Jumat, 04 Juli 2014

Skripsi Syariah:ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG KEWAJIBAN MEMBAYAR NAFKAH IDDAH KEPADA ISTRI YANG DICERAI KARENA BERZINA (Studi Kasus Putusan Nomor 0571Pdt. G2010PA. Tbn)


BAB  BAB I
PENDAHULUAN PENDAHULUAN  A Latar Belakang Masalah Latar Belakang Masalah  Perkawinan  merupakan  cara  yang  dipilih  Allah  sebagai  jalan  bagi  manusia  untuk  memperoleh  keturunan  dan  melestarikan hidupnya  setelah  masing-masing  pasangan  siap  untuk  melakukan  perannya  yang  positif  sebagai  suami  istri  dalam  mewujudkan  tujuan  perkawinan,  seperti  yang  disebutkan  pada  pasal  3  Kompilasi  Hukum  Islam  (KHI),  “Perkawinan  bertujuan  untuk  mewujudkan  kehidupan  rumah  tangga  yang  sakinah,  mawaddah, danrahmah.”  Tujuan  perkawinan  juga  disebutkan  dalam  Al-Qur’an,  sebagaimana  firman Allah dalam surat ar-Ru>m ayat 21 yang berbunyi:  َ( Artinya: “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Diamenciptakan  pasangan-pasangan  untukmu  dari  jenismu  sendiri,  agar  kamu   Pasal 3 Inpres No. 1 Tahun 1991 Kompilasi Hukum Islam.

2  cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di  antaramu  rasa  kasih  sayang.  Sungguh  pada  yang  demikian  itu  benar-benar  terdapat  tanda-tanda  (kebesaran  Allah)  bagi  kaum  yang berpikir .”  Senada  dengan  tujuan  perkawinan  yang  sudah  disampaikan  di  atas,  maka  tujuan  perkawinan  disebutkan  juga  pada  pasal  1 Undang-undang  Perkawinan  Nomor  1  Tahun  1974,  “Perkawinan  ialah  ikatan  lahir  batin  antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan  membentuk  keluarga  (rumah  tangga)  yang  bahagia  dan  kekal  berdasarkan  Ketuhanan Yang Maha Esa.”  Dari tujuan perkawinan di atas dapat diketahui bahwa rumah tangga  yang didirikan dengan akad nikah, maka sudah secaraotomatis dua individu  tersebut berada dalam suatu persekutuan hidup, bukan satu dua hari, minggu,  bulan  atau  tahun  untuk  mencapai  kehendak  seperti  yang  diinginkan  dalam  tujuan perkawinan. Oleh karena itu, tokoh utama dalam rumah tangga adalah  suami  dan  istri.  Kepada  keduanyalah  diletakkan  sendi  rumah  tangga,  yang  Islam menentukan:  a.  Suami dibebani tanggung jawab umum sepenuhnya.
b.  Istri dibebani ketaatan sepenuhnya pula.
 Departemen Agama RI,  Al-Qur’an Terjemah dan Penjelasan Ayat Ahka>m, (Jakarta: Pena  Qur’an, t.t.,), 407.
 Lihat pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
 Abdul Muchith Muzadi, Fikih Perempuan Praktis, (Surabaya: Khalista, Cet. III, 2005), 98.
3  Dengan  demikian,  dengan  adanya  akad  perkawinan  antara  kedua  belah pihak maka akan timbul pula hak dan kewajibannya selaku suami istri  dalam  rumah  tangga.  Termasuk  kewajiban  suami  terhadap  istrinya  ialah  memberi nafkah, maksudnya ialah menyediakan segala keperluan istri seperti  makanan,  pakaian,  tempat  tinggal,  mencarikan  pembantu  dan  obat-obatan,  apabila suaminya itu kaya.
 Seperti yang telah difirmankan Allah dalam AlQur’an  surat  al-Baqarah ayat  233  tentang  kewajiban  suami  menafkahi  istrinya, yang berbunyi
dan  kewajiban  ayah  menanggung  nafkah  dan  pakaian  mereka  dengan  cara  yang  patut.  Seseorang  tidak  dibebani  lebih  dari  kesanggupannya ...”  Dalam  Kompilasi  Hukum  Islam  (KHI)  juga  dijelaskan  kewajiban  suami istri, yang bunyinya:  Pasal 77  1.  Suami  istri  memikul  kewajiban  yang  luhur  untuk  menegakkan  rumah  tangga  yang  sakinah,  mawaddah,  dan  rahmah  yang  menjadi  sendi  dasar  dan susunan masyarakat.
2.  Suami  istri  wajib  saling  mencintai,  hormat  menghormati,  setia  dan  memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.
 H.S.A. Al Hamdani, Risa>lah Nika>h, Terj. Agus Salim, edisi ke-2, (Jakarta: Pustaka Amani,  2002), 144.
 Departemen Agama RI, Al-Qur’an Terjemah, 38.
4  3.  Suami  istri  memikul  kewajiban  untuk  mengasuh  dan  memelihara  anakanak  mereka,  baik  mengenai  pertumbuhan  jasmani,  rohani  maupun  kecerdasannya dan pendidikan jasmaninya.
4.  Suami istri wajib memelihara kehormatannya.
5.  Jika suami atau istri yang melalaikan kewajibannya masing-masing dapat  mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama.
Begitu  juga  hak  dan  kewajiban  suami  terhadap  istri  ataupun  kewajiban  istri  terhadap  suami  juga  diatur,  baik  dalam  hukum  islam  yang  bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasul maupun hukum Islam Indonesia  (Kompilasi  Hukum  Islam).  Dalam  Kompilasi  Hukum  Islam  dijelaskan  kewajiban suami terhadap istri, yang di antaranya:  Pasal 80  1.  Suami  adalah  pembimbing,  terhadap  istri  dan  rumah  tangganya,  akan  tetapi  mengenai  hal-hal  urusan  rumah  tangga  yang  penting-penting  diputuskan oleh suami istri bersama.
2.  Suami  wajib  melindungi  istrinya  dan  memberikan  segala  sesuatu  keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
3.  Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada istrinya dan memberi  kesempatan  belajar  pengetahuan  yang  berguna  dan  bermanfaat  bagi  agama, nusa dan bangsa.
4.  Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung:  a.  Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri.
b.  Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri  dan anak.
c.  Biaya pendidikan bagi anak.
5.  Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut  pada ayat (4) huruf a  dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari istrinya.
6.  Istri  dapat  membebaskan  suaminya  dari  kewajiban  terhadap  dirinya  sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.
7.  Kewajiban  suami  sebagaimana  dimaksud  ayat  (5)  gugur apabila  istri  nusyu>z.
5   Sudah sangat jelas bahwa kewajiban seorang suami terhadap istrinya  yakni  sebagai  pembimbing  dalam  rumah  tangga  dan  memberikan  nafkah  kepada istri secara baik. Untuk mengimbangi peran dalam rumah tangga, ada  beberapa kewajiban untuk istri terhadap suaminya. Dalam Kompilasi Hukum  Islam, kewajiban istri terhadap suaminya dijelaskansebagai berikut:  Pasal 83  1.  Kewajiban utama bagi seorang istri ialah berbakti lahir dan batin kepada  suami di dalam yang dibenarkan oleh hukum Islam.
2.  Istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumahtangga sehari-hari  dengan sebaik-baiknya.
Pasal 84  1.  Istri dapat dianggap nusyu>z jika ia tidak mau melaksanakan kewajibankewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan  alasan yang sah.
2.  Selama  istri  dalam  nusyu>z,  kewajiban  suami  terhadap  istrinya  tersebut  pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku  kecuali hal-hal untuk  kepentingan anaknya.
3.  Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali sesudah  istri nusyu>z.
4.  Ketentuan  tentang  ada  atau  tidaknya  nusyu>z  dari  istri  harus  atas  bukti  yang sah.
 Seperti pada pasal 83 ayat (1) di atas, yang mana kewajiban taat istri  kepada suami hanyalah dalam hal-hal yang dibenarkanagama, bukan dalam  hal  kemaksiatan  kepada  Allah  SWT.  Di  antara  ketaatan  istri  kepada  suami  6  adalah  tidak  keluar  rumah,  kecuali  dengan  seizinnya.
  Seperti  yang  difirmankan Allah dalam Al-Qur’an surat an-Nisa>’ayat 34, yang berbunyi    Artinya:  “...  maka  perempuan-perempuan  yang  saleh,  adalah  mereka  yang  taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada,  karena Allah telah menjaga (mereka) ....”   Dari  ayat  di  atas  dijelaskan  bahwa  istri  harus  bisa  menjaga  dirinya,  baik  ketika  berada  di  depan  suami  maupun  di  belakangnya,  dan  ini  merupakan salah satu ciri istri yang s{aliha>h.
  Oleh  karena  seorang  suami  wajib  memberi  nafkah  kepada  istrinya  sebab  adanya  ikatan  perkawinan,  yang  si  istri  juga  berada  di  bawah  kekuasaannya, dan suami juga berhak penuh untuk menikmati dirinya, ia juga  wajib  taat  kepada  suaminya.  Sehingga  agama  menetapkan  suami  untuk  memberi  nafkah  kepada  istrinya  selama  perkawinan  itu  berlangsung  dan  si  istri  tidak  nusyu>z dan  tidak  ada  sebab  lain  yang  akan  menyebabkan  terhalangnya nafkah.
7   Dengan  demikian  apabila  seorang  istri  yang  tidak  taat  kepada  suaminya,  maka  dia  akan  terhalang  untuk  mendapatkan nafkah,  dan  suami  juga gugur akan kewajiban memberikan nafkahnya. Jika masih dalam ikatan  perkawinan  maka  kewajiban  suami  memberi  nafkah  itu  tidak  wajib  selama  istri masih melakukan  nusyu>zatau tidak taat kepada suami. Oleh karena itu  ia  tidak  berhak  atas  nafkah  selama  masa  nusyu>z  itu  dan  kewajiban  itu  kembali dilakukan setelah nusyu>zitu berhenti.
 Al Ba>ju>ri> menjelaskan bahwa “suami akan membayar kepada istrinya  hak dan kewajiban apabila si istri itu taat kepada suami, dapat bergaul secara  baik, dan menyerahkan jiwanya kepada suaminya sertaistri menetap dalam  rumah.”  Sehingga apabila si istri itu  nusyu>z, durhaka atau berbuat maksiat  terhadap  suaminya  atau  tidak  mau  meladeni  suaminya, maka  hal  itu  akan  menyebabkan  seorang  istri  tidak  berhak  menerima  nafkah  karena  dia  telah  menghalangi hak suaminya.
 Begitu  juga  Pengadilan  Agama  yang  secara  ex  officio dapat  menetapkan  nafkah  iddah atas  suami  untuk  istrinya,  sepanjang  istri  tidak  nusyu>z,  dan  menetapkan  kewajiban  mut’ah.
8  Islam pasal 152 juga disebutkan bahwa “Bekas istri  berhak mendapat nafkah  iddahdari bekas suaminya, kecuali bila ia nusyu>z.”   Adapun  di  Pengadilan  Agama  Tuban  ditemukan  suatu  kasus,  yaitu  dihukumnya Pemohon untuk membayar nafkah iddahkepada Termohon yang  dicerai  dengan  alasan  telah  berzina.  Pada  awalnya  Pemohon  mengajukan  permohonan  cerai  talak  ke  Pengadilan  Agama  Tuban  dengan  alasan  Termohon  melakukan  perselingkuhan  (berzina)  dengan  laki-laki  lain,  kemudian Termohon memberikan jawaban atas permohonan Pemohon yang  ingin  menceraikan  dirinya.  Karena  Termohon  tidak  keberatan  atas  permohonan cerai talak yang diajukan oleh Pemohon,  akan tetapi Termohon  meminta  nafkah  iddah,  nafkah  mut’ah dan  nafkah  untuk  anak  kepada  Pemohon.  Bahwa  atas  jawaban  dan  tuntutan  Termohon  (gugatan  Rekonpensi)  tersebut  di  atas,  Pemohon  tidak  sanggup  untuk  membayar  nafkah  iddah dan  nafkah  mut’ahnya  dengan  alasan  bahwa  Termohon  telah  berselingkuh, namun Pemohon hanya sanggup membayar nafkah anak saja.
  Maka  berdasarkan  hal  tersebut  Majelis  Hakim  dalam pertimbangan  hukumnya  dengan  memperhatikan  ketentuan  pasal  149  huruf  a  Kompilasi  Hukum  Islam  menetapkan  bahwa  suami  harus  membayar  nafkah  mut’ah  Lihat pasal 152 Inpres No. 1 Tahun 1991 Kompilasi  Hukum Islam; Senada dengan pasal  152 KHI, pada pasal 149 poin b juga menegaskan “Bilamana perkawinan putus karena talak, maka  bekas suami wajib memberi nafkah, maskandan kiswahkepada bekas istri selama dalam masa iddah,  kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’inatau nusyu>zdan dalam keadaan tidak hamil.”   Berkas salilan putusan PA Tuban perkara nomor 0571/Pdt. G/2010/PA. Tbn.
9  kepada  Termohon  adalah  sudah  sangat  jelas.  Namun  ketika  Majelis  Hakim  dalam  mempertimbangkan  hukumnya  terkait  masalah  nafkah  iddah kepada  istri  yang  berzina  dengan  memperhatikan  ketentuan  pasal  152  Kompilasi  Hukum Islam, maka Majelis Hakim menghukum Pemohon untuk membayar  nafkah iddahkepada Termohon.
Dari  latar  belakang  tersebut  di  atas,  maka  penulis  tertarik  untuk  melakukan penelitian dalam rangka penulisan skripsiyang berkaitan dengan  Majelis  Hakim  yang  menghukum  Pemohon  untuk  membayar nafkah  iddah kepada istri yang berzina.
B Identifikasi dan Batasan Masalah Identifikasi dan Batasan Masalah  Dari  latar  belakang  masalah  yang  telah  dijelaskan,  kiranya  dapat  diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut:  1.  Kewajiban-kewajiban suami terhadap istri menurut syara’ dan KHI  2.  Kewajiban-kewajiban istri terhadap suami menurut syara’ dan KHI  3.  Bagaimana nafkah bagi istri yang melakukan nusyu>z ?  4.  Keputusan  Pengadilan  terhadap  kejadian  yang  semestinya  terkait  dihukumnya  suami  untuk  membayar  nafkah  iddah kepada  istri  yang  dicerai karena berzina.
5.  Pertimbangan  Majelis  Hakim  yang  dipakai  dalam  memutuskan  perkara  permohonan cerai talak di Pengadilan Agama Tuban.



Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi