil baligh serta telah siap menjadi seorang isteri atau ibu rumah tangga, begitu pula calon suaminya sudah siapmenjadi
seorang suami atau kepala Departemen
Agama, al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 115.
keluarga serta telah bekerja
dengan penghasilan tetap setiap bulannya Rp 900.000,-. Disamping itu antara para pemohon
dengan keluarga calon suami anak para
pemohon telah merestui rencana pernikahan tersebut dan tidak ada pihak ketiga lainnya yang keberatan atas
berlangsungnya pernikahan tersebut.
Pada hari persidangan yang telah
ditentukan telah diketahui bahwasanya para
pemohon tetap pada permohonannya, kemudian dari keterangan anak para pemohon pun diketahui bahwa apa yang
dimohonkan oleh para pemohon adalah benar,
begitupun dari keterangan calon suami anak para pemohon yang juga membenarkan dalil-dalil dari para pemohon.
Pada proses pembuktian untuk
memperkuat dalil-dalil permohonannya, para
pemohon mengajukan beberapa bukti tertulis dari Kantor Urusan Agama (KUA) setempat yang intinya menyebutkan bahwa
anak para pemohon tidak dapat
melaksanakan pernikahan dikarenakan masih adanya kekurangan persyaratan bolehnya terjadi pernikahan.
Dari keterangan saksi-saksi yang
diajukan oleh para pemohon yaitu tetangga
para pemohon, majelis hakim mendapatkan keterangan bahwasanya dalil-dalil dari para pemohon memang benar.
Terhadap keterangan perkara
di atas Undang-Undang perkawinan menjelaskan bahwa di Indonesia baik dari segi
materiil maupun formil yang berlaku
maka, penetapan tersebut sudah sesuai, akan tetapi di sini jika kita lihat dari pasal 26 jo. Pasal 1 Undang-Undang
Perlindungan Anak nomor 23 tahun 2002
dan hukum Islam maka terjadi permasalahan-permasalahan, di mana dalam pasal tersebut dengan jelas disebutkan bahwa
orang tua bertanggung jawab dan berkewajiban
mencegah terjadinya perkawinan pada anak-anak, sedangkan hukum Islam menerangkan terkait pernikahananak
pada usia dini masih terjadi perdebatan
antara para ulama antara yang setuju dan tidak.
Beberapa hal inilah yang
mendorong untuk dikaji dan dianalisis dalam skripsi, yang diformulasikan sebuah judul
“Analisis Hukum Islam dan UndangUndang No : 23 Tahun 2002Tentang Perlindungan
Anak Terhadap Penetapan Dispensasi Nikah
Usia Dini di PA. Jombang Nomor : 24/Pdt.P/2008/PA.Jbg”.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas,
agar penelitian dapat terarah dan
terfokus, maka pokok masalah yang akan dikaji adalah: 1.
Bagaimana penetapan PA. Jombang tentang penetapan dispensasi nikah usia dini (Nomor : 24/Pdt.P/2008/PA.Jbg)? 2. Apa pertimbangan hakim menetapkan dispensasi
nikah usia dini ? 3. Bagaimana analisis
hukum Islam dan Undang-Undang No: 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak terhadap penetapan
PA. Jombang tersebut?
C. Kajian Pustaka Penelitian masalah nikah anak usia banyak
sekali ditemukan baik dalam buku maupun
dalam karya-karya ilmiah. Akantetapi yang membahas dispensasi nikah anak usia dini secarakhusus masih sangat
sedikit.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi