Jumat, 04 Juli 2014

Skripsi Syariah:ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP LARANGAN PERKAWINAN ADAT LUSAN MANTEN DI DESA BETON KECAMATAN SIMAN KABUPATEN PONOROGO


BAB I PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang Masalah Manusia  merupakan  makhluk  sosial,  tidak  mungkin  dapat  hidup  dengan  sendirinya  tanpa  adanya  hubungan  sosial,  cenderung  berkelompok  dan  bermasyarakat.Manusia  mempunyai  naluri  tentang  persaudaraan  dan  menjalin  hubungan yang harmonis antar umat manusia tanpa membedakan warna mata, warna  kulit, jenis suku, agama, adat, dan bahasa. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam  Surat Al- Hujura>t ayat 13: Artinya: “Hai manusia sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari seorang seorang lakilaki dan seorang perempuaan dan menjadikan  kamu berbangsa-bangsa dan  bersuku-suku supaya  kamu saling mengenal. Sungguh,  yang paling mulia  di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Allah Maha  Mengetahui, Mahateliti”.( Al - Quran Surat Al - Hujura>t : 13)   Manusia  diciptakan  Allah  ada  laki-laki  dan  perempuan,  untuk  berpasangpasangan.  Diberikan  di  dalamnya  hasrat  untuk  berkasih  sayang  saling  mencintai,   Depertemen Agama RI, Mushaf Al- Quran Terjemah, (Jakarta :  Pena Pundi Aksara  2002),  518.

 1    untuk  membentuk  sebuah  keluarga  maka  diikat  dengan  adanya  perkawinan.  Allah  tidak  mau  menjadikan  manusia  seperti  makhluk  lain,  yang  hidup  bebas  mengikuti  nalurinya  dan  berhubungan  antara  jantan  dan  betinanya  secara  anarki  tanpa  satu  aturan,  oleh  karena itu,  untuk menjaga kehormatan dan  kemuliaan  manusia, Allah  mewujudkan hukum yang sesuai dengan martabatnya.
 Hubungan  antara  laki-laki  dan  perempuaan  diatur  secara  terhormat  dan  berdasarkan saling  meridai,  dengan ucapan ijab kabul sebagai lambang dari adanya  rasa  saling  rida  serta  dihadiri  oleh  para  saksi  yang  menyaksikan  bahwa  kedua  pasangan  tersebut  telah  saling  terikat.  Dalam  Kompilasi  Hukum  Islam  dijelaskan,  bahwa, “Perkawinan  yang  sah menurut  hukum  Islam  merupakan pernikahan, yaitu  akad  yang  kuat  atau  mi>s\a>qan  gali > z}an  untuk  menaati  perintah  Allah  dan  melaksanakannya merupakan ibadah.”   Perkawinan  merupakan  suatu  cara  yang  dipilih  Allah  sebagai  jalan  bagi  manusia  untuk  berkembangbiak  dan  melestarikan  kehidupannya.
   Keluarga  terbentuk melalui perkawinan karena itu  dalam Islam perkawinan sangat dianjurkan  bagi  yang  telah  mempunyai  kemampuan.  Anjuran  ini  dinyatakan  dalam  al-Quran  maupun dalam as-Sunnah, yang dinyatakan dalam salah satu sabda Nabi Muhammad  saw. yaitu : ِ Tim Redaksi  Nuansa Aulia,  Kompilasi Hukum Islam,  (Bandung:  Nuansa Aulia,  2009),  2.
   Sayyid Sabiq,  Fiqih    Sunnah, diterjemah Nor Hasanuddin, Jilid II, (Jakarta : Pena Pundi  Aksara),  477.
٤ Artinya:  Dari Abdullah berkata:  Rasulullah saw bersabda: “Hai para pemuda, barang  siapa  yang  telah  sanggup  di  antaramu  untuk  kawin,  maka  kawinlah  karena  sesungguhnya kawin itu dapat mengurangi pandangan (yang liar) dan lebih menjaga  kehormatan.”  Dalam hadis dijelaskan bahwa Rasulullah  menganjurkan  menikah  bagi  para  pemuda  yang  telah  sanggup  untuk  menjalankan  pernikahan,  karena  pernikahan  adalah ikatan yang sakral dan suci. Pernikahan merupakan pembeda antara hubungan  sah  suami  istri  dan  perbuatan  zina.
   Pernikahan  memiliki  tujuan  membentuk  keluarga  yang  bahagia  dan  kekal,  sehingga  baik  suami  maupun  isteri  harus  saling  melengkapi  agar,  masing-masing  dapat  mengembangkan  kepribadiaannya,  saling  membantu agar tercapai kesejahteraan. Hal ini sejalan dengan firman Allah: Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu  isteri-isteri  dari  jenismu  sendiri,  supaya  kamu  cenderung  dan  merasa  tenteram  kepadanya,  dan  dijadikan-Nya  di  antaramu  rasa kasih  sayang.  Sesungguhnya  pada  yang  demikian  itu  benar-benar  terdapat  tanda-tanda  bagi  orang  kaum  yang    Al-Ima>m Muslim , S}ah}i h} Muslim,Juz 5,  (Beirut: Da>rul Kutub Ilmiyah,Cet. II, 2008), 10.
   Asy- Syaikh Abu Munir’Abdullah bin Muhammad  ‘Usmaniaz Zammari, Penerjemah Fathul  Mujib, ( Yogyakatra : At-Tuqa, 2009), 5.      berfikir.”   Ayat  ini  menjelaskan  bahwa  tujuan  perkawinan  adalah  saling  menikmati  (Istimta’) antara suami istri untuk membina keluarga yang sakinah dan masyarakat  yang  salih.
   Hal  ini  sesuai  dengan  pasal  1 Undang-  undang  Perkawinan  bahwa,  “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang wanita dan seorang pria sebagai  suami  isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah  tangga) yang bahagia dan  kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
   Perkawinan  merupakan  cara  penghalalan  hubungan  antara  suami  dan  istri  untuk  melangsungkan  keturunanya,  karena  tanpa  adanya  regenerasi,  populasi  di  muka bumi akan punah. Dengan adanya perkawinan mereka saling memiliki, saling  menjaga,  saling  membutuhkan,  dalam  suasana  saling  mencintai  (mawwadah)  dan  kasih sayang (rahmah) sehingga terwujud keluarga yang harmonis (sakinah).
 Pada dasarnya seorang laki-laki boleh  kawin dengan  perempuan mana  saja, namun ada batasan-batasan tertentu seorang laki-laki muslim dilarang kawin dengan  perempuan-perempuan  tertentu.
   Larangan  perkawinan  dijelaskan  dalam  al-Quran  surat an-Nisa’ ayat 22-23, yaitu:   Departemen Agama Republik Indonesia, Mushaf Al-Quran Terjemah, (Jakarta: Pena Pundi  Aksara, 2002) , 407.
   M. Shaleh al-Ustmani dan A. Aziz Ibnu Muhammad Dawud, Pernikahan Islami, (Surabaya:  Risalah Gusti,  Cet.IV, 1996), 6.
   Redaksi  Sinar  Grafika,  Undang-Undang  Perkawinan  Indonesia,  (Jakarta:  Sinar  Grafika,  2007),  1-2.
   Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, ( Jakarta: Universitas Indonesia, 1986),  5.
Artinya:  “Dan  janganlah  kamu  kawini  wanita-wanita  yang  telah  dikawini  oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu  Amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).Diharamkan  atas  kamu  (mengawini)  ibu-ibumu;  anak-anakmu  yang  perempuan;  saudarasaudaramu  yang  perempuan,  saudara-saudara  bapakmu  yang  perempuan;  saudarasaudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang  laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu  yang  menyusui  kamu;  saudara  perempuan  sepersusuan;  ibu-ibu  isterimu  (mertua);  anak-anak  isterimu  yang  dalam  pemeliharaanmu  dari  isteri  yang  telah  kamu  campuri,  tetapi  jika  kamu  belum  campur  dengan  isterimu  itu  (dan  sudah  kamu  ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu)  istriistri  anak  kandung  (menantu);  dan  menghimpunkan  (dalam  perkawinan)  dua  perempuan  yang  bersaudara,  kecuali  yang  telah  terjadi  pada  masa  lampau;  Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
    Larangan  kawin  antara  seorang  laki-laki  dan  seorang  perempuan  menurut  syara’  dibagi  menjadi  dua,  yaitu  halangan  abadi  (mahram  muabbad)  dan  halangan  sementara  (mahram  muaqqat)  halangan  abadi  (mahram  muaqqat)  yang  telah  disepakati  terdiri  dari  hubungan  nasab,  hubungan  sesusuan  dan  hubungan     Departemen  Agama  Republik  Indonesia,  Mushaf   Al-Quran   Terjemah,   (  Jakarta  :  Pena  Pundi Aksara, 2002), 82.
   perkawinan    ,  sedangkan yang masih  diperselisihkan  ada  dua yaitu: zina  dan li’an.
 Sedangkan halangan sementara (mahram muaqqat) terdiri dari: a.  Halangan bilangan, jumlah istri tidak boleh lebih dari 4(empat) dalam poligami.
 b.  Halangan mengumpulkan, memadu dua orang perempuaan bersaudara.
 c.  Halangan kehambaan, tidak boleh laki-laki merdeka kawin dengan budak.
 d.  Halangan kafir, perempuan kafir haram untuk dinikahi.
 e.  Halangan ihram, perempuan yang sedang ihram tidak boleh dinikahi.
 f.  Halangan sakit.
 g.  Halangan ‘iddah.
 h.  Halangan  peristrian,  perempuaan  yang  terikat  perkawinan,  atau  yang  sedang  iddah, haram dikawini oleh seorang laki-laki.
 i.  Halangan perempuaan yang ditalak tiga kali.
    Dalam  pandangan  masyarakat  adat,  perkawinan  bertujuan  untuk  membangun,  membina  dan  memelihara  hubungan  kekerabatan  yang  rukun  dan  damai. Hal ini dikarenakan nilai-nilai hidup yang menyangkut tujuan perkawinan  tersebut  dan  menyangkut  pula  kehormatan  keluarga  dan  kerabat  bersangkutan  dalam pergaulan masyarakat, maka proses pelaksanaan perkawinan diatur dengan  tata  tertib  adat,  agar  terhindar  dari  penyimpangan  dan  pelanggaran  yang  memalukan  yang  akan  menjatuhkan  martabat  kehormatan  keluarga  dan  kerabat     Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2011), 110.
    Ibnu Arsyd, Bida>yah  al Mujtahid fi Niha>yah al Muqtas}id, (Beirut: Dar al Fikr, tt.), 225.
   yang bersangkutan.
    Dalam pelaksanaan perkawinan, masyarakat sangat terikat oleh aturan, baik  yang  tertulis  maupun  yang  tidak  tertulis,  bahkan  ketergantungan  pada  adat  atau  tradisi  tata  cara  masyarakat  di  daerah  tersebut  yang  berlaku  sejak  nenek  moyang  secara turun-temurun. Larangan perkawinan menurut hukum adat terdiri dari: 1.  Karena Hubungan Kekerabatan.
 Menurut hukum adat Batak melarang perkawinan antara pria dan wanita  dalam  satu  marga.  Di  Minangkabau  pria  dan  wanita  yang  masih  satu  suku  dilarang  melakukan  perkawinan.  Di  Lampung  yang  beradat  pepadun  seorang  pria  dilarang  kawin  dengan anak  saudara  laki-laki  ibu  (kelama).  Sementara  di  Jawa  tidak  dibolehkan  seorang  pria  dan  wanita  yang  bersaudara  kandung  ayahnya, begitu pula dilarang kawin jika bersaudara  misan  dan dilarang kawin  jika ibu yang pria lebih muda dari ibu wanita.
 2.  Karena Perbedaan Kedudukan.
 Di  Minangkabau  seorang  wanita  dari  golongan  penghulu  tidak  dibenarkan  melakukan perkawinan dengan pria  yang tergolong  “kemenakan  di  bawah  lutui.”  Di  Lampung  pemuda  dari  golongan  “penyimbang”  tidak  dibenarkan  kawin  dengan  gadis dari  golongan “beduwou” (budak).  Di  Maluku  perkawinan  hanya  boleh  antara  kasta  yang  setara,  misalnya,  kasta  tertinggi  (mel)  dengan  kasta  tertinggi  (mel).  Tidak  boleh  dilakukan  perkawinan  antara     Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat dengan Adat Istiadat dan Upacara Adatnya,  (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti,2003), 23.
   kasta  tertinggi dengan kasta pertengahan (ren) maupun kasta terendah (riy).  Di  Bali  dari  golongan  “tri  warna”  atau  “triwangsa”  (Brahmana,  Ksatria,  dan  Waisha)  dilarang  kawin  dengan  wanita  dari  golongan  “Sudra”  atau  orang  biasa.
    Pada  masyarakat  Desa  Beton  Kecamatan  Siman  Kabupaten  Ponorogo  terdapat  sebuah  fenomena  tentang  larangan  perkawinan  adat  yaitu  “lusan  manten”.  Kata  lusan  manten  merupakan  singkatan  dari  telu  yang  berarti  tiga  dan  pisan  yang  berarti  pertama,  dan  kata  manten,  yaitu  pengantin.  Jadi  bagi  pasangan pengantin yang akan melakukan perkawinan yang ketiga dan pertama  tidak dibolehkan. Adat  lusan manten  menjadi larangan perkawinan, karena jika  dilakukan dikhawatirkan akan terjadi suatu hal yang tidak diinginkan.
 Berkaitan  dengan  hal  tersebut  penulis  ingin  mengkaji  lebih  mendalam  mengenai adat ini, karena adat ini merupakan warisan yang turun temurun dan masih  dianut  hingga  saat  ini.  Dalam  penelitian  ini  penulis  akan  meneliti  bagaimana  “Analisis Hukum Islam Terhadap Larangan Perkawinan Adat Lusan Manten di Desa  Beton Kecamatan Siman Kabupaten Ponorogo.”    Hilman  Hadi Kusuma,  Hukum Perkawinan  Adat,  (  Bandung:   Citra  aditya  Bakti,  1990),  100-103.     B.  Identifikasi dan Batasan Masalah 1.  Identifikasi Masalah Sesuai  dengan  latar  belakang  yang  telah  diuraikan  di  atas  dapat  diidentifikasikan sebagai berikut: a.  Praktik  perkawinan  lusan  manten  di  Desa  Beton  Kecamatan  Siman  Kabupaten Ponorogo.
 b.  Analisis  HukumIslam  terhadap  larangan  perkawinan  Adat  lusan  manten  di Desa Beton Kecamatan Siman Kabupaten Ponorogo.
 c.  Pendapat para pelaku perkawinan lusan manten.
 d.  Pendapat tokoh masyarakat tentang larangan perkawinan adat lusan manten .
 e.  Larangan perkawinan dalam hukum Islam.
 2.  Batasan Masalah Uraian  identifikasi masalah di atas agar  pembahasan dalam  penelitian ini  tidak  meluas  dan  hasil  penelitian  ini  lebih  terarah  sehingga  tercapai  tujuan  penulisan  skripsi,  maka  penulis  perlu  untuk  membatasi  permasalahan.  Penulis  hanya mengkaji:  a.  Praktik  perkawinan  lusan  manten  di  Desa  Beton  Kecamatan  Siman  Kabupaten Ponorogo.
 b.  Analisis  Hukum  Islam  terhadap  larangan  perkawinan  Adat  lusan  manten  di Desa Beton Kecamatan Siman Kabupaten Ponorogo.
    C.  Rumusan Masalah Berdasarkan  latar  belakang  yang  telah  dijelaskan  maka  dapat  dirumuskan  masalah penelitian ini sebagai berikut: 1.  Bagaimana  Praktik  perkawinanlusan  manten  di  Desa  Beton  Kecamatan  Siman  Kabupaten Ponorogo? 2.  Bagaimana  Analisis  Hukum  Islam  Terhadap  Larangan  Perkawinan  Adat  Lusan Manten di Desa Beton Kecamatan Siman Kabupaten Ponorogo? D.  Tujuan penelitian Adapun tujuan penelitian adalah: 1.  Untuk  mengetahui  bagaimana  perkawinan  adat  lusan  manten  di  Desa  Beton  Kecamatan Siman Kabupaten Ponorogo.
 2.  Menganalisis  kesesuaian  larangan  perkawinan  Lusan  Manten  dengan  hukum  Islam terhadap larangan perkawinan adat lusan manten di Desa Beton Kecamatan  Siman Kabupaten Ponorogo 


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi