BAB BAB I
PENDAHULUAN PENDAHULUAN A Latar Belakang Masalah Latar Belakang
Masalah Perkawinan merupakan
cara yang dipilih
Allah sebagai jalan
bagi manusia untuk
memperoleh keturunan dan
melestarikan hidupnya setelah masing-masing
pasangan siap untuk
melakukan perannya yang
positif sebagai suami
istri dalam mewujudkan
tujuan perkawinan, seperti
yang disebutkan pada
pasal 3 Kompilasi
Hukum Islam (KHI),
“Perkawinan bertujuan untuk
mewujudkan kehidupan rumah
tangga yang sakinah, mawaddah, danrahmah.” Tujuan
perkawinan juga disebutkan
dalam Al-Qur’an, sebagaimana firman Allah dalam surat ar-Ru>m ayat 21
yang berbunyi: َ( Artinya: “Dan di antara tanda-tanda
(kebesaran)-Nya ialah Diamenciptakan pasangan-pasangan untukmu
dari jenismu sendiri,
agar kamu Pasal 3 Inpres No. 1 Tahun 1991 Kompilasi
Hukum Islam.
2 cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
Dia menjadikan di antaramu rasa
kasih sayang. Sungguh
pada yang demikian
itu benar-benar terdapat
tanda-tanda (kebesaran Allah)
bagi kaum yang berpikir .” Senada
dengan tujuan perkawinan
yang sudah disampaikan
di atas, maka
tujuan perkawinan disebutkan
juga pada pasal
1 Undang-undang Perkawinan Nomor
1 Tahun 1974,
“Perkawinan ialah ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang
bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.” Dari tujuan perkawinan di atas
dapat diketahui bahwa rumah tangga yang
didirikan dengan akad nikah, maka sudah secaraotomatis dua individu tersebut berada dalam suatu persekutuan hidup,
bukan satu dua hari, minggu, bulan atau
tahun untuk mencapai
kehendak seperti yang
diinginkan dalam tujuan perkawinan. Oleh karena itu, tokoh
utama dalam rumah tangga adalah suami dan
istri. Kepada keduanyalah
diletakkan sendi rumah
tangga, yang Islam menentukan: a.
Suami dibebani tanggung jawab umum sepenuhnya.
b. Istri dibebani ketaatan sepenuhnya pula.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Terjemah dan Penjelasan Ayat
Ahka>m, (Jakarta: Pena Qur’an,
t.t.,), 407.
Lihat pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan.
Abdul Muchith Muzadi, Fikih Perempuan Praktis,
(Surabaya: Khalista, Cet. III, 2005), 98.
3 Dengan
demikian, dengan adanya
akad perkawinan antara
kedua belah pihak maka akan
timbul pula hak dan kewajibannya selaku suami istri dalam
rumah tangga. Termasuk
kewajiban suami terhadap
istrinya ialah memberi nafkah, maksudnya ialah menyediakan
segala keperluan istri seperti makanan, pakaian,
tempat tinggal, mencarikan
pembantu dan obat-obatan, apabila suaminya itu kaya.
Seperti yang telah difirmankan Allah dalam
AlQur’an surat al-Baqarah ayat 233
tentang kewajiban suami
menafkahi istrinya, yang berbunyi
dan kewajiban
ayah menanggung nafkah
dan pakaian mereka dengan
cara yang patut.
Seseorang tidak dibebani
lebih dari kesanggupannya ...” Dalam
Kompilasi Hukum Islam
(KHI) juga dijelaskan
kewajiban suami istri, yang
bunyinya: Pasal 77 1.
Suami istri memikul
kewajiban yang luhur
untuk menegakkan rumah tangga yang
sakinah, mawaddah, dan
rahmah yang menjadi
sendi dasar dan susunan masyarakat.
2. Suami
istri wajib saling
mencintai, hormat menghormati,
setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada
yang lain.
H.S.A. Al Hamdani, Risa>lah Nika>h,
Terj. Agus Salim, edisi ke-2, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), 144.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Terjemah, 38.
4 3.
Suami istri memikul
kewajiban untuk mengasuh
dan memelihara anakanak
mereka, baik mengenai
pertumbuhan jasmani, rohani
maupun kecerdasannya dan
pendidikan jasmaninya.
4. Suami istri wajib memelihara kehormatannya.
5. Jika suami atau istri yang melalaikan
kewajibannya masing-masing dapat mengajukan
gugatan kepada Pengadilan Agama.
Begitu juga
hak dan kewajiban
suami terhadap istri
ataupun kewajiban istri
terhadap suami juga
diatur, baik dalam
hukum islam yang bersumber
dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasul maupun hukum Islam Indonesia (Kompilasi
Hukum Islam). Dalam
Kompilasi Hukum Islam
dijelaskan kewajiban suami
terhadap istri, yang di antaranya: Pasal
80 1.
Suami adalah pembimbing,
terhadap istri dan
rumah tangganya, akan tetapi mengenai
hal-hal urusan rumah
tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami istri bersama.
2. Suami
wajib melindungi istrinya
dan memberikan segala
sesuatu keperluan hidup berumah
tangga sesuai dengan kemampuannya.
3. Suami wajib memberikan pendidikan agama
kepada istrinya dan memberi kesempatan belajar
pengetahuan yang berguna
dan bermanfaat bagi agama,
nusa dan bangsa.
4. Sesuai dengan penghasilannya suami
menanggung: a. Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri.
b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya
pengobatan bagi istri dan anak.
c. Biaya pendidikan bagi anak.
5. Kewajiban suami terhadap istrinya seperti
tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin
sempurna dari istrinya.
6. Istri
dapat membebaskan suaminya
dari kewajiban terhadap
dirinya sebagaimana tersebut pada
ayat (4) huruf a dan b.
7. Kewajiban
suami sebagaimana dimaksud
ayat (5) gugur apabila
istri nusyu>z.
5 Sudah
sangat jelas bahwa kewajiban seorang suami terhadap istrinya yakni
sebagai pembimbing dalam
rumah tangga dan
memberikan nafkah kepada istri secara baik. Untuk mengimbangi
peran dalam rumah tangga, ada beberapa
kewajiban untuk istri terhadap suaminya. Dalam Kompilasi Hukum Islam, kewajiban istri terhadap suaminya
dijelaskansebagai berikut: Pasal 83 1.
Kewajiban utama bagi seorang istri ialah berbakti lahir dan batin kepada
suami di dalam yang dibenarkan oleh
hukum Islam.
2. Istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan
rumahtangga sehari-hari dengan
sebaik-baiknya.
Pasal 84 1.
Istri dapat dianggap nusyu>z jika ia tidak mau melaksanakan
kewajibankewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah.
2. Selama
istri dalam nusyu>z,
kewajiban suami terhadap
istrinya tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak
berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya.
3. Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di
atas berlaku kembali sesudah istri
nusyu>z.
4. Ketentuan
tentang ada atau
tidaknya nusyu>z dari
istri harus atas
bukti yang sah.
Seperti pada pasal 83 ayat (1) di atas, yang
mana kewajiban taat istri kepada suami
hanyalah dalam hal-hal yang dibenarkanagama, bukan dalam hal
kemaksiatan kepada Allah
SWT. Di antara
ketaatan istri kepada
suami 6 adalah
tidak keluar rumah,
kecuali dengan seizinnya.
Seperti
yang difirmankan Allah dalam
Al-Qur’an surat an-Nisa>’ayat 34, yang berbunyi Artinya: “...
maka perempuan-perempuan yang
saleh, adalah mereka
yang taat (kepada Allah) dan
menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka) ....” Dari
ayat di atas
dijelaskan bahwa istri
harus bisa menjaga
dirinya, baik ketika
berada di depan
suami maupun di
belakangnya, dan ini merupakan
salah satu ciri istri yang s{aliha>h.
Oleh karena
seorang suami wajib
memberi nafkah kepada
istrinya sebab adanya
ikatan perkawinan, yang
si istri juga
berada di bawah kekuasaannya,
dan suami juga berhak penuh untuk menikmati dirinya, ia juga wajib
taat kepada suaminya.
Sehingga agama menetapkan
suami untuk memberi
nafkah kepada istrinya
selama perkawinan itu
berlangsung dan si istri tidak
nusyu>z dan tidak ada
sebab lain yang
akan menyebabkan terhalangnya nafkah.
7 Dengan
demikian apabila seorang
istri yang tidak
taat kepada suaminya,
maka dia akan
terhalang untuk mendapatkan nafkah, dan
suami juga gugur akan kewajiban
memberikan nafkahnya. Jika masih dalam ikatan perkawinan
maka kewajiban suami
memberi nafkah itu
tidak wajib selama istri masih melakukan nusyu>zatau tidak taat kepada suami. Oleh
karena itu ia tidak
berhak atas nafkah
selama masa nusyu>z
itu dan kewajiban
itu kembali dilakukan setelah
nusyu>zitu berhenti.
Al Ba>ju>ri> menjelaskan bahwa “suami
akan membayar kepada istrinya hak dan
kewajiban apabila si istri itu taat kepada suami, dapat bergaul secara baik, dan menyerahkan jiwanya kepada suaminya
sertaistri menetap dalam rumah.” Sehingga apabila si istri itu nusyu>z, durhaka atau berbuat maksiat terhadap
suaminya atau tidak
mau meladeni suaminya, maka hal
itu akan menyebabkan
seorang istri tidak
berhak menerima nafkah
karena dia telah menghalangi
hak suaminya.
Begitu
juga Pengadilan Agama
yang secara ex
officio dapat menetapkan nafkah
iddah atas suami untuk
istrinya, sepanjang istri
tidak nusyu>z, dan
menetapkan kewajiban mut’ah.
8 Islam pasal 152 juga disebutkan bahwa “Bekas
istri berhak mendapat nafkah iddahdari bekas suaminya, kecuali bila ia
nusyu>z.” Adapun
di Pengadilan Agama
Tuban ditemukan suatu
kasus, yaitu dihukumnya Pemohon untuk membayar nafkah
iddahkepada Termohon yang dicerai dengan
alasan telah berzina.
Pada awalnya Pemohon
mengajukan permohonan cerai
talak ke Pengadilan
Agama Tuban dengan
alasan Termohon melakukan
perselingkuhan (berzina) dengan
laki-laki lain, kemudian Termohon memberikan jawaban atas
permohonan Pemohon yang ingin menceraikan
dirinya. Karena Termohon
tidak keberatan atas permohonan
cerai talak yang diajukan oleh Pemohon,
akan tetapi Termohon meminta nafkah
iddah, nafkah mut’ah dan
nafkah untuk anak
kepada Pemohon. Bahwa
atas jawaban dan
tuntutan Termohon (gugatan Rekonpensi)
tersebut di atas,
Pemohon tidak sanggup
untuk membayar nafkah
iddah dan nafkah mut’ahnya
dengan alasan bahwa
Termohon telah berselingkuh, namun Pemohon hanya sanggup
membayar nafkah anak saja.
Maka
berdasarkan hal tersebut
Majelis Hakim dalam pertimbangan hukumnya
dengan memperhatikan ketentuan
pasal 149 huruf
a Kompilasi Hukum
Islam menetapkan bahwa
suami harus membayar
nafkah mut’ah Lihat pasal 152 Inpres No. 1 Tahun 1991
Kompilasi Hukum Islam; Senada dengan
pasal 152 KHI, pada pasal 149 poin b
juga menegaskan “Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib memberi nafkah, maskandan
kiswahkepada bekas istri selama dalam masa iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak
ba’inatau nusyu>zdan dalam keadaan tidak hamil.” Berkas salilan putusan PA Tuban perkara nomor
0571/Pdt. G/2010/PA. Tbn.
9 kepada
Termohon adalah sudah
sangat jelas. Namun
ketika Majelis Hakim dalam mempertimbangkan hukumnya
terkait masalah nafkah
iddah kepada istri yang
berzina dengan memperhatikan
ketentuan pasal 152
Kompilasi Hukum Islam, maka Majelis
Hakim menghukum Pemohon untuk membayar nafkah
iddahkepada Termohon.
Dari latar
belakang tersebut di
atas, maka penulis
tertarik untuk melakukan penelitian dalam rangka penulisan
skripsiyang berkaitan dengan Majelis Hakim
yang menghukum Pemohon
untuk membayar nafkah iddah kepada istri yang berzina.
B Identifikasi dan Batasan
Masalah Identifikasi dan Batasan Masalah Dari
latar belakang masalah
yang telah dijelaskan,
kiranya dapat diidentifikasi beberapa masalah sebagai
berikut: 1. Kewajiban-kewajiban suami terhadap istri
menurut syara’ dan KHI 2. Kewajiban-kewajiban istri terhadap suami
menurut syara’ dan KHI 3. Bagaimana nafkah bagi istri yang melakukan
nusyu>z ? 4. Keputusan
Pengadilan terhadap kejadian
yang semestinya terkait dihukumnya
suami untuk membayar
nafkah iddah kepada istri
yang dicerai karena berzina.
5. Pertimbangan
Majelis Hakim yang
dipakai dalam memutuskan
perkara permohonan cerai talak di
Pengadilan Agama Tuban.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi